“Sebentar…. Di mana pengantinnya?”
Renjana menatap ke sekeliling ballroom tempat resepsi pernikahan sahabatnya tengah berlangsung. Senyum manis terbit di wajahnya, membuat Aiden yang ada di sebelahnya terpana walau Renjana tak mengetahuinya. Tapi senyum itu sirna saat ia menyadari kalau sahabatnya tak ada di mana pun.
“Aku titip Lana dulu ya.” Renjana menoleh pada Aiden yang heran dengan kepanikan istrinya itu. “Aku mau cari Kristal dulu.”
“Oke.” Aiden tahu kalau Renjana saat ini mengkhawatirkan Kristal dan ia pun membiarkannya.
Untungnya Renjana sudah terbiasa memakai stiletto dan gaun sepanjang ini, jadi ia bisa melangkah dengan bebas tanpa perlu khawatir tersandung gaunnya.
Ke mana Kristal? batin Renjana yang mulai khawatir.
“Jana!”
Panggilan itu membuat Renjana menoleh dan mendapati Hafi menghampirinya dengan raut wajah bingung. “Ngapain kamu mondar-mandir?”
Renjana melihat ke sekelilingnya, di mana para tamu berangsur pergi meninggalkan ballroom karena tepat lima menit yang lalu, resepsi telah berakhir. Setelah memastikan posisi mereka jauh dari kerumunan orang, Renjana berbisik pada Hafi.
“Tata hilang.” Renjana menyebut nama sahabatnya dengan panggilan akrab mereka, Tata.
“Hah?” Hafi tak bisa menahan suaranya. Kali ini ia menatap ke sekelilingnya dan mulai melakukan hal yang sejak tadi Renjana lakukan, mencari Kristal. “Tadi bukannya dia duduk di belakang?”
Yang di maksud adalah bagian belakang ballroom yang luasnya sepertiga ballroom tersebut dan berfungsi sebagai ruang istirahat untuk keluarga mempelai jika tak ingin bergabung di ballroom.
“Kupikir juga begitu.” Renjana menggigit bibir bawahnya sebelum kembali melanjutkan, “Tapi pas tadi setelah sesi foto keluarga selesai, dia kelihatan… aneh. Makanya pas dia ke belakang, aku mau ngecek keadaannya tapi Kristal keburu menghilang.”
Hafi menggeleng tak percaya. “Apa ini… karena hubungannya dengan Kai?”
“Mungkin, aku nggak tahu.” Renjana meraih ponsel dari dalam clutch-nya dan menelepon Kristal sambil menatap Hafi yang kini ikut cemas. “Kai juga nggak ada di mana-mana, aku udah nyari-nyari tapi nggak ketemu juga.”
“Dan mereka nggak mungkin pergi bareng.” Hafi tahu kalau tak ada yang baik-baik saja dari hubungan Kai dan Kristal, tapi ia lebih tidak tahu lagi kenapa juga Kristal masih mau menikah dengannya.
“Exactly.” Renjana berdecak tak sabar saat panggilannya tak kunjung diangkat. Sampai akhirnya panggilan itu terputus, Renjana hanya bisa mendesah pelan sambil menatap sahabatnya. “Nggak diangkat sama Tata, Fi.”
“Kuharap dia baik-baik aja… kalau nggak, mungkin aku akan membunuh suaminya itu tanpa ragu.” Hafi memijit pelipisnya, khawatir akan keadaan Kristal. “Kenapa sahabat-sahabatku menikah dengan lelaki yang menolak perasaan mereka mentah-mentah, sih?”
Renjana hanya bisa meringis mendengar gumaman Hafi, tahu kalau apa yang dikatakan Hafi adalah benar. Entah bagaimana ia dan Kristal bisa sama-sama semengenaskan ini.
Yang tidak diketahui Renjana dan Hafi adalah Kristal yang sedari tadi mereka cari, sudah meninggalkan Four Seasons tempat resepsinya digelar.
