“Aku tahu harusnya aku lebih kreatif lagi kalau mau bertanya. Tapi… are you okay, Ta?”
Kristal tak bisa menahan tawanya mendengar sapaan Renjana pagi itu. Ia baru saja selesai mandi dan berganti pakaian saat ponselnya berdering menandakan panggilan masuk dari Renjana.
“Aku baik-baik aja kok, Jan.”
Setidaknya untuk saat ini, tambah Kristal dalam hatinya.
“Beneran?”
“Iyaaa.” Kristal kembali tertawa. “I’m okay, Jan. Jangan terlalu khawatirin aku.”
“Gimana aku nggak khawatir kalau kemarin kamu hilang begitu aja?”
Kristal langsung terdiam saat mendengar pertanyaan tersebut. Ia memang berhasil mengelabui orangtuanya, yang juga menganggap kalau ia dan Kai sudah tak sabar untuk segera pulang. Tapi hanya Hafi dan Renjana yang tahu alasan kepergiannya dan Kai yang lebih cepat, dan semuanya jadi tidak sesederhana itu.
“I’m okay, Jan, really.” Kristal mencoba meyakinkannya lagi. “How about you? Kulihat-lihat kamu sama Aiden udah ada di zona damai nih.”
“Ih, Tataaa, jangan mengalihkan pembicaraan.”
Kristal terkekeh mendengar gerutuan Renjana. “Aku bukannya mengalihkan pembicaraan, tapi ya memang ingin tahu.”
Renjana terdiam selama beberapa saat sampai Kristal sempat mengira kalau sahabatnya itu tak ingin membicarakannya. “Well….” Renjana akhirnya bersuara kembali. “We’re good. Aiden mulai… apa ya? Baik, perhatian sama Kelana juga.”
“Syukurlah.” Kristal tak bisa menahan dirinya untuk tersenyum. “Aku yakin, suatu saat pernikahanmu masih bisa diselamatkan walaupun Aiden memang seringnya sebrengsek itu. Dan aku senang karena kamu bahagia.”
“Aku juga berharap kamu bisa bahagia dengan pernikahanmu, Ta.” Ucapan Renjana membuat senyum miris terbit di wajah pucat Kristal. “I do really mean it. Kamu pantas untuk bahagia.”
“Thank you, Jan.” Rasanya kalau Renjana ada di hadapannya, Kristal langsung ingin memeluknya.
“Sama-sama. Ya udah, jangan lupa sarapan, ya.”
“You too.”
Setelah mengakhiri panggilan tersebut, Kristal memutuskan untuk keluar kamar dan beranjak menuju ruang makan. Karena ruang makan masih lengang, Kristal pun ke dapur dan menemukan ART yang sejak awal dipekerjakan oleh Kai sedang memasak menu sarapan mereka.
“Pagi, Mbak,” sapa Kristal pada sosok perempuan yang usianya sekitar pertengahan empat puluhan.
“Pagi, Non,” jawab Mbak Jia dengan senyum ramahnya. “Sebentar lagi selesai kok, Non, masakannya. Non Kristal tunggu di ruang makan aja.”
“Ah, nggak apa-apa,” tolak Kristal dengan halus. Lagipula untuk apa juga ia duduk sendirian di ruang makan yang luas namun terkesan hampa tersebut. “Ini yang udah selesai, aku bawain ke ruang makan ya, Mbak.”
“I-iya, Non. Duh, Non Kristal jadi repot-repot ini.”
“Ah, nggak kok. Tenang aja, Mbak.”
Walaupun keluarganya merupakan salah satu old money di Indonesia dan hampir semua orang mengatakan kalau ia terlahir dengan sendok emas di mulutnya, Kristal tak pernah merasa perlu diistimewakan ketika bersama orang lain.
Sosoknya yang low profile inilah yang membuat banyak lelaki di luar sana sejak dulu semakin menyukainya, tapi pengecualian untuk Kai.
