Share

BAB 2 - Bukan Malam Pertama

“Cessa….”

Kristal yang telah berganti baju dan memutuskan untuk kembali melihat keadaan Kai, terpaku di tempatnya saat mendengar gumaman Kai yang menyebut nama perempuan lain.

“It’s okay, Ta,” gumamnya pada diri sendiri. “Kamu harusnya tahu kalau hal ini lambat laun akan terjadi.”

Walau ia jelas tidak pernah menyangka akan mendengarnya di hari pertama pernikahan mereka. Tapi bukannya gentar atau marah, Kristal justru tetap masuk ke dalam kamar Kai.

Ia menaruh segelas air mineral dan obat yang mungkin dibutuhkan Kai saat bangun nanti. Setelahnya, dengan cepat ia menyelimuti tubuh Kai yang mulai mengigil karena AC kamarnya sudah mulai dingin.

Saat selesai menarik selimut berwarna biru itu hingga sedada Kai, Kristal memuaskan keinginannya untuk menatap wajah Kai dari dekat dan dengan berhati-hati, ia merapikan rambut Kai yang agak berantakan.

“Aku nggak tahu kapan lagi aku bisa menatap kamu sedekat ini dan bahkan bisa menyentuh rambut kamu.” Senyum sedih itu kembali muncul di wajah Kristal.

“You know how much I love you, Kai, bisa menatap kamu begini saja rasanya udah sangat menyenangkan.”

Setelahnya, Kristal kembali duduk di tepi ranjang, agak jauh dari posisi Kai yang berbaring di tengah-tengah ranjang agar lelaki itu tak akan langsung menyadari kehadirannya. Ia bukan baru kenal Kai satu atau dua bulan yang lalu. Tapi rasanya untuk menatapnya seperti ini saja, ia butuh lelaki itu tak sadarkan diri dulu.

“Kalau kamu saat ini nggak mabuk, mana bisa aku menatap kamu lebih lama dari lima belas detik?” gumam Kristal lagi, kali ini dengan lebih pelan.

Sosok Kai yang cenderung dingin dan tak peduli padanya memang membuat Kristal tak pernah berlama-lama menatap Kai secara langsung. Padahal siapa pun bisa melihat, bagaimana perasaan tergambar jelas melalui tatapannya.

Kai memang terlihat tak acuh pada dirinya. Kalau sedang sial, Kai bahkan tak menganggap kehadirannya sekalipun mereka berdiri bersebelahan.

Tapi anehnya—atau bodohnya?—Kristal tetap tak bisa membuang perasaannya begitu saja. Ia sudah mencoba, tapi entah bagaimana semua lelaki yang pernah dekat dengannya selalu berakhir sebagai mantan kekasihnya.

“Ya, kalau kamu nggak laku juga atau nggak nemuin laki-laki yang kamu mau dan mau kamu, aku bersedia, deh, nikahin kamu,” ucap Hafi, sahabatnya, yang sudah lelah dengan petualangannya untuk mencoba move on dari Kai.

Entah Kristal harus bersyukur atau tidak dengan keadaannya saat ini. Ia tak jadi mengorbankan Hafi sebagai suaminya hanya karena butuh menikah, tapi kini ia menikah dengan lelaki yang ia cintai namun sialnya tak mencintai dirinya.

“Cessa….”

Kristal memejamkan matanya, mencoba kembali menahan rasa sakit di hatinya ketika mendengar nama perempuan lain dipanggil oleh Kai. Kristal sebenarnya tidak benar-benar tahu, apa tujuan Kai mabuk berat di hari pernikahan mereka.

Sejak tadi di resepsi mereka, Kristal berusaha mencegah Kai mengisi ulang gelas wine-nya terus menerus dengan cara sehalus mungkin agar orang lain tak curiga.

Tapi tetap saja, Kai tak akan bisa lulus summa cum laude dengan dua gelar master sekaligus kalau menghindar dari Kristal saja tak bisa.

“Apa kamu sebegitu nggak sukanya dengan pernikahan ini?” Kristal kembali bertanya, walau ia tahu Kai tak akan sudi dan tak akan bisa menjawabnya. “Apa kamu berpikir, kalau aku berharap malam ini akan jadi malam pertama kita seperti orang lain?”

Sejak Kai menyetujui perjodohan antara ia dan Kristal, lelaki itu sudah membangun benteng setinggi langit yang dapat dilihat dengan jelas oleh Kristal.