***
Pengantin mana yang menyetir mobilnya sendiri masih dengan memakai gaun pengantinnya dan air mata yang berderai?
“Cuma aku sepertinya.” Kristal menjawab pertanyaannya sendiri dengan getir. Ia mencoba menghapus air matanya dengan punggung tangan.
“Ah, ada untungnya juga riasan ini waterproof.” Kristal menatap punggung tangannya yang masih tetap bersih, tak ada bekas maskara sedikit pun.
Riasan pengantin yang menggunakan makeup waterproof biasanya dikarenakan adanya tangis haru dan bahagia, bukan tangisan sedih seperti yang ia alami saat ini.
Ponsel yang ia letakkan di dasbor mobilnya kembali berdering. Kristal meliriknya selama beberapa detik kemudian memutuskan untuk tak mengangkatnya. Ia tak akan bisa menahan tangisnya jika menjawab panggilan Renjana saat ini juga.
“Kenapa juga aku menikahi lelaki itu?” gumam Kristal sambil tancap gas saat lampu lalu lintas berubah merah dan ruas jalan yang ia lalui untungnya tak seramai hari kerja.
“Kenapa juga aku menikah dengan orang yang meninggalkanku di resepsi hanya untuk mabuk dan mengenang perempuan lain?”
Kalau ia pikir-pikir, nasibnya saat ini tak terlalu beda dengan Renjana dulu. Yang membedakan adalah ia masih bisa menemukan lelaki yang berstatus suaminya itu dan tidak ada yang menyadari kalau suaminya pergi lebih dulu dari resepsi mereka.
Kalau saja bukan karena Rangga, asisten pribadi Kai, yang memberitahunya kalau ia mengantar tuannya itu ke rumah mereka di Pondok Indah, Kristal tidak akan tahu kalau ia ditinggal sendirian di resepsi pernikahan itu.
Tin!
Kristal mengklakson satpam rumah itu sekali dan pagar langsung terbuka dengan otomatis. Ini ketiga kalinya ia datang ke sini, ke rumah mereka. Rumah yang akan ia dan Kai tempati setelah resmi menyandang status sebagai suami-istri.
“Malam, Bu Kristal.”
Sapaan itu sebenarnya mengejutkan Kristal yang baru turun dari mobilnya. “Malam,” jawabanya dengan kaku. “Kai… gimana keadaannya?”
Kalau ada kompetisi wajah tanpa ekspresi, Kristal tak akan ragu untuk memenangkan Rangga. Karena lelaki itu bahkan tak mengernyitkan kening saat mendapati Kristal masih mengenakan gaun dari Vera Wang.
“Sekarang sudah agak lebih baik, Tuan Kai sudah di kamarnya.”
“Baiklah.” Kristal mengunci mobilnya. “Kamu bisa pulang dan beristirahat. Terima kasih untuk bantuanmu hari ini.”
Tanpa kata-kata, Rangga pamit pada Kristal dan perempuan itu melangkah masuk ke rumah megah yang merupakan rumah pengantin baru yang dipilih secara asal oleh Kai. Mereka tak pernah benar-benar merundingkan rumah seperti apa yang ingin mereka tinggali setelah menikah.
“Kai,” panggil Kristal saat memasuki rumah yang tampak lengang tersebut. Tak ada yang menjawab panggilannya, Kristal akhirnya menuju lantai dua di mana kamar mereka berada.
Dengan lelah, Kristal melepas high heels-nya dan mengangkat gaunnya agar tak tersandung saat menaiki anak tangga. Di lantai dua terdapat kamarnya dan kamar Kai, mereka berdua sepakat untuk tinggal di kamar yang berbeda.
Bukan sepakat sebenarnya, batin Kristal sembari mengingat lagi kesepakatannya dengan Kai. Kai yang lebih dulu mengatakan kalau ‘sebaiknya’ kami menempati kamar yang berbeda untuk menghargai privasi masing-masing.