Berpikir tentang Kai, Kristal jadi teringat kalau sosok Kai belum terlihat di mana-mana.
Apa dia masih tidur? tanya Kristal yang masih menimbang apakah ia harus mengecek keadaan Kai atau tidak.
“Makanannya udah siap semua ya, Non.”
“O-oh.” Kristal tergagap kaget. “Iya, makasih ya, Mbak.”
Setelah Mbak Jia berlalu ke dapur, Kristal akhirnya memutuskan untuk naik kembali ke lantai dua. Ia melangkah ragu menuju kamar Kai. Sesampainya di depan pintu kamar Kai, Kristal mengetuk pintu kamar Kai dengan pelan.
“Kai,” panggil Kristal setelah beberapa saat tak ada tanggapan. “Sarapannya udah siap.”
Masih tidak ada tanggapan.
Kristal mencoba menguatkan dirinya dahulu sebelum akhirnya meraih kenop pintu dan membuka pintu kamar Kai.
Tirai jendelanya masih tertutup rapat, sama seperti semalam ketika Kristal meninggalkannya. Kristal pun beralih pada sosok Kai yang masih bergelung di selimutnya.
Dengan mencoba untuk tak bersuara, Kristal melangkah masuk dan mulai membuka tirai agar sinar matahari bisa masuk.
“Ngh….”
Kristal langsung berbalik saat mendengar geraman pelan dari arah ranjang. Kai yang masih mengenakan kemejanya semalam, kini tengah mengerjapkan matanya dan mengaduh pelan sambil memijit pelipisnya.
“Are you okay?” Kristal langsung mendekat ke arah ranjang.
“Stop.” Walaupun Kai masih memejamkan matanya, ia seperti tahu kalau Kristal sudah akan mendekatinya. “Ngapain kamu di kamar saya?”
Kristal sudah mengenal dengan sangat baik bagaimana dinginnya Kai terhadapnya, dan pagi ini bukanlah pengecualian.
“Aku cuma mau ngasih tahu kamu kalau sarapan udah siap.” Perempuan itu berdiri canggung di tengah-tengah kamar Kai.
“Aku akan sarapan kalau kamu udah nggak ada lagi di rumah ini.”
Walaupun Kristal sudah sering mendengar hal-hal menyakitkan langsung dari mulut Kai, bukan berarti kalau ia sudah kebal akan hal tersebut.
“Oke. Aku nggak mau kamu sakit….”
Kai hanya mendengus sambil berusaha bangkit dari posisi berbaringnya untuk duduk bersandar di kepala ranjang. Kristal ingin sekali membantunya, namun mengingat reaksi Kai, ia memilih untuk keluar dari kamar Kai.
Sementara Kai tengah memulihkan kesadarannya dan meredakan sakit kepala yang menyerangnya, Kristal memutuskan untuk mengambil tasnya dan berganti baju.
Kristal tahu kalau Kai selalu serius akan setiap ucapannya. Kai mengatakan ia akan menikahi Kristal hanya untuk balas budi dan lelaki itu benar-benar melakukannya. Jadi, ketika Kai mengatakan kalau ia tidak akan makan selama Kristal masih di rumah ini, Kristal tahu kalau ia harus segera keluar.
Tidak perlu waktu lama untuknya berganti pakaian, Kristal segera turun dari lantai dua dan langsung bergegas ke garasi di mana mobilnya terparkir. Ia tak menoleh ke arah ruang makan untuk menangkap tatapan sedih dari Mbak Jia.
“Where will we go?” gumamnya sambil memanaskan mobil di garasi dan seraya menahan air matanya agar tak tumpah begitu saja.
Getar ponsel yang ia letakkan dengan asal di atas dasbor mengalihkan perhatiannya. Saat melihat kalau yang meneleponnya adalah ayah mertuanya, Kristal langsung menarik dan mengembuskan napasnya secara perlahan. Sebisa mungkin ia tak ingin suaranya bergetar karena emosi yang campur aduk itu dideteksi oleh sosok lelaki paruh baya yang kini merupakan mertuanya.
