“Kai, ini Cessa. Kamu… benar sudah menikah?”
Kristal terpaku mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan suara yang terdengar begitu sendu tersebut. Walau ia tak pernah menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan sosok bernama Princessa Karenina Azari tersebut, tapi Kristal tidak akan pernah lupa bagaimana suara perempuan yang selalu ada di mimpi-mimpi Kai.
“Maaf.” Kristal berusaha setenang mungkin saat menjawab pertanyaan Cessa. “Ini bukan Kai.”
Tak mungkin juga rasanya kalau Kristal mengatakan Kai sedang tertidur karena mabuk. Hal itu hanya akan membuat Cessa tahu kalau pernikahannya dengan Kai tak benar-benar sebuah pernikahan.
Pernikahan macam apa yang suaminya meninggalkan istrinya mabuk dan kemudian tidur di malam pertama mereka?
Klik.
Saat mendengar bunyi itu, Kristal langsung menjauhkan ponsel Kai dari telinganya dan layar ponsel canggih itu menampilkan notifikasi kalau panggilan Cessa sudah berakhir.
Kristal pun memilih untuk menaruh ponsel Kai di atas nakas yang terletak di samping ranjang Kai. Setelahnya, ia tak langsung beranjak dari kamar lelaki yang berstatus sebagai suaminya tersebut.
“Kenapa juga dia nelepon kamu?” tanya Kristal pada Kai yang tentu saja tak akan bisa menjawabnya karena yang masih terbangun dan sadar di kamar itu hanyalah Kristal.
Ingatannya tentu tak akan dengan mudah hilang ketika menyebut nama Cessa. Sejak mereka masih remaja ingusan, Kai dan Cessa adalah pasangan yang tidak terpisahkan.
Semua orang tahu kalau Kai dan Cessa akan berakhir bersama. Setidaknya sampai sebelum Cessa memutuskan Kai untuk mengejar impiannya berkarier di benua lain dan tidak siap untuk hubungan jarak jauh.
Kristal tidak butuh menyewa detektif untuk tahu mengenai kisah cinta Kai. Pada dasarnya, ia seperti penonton film kehidupan Kai. Lagipula berita mengenai hubungan Kai dan Cessa sebelumnya juga disorot oleh media karena Cessa yang berstatus sebagai model papan atas dan Kai yang merupakan direktur utama dari manajemen artis dan production house terbesar di Indonesia.
Ting.
Denting singkat yang terdengar dari ponsel Kai membuat Kristal kembali menatap ponsel suaminya itu, hanya untuk melihat pesan dari Cessa masuk.
Princess: Kai… kamu beneran udah menikah? How come? Telepon aku segera ya. Aku… kangen kamu.
“Bisa-bisanya dia nanyain status Kai dan bilang kangen sama Kai dalam waktu yang bersamaan?” geram Kristal kesal sambil menaruh ponsel Kai kembali ke atas nakas dengan kasar.
“Ngh….”
Tindakannya itu membuat Kai sepertinya terusik dalam tidurnya. Kristal langsung menoleh dengan panik saat melihat suaminya bergerak dalam tidurnya.
Mencoba untuk lebih berhati-hati, Kristal pun langsung beranjak meninggalkan kamar Kai tanpa suara sedikit pun.
“Dan nama perempuan itu masih ‘Princess’ di ponselnya,” keluh Kristal begitu ia sampai kembali di kamarnya.
Tentu saja ia tahu kalau nama kesayangan Kai untuk Cessa adalah penggalan dari namanya, Princess. Kai benar-benar memperlakukan Cessa seperti seorang putri.
Dering ponsel yang sedikit teredam membuat Kristal terperanjat kaget. Ia menoleh ke sekitar kamarnya dan menemukan ponselnya tertindih guling di atas ranjangnya. Saat menangkap nama Hafi sebagai peneleponnya, Kristal mencoba menenangkan dirinya lebih dulu sebelum menjawab panggilan sahabatnya itu.
“Ah… finally, kamu jawab teleponku juga,” gerutu Hafi begitu tahu teleponnya sudah dijawab oleh Kristal. “Where are you now?”
“Di rumahku—rumahku dan Kai,” ralat Kristal dengan cepat. “Maaf tadi aku pulang duluan dan nggak ngasih tahu kalian.”