“Kai,” panggil Kristal lagi sambil mengetuk pintu dengan perlahan. Tak mendapati jawaban dari dalam, Kristal memutuskan untuk membuka pintu kamar Kai dengan perlahan.
Kristal tak menahan dirinya untuk tak menghela napas saat melihat kondisi Kai. Aroma alkohol yang kuat tercium dari tubuh Kai. Kristal pun mendekat, mengamati tubuh Kai yang berbaring di ranjangnya dengan pakaian yang ia kenakan di resepsi pernikahan mereka tadi.
Dari gerakan naik-turun dadanya yang teratur, Kristal tahu kalau Kai saat ini sudah tertidur. Selama di resepsi tadi, ia memang melihat kerap kali Kai meminum wine yang disajikan para pramusaji selama mereka mingle dengan para tamu.
Tapi ia tidak tahu kalau Kai akan membuat dirinya semabuk ini.
“Apa begini caranya kamu menghindari mimpi burukmu yang jadi kenyataan?” Kristal bertanya sedih sambil mengusap kening Kai.
Tahu tak akan ada yang menjawab, Kristal pun keluar dari kamar Kai dan masuk ke kamarnya sendiri yang terletak di sayap kiri lantai dua rumah itu, berseberangan dengan kamar Kai yang ada di sayap kanan.
Sambil melepas gaun pernikahannya, Kristal menatap pantulan dirinya di cermin.
Selamat datang di babak baru kehidupan, Kristal… di pernikahan dengan suami yang memilih untuk mabuk dibanding pulang bersama ke rumah baru kalian.
“Cessa….”Kristal yang telah berganti baju dan memutuskan untuk kembali melihat keadaan Kai, terpaku di tempatnya saat mendengar gumaman Kai yang menyebut nama perempuan lain.“It’s okay, Ta,” gumamnya pada diri sendiri. “Kamu harusnya tahu kalau hal ini lambat laun akan terjadi.”Walau ia jelas tidak pernah menyangka akan mendengarnya di hari pertama pernikahan mereka. Tapi bukannya gentar atau marah, Kristal justru tetap masuk ke dalam kamar Kai.Ia menaruh segelas air mineral dan obat yang mungkin dibutuhkan Kai saat bangun nanti. Setelahnya, dengan cepat ia menyelimuti tubuh Kai yang mulai mengigil karena AC kamarnya sudah mulai dingin.Saat selesai menarik selimut berwarna biru itu hingga sedada Kai, Kristal memuaskan keinginannya untuk menatap wajah Kai dari dekat dan dengan berhati-hati, ia merapikan rambut Kai yang agak berantakan.“Aku nggak tahu kapan lagi aku bisa menatap kamu sedekat ini dan bahkan bisa menyentuh rambut kamu.” Senyum sedih itu kembali muncul di wajah Krist
“Kai, ini Cessa. Kamu… benar sudah menikah?”Kristal terpaku mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan suara yang terdengar begitu sendu tersebut. Walau ia tak pernah menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan sosok bernama Princessa Karenina Azari tersebut, tapi Kristal tidak akan pernah lupa bagaimana suara perempuan yang selalu ada di mimpi-mimpi Kai.“Maaf.” Kristal berusaha setenang mungkin saat menjawab pertanyaan Cessa. “Ini bukan Kai.”Tak mungkin juga rasanya kalau Kristal mengatakan Kai sedang tertidur karena mabuk. Hal itu hanya akan membuat Cessa tahu kalau pernikahannya dengan Kai tak benar-benar sebuah pernikahan.Pernikahan macam apa yang suaminya meninggalkan istrinya mabuk dan kemudian tidur di malam pertama mereka?Klik.Saat mendengar bunyi itu, Kristal langsung menjauhkan ponsel Kai dari telinganya dan layar ponsel canggih itu menampilkan notifikasi kalau panggilan Cessa sudah berakhir.Kristal pun memilih untuk menaruh ponsel Kai di atas nakas yang terletak di sam