“Pagi, Pa,” sapa Kristal mencoba seceria mungkin. Awalnya ia enggan langsung memanggil ayah mertuanya dengan sebutan ‘Papa’ seperti Kai memanggilnya, tapi sejak mereka bertunangan, lelaki paruh baya itu terus mendesaknya.
“Pagi, Ta. Kamu sudah sarapan?”
“Udah, Pa,” dusta Kristal tanpa ragu. “Papa sudah sarapan?”
“Udah, kok. Oh iya, Papa kemarin-kemarin lupa bilang, Ta. Kamu mau nggak kerja di perusahaan Kai? Kebetulan tim legal mereka udah lama kekurangan orang yang cukup kompeten dan Papa rasa kamu bisa membina staf-staf legal di sana.”
Kristal tak langsung merespons. Menerima tawaran ayah mertuanya berarti menempatkan ia dan Kai dalam satu lingkungan kerja yang sama. Saat ini saja Kai tak mau keluar kamar jika ada dirinya, bagaimana bisa mereka bekerja di satu kantor yang sama?
“Ta?”
“E-eh, iya, Pa?” Kristal terkejut karena ternyata terlalu larut dalam pikirannya. “Biar aku… pikir-pikir dulu ya, Pa.”
Terdengar helaan napas sebelum ayah mertuanya mengiakan. “Oke, nanti kabarin Papa, ya. Aduh, maaf, lho, Ta, Papa udah ganggu pengantin baru sama kerjaan, hehehe.”
“Iya, Pa, santai aja. Tata nggak masalah, kok. Ng… tapi, Pa, kalau misalnya aku mengiakan untuk kerja di kantor Kai, bisa nggak, ya, kalau Papa nggak terang-terangan bilang aku ini istrinya Kai?”
Aku nggak mau Kai melihatku seakan-akan aku mau menyiksanya di kantor dan di rumah, lanjut Kristal dalam hatinya.
Walau tidak benar-benar menyetujui permintaan Kristal, lelaki itu pun memutuskan untuk setuju. “Oke, nanti Papa nggak akan bilang kalau kamu istrinya Kai.”
Kai bukanlah orang yang antipati terhadap hal bernama pernikahan. Sejujurnya, ia menghargai sebuah pernikahan dan dulunya, ia memimpikan pernikahan yang bahagia.Jelas bukan yang seperti ini.“Pagi, Den.”Kai mengangguk singkat pada Mbak Jia yang menyambutnya saat ia masuk ke ruang makan. Lelaki yang hari ini mengenakan setelan jas biru dongker dari Zegna tersebut mengamati ke sekelilingnya.Seperti mengetahui pikiran Kai, perempuan paruh baya itu kembali bicara, “Non Kristal baru aja berangkat ke kantor, Pak.”“Oh, baguslah.” Kali ini Kai menghela napas dengan lega sambil membalik piringnya dan menuang nasi goreng tanpa kecap yang dimasakkan oleh Mbak Jia.Mbak Jia yang tahu kalau hubungan suami-istri itu tak sebaik yang orang kira, menahan diri untuk tidak menghela napas kecewa dan berlalu ke dapur.Saat suapan kelima sarapannya, Kai mendengar langkah kaki yang teratur menuju ke arahnya. Sudah bersama Rangga sejak ia tahun ketiga kuliah S1 membuat Kai hafal sekali dengan ritme langk
“Aku nggak mau.”“Kristal, jangan bikin kepala Abang mau pecah,” tegur Galileo Panjaitan sambil memijit pelipisnya. “Mertuamu sendiri yang minta.”Kristal menahan diri untuk tidak mendengus atau menggembungkan pipinya karena kesal di hadapan seniornya yang biasa dipanggil Bang Leo oleh para partner di firmanya.“Tapi nggak mungkin juga aku langsung keluar dari sini,” tolak Kristal untuk ke sekian kalinya.Sejak mertuanya meminta ia pindah untuk bekerja di perusahaan Kai, Kristal tidak mengiakan dan berujung pada teror yang diterima Bang Leo dari ayah mertuanya.“Ya, aku juga nggak rela kamu keluar.” Bang Leo mengemukakan pendapatnya. “Jujur aja, kamu salah satu partner yang terbaik yang aku punya di sini. Dan menyerahkan kamu untuk jadi legal officer di perusahaan suamimu, bukan hal yang mudah untukku.”“Bang Leo setuju untuk mengeluarkan aku dari sini?” tanya Kristal pelan. Ia suka bekerja di GPP sekalipun kadang jam kerjanya jadi sangat tidak manusiawi ketika menghadapi kasus yang c
“Aku di… kantor Kai.”“Huh? Kantor Kai? Yang mana?”Kristal ingin terkekeh mendengar pertanyaan polos Renjana. Big Screen—nama PH keluarga Kai memang bukan satu-satunya perusahaan Kai yang ia pimpin. Tapi masih ada perusahaan lain yang lelaki bangun sendiri dari nol dan Renjana tahu itu.“Big Screen.” Kristal menyebut nama PH Kai yang kantornya terletak di daerah Sudirman, masih satu gedung dengan perusahaan Kai yang lain sebenarnya.“Oh, yang di daerah Sudirman ya.” Renjana langsung mengingatnya. “Tumben kamu ke sana? Kamu mau casting jadi pemain film?”“Nggaklah.” Kristal menggeleng pelan mendengar ide sahabatnya itu. “It’s a long story. Kenapa kamu nanya aku di mana?”“Ketemu, yuk.”“Oh, boleh.” Kristal baru saja ingin mengajukan restoran favorit mereka sebagai tempat pertemuan saat sadar pekerjaannya masih banyak. “Tapi pekerjaanku masih banyak.”“Ya udah, aku ke sana ya.”“E-eh, jangan—”Terlambat. Karena setelahnya Renjana sudah lebih dulu mengakhiri sambungan telepon dan Krista
Renjana hanya berada di kantor baru Kristal selama dua puluh menit. Setelahnya, ia kembali ke kantornya lagi. Renjana hanya ingin memastikan kalau Kristal baik-baik saja dan Kristal sangat menghargainya.“Kamu tahu kan kalau kamu bisa ngomong apa pun sama aku?” pesan Renjana seraya mencium kedua pipi Kristal dan memeluknya singkat sebelum akhirnya berlalu dari MAXX Coffee.Setelah Renjana kembali ke kantornya, Kristal pun kembali naik ke atas dan melanjutkan membaca dokumen-dokumen sesuai dengan sisa waktu yang ia miliki. Beruntung saat ia selesai membaca lembar terakhir, bertepatan dengan Shiana yang memanggilnya ke ruangannya.“Sudah selesai?” tanya Shiana dengan senyum meremehkan yang tak pernah lepas di wajahnya setiap kali bicara dengan Kristal.Perempuan itu mencoba untuk bersabar dan mengabaikannya. “Sudah. Kita bisa bahas sekarang.”Setengah jam berikutnya, Kristal sudah memaparkan pandangannya mengenai perkembangan legal di perusahaan Kai. Selama lima tahun terakhir Big Scree
Kristal memasuki rumah mewah berlantai dua tersebut dengan lelah. Padahal ia biasa datang ke banyak tempat dalam satu hari. Tapi tenaganya sama terkurasnya karena emosinya benar-benar diuji hari ini.“Malam, Non,” sapa Mbak Jia begitu Kristal merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah. “Mau makan malam sekarang? Atau setelah mandi?”Kristal menggeleng pelan. Walaupun lelah, rasanya ia sudah tak punya tenaga untuk makan. “Nggak usah, Mbak. Saya lagi nggak pengen makan.”“Tapi, Non—”“Nggak apa-apa kok, Mbak,” tukas Kristal lagi. “Mbak Jia istirahat aja, kalaupun nanti saya lapar, biar saya masak sendiri.”Mbak Jia melihat Kristal dengan ragu, namun pada akhirnya mengangguk. “Panggil saya aja ya, Mbak, kalau mau makan nanti.”Kristal mengiakan dengan gumaman pelan, kemudian membiarkan Mbak Jia berlalu menuju kamarnya yang tak jauh dari dapur.Biasanya begitu sampai rumah, Kristal akan mandi lalu makan malam sendiri, kemudian ke kamarnya dan berdiam di sana sampai tidur. Namun, kali ini ia
Setelah satu bulan lebih hidup bersama, Kristal sudah hafal di luar kepala jam-jam kepulangan Kai. Mengingat mereka tadi bertemu di Big Screen, Kristal menebak lelaki itu akan pulang lebih malam dari biasanya.Kristal tahu sekali bagaimana tak sukanya Kai hingga lelaki itu sering sekali memilih untuk di luar rumah lebih lama dibanding di bawah satu atap yang sama dengannya.“Apa sih yang bisa kamu kerjakan dengan benar?” cecar Kai yang sepertinya menemukan kesempatan untuk meluapkan emosinya yang bertumpuk seharian ini.Walaupun Kristal benar-benar mencintai Kai hingga kadang terlihat seperti orang bodoh, sejak dulu Kristal juga yang selalu berani membalikkan kata-katanya di saat-saat tertentu.Sifatnya itulah yang selalu membuat Kai kesal.“Aku cuma masak makan malam,” jawab Kristal dengan kesal. Ia tak merasa berbuat salah.Memang dapur itu berantakan, tapi bukan berarti Kai bisa meneriakinya begitu saja. Kristal mungkin masih bisa menerima jika Kai hanya bicara dengan dingin atau m
“Kenapa kamu perlu bertindak seperti itu? Merasa terganggu karena mantan kekasihmu muncul di televisi?”Kai langsung mendelik tak suka mendengar pertanyaan blak-blakan dari Kristal.Tapi bukannya takut, Kristal justru kembali bicara seakan-akan tak ada yang bisa menghentikannya. “Kenapa kamu bereaksi seperti itu? Apa kalau kamu sangat mencintai perempuan itu, kamu tidak akan bisa move on selamanya?”“Sekarang mari kembalikan pertanyaan itu padamu,” tantang Kai yang jelas-jelas tak suka kalau Kristal bisa menang dalam perdebatan konyol ini. “Aku tahu kamu menyukaiku atau mungkin… mencintaiku?”Rasanya Kristal benar-benar ingin meninju wajah tampan Kai saat ini juga saat melihat senyum meledek di wajah adonisnya.“Kalau misalnya kita saat ini nggak menikah, kemudian kamu melihat berita tentangku yang jelas hidup baik-baik saja tanpa kamu di dalamnya, bagaimana reaksimu?”Kristal merapatkan bibirnya hingga membentuk garis lurus. Mungkin Kristal tak benar-benar mencintai Kai dengan membab
“Lesu banget?” tegur Bang Leo saat Cessa baru kembali ke kantor setelah menghadapi sidang kliennya pagi ini.Di kantor GPP, mereka mempunyai satu ruang istirahat yang cukup luas dengan meja yang cukup besar untuk menampung stok makanan dan bean bag yang tersebar di beberapa sudut.Daripada di pantry, pengacara-pengacara GPP lebih memilih untuk beristirahat di ruang istirahat kalau sedang suntuk. Begitulah yang dilakukan oleh Kristal siang itu.“Capek aja, Bang.”“Capek hati?”Pertanyaan Bang Leo membuat Kristal mengerucutkan bibirnya. Bang Leo tentu saja tak tahu mengenai kenyataan pernikahannya dengan Kai. Tapi tebakannya yang jitu tentu saja membuat Kristal merasa sebal.Bagaimana tidak, se