Share

BAB 4 - Istri Bayangan

“Aku tahu harusnya aku lebih kreatif lagi kalau mau bertanya. Tapi… are you okay, Ta?”

Kristal tak bisa menahan tawanya mendengar sapaan Renjana pagi itu. Ia baru saja selesai mandi dan berganti pakaian saat ponselnya berdering menandakan panggilan masuk dari Renjana.

“Aku baik-baik aja kok, Jan.”

Setidaknya untuk saat ini, tambah Kristal dalam hatinya.

“Beneran?”

“Iyaaa.” Kristal kembali tertawa. “I’m okay, Jan. Jangan terlalu khawatirin aku.”

“Gimana aku nggak khawatir kalau kemarin kamu hilang begitu aja?”

Kristal langsung terdiam saat mendengar pertanyaan tersebut. Ia memang berhasil mengelabui orangtuanya, yang juga menganggap kalau ia dan Kai sudah tak sabar untuk segera pulang. Tapi hanya Hafi dan Renjana yang tahu alasan kepergiannya dan Kai yang lebih cepat, dan semuanya jadi tidak sesederhana itu.

“I’m okay, Jan, really.” Kristal mencoba meyakinkannya lagi. “How about you? Kulihat-lihat kamu sama Aiden udah ada di zona damai nih.”

“Ih, Tataaa, jangan mengalihkan pembicaraan.”

Kristal terkekeh mendengar gerutuan Renjana. “Aku bukannya mengalihkan pembicaraan, tapi ya memang ingin tahu.”

Renjana terdiam selama beberapa saat sampai Kristal sempat mengira kalau sahabatnya itu tak ingin membicarakannya. “Well….” Renjana akhirnya bersuara kembali. “We’re good. Aiden mulai… apa ya? Baik, perhatian sama Kelana juga.”

“Syukurlah.” Kristal tak bisa menahan dirinya untuk tersenyum. “Aku yakin, suatu saat pernikahanmu masih bisa diselamatkan walaupun Aiden memang seringnya sebrengsek itu. Dan aku senang karena kamu bahagia.”

“Aku juga berharap kamu bisa bahagia dengan pernikahanmu, Ta.” Ucapan Renjana membuat senyum miris terbit di wajah pucat Kristal. “I do really mean it. Kamu pantas untuk bahagia.”

“Thank you, Jan.” Rasanya kalau Renjana ada di hadapannya, Kristal langsung ingin memeluknya.

“Sama-sama. Ya udah, jangan lupa sarapan, ya.”

“You too.”

Setelah mengakhiri panggilan tersebut, Kristal memutuskan untuk keluar kamar dan beranjak menuju ruang makan. Karena ruang makan masih lengang, Kristal pun ke dapur dan menemukan ART yang sejak awal dipekerjakan oleh Kai sedang memasak menu sarapan mereka.

“Pagi, Mbak,” sapa Kristal pada sosok perempuan yang usianya sekitar pertengahan empat puluhan.

“Pagi, Non,” jawab Mbak Jia dengan senyum ramahnya. “Sebentar lagi selesai kok, Non, masakannya. Non Kristal tunggu di ruang makan aja.”

“Ah, nggak apa-apa,” tolak Kristal dengan halus. Lagipula untuk apa juga ia duduk sendirian di ruang makan yang luas namun terkesan hampa tersebut. “Ini yang udah selesai, aku bawain ke ruang makan ya, Mbak.”

“I-iya, Non. Duh, Non Kristal jadi repot-repot ini.”

“Ah, nggak kok. Tenang aja, Mbak.”

Walaupun keluarganya merupakan salah satu old money di Indonesia dan hampir semua orang mengatakan kalau ia terlahir dengan sendok emas di mulutnya, Kristal tak pernah merasa perlu diistimewakan ketika bersama orang lain.

Sosoknya yang low profile inilah yang membuat banyak lelaki di luar sana sejak dulu semakin menyukainya, tapi pengecualian untuk Kai.

Berpikir tentang Kai, Kristal jadi teringat kalau sosok Kai belum terlihat di mana-mana.

Apa dia masih tidur? tanya Kristal yang masih menimbang apakah ia harus mengecek keadaan Kai atau tidak.

“Makanannya udah siap semua ya, Non.”

“O-oh.” Kristal tergagap kaget. “Iya, makasih ya, Mbak.”

Setelah Mbak Jia berlalu ke dapur, Kristal akhirnya memutuskan untuk naik kembali ke lantai dua. Ia melangkah ragu menuju kamar Kai. Sesampainya di depan pintu kamar Kai, Kristal mengetuk pintu kamar Kai dengan pelan.

“Kai,” panggil Kristal setelah beberapa saat tak ada tanggapan. “Sarapannya udah siap.”

Masih tidak ada tanggapan.

Kristal mencoba menguatkan dirinya dahulu sebelum akhirnya meraih kenop pintu dan membuka pintu kamar Kai.

Tirai jendelanya masih tertutup rapat, sama seperti semalam ketika Kristal meninggalkannya. Kristal pun beralih pada sosok Kai yang masih bergelung di selimutnya.

