“Cessa….”
Kristal yang telah berganti baju dan memutuskan untuk kembali melihat keadaan Kai, terpaku di tempatnya saat mendengar gumaman Kai yang menyebut nama perempuan lain.
“It’s okay, Ta,” gumamnya pada diri sendiri. “Kamu harusnya tahu kalau hal ini lambat laun akan terjadi.”
Walau ia jelas tidak pernah menyangka akan mendengarnya di hari pertama pernikahan mereka. Tapi bukannya gentar atau marah, Kristal justru tetap masuk ke dalam kamar Kai.
Ia menaruh segelas air mineral dan obat yang mungkin dibutuhkan Kai saat bangun nanti. Setelahnya, dengan cepat ia menyelimuti tubuh Kai yang mulai mengigil karena AC kamarnya sudah mulai dingin.
Saat selesai menarik selimut berwarna biru itu hingga sedada Kai, Kristal memuaskan keinginannya untuk menatap wajah Kai dari dekat dan dengan berhati-hati, ia merapikan rambut Kai yang agak berantakan.
“Aku nggak tahu kapan lagi aku bisa menatap kamu sedekat ini dan bahkan bisa menyentuh rambut kamu.” Senyum sedih itu kembali muncul di wajah Kristal.
“You know how much I love you, Kai, bisa menatap kamu begini saja rasanya udah sangat menyenangkan.”
Setelahnya, Kristal kembali duduk di tepi ranjang, agak jauh dari posisi Kai yang berbaring di tengah-tengah ranjang agar lelaki itu tak akan langsung menyadari kehadirannya. Ia bukan baru kenal Kai satu atau dua bulan yang lalu. Tapi rasanya untuk menatapnya seperti ini saja, ia butuh lelaki itu tak sadarkan diri dulu.
“Kalau kamu saat ini nggak mabuk, mana bisa aku menatap kamu lebih lama dari lima belas detik?” gumam Kristal lagi, kali ini dengan lebih pelan.
Sosok Kai yang cenderung dingin dan tak peduli padanya memang membuat Kristal tak pernah berlama-lama menatap Kai secara langsung. Padahal siapa pun bisa melihat, bagaimana perasaan tergambar jelas melalui tatapannya.
Kai memang terlihat tak acuh pada dirinya. Kalau sedang sial, Kai bahkan tak menganggap kehadirannya sekalipun mereka berdiri bersebelahan.
Tapi anehnya—atau bodohnya?—Kristal tetap tak bisa membuang perasaannya begitu saja. Ia sudah mencoba, tapi entah bagaimana semua lelaki yang pernah dekat dengannya selalu berakhir sebagai mantan kekasihnya.
“Ya, kalau kamu nggak laku juga atau nggak nemuin laki-laki yang kamu mau dan mau kamu, aku bersedia, deh, nikahin kamu,” ucap Hafi, sahabatnya, yang sudah lelah dengan petualangannya untuk mencoba move on dari Kai.
Entah Kristal harus bersyukur atau tidak dengan keadaannya saat ini. Ia tak jadi mengorbankan Hafi sebagai suaminya hanya karena butuh menikah, tapi kini ia menikah dengan lelaki yang ia cintai namun sialnya tak mencintai dirinya.
“Cessa….”
Kristal memejamkan matanya, mencoba kembali menahan rasa sakit di hatinya ketika mendengar nama perempuan lain dipanggil oleh Kai. Kristal sebenarnya tidak benar-benar tahu, apa tujuan Kai mabuk berat di hari pernikahan mereka.
Sejak tadi di resepsi mereka, Kristal berusaha mencegah Kai mengisi ulang gelas wine-nya terus menerus dengan cara sehalus mungkin agar orang lain tak curiga.
Tapi tetap saja, Kai tak akan bisa lulus summa cum laude dengan dua gelar master sekaligus kalau menghindar dari Kristal saja tak bisa.