Hafi terdiam sesaat, sepertinya mencoba mencerna situasi yang terbilang aneh ini. “Bodoh, sih, ya, kalau aku nanya ‘apa kamu nggak apa-apa?’. Jelas kamu kenapa-kenapa….”
Kristal meringis mendengar pernyataan Hafi. “Aku nggak apa-apa, kok, Fi.”
“Untuk ukuran temen yang temenan hampir separuh hidup kita, jawabanmu basi banget, Ta.” Hafi mendengus. “Do you need something? Sesuatu yang bisa memukul suamimu supaya sadar untuk nggak menyia-nyiakan kamu, misalnya?”
Satu hal yang membuat ia merasa cocok dan nyaman berteman dengan Renjana dan Hafi adalah sarkasme mereka saat bicara. Walaupun mungkin bagi orang awam omongan sahabatnya terdengar dingin, sebenarnya mereka hanya peduli dan sayang padanya dengan caranya sendiri.
“No, yang kubutuhkan adalah tidur cantik setelah dipajang seharian,” gurau Kristal. “Kamu cuma punya besok untuk istirahat sebelum balik syuting di Penang kan? So don’t waste your time dan lebih baik kamu tidur juga sekarang.”
“Okay then.” Walau terdengar ragu, akhirnya Hafi mengalah. Ia khawatir pada Kristal, tapi ia juga tak mau memaksanya bicara jika ia tak ingin bicara. “Just… call me in the morning, okay?”
“Ck, dasar posesif.”
Hafi mengomel singkat sebelum akhirnya mengakhiri panggilan tersebut. Kristal pun memutuskan untuk membalas pesan yang ditinggalkan Renjana dan Hafi agar mereka berdua tak perlu khawatir padanya.
Aku yang menyetujui pernikahan ini lebih dulu, jadi seharusnya aku nggak merasa nggak baik-baik aja. Iyakan?
Kristal berusaha meyakinkan dirinya sendiri sembari mencoba untuk tidur. Setelah lampu kamar dimatikan dan hanya tersisa penerangan dari lampu tidur, Kristal berharap kantuk akan segera menyerangnya.
Namun, setelah beberapa saat ia hanya berguling tak jelas, akhirnya ia menyerah. Ia kembali membuka mata dan akhirnya meraih ponsel yang tadi ia letakkan di atas nakas.
Princessa Karenina Azari.
Kristal mencoba mencari informasi terbaru mengenai mantan kekasih Kai, dan hal pertama yang muncul di laman pencarian adalah berita yang baru ditayangkan kemarin.
Princessa Karenina Azari memutuskan untuk bergabung dengan STORM AGENCY yang berpusat di Amerika Serikat.
“Wow.” Tanpa bisa menahannya, Kristal berdecak kagum begitu mengetahui kalau Cessa bergabung di agensi ternama di Amerika Serikat, di mana semua modelnya minimal pernah tampil sekali di sampul Bazaar dan Vogue.
Hal itu tentu saja menggambarkan betapa selektifnya STORM ketika memilih talent yang mereka rekrut.
Dan mengetahui kalau ternyata Cessa akan pergi sejauh itu… mungkin saja hal itu yang membuat Kai merasa semakin frustasi.
“Sampai akhirnya dia mabuk di hari pernikahannya sendiri,” gumam Kristal sambil terkekeh pelan dan getir.
Begitu selesai membaca berita tersebut, Kristal langsung kembali menaruh ponselnya dan memilih untuk berbaring menyamping menghadap jendela kamarnya.
Air mata yang sejak tadi sudah berusaha ia hentikan ketika turun dari mobilnya, kini kembali mengalir dan ia sudah menyerah untuk menahannya. Mungkin menangis sekali lagi tak masalah, toh ia hanya sendiri dan tak perlu mengkhawatirkan orang lain yang juga akan khawatir saat melihatnya menangis.
Sampai saat ini Kristal tidak benar-benar tahu apakah sebenarnya keputusannya menyetujui perjodohan ini adalah hal yang tepat atau tidak. Namun, ketika ia mengingat lagi, yang membuatnya mengiakan perjodohan ini bukanlah faktor tepat atau tidak, tapi ‘ia ingin atau tidak’.
Mungkin ini terdengar egois. Kristal tahu kalau Kai tidak pernah membalas perasaannya, namun ia nekat untuk menikah dengannya.