“Aku tahu harusnya aku lebih kreatif lagi kalau mau bertanya. Tapi… are you okay, Ta?”Kristal tak bisa menahan tawanya mendengar sapaan Renjana pagi itu. Ia baru saja selesai mandi dan berganti pakaian saat ponselnya berdering menandakan panggilan masuk dari Renjana.“Aku baik-baik aja kok, Jan.”Setidaknya untuk saat ini, tambah Kristal dalam hatinya.“Beneran?”“Iyaaa.” Kristal kembali tertawa. “I’m okay, Jan. Jangan terlalu khawatirin aku.”“Gimana aku nggak khawatir kalau kemarin kamu hilang begitu aja?”Kristal langsung terdiam saat mendengar pertanyaan tersebut. Ia memang berhasil mengelabui orangtuanya, yang juga menganggap kalau ia dan Kai sudah tak sabar untuk segera pulang. Tapi hanya Hafi dan Renjana yang tahu alasan kepergiannya dan Kai yang lebih cepat, dan semuanya jadi tidak sesederhana itu.“I’m okay, Jan, really.” Kristal mencoba meyakinkannya lagi. “How about you? Kulihat-lihat kamu sama Aiden udah ada di zona damai nih.”“Ih, Tataaa, jangan mengalihkan pembicaraan.
Kai bukanlah orang yang antipati terhadap hal bernama pernikahan. Sejujurnya, ia menghargai sebuah pernikahan dan dulunya, ia memimpikan pernikahan yang bahagia.Jelas bukan yang seperti ini.“Pagi, Den.”Kai mengangguk singkat pada Mbak Jia yang menyambutnya saat ia masuk ke ruang makan. Lelaki yang hari ini mengenakan setelan jas biru dongker dari Zegna tersebut mengamati ke sekelilingnya.Seperti mengetahui pikiran Kai, perempuan paruh baya itu kembali bicara, “Non Kristal baru aja berangkat ke kantor, Pak.”“Oh, baguslah.” Kali ini Kai menghela napas dengan lega sambil membalik piringnya dan menuang nasi goreng tanpa kecap yang dimasakkan oleh Mbak Jia.Mbak Jia yang tahu kalau hubungan suami-istri itu tak sebaik yang orang kira, menahan diri untuk tidak menghela napas kecewa dan berlalu ke dapur.Saat suapan kelima sarapannya, Kai mendengar langkah kaki yang teratur menuju ke arahnya. Sudah bersama Rangga sejak ia tahun ketiga kuliah S1 membuat Kai hafal sekali dengan ritme langk
“Aku nggak mau.”“Kristal, jangan bikin kepala Abang mau pecah,” tegur Galileo Panjaitan sambil memijit pelipisnya. “Mertuamu sendiri yang minta.”Kristal menahan diri untuk tidak mendengus atau menggembungkan pipinya karena kesal di hadapan seniornya yang biasa dipanggil Bang Leo oleh para partner di firmanya.“Tapi nggak mungkin juga aku langsung keluar dari sini,” tolak Kristal untuk ke sekian kalinya.Sejak mertuanya meminta ia pindah untuk bekerja di perusahaan Kai, Kristal tidak mengiakan dan berujung pada teror yang diterima Bang Leo dari ayah mertuanya.“Ya, aku juga nggak rela kamu keluar.” Bang Leo mengemukakan pendapatnya. “Jujur aja, kamu salah satu partner yang terbaik yang aku punya di sini. Dan menyerahkan kamu untuk jadi legal officer di perusahaan suamimu, bukan hal yang mudah untukku.”“Bang Leo setuju untuk mengeluarkan aku dari sini?” tanya Kristal pelan. Ia suka bekerja di GPP sekalipun kadang jam kerjanya jadi sangat tidak manusiawi ketika menghadapi kasus yang c