“Apa kamu sebegitu nggak sukanya dengan pernikahan ini?” Kristal kembali bertanya, walau ia tahu Kai tak akan sudi dan tak akan bisa menjawabnya. “Apa kamu berpikir, kalau aku berharap malam ini akan jadi malam pertama kita seperti orang lain?”
Sejak Kai menyetujui perjodohan antara ia dan Kristal, lelaki itu sudah membangun benteng setinggi langit yang dapat dilihat dengan jelas oleh Kristal.
“Nanti kamarku dan kamarmu ada di lantai dua, kamar tamu dan ART ada di lantai satu dan di paviliun belakang,” ucap Kai sebulan sebelum pernikahan mereka berlangsung.
Waktu itu mereka bertemu untuk menyerahkan daftar tamu undangan masing-masing.
Dengan pengumuman yang dibuat Kai mengenai kamar mereka masing-masing di rumah yang dibeli Kai, Kristal tahu kalau ia dan Kai hanya akan hidup seperti dua orang yang menyewa apartemen studio.
Tinggal di satu bangunan tapi punya kehidupan masing-masing.
“Oke,” jawab Kristal saat itu. Rasanya tak mungkin juga kalau ia memaksa Kai untuk sekamar dengannya.
Walau sebenarnya… jauh di dalam lubuk hatinya, ia ingin Kai berniat membangun kehidupan baru dengannya. Walau niat itu sedikit saja, hal itu sudah merupakan keajaiban sendiri untuknya.
Sayangnya, di dunia ini tak ada yang namanya keajaiban, Ta, omelnya pada dirinya sendiri.
Kristal hanya bisa menghela napas saat kembali mengingat hal tersebut. Berusaha untuk mengalihkan pikirannya, kini pandangannya menyapu ke sekeliling kamar Kai.
Mungkin ini jadi kali pertama dan terakhirku menginjakkan kaki di sini, batin Kristal miris. Ia tahu dengan pasti Kai tidak akan suka kalau tahu Kristal sudah memasuki daerah paling privat miliknya di rumah ini.
Kamar itu cukup luas, dindingnya dicat warna biru laut yang menenangkan, serasi dengan sprei dan selimutnya. Walau Kai tidak pernah mengatakan padanya, tapi Kristal tahu kalau lelaki itu menyukai warna biru,
“Oh, cinta benar-benar membuatmu terlihat seperti orang bodoh, Ta,” gumam Kristal yang menyadari kalau ia hampir tahu semua hal mengenai Kai.
Dan Kai tidak tahu apa pun mengenai dirinya.
Dindingnya pun polos, tak ada lukisan atau foto yang digantung. Walk-in-closet-nya berjarak dua meter dari kamar mandinya. Tak jauh dari meja kerja yang menghadap jendela, ada dua lemari yang penuh dengan buku-buku politik dan ekonomi.
“Dulu aku suka banget ngajak ngobrol kamu soal politik, karena kamu lebih berotak dibanding laki-laki lain di sekitarku.” Kristal kembali mengenang sosok Kai yang tidak akan ia temui lagi di masa kini.
Setelah puas mengatakan hal-hal yang tak mungkin ia sampaikan pada Kai saat lelaki itu tak mabuk, Kristal pun bangkit dari duduknya.
Ia menyalakan lampu tidur di samping ranjang Kai, kemudian satu keinginan yang selama ini ia sembunyikan, muncul ke permukaan.
Aku ingin menciummu.
Kristal tahu kalau hal itu adalah hal gila. Tapi… ia hanya ingin mencium kening Kai. Jadi… seharusnya tidak apa-apa kan?
Saat ia berusaha mendekati Kai, keraguan, ketakutan, dan rasa penasarannya bercampur menjadi satu. Tapi seakan mengerti tentang pergulatan batinnya, dering ponsel yang sedikit teredam memecah keheningan di kamar itu.
Kamu ngapain, Ta?! Kristal langsung menjauh dari sosok Kai yang masih tertidur pulas dan mencari sumber suara yang masih terus berdering.