Dengan mencoba untuk tak bersuara, Kristal melangkah masuk dan mulai membuka tirai agar sinar matahari bisa masuk.

“Ngh….”

Kristal langsung berbalik saat mendengar geraman pelan dari arah ranjang. Kai yang masih mengenakan kemejanya semalam, kini tengah mengerjapkan matanya dan mengaduh pelan sambil memijit pelipisnya.

Are you okay?” Kristal langsung mendekat ke arah ranjang.

Stop.” Walaupun Kai masih memejamkan matanya, ia seperti tahu kalau Kristal sudah akan mendekatinya. “Ngapain kamu di kamar saya?”

Kristal sudah mengenal dengan sangat baik bagaimana dinginnya Kai terhadapnya, dan pagi ini bukanlah pengecualian.

“Aku cuma mau ngasih tahu kamu kalau sarapan udah siap.” Perempuan itu berdiri canggung di tengah-tengah kamar Kai.

“Aku akan sarapan kalau kamu udah nggak ada lagi di rumah ini.”

Walaupun Kristal sudah sering mendengar hal-hal menyakitkan langsung dari mulut Kai, bukan berarti kalau ia sudah kebal akan hal tersebut.

“Oke. Aku nggak mau kamu sakit….”

Kai hanya mendengus sambil berusaha bangkit dari posisi berbaringnya untuk duduk bersandar di kepala ranjang. Kristal ingin sekali membantunya, namun mengingat reaksi Kai, ia memilih untuk keluar dari kamar Kai.

Sementara Kai tengah memulihkan kesadarannya dan meredakan sakit kepala yang menyerangnya, Kristal memutuskan untuk mengambil tasnya dan berganti baju.

Kristal tahu kalau Kai selalu serius akan setiap ucapannya. Kai mengatakan ia akan menikahi Kristal hanya untuk balas budi dan lelaki itu benar-benar melakukannya. Jadi, ketika Kai mengatakan kalau ia tidak akan makan selama Kristal masih di rumah ini, Kristal tahu kalau ia harus segera keluar.

Tidak perlu waktu lama untuknya berganti pakaian, Kristal segera turun dari lantai dua dan langsung bergegas ke garasi di mana mobilnya terparkir. Ia tak menoleh ke arah ruang makan untuk menangkap tatapan sedih dari Mbak Jia.

“Where will we go?” gumamnya sambil memanaskan mobil di garasi dan seraya menahan air matanya agar tak tumpah begitu saja.

Getar ponsel yang ia letakkan dengan asal di atas dasbor mengalihkan perhatiannya. Saat melihat kalau yang meneleponnya adalah ayah mertuanya, Kristal langsung menarik dan mengembuskan napasnya secara perlahan. Sebisa mungkin ia tak ingin suaranya bergetar karena emosi yang campur aduk itu dideteksi oleh sosok lelaki paruh baya yang kini merupakan mertuanya.

“Pagi, Pa,” sapa Kristal mencoba seceria mungkin. Awalnya ia enggan langsung memanggil ayah mertuanya dengan sebutan ‘Papa’ seperti Kai memanggilnya, tapi sejak mereka bertunangan, lelaki paruh baya itu terus mendesaknya.

“Pagi, Ta. Kamu sudah sarapan?”

“Udah, Pa,” dusta Kristal tanpa ragu. “Papa sudah sarapan?”

“Udah, kok. Oh iya, Papa kemarin-kemarin lupa bilang, Ta. Kamu mau nggak kerja di perusahaan Kai? Kebetulan tim legal mereka udah lama kekurangan orang yang cukup kompeten dan Papa rasa kamu bisa membina staf-staf legal di sana.”

Kristal tak langsung merespons. Menerima tawaran ayah mertuanya berarti menempatkan ia dan Kai dalam satu lingkungan kerja yang sama. Saat ini saja Kai tak mau keluar kamar jika ada dirinya, bagaimana bisa mereka bekerja di satu kantor yang sama?

“Ta?”

“E-eh, iya, Pa?” Kristal terkejut karena ternyata terlalu larut dalam pikirannya. “Biar aku… pikir-pikir dulu ya, Pa.”

Terdengar helaan napas sebelum ayah mertuanya mengiakan. “Oke, nanti kabarin Papa, ya. Aduh, maaf, lho, Ta, Papa udah ganggu pengantin baru sama kerjaan, hehehe.”

“Iya, Pa, santai aja. Tata nggak masalah, kok. Ng… tapi, Pa, kalau misalnya aku mengiakan untuk kerja di kantor Kai, bisa nggak, ya, kalau Papa nggak terang-terangan bilang aku ini istrinya Kai?”

Aku nggak mau Kai melihatku seakan-akan aku mau menyiksanya di kantor dan di rumah, lanjut Kristal dalam hatinya.

Walau tidak benar-benar menyetujui permintaan Kristal, lelaki itu pun memutuskan untuk setuju. “Oke, nanti Papa nggak akan bilang kalau kamu istrinya Kai.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status