“Aku di… kantor Kai.”“Huh? Kantor Kai? Yang mana?”Kristal ingin terkekeh mendengar pertanyaan polos Renjana. Big Screen—nama PH keluarga Kai memang bukan satu-satunya perusahaan Kai yang ia pimpin. Tapi masih ada perusahaan lain yang lelaki bangun sendiri dari nol dan Renjana tahu itu.“Big Screen.” Kristal menyebut nama PH Kai yang kantornya terletak di daerah Sudirman, masih satu gedung dengan perusahaan Kai yang lain sebenarnya.“Oh, yang di daerah Sudirman ya.” Renjana langsung mengingatnya. “Tumben kamu ke sana? Kamu mau casting jadi pemain film?”“Nggaklah.” Kristal menggeleng pelan mendengar ide sahabatnya itu. “It’s a long story. Kenapa kamu nanya aku di mana?”“Ketemu, yuk.”“Oh, boleh.” Kristal baru saja ingin mengajukan restoran favorit mereka sebagai tempat pertemuan saat sadar pekerjaannya masih banyak. “Tapi pekerjaanku masih banyak.”“Ya udah, aku ke sana ya.”“E-eh, jangan—”Terlambat. Karena setelahnya Renjana sudah lebih dulu mengakhiri sambungan telepon dan Krista
Renjana hanya berada di kantor baru Kristal selama dua puluh menit. Setelahnya, ia kembali ke kantornya lagi. Renjana hanya ingin memastikan kalau Kristal baik-baik saja dan Kristal sangat menghargainya.“Kamu tahu kan kalau kamu bisa ngomong apa pun sama aku?” pesan Renjana seraya mencium kedua pipi Kristal dan memeluknya singkat sebelum akhirnya berlalu dari MAXX Coffee.Setelah Renjana kembali ke kantornya, Kristal pun kembali naik ke atas dan melanjutkan membaca dokumen-dokumen sesuai dengan sisa waktu yang ia miliki. Beruntung saat ia selesai membaca lembar terakhir, bertepatan dengan Shiana yang memanggilnya ke ruangannya.“Sudah selesai?” tanya Shiana dengan senyum meremehkan yang tak pernah lepas di wajahnya setiap kali bicara dengan Kristal.Perempuan itu mencoba untuk bersabar dan mengabaikannya. “Sudah. Kita bisa bahas sekarang.”Setengah jam berikutnya, Kristal sudah memaparkan pandangannya mengenai perkembangan legal di perusahaan Kai. Selama lima tahun terakhir Big Scree
Kristal memasuki rumah mewah berlantai dua tersebut dengan lelah. Padahal ia biasa datang ke banyak tempat dalam satu hari. Tapi tenaganya sama terkurasnya karena emosinya benar-benar diuji hari ini.“Malam, Non,” sapa Mbak Jia begitu Kristal merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah. “Mau makan malam sekarang? Atau setelah mandi?”Kristal menggeleng pelan. Walaupun lelah, rasanya ia sudah tak punya tenaga untuk makan. “Nggak usah, Mbak. Saya lagi nggak pengen makan.”“Tapi, Non—”“Nggak apa-apa kok, Mbak,” tukas Kristal lagi. “Mbak Jia istirahat aja, kalaupun nanti saya lapar, biar saya masak sendiri.”Mbak Jia melihat Kristal dengan ragu, namun pada akhirnya mengangguk. “Panggil saya aja ya, Mbak, kalau mau makan nanti.”Kristal mengiakan dengan gumaman pelan, kemudian membiarkan Mbak Jia berlalu menuju kamarnya yang tak jauh dari dapur.Biasanya begitu sampai rumah, Kristal akan mandi lalu makan malam sendiri, kemudian ke kamarnya dan berdiam di sana sampai tidur. Namun, kali ini ia