Perempuan itu menemukan ponsel Kai yang rupanya berada di saku jas yang digantung. Keningnya mengernyit saat mendapati tulisan ‘Unknown’ sebagai identitas penelepon.
“Halo,” sapa Kristal setelah memutuskan untuk mengangkat telepon tersebut. Siapa tahu saja telepon itu penting, karena ia tahu kalau tidak sembarang orang yang bisa memiliki nomor ponsel pribadi suaminya tersebut.
“H-halo.” Terdapat keraguan dari nada penelepon tersebut. “Kai?”
Rasanya aliran darah di seluruh tubuhnya langsung berhenti saat mendapati kalau penelepon itu adalah seorang perempuan. Namun, rasa terkejutnya bukanlah apa-apa dibanding saat ia mendengar apa yang diucapkan perempuan itu.
“Kai, ini Cessa. Kamu… benar sudah menikah?”
“Kai, ini Cessa. Kamu… benar sudah menikah?”Kristal terpaku mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan suara yang terdengar begitu sendu tersebut. Walau ia tak pernah menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan sosok bernama Princessa Karenina Azari tersebut, tapi Kristal tidak akan pernah lupa bagaimana suara perempuan yang selalu ada di mimpi-mimpi Kai.“Maaf.” Kristal berusaha setenang mungkin saat menjawab pertanyaan Cessa. “Ini bukan Kai.”Tak mungkin juga rasanya kalau Kristal mengatakan Kai sedang tertidur karena mabuk. Hal itu hanya akan membuat Cessa tahu kalau pernikahannya dengan Kai tak benar-benar sebuah pernikahan.Pernikahan macam apa yang suaminya meninggalkan istrinya mabuk dan kemudian tidur di malam pertama mereka?Klik.Saat mendengar bunyi itu, Kristal langsung menjauhkan ponsel Kai dari telinganya dan layar ponsel canggih itu menampilkan notifikasi kalau panggilan Cessa sudah berakhir.Kristal pun memilih untuk menaruh ponsel Kai di atas nakas yang terletak di sam
“Aku tahu harusnya aku lebih kreatif lagi kalau mau bertanya. Tapi… are you okay, Ta?”Kristal tak bisa menahan tawanya mendengar sapaan Renjana pagi itu. Ia baru saja selesai mandi dan berganti pakaian saat ponselnya berdering menandakan panggilan masuk dari Renjana.“Aku baik-baik aja kok, Jan.”Setidaknya untuk saat ini, tambah Kristal dalam hatinya.“Beneran?”“Iyaaa.” Kristal kembali tertawa. “I’m okay, Jan. Jangan terlalu khawatirin aku.”“Gimana aku nggak khawatir kalau kemarin kamu hilang begitu aja?”Kristal langsung terdiam saat mendengar pertanyaan tersebut. Ia memang berhasil mengelabui orangtuanya, yang juga menganggap kalau ia dan Kai sudah tak sabar untuk segera pulang. Tapi hanya Hafi dan Renjana yang tahu alasan kepergiannya dan Kai yang lebih cepat, dan semuanya jadi tidak sesederhana itu.“I’m okay, Jan, really.” Kristal mencoba meyakinkannya lagi. “How about you? Kulihat-lihat kamu sama Aiden udah ada di zona damai nih.”“Ih, Tataaa, jangan mengalihkan pembicaraan.