Sekarang ia harus berjuang sendiri… ia berhasil mengikat Kai tapi tidak dengan hatinya.
Harusnya ia sadar sejak Kai menyematkan cincin pertunangan mereka dengan tatapan dinginnya.
Yang pertama akan selalu diingat, tapi tidak dengan yang selalu berharap tanpa pernah dilihat sama sekali.
Kristal akan selalu terlupakan begitu saja.
“Aku tahu harusnya aku lebih kreatif lagi kalau mau bertanya. Tapi… are you okay, Ta?”Kristal tak bisa menahan tawanya mendengar sapaan Renjana pagi itu. Ia baru saja selesai mandi dan berganti pakaian saat ponselnya berdering menandakan panggilan masuk dari Renjana.“Aku baik-baik aja kok, Jan.”Setidaknya untuk saat ini, tambah Kristal dalam hatinya.“Beneran?”“Iyaaa.” Kristal kembali tertawa. “I’m okay, Jan. Jangan terlalu khawatirin aku.”“Gimana aku nggak khawatir kalau kemarin kamu hilang begitu aja?”Kristal langsung terdiam saat mendengar pertanyaan tersebut. Ia memang berhasil mengelabui orangtuanya, yang juga menganggap kalau ia dan Kai sudah tak sabar untuk segera pulang. Tapi hanya Hafi dan Renjana yang tahu alasan kepergiannya dan Kai yang lebih cepat, dan semuanya jadi tidak sesederhana itu.“I’m okay, Jan, really.” Kristal mencoba meyakinkannya lagi. “How about you? Kulihat-lihat kamu sama Aiden udah ada di zona damai nih.”“Ih, Tataaa, jangan mengalihkan pembicaraan.
Kai bukanlah orang yang antipati terhadap hal bernama pernikahan. Sejujurnya, ia menghargai sebuah pernikahan dan dulunya, ia memimpikan pernikahan yang bahagia.Jelas bukan yang seperti ini.“Pagi, Den.”Kai mengangguk singkat pada Mbak Jia yang menyambutnya saat ia masuk ke ruang makan. Lelaki yang hari ini mengenakan setelan jas biru dongker dari Zegna tersebut mengamati ke sekelilingnya.Seperti mengetahui pikiran Kai, perempuan paruh baya itu kembali bicara, “Non Kristal baru aja berangkat ke kantor, Pak.”“Oh, baguslah.” Kali ini Kai menghela napas dengan lega sambil membalik piringnya dan menuang nasi goreng tanpa kecap yang dimasakkan oleh Mbak Jia.Mbak Jia yang tahu kalau hubungan suami-istri itu tak sebaik yang orang kira, menahan diri untuk tidak menghela napas kecewa dan berlalu ke dapur.Saat suapan kelima sarapannya, Kai mendengar langkah kaki yang teratur menuju ke arahnya. Sudah bersama Rangga sejak ia tahun ketiga kuliah S1 membuat Kai hafal sekali dengan ritme langk
“Aku nggak mau.”“Kristal, jangan bikin kepala Abang mau pecah,” tegur Galileo Panjaitan sambil memijit pelipisnya. “Mertuamu sendiri yang minta.”Kristal menahan diri untuk tidak mendengus atau menggembungkan pipinya karena kesal di hadapan seniornya yang biasa dipanggil Bang Leo oleh para partner di firmanya.“Tapi nggak mungkin juga aku langsung keluar dari sini,” tolak Kristal untuk ke sekian kalinya.Sejak mertuanya meminta ia pindah untuk bekerja di perusahaan Kai, Kristal tidak mengiakan dan berujung pada teror yang diterima Bang Leo dari ayah mertuanya.“Ya, aku juga nggak rela kamu keluar.” Bang Leo mengemukakan pendapatnya. “Jujur aja, kamu salah satu partner yang terbaik yang aku punya di sini. Dan menyerahkan kamu untuk jadi legal officer di perusahaan suamimu, bukan hal yang mudah untukku.”“Bang Leo setuju untuk mengeluarkan aku dari sini?” tanya Kristal pelan. Ia suka bekerja di GPP sekalipun kadang jam kerjanya jadi sangat tidak manusiawi ketika menghadapi kasus yang c