“Nanti kamarku dan kamarmu ada di lantai dua, kamar tamu dan ART ada di lantai satu dan di paviliun belakang,” ucap Kai sebulan sebelum pernikahan mereka berlangsung.

Waktu itu mereka bertemu untuk menyerahkan daftar tamu undangan masing-masing.

Dengan pengumuman yang dibuat Kai mengenai kamar mereka masing-masing di rumah yang dibeli Kai, Kristal tahu kalau ia dan Kai hanya akan hidup seperti dua orang yang menyewa apartemen studio.

Tinggal di satu bangunan tapi punya kehidupan masing-masing.

“Oke,” jawab Kristal saat itu. Rasanya tak mungkin juga kalau ia memaksa Kai untuk sekamar dengannya.

Walau sebenarnya… jauh di dalam lubuk hatinya, ia ingin Kai berniat membangun kehidupan baru dengannya. Walau niat itu sedikit saja, hal itu sudah merupakan keajaiban sendiri untuknya.

Sayangnya, di dunia ini tak ada yang namanya keajaiban, Ta, omelnya pada dirinya sendiri.

Kristal hanya bisa menghela napas saat kembali mengingat hal tersebut. Berusaha untuk mengalihkan pikirannya, kini pandangannya menyapu ke sekeliling kamar Kai.

Mungkin ini jadi kali pertama dan terakhirku menginjakkan kaki di sini, batin Kristal miris. Ia tahu dengan pasti Kai tidak akan suka kalau tahu Kristal sudah memasuki daerah paling privat miliknya di rumah ini.

Kamar itu cukup luas, dindingnya dicat warna biru laut yang menenangkan, serasi dengan sprei dan selimutnya. Walau Kai tidak pernah mengatakan padanya, tapi Kristal tahu kalau lelaki itu menyukai warna biru,

“Oh, cinta benar-benar membuatmu terlihat seperti orang bodoh, Ta,” gumam Kristal yang menyadari kalau ia hampir tahu semua hal mengenai Kai.

Dan Kai tidak tahu apa pun mengenai dirinya.

Dindingnya pun polos, tak ada lukisan atau foto yang digantung. Walk-in-closet-nya berjarak dua meter dari kamar mandinya. Tak jauh dari meja kerja yang menghadap jendela, ada dua lemari yang penuh dengan buku-buku politik dan ekonomi.

“Dulu aku suka banget ngajak ngobrol kamu soal politik, karena kamu lebih berotak dibanding laki-laki lain di sekitarku.” Kristal kembali mengenang sosok Kai yang tidak akan ia temui lagi di masa kini.

Setelah puas mengatakan hal-hal yang tak mungkin ia sampaikan pada Kai saat lelaki itu tak mabuk, Kristal pun bangkit dari duduknya.

Ia menyalakan lampu tidur di samping ranjang Kai, kemudian satu keinginan yang selama ini ia sembunyikan, muncul ke permukaan.

Aku ingin menciummu.

Kristal tahu kalau hal itu adalah hal gila. Tapi… ia hanya ingin mencium kening Kai. Jadi… seharusnya tidak apa-apa kan?

Saat ia berusaha mendekati Kai, keraguan, ketakutan, dan rasa penasarannya bercampur menjadi satu. Tapi seakan mengerti tentang pergulatan batinnya, dering ponsel yang sedikit teredam memecah keheningan di kamar itu.

Kamu ngapain, Ta?! Kristal langsung menjauh dari sosok Kai yang masih tertidur pulas dan mencari sumber suara yang masih terus berdering.

Perempuan itu menemukan ponsel Kai yang rupanya berada di saku jas yang digantung. Keningnya mengernyit saat mendapati tulisan ‘Unknown’ sebagai identitas penelepon.

“Halo,” sapa Kristal setelah memutuskan untuk mengangkat telepon tersebut. Siapa tahu saja telepon itu penting, karena ia tahu kalau tidak sembarang orang yang bisa memiliki nomor ponsel pribadi suaminya tersebut.

“H-halo.” Terdapat keraguan dari nada penelepon tersebut. “Kai?”

Rasanya aliran darah di seluruh tubuhnya langsung berhenti saat mendapati kalau penelepon itu adalah seorang perempuan. Namun, rasa terkejutnya bukanlah apa-apa dibanding saat ia mendengar apa yang diucapkan perempuan itu.

“Kai, ini Cessa. Kamu… benar sudah menikah?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status