Kai bukanlah orang yang antipati terhadap hal bernama pernikahan. Sejujurnya, ia menghargai sebuah pernikahan dan dulunya, ia memimpikan pernikahan yang bahagia.Jelas bukan yang seperti ini.“Pagi, Den.”Kai mengangguk singkat pada Mbak Jia yang menyambutnya saat ia masuk ke ruang makan. Lelaki yang hari ini mengenakan setelan jas biru dongker dari Zegna tersebut mengamati ke sekelilingnya.Seperti mengetahui pikiran Kai, perempuan paruh baya itu kembali bicara, “Non Kristal baru aja berangkat ke kantor, Pak.”“Oh, baguslah.” Kali ini Kai menghela napas dengan lega sambil membalik piringnya dan menuang nasi goreng tanpa kecap yang dimasakkan oleh Mbak Jia.Mbak Jia yang tahu kalau hubungan suami-istri itu tak sebaik yang orang kira, menahan diri untuk tidak menghela napas kecewa dan berlalu ke dapur.Saat suapan kelima sarapannya, Kai mendengar langkah kaki yang teratur menuju ke arahnya. Sudah bersama Rangga sejak ia tahun ketiga kuliah S1 membuat Kai hafal sekali dengan ritme langk
“Aku nggak mau.”“Kristal, jangan bikin kepala Abang mau pecah,” tegur Galileo Panjaitan sambil memijit pelipisnya. “Mertuamu sendiri yang minta.”Kristal menahan diri untuk tidak mendengus atau menggembungkan pipinya karena kesal di hadapan seniornya yang biasa dipanggil Bang Leo oleh para partner di firmanya.“Tapi nggak mungkin juga aku langsung keluar dari sini,” tolak Kristal untuk ke sekian kalinya.Sejak mertuanya meminta ia pindah untuk bekerja di perusahaan Kai, Kristal tidak mengiakan dan berujung pada teror yang diterima Bang Leo dari ayah mertuanya.“Ya, aku juga nggak rela kamu keluar.” Bang Leo mengemukakan pendapatnya. “Jujur aja, kamu salah satu partner yang terbaik yang aku punya di sini. Dan menyerahkan kamu untuk jadi legal officer di perusahaan suamimu, bukan hal yang mudah untukku.”“Bang Leo setuju untuk mengeluarkan aku dari sini?” tanya Kristal pelan. Ia suka bekerja di GPP sekalipun kadang jam kerjanya jadi sangat tidak manusiawi ketika menghadapi kasus yang c
“Aku di… kantor Kai.”“Huh? Kantor Kai? Yang mana?”Kristal ingin terkekeh mendengar pertanyaan polos Renjana. Big Screen—nama PH keluarga Kai memang bukan satu-satunya perusahaan Kai yang ia pimpin. Tapi masih ada perusahaan lain yang lelaki bangun sendiri dari nol dan Renjana tahu itu.“Big Screen.” Kristal menyebut nama PH Kai yang kantornya terletak di daerah Sudirman, masih satu gedung dengan perusahaan Kai yang lain sebenarnya.“Oh, yang di daerah Sudirman ya.” Renjana langsung mengingatnya. “Tumben kamu ke sana? Kamu mau casting jadi pemain film?”“Nggaklah.” Kristal menggeleng pelan mendengar ide sahabatnya itu. “It’s a long story. Kenapa kamu nanya aku di mana?”“Ketemu, yuk.”“Oh, boleh.” Kristal baru saja ingin mengajukan restoran favorit mereka sebagai tempat pertemuan saat sadar pekerjaannya masih banyak. “Tapi pekerjaanku masih banyak.”“Ya udah, aku ke sana ya.”“E-eh, jangan—”Terlambat. Karena setelahnya Renjana sudah lebih dulu mengakhiri sambungan telepon dan Krista
Renjana hanya berada di kantor baru Kristal selama dua puluh menit. Setelahnya, ia kembali ke kantornya lagi. Renjana hanya ingin memastikan kalau Kristal baik-baik saja dan Kristal sangat menghargainya.“Kamu tahu kan kalau kamu bisa ngomong apa pun sama aku?” pesan Renjana seraya mencium kedua pipi Kristal dan memeluknya singkat sebelum akhirnya berlalu dari MAXX Coffee.Setelah Renjana kembali ke kantornya, Kristal pun kembali naik ke atas dan melanjutkan membaca dokumen-dokumen sesuai dengan sisa waktu yang ia miliki. Beruntung saat ia selesai membaca lembar terakhir, bertepatan dengan Shiana yang memanggilnya ke ruangannya.“Sudah selesai?” tanya Shiana dengan senyum meremehkan yang tak pernah lepas di wajahnya setiap kali bicara dengan Kristal.Perempuan itu mencoba untuk bersabar dan mengabaikannya. “Sudah. Kita bisa bahas sekarang.”Setengah jam berikutnya, Kristal sudah memaparkan pandangannya mengenai perkembangan legal di perusahaan Kai. Selama lima tahun terakhir Big Scree
Kristal memasuki rumah mewah berlantai dua tersebut dengan lelah. Padahal ia biasa datang ke banyak tempat dalam satu hari. Tapi tenaganya sama terkurasnya karena emosinya benar-benar diuji hari ini.“Malam, Non,” sapa Mbak Jia begitu Kristal merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah. “Mau makan malam sekarang? Atau setelah mandi?”Kristal menggeleng pelan. Walaupun lelah, rasanya ia sudah tak punya tenaga untuk makan. “Nggak usah, Mbak. Saya lagi nggak pengen makan.”“Tapi, Non—”“Nggak apa-apa kok, Mbak,” tukas Kristal lagi. “Mbak Jia istirahat aja, kalaupun nanti saya lapar, biar saya masak sendiri.”Mbak Jia melihat Kristal dengan ragu, namun pada akhirnya mengangguk. “Panggil saya aja ya, Mbak, kalau mau makan nanti.”Kristal mengiakan dengan gumaman pelan, kemudian membiarkan Mbak Jia berlalu menuju kamarnya yang tak jauh dari dapur.Biasanya begitu sampai rumah, Kristal akan mandi lalu makan malam sendiri, kemudian ke kamarnya dan berdiam di sana sampai tidur. Namun, kali ini ia
Setelah satu bulan lebih hidup bersama, Kristal sudah hafal di luar kepala jam-jam kepulangan Kai. Mengingat mereka tadi bertemu di Big Screen, Kristal menebak lelaki itu akan pulang lebih malam dari biasanya.Kristal tahu sekali bagaimana tak sukanya Kai hingga lelaki itu sering sekali memilih untuk di luar rumah lebih lama dibanding di bawah satu atap yang sama dengannya.“Apa sih yang bisa kamu kerjakan dengan benar?” cecar Kai yang sepertinya menemukan kesempatan untuk meluapkan emosinya yang bertumpuk seharian ini.Walaupun Kristal benar-benar mencintai Kai hingga kadang terlihat seperti orang bodoh, sejak dulu Kristal juga yang selalu berani membalikkan kata-katanya di saat-saat tertentu.Sifatnya itulah yang selalu membuat Kai kesal.“Aku cuma masak makan malam,” jawab Kristal dengan kesal. Ia tak merasa berbuat salah.Memang dapur itu berantakan, tapi bukan berarti Kai bisa meneriakinya begitu saja. Kristal mungkin masih bisa menerima jika Kai hanya bicara dengan dingin atau m
“Menurut kamu, gimana filmnya?”Kristal menoleh pada Kai dan menatapnya dengan penuh perhitungan. “Kamu mau jawaban jujur atau bohong?”Kai menyeringai. “Jujur dong, Babe.”“Hm….” Kristal mengusap dagunya sembari berpikir. “Alur ceritanya agak membosankan, terlalu sering dijadiin formula film-film sejenis dan nggak ada twist apa-apa.“Perkembangan karakternya juga nol. Padahal film atau buku itu akan bener-bener seperti ‘film dan buku’ ketika karakternya berkembang—menurutku tapi ini, ya.“Kayaknya kalau bukan karena kamu yang ngajak, aku nggak bakal mau nonton, deh.”Kai