“Aku di… kantor Kai.”“Huh? Kantor Kai? Yang mana?”Kristal ingin terkekeh mendengar pertanyaan polos Renjana. Big Screen—nama PH keluarga Kai memang bukan satu-satunya perusahaan Kai yang ia pimpin. Tapi masih ada perusahaan lain yang lelaki bangun sendiri dari nol dan Renjana tahu itu.“Big Screen.” Kristal menyebut nama PH Kai yang kantornya terletak di daerah Sudirman, masih satu gedung dengan perusahaan Kai yang lain sebenarnya.“Oh, yang di daerah Sudirman ya.” Renjana langsung mengingatnya. “Tumben kamu ke sana? Kamu mau casting jadi pemain film?”“Nggaklah.” Kristal menggeleng pelan mendengar ide sahabatnya itu. “It’s a long story. Kenapa kamu nanya aku di mana?”“Ketemu, yuk.”“Oh, boleh.” Kristal baru saja ingin mengajukan restoran favorit mereka sebagai tempat pertemuan saat sadar pekerjaannya masih banyak. “Tapi pekerjaanku masih banyak.”“Ya udah, aku ke sana ya.”“E-eh, jangan—”Terlambat. Karena setelahnya Renjana sudah lebih dulu mengakhiri sambungan telepon dan Krista
Renjana hanya berada di kantor baru Kristal selama dua puluh menit. Setelahnya, ia kembali ke kantornya lagi. Renjana hanya ingin memastikan kalau Kristal baik-baik saja dan Kristal sangat menghargainya.“Kamu tahu kan kalau kamu bisa ngomong apa pun sama aku?” pesan Renjana seraya mencium kedua pipi Kristal dan memeluknya singkat sebelum akhirnya berlalu dari MAXX Coffee.Setelah Renjana kembali ke kantornya, Kristal pun kembali naik ke atas dan melanjutkan membaca dokumen-dokumen sesuai dengan sisa waktu yang ia miliki. Beruntung saat ia selesai membaca lembar terakhir, bertepatan dengan Shiana yang memanggilnya ke ruangannya.“Sudah selesai?” tanya Shiana dengan senyum meremehkan yang tak pernah lepas di wajahnya setiap kali bicara dengan Kristal.Perempuan itu mencoba untuk bersabar dan mengabaikannya. “Sudah. Kita bisa bahas sekarang.”Setengah jam berikutnya, Kristal sudah memaparkan pandangannya mengenai perkembangan legal di perusahaan Kai. Selama lima tahun terakhir Big Scree
Kristal memasuki rumah mewah berlantai dua tersebut dengan lelah. Padahal ia biasa datang ke banyak tempat dalam satu hari. Tapi tenaganya sama terkurasnya karena emosinya benar-benar diuji hari ini.“Malam, Non,” sapa Mbak Jia begitu Kristal merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah. “Mau makan malam sekarang? Atau setelah mandi?”Kristal menggeleng pelan. Walaupun lelah, rasanya ia sudah tak punya tenaga untuk makan. “Nggak usah, Mbak. Saya lagi nggak pengen makan.”“Tapi, Non—”“Nggak apa-apa kok, Mbak,” tukas Kristal lagi. “Mbak Jia istirahat aja, kalaupun nanti saya lapar, biar saya masak sendiri.”Mbak Jia melihat Kristal dengan ragu, namun pada akhirnya mengangguk. “Panggil saya aja ya, Mbak, kalau mau makan nanti.”Kristal mengiakan dengan gumaman pelan, kemudian membiarkan Mbak Jia berlalu menuju kamarnya yang tak jauh dari dapur.Biasanya begitu sampai rumah, Kristal akan mandi lalu makan malam sendiri, kemudian ke kamarnya dan berdiam di sana sampai tidur. Namun, kali ini ia
Setelah satu bulan lebih hidup bersama, Kristal sudah hafal di luar kepala jam-jam kepulangan Kai. Mengingat mereka tadi bertemu di Big Screen, Kristal menebak lelaki itu akan pulang lebih malam dari biasanya.Kristal tahu sekali bagaimana tak sukanya Kai hingga lelaki itu sering sekali memilih untuk di luar rumah lebih lama dibanding di bawah satu atap yang sama dengannya.“Apa sih yang bisa kamu kerjakan dengan benar?” cecar Kai yang sepertinya menemukan kesempatan untuk meluapkan emosinya yang bertumpuk seharian ini.Walaupun Kristal benar-benar mencintai Kai hingga kadang terlihat seperti orang bodoh, sejak dulu Kristal juga yang selalu berani membalikkan kata-katanya di saat-saat tertentu.Sifatnya itulah yang selalu membuat Kai kesal.“Aku cuma masak makan malam,” jawab Kristal dengan kesal. Ia tak merasa berbuat salah.Memang dapur itu berantakan, tapi bukan berarti Kai bisa meneriakinya begitu saja. Kristal mungkin masih bisa menerima jika Kai hanya bicara dengan dingin atau m
