Share

BAB 3 - Yang Pertama Akan Selalu Diingat

“Kai, ini Cessa. Kamu… benar sudah menikah?”

Kristal terpaku mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan suara yang terdengar begitu sendu tersebut. Walau ia tak pernah menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan sosok bernama Princessa Karenina Azari tersebut, tapi Kristal tidak akan pernah lupa bagaimana suara perempuan yang selalu ada di mimpi-mimpi Kai.

“Maaf.” Kristal berusaha setenang mungkin saat menjawab pertanyaan Cessa. “Ini bukan Kai.”

Tak mungkin juga rasanya kalau Kristal mengatakan Kai sedang tertidur karena mabuk. Hal itu hanya akan membuat Cessa tahu kalau pernikahannya dengan Kai tak benar-benar sebuah pernikahan.

Pernikahan macam apa yang suaminya meninggalkan istrinya mabuk dan kemudian tidur di malam pertama mereka?

Klik.

Saat mendengar bunyi itu, Kristal langsung menjauhkan ponsel Kai dari telinganya dan layar ponsel canggih itu menampilkan notifikasi kalau panggilan Cessa sudah berakhir.

Kristal pun memilih untuk menaruh ponsel Kai di atas nakas yang terletak di samping ranjang Kai. Setelahnya, ia tak langsung beranjak dari kamar lelaki yang berstatus sebagai suaminya tersebut.

“Kenapa juga dia nelepon kamu?” tanya Kristal pada Kai yang tentu saja tak akan bisa menjawabnya karena yang masih terbangun dan sadar di kamar itu hanyalah Kristal.

Ingatannya tentu tak akan dengan mudah hilang ketika menyebut nama Cessa. Sejak mereka masih remaja ingusan, Kai dan Cessa adalah pasangan yang tidak terpisahkan.

Semua orang tahu kalau Kai dan Cessa akan berakhir bersama. Setidaknya sampai sebelum Cessa memutuskan Kai untuk mengejar impiannya berkarier di benua lain dan tidak siap untuk hubungan jarak jauh.

Kristal tidak butuh menyewa detektif untuk tahu mengenai kisah cinta Kai. Pada dasarnya, ia seperti penonton film kehidupan Kai. Lagipula berita mengenai hubungan Kai dan Cessa sebelumnya juga disorot oleh media karena Cessa yang berstatus sebagai model papan atas dan Kai yang merupakan direktur utama dari manajemen artis dan production house terbesar di Indonesia.

Ting.

Denting singkat yang terdengar dari ponsel Kai membuat Kristal kembali menatap ponsel suaminya itu, hanya untuk melihat pesan dari Cessa masuk.

Princess: Kai… kamu beneran udah menikah? How come? Telepon aku segera ya. Aku… kangen kamu.

“Bisa-bisanya dia nanyain status Kai dan bilang kangen sama Kai dalam waktu yang bersamaan?” geram Kristal kesal sambil menaruh ponsel Kai kembali ke atas nakas dengan kasar.

“Ngh….”

Tindakannya itu membuat Kai sepertinya terusik dalam tidurnya. Kristal langsung menoleh dengan panik saat melihat suaminya bergerak dalam tidurnya.

Mencoba untuk lebih berhati-hati, Kristal pun langsung beranjak meninggalkan kamar Kai tanpa suara sedikit pun.

“Dan nama perempuan itu masih ‘Princess’ di ponselnya,” keluh Kristal begitu ia sampai kembali di kamarnya.

Tentu saja ia tahu kalau nama kesayangan Kai untuk Cessa adalah penggalan dari namanya, Princess. Kai benar-benar memperlakukan Cessa seperti seorang putri.

Dering ponsel yang sedikit teredam membuat Kristal terperanjat kaget. Ia menoleh ke sekitar kamarnya dan menemukan ponselnya tertindih guling di atas ranjangnya. Saat menangkap nama Hafi sebagai peneleponnya, Kristal mencoba menenangkan dirinya lebih dulu sebelum menjawab panggilan sahabatnya itu.

“Ah… finally, kamu jawab teleponku juga,” gerutu Hafi begitu tahu teleponnya sudah dijawab oleh Kristal. “Where are you now?”

“Di rumahku—rumahku dan Kai,” ralat Kristal dengan cepat. “Maaf tadi aku pulang duluan dan nggak ngasih tahu kalian.”

Hafi terdiam sesaat, sepertinya mencoba mencerna situasi yang terbilang aneh ini. “Bodoh, sih, ya, kalau aku nanya ‘apa kamu nggak apa-apa?’. Jelas kamu kenapa-kenapa….”

Kristal meringis mendengar pernyataan Hafi. “Aku nggak apa-apa, kok, Fi.”

“Untuk ukuran temen yang temenan hampir separuh hidup kita, jawabanmu basi banget, Ta.” Hafi mendengus. “Do you need something? Sesuatu yang bisa memukul suamimu supaya sadar untuk nggak menyia-nyiakan kamu, misalnya?”

Satu hal yang membuat ia merasa cocok dan nyaman berteman dengan Renjana dan Hafi adalah sarkasme mereka saat bicara. Walaupun mungkin bagi orang awam omongan sahabatnya terdengar dingin, sebenarnya mereka hanya peduli dan sayang padanya dengan caranya sendiri.

No, yang kubutuhkan adalah tidur cantik setelah dipajang seharian,” gurau Kristal. “Kamu cuma punya besok untuk istirahat sebelum balik syuting di Penang kan? So don’t waste your time dan lebih baik kamu tidur juga sekarang.”

Okay then.” Walau terdengar ragu, akhirnya Hafi mengalah. Ia khawatir pada Kristal, tapi ia juga tak mau memaksanya bicara jika ia tak ingin bicara. “Just… call me in the morning, okay?”

Ck, dasar posesif.”

Hafi mengomel singkat sebelum akhirnya mengakhiri panggilan tersebut. Kristal pun memutuskan untuk membalas pesan yang ditinggalkan Renjana dan Hafi agar mereka berdua tak perlu khawatir padanya.

Aku yang menyetujui pernikahan ini lebih dulu, jadi seharusnya aku nggak merasa nggak baik-baik aja. Iyakan?

Kristal berusaha meyakinkan dirinya sendiri sembari mencoba untuk tidur. Setelah lampu kamar dimatikan dan hanya tersisa penerangan dari lampu tidur, Kristal berharap kantuk akan segera menyerangnya.

Namun, setelah beberapa saat ia hanya berguling tak jelas, akhirnya ia menyerah. Ia kembali membuka mata dan akhirnya meraih ponsel yang tadi ia letakkan di atas nakas.

Princessa Karenina Azari.

Kristal mencoba mencari informasi terbaru mengenai mantan kekasih Kai, dan hal pertama yang muncul di laman pencarian adalah berita yang baru ditayangkan kemarin.

Princessa Karenina Azari memutuskan untuk bergabung dengan STORM AGENCY yang berpusat di Amerika Serikat.

“Wow.” Tanpa bisa menahannya, Kristal berdecak kagum begitu mengetahui kalau Cessa bergabung di agensi ternama di Amerika Serikat, di mana semua modelnya minimal pernah tampil sekali di sampul Bazaar dan Vogue.

Hal itu tentu saja menggambarkan betapa selektifnya STORM ketika memilih talent yang mereka rekrut.

Dan mengetahui kalau ternyata Cessa akan pergi sejauh itu… mungkin saja hal itu yang membuat Kai merasa semakin frustasi.

“Sampai akhirnya dia mabuk di hari pernikahannya sendiri,” gumam Kristal sambil terkekeh pelan dan getir.

Begitu selesai membaca berita tersebut, Kristal langsung kembali menaruh ponselnya dan memilih untuk berbaring menyamping menghadap jendela kamarnya.

Air mata yang sejak tadi sudah berusaha ia hentikan ketika turun dari mobilnya, kini kembali mengalir dan ia sudah menyerah untuk menahannya. Mungkin menangis sekali lagi tak masalah, toh ia hanya sendiri dan tak perlu mengkhawatirkan orang lain yang juga akan khawatir saat melihatnya menangis.

Sampai saat ini Kristal tidak benar-benar tahu apakah sebenarnya keputusannya menyetujui perjodohan ini adalah hal yang tepat atau tidak. Namun, ketika ia mengingat lagi, yang membuatnya mengiakan perjodohan ini bukanlah faktor tepat atau tidak, tapi ‘ia ingin atau tidak’.

Mungkin ini terdengar egois. Kristal tahu kalau Kai tidak pernah membalas perasaannya, namun ia nekat untuk menikah dengannya.

Sekarang ia harus berjuang sendiri… ia berhasil mengikat Kai tapi tidak dengan hatinya.

Harusnya ia sadar sejak Kai menyematkan cincin pertunangan mereka dengan tatapan dinginnya.

Yang pertama akan selalu diingat, tapi tidak dengan yang selalu berharap tanpa pernah dilihat sama sekali.

Kristal akan selalu terlupakan begitu saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status