Kai menatap istrinya untuk waktu yang lama. Kristal bukannya tidak sadar kalau suaminya yang tengah duduk di tepi ranjang tengah mengamatinya yang kini sedang memoles wajahnya dengan riasan.“Kenapa, sih, Mas?” Akhirnya Kristal tidak tahan untuk angkat bicara. “Lipstikku menor banget, ya?”Kai tergelak seraya menggeleng. “Nggak, red looks so good on you.”Perempuan yang hari ini mengenakan atasan plisket berwarna biru langit dan midi skirt hitam tersebut menatap Kai dengan curiga. “Terus? Kok ngelihatin aku kayak gitu banget?”“Soalnya kamu cantik.”“Basi, Mas.”Kai kembali tertawa. Kristal yang sudah selesai pun beranjak ke ranjang dan duduk di sa
Kristal menatap deretan buku yang ada di ruang santai di lantai dua. Hari telah beranjak siang saat ia naik ke lantai atas untuk mengambil laptopnya dan mulai mengerjakan pekerjaannya.Akan tetapi, ia malah terdistraksi oleh rak buku yang penuh dengan buku anak-anak dan buku dongeng di ruang santai. Baru minggu lalu ia dan Kai membeli banyak buku di Gramedia dan Periplus untuk anak mereka.Menunda keinginannya untuk mengambil laptop, Kristal beralih pada ruang santai dan duduk di single sofa yang terletak di depan rak tersebut.Matanya mengamati deretan buku beraneka warna dan beraneka ukuran tersebut memenuhi rak buku mereka. Kristal dan Kai berharap anak mereka nanti akan suka membaca seperti mereka berdua.Kai
“Mas, makan di luar, yuk. Mau nggak?”Hari ini adalah hari Kamis dan hari sudah menjelang sore, saat tiba-tiba Kristal menoleh padanya yang tengah meneliti dokumen untuk ia bawa meeting hari Senin minggu depan.Kristal sendiri baru menyelesaikan pekerjaannya setengah jam yang lalu dan mulai merasa bosan.Sebagai orang yang keluar rumah lima hari dalam seminggu, berada di rumah dari hari Minggu sampai Kamis seperti ini sudah mulai membuatnya jenuh.“Mau.” Kai menjawab tanpa berpikir panjang. “Mau makan di mana, Sayang?”“Pancious?” Kristal meringis karena lagi-lagi nama restoran itulah yang ia pilih. Di kepalanya hanya akan selalu ada dua tempat makan yang akan sudi ia datangi dalam mood apa saja, McDonald’s dan PanciousKai mengacak rambut Kristal dengan gemas. “Boleh.”“Kamu sibuk banget, Mas?” tanya Kristal sambil mendekat pada Kai hingga tubuh mereka bersisian, dan perempuan itu menatap laptop di depan Kai. “Masih banyak nggak kerjaannya?”“Nggak, kok,” jawab Kai untuk dua pertanya
Walau dokter mengatakan biasanya ketika proses kuretase berjalan lancar pasien bisa beraktivitas kembali setelah pulang dari rumah sakit, Kai tetap menganjurkan Kristal untuk beristirahat. Maka di sinilah Kristal, menghabiskan beberapa hari cutinya di rumah.Dalam diam Kai dan Kristal sama-sama sepakat kalau waktu istirahat bukan hanya untuk menyembuhkan diri pasca proses medis tersebut, tapi juga mengistirahatkan mental yang benar-benar lelah.“Kamu nggak ke kantor?” tanya Kristal setelah siang itu mereka tiba di rumah.“Nggak.” Kai menggeleng sambil ikut duduk di sofa, di samping Kristal. “Aku juga cuti.”Kristal mengerutkan keningnya. “Mas, aku nggak apa-apa. Kamu nggak perlu jagain aku 24 jam.”“It’s okay. Kalaupun kamu nggak butuh aku di sini, aku yang butuh kamu, Ta.”Ucapan Kai membuat Kristal terdiam selama beberapa saat. Dengan hati-hati, Kai merengkuh Kristal ke dalam dekapannya.Saat itulah, dari puluhan pelukan yang ia dapat sejak mereka dikabarkan kalau sang calon anak ya
Kristal terbangun karena rasa sakit yang membuat kepalanya juga langsung pusing. Namun, ia menahan diri untuk tidak memanggil siapa pun. Jadi yang ia lakukan hanya berdesis pelan, sepelan mungkin agar Kai tidak terbangun.Kristal bisa merasakan bagaimana Kai tertidur di samping ranjangnya, dengan posisi yang tidak nyaman. Kepalanya terkulai di sisi ranjang yang Kristal tempati dengan kedua tangannya yang menggenggam tangan Kristal.Kristal menelisik ke sekitarnya dan tidak menemukan siapa pun selain Kai. Sebenarnya beberapa jam yang lalu ia sempat terbangun, namun hanya bisa mendengar suara Julia dan Kai yang mengobrol lirih, kemudian ia jatuh tertidur lagi.Kristal mencoba menghela napas dalam-dalam. Tatapannya kini terpaku pada langit-langit kamarnya.“Kak… kok kamu tinggalin Mama sama Papa, sih? Katanya mau ketemu sama Mama sama Papa,” lirihnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.Rasanya masih seperti mimpi saat dokter mengatakan padanya kalau janinnya tidak berkembang dan ha
[Kehamilan Kristal. Minggu kelima.]Kai yang baru pulang bekerja memanggil Kristal, saat ia tidak menemukannya di ruang tengah atau di ruang makan. “Tata?”Karena tidak ada sahutan, Kai berpikir mungkin Kristal ada di kamar. Mengingat akhir-akhir ini istrinya mudah sekali merasa mengantuk.“Mas?”Panggilan itu membuat langkahnya terhenti dan kembali turun dari dua anak tangga yang sudah ia naiki. Matanya menangkap sosok Kristal yang melongok ke arahnya dari teras samping.“Lho, di sini kamu ternyata,” ucap Kai saat menghampiri istrinya dan memeluknya. Kemudian ia mencium kening dan bibirnya seperti biasa. “Ngapain malem-malem di luar?”“Lihatin bintang.” Krista
Hari ini adalah kunjungan rutin Kristal ke dokter kandungan. Dan seperti biasa, Kai tentu menemaninya. Lelaki itu tidak pernah meninggalkan Kristal pergi sendiri di jadwal kunjungan rutinnya.Kristal merasa excited karena hari ini akan menyapa anaknya lewat USG dan mendengarkan apa kata dokter mengenai kandungannya, tapi ada sedikit keresahan yang muncul sejak semalam.Walaupun begitu, ia berusaha baik-baik saja di depan Kai karena tidak ingin membuat suaminya khawatir. Hanya saja usahanya digoyahkan dengan apa yang ia dapati pagi ini.“Sayang.” Panggilan Kai diiringi ketukan di pintu kamar mandi. “Tumben lama? Kamu nggak pingsan, kan?”“Nggak, kok.” Gema suaranya menyamarkan su
“Sayang, kamu belum mau liat-liat baju buat si Kakak?”Pertanyaan Kai membuat Kristal yang tadinya sedang melihat website Sephora untuk request makeuppada Hafi, jadi terhenti karenanya. “Baru tiga bulan, Mas.”“Iya, sih.” Kai mengangguk pelan. “Tapi kayaknya lucu nggak, sih, kalau kita mulai cicil baju bayi?”Kristal terkekeh pelan dan meninggalkan iPad Kai yang tadinya ia pinjam di atas meja.“Mas, baju bayi tuh kepakenya cuma sebentar, lho. Kan, makin lama dia makin gede. Kalau kita beli dari sekarang, nanti yang ada pas Kakak baru lahir, stok bajunya udah hampir setengah baju kita.”Kai yang baru sadar setelah mendengar ucapan Kristal langsung terkekeh malu. Ia menggaruk tengkuknya ya