“Kenapa kamu perlu bertindak seperti itu? Merasa terganggu karena mantan kekasihmu muncul di televisi?”Kai langsung mendelik tak suka mendengar pertanyaan blak-blakan dari Kristal.Tapi bukannya takut, Kristal justru kembali bicara seakan-akan tak ada yang bisa menghentikannya. “Kenapa kamu bereaksi seperti itu? Apa kalau kamu sangat mencintai perempuan itu, kamu tidak akan bisa move on selamanya?”“Sekarang mari kembalikan pertanyaan itu padamu,” tantang Kai yang jelas-jelas tak suka kalau Kristal bisa menang dalam perdebatan konyol ini. “Aku tahu kamu menyukaiku atau mungkin… mencintaiku?”Rasanya Kristal benar-benar ingin meninju wajah tampan Kai saat ini juga saat melihat senyum meledek di wajah adonisnya.“Kalau misalnya kita saat ini nggak menikah, kemudian kamu melihat berita tentangku yang jelas hidup baik-baik saja tanpa kamu di dalamnya, bagaimana reaksimu?”Kristal merapatkan bibirnya hingga membentuk garis lurus. Mungkin Kristal tak benar-benar mencintai Kai dengan membab
“Menurut kamu, gimana filmnya?”Kristal menoleh pada Kai dan menatapnya dengan penuh perhitungan. “Kamu mau jawaban jujur atau bohong?”Kai menyeringai. “Jujur dong, Babe.”“Hm….” Kristal mengusap dagunya sembari berpikir. “Alur ceritanya agak membosankan, terlalu sering dijadiin formula film-film sejenis dan nggak ada twist apa-apa.“Perkembangan karakternya juga nol. Padahal film atau buku itu akan bener-bener seperti ‘film dan buku’ ketika karakternya berkembang—menurutku tapi ini, ya.“Kayaknya kalau bukan karena kamu yang ngajak, aku nggak bakal mau nonton, deh.”Kai
Kai menatap istrinya untuk waktu yang lama. Kristal bukannya tidak sadar kalau suaminya yang tengah duduk di tepi ranjang tengah mengamatinya yang kini sedang memoles wajahnya dengan riasan.“Kenapa, sih, Mas?” Akhirnya Kristal tidak tahan untuk angkat bicara. “Lipstikku menor banget, ya?”Kai tergelak seraya menggeleng. “Nggak, red looks so good on you.”Perempuan yang hari ini mengenakan atasan plisket berwarna biru langit dan midi skirt hitam tersebut menatap Kai dengan curiga. “Terus? Kok ngelihatin aku kayak gitu banget?”“Soalnya kamu cantik.”“Basi, Mas.”Kai kembali tertawa. Kristal yang sudah selesai pun beranjak ke ranjang dan duduk di sa
Kristal menatap deretan buku yang ada di ruang santai di lantai dua. Hari telah beranjak siang saat ia naik ke lantai atas untuk mengambil laptopnya dan mulai mengerjakan pekerjaannya.Akan tetapi, ia malah terdistraksi oleh rak buku yang penuh dengan buku anak-anak dan buku dongeng di ruang santai. Baru minggu lalu ia dan Kai membeli banyak buku di Gramedia dan Periplus untuk anak mereka.Menunda keinginannya untuk mengambil laptop, Kristal beralih pada ruang santai dan duduk di single sofa yang terletak di depan rak tersebut.Matanya mengamati deretan buku beraneka warna dan beraneka ukuran tersebut memenuhi rak buku mereka. Kristal dan Kai berharap anak mereka nanti akan suka membaca seperti mereka berdua.Kai
“Mas, makan di luar, yuk. Mau nggak?”Hari ini adalah hari Kamis dan hari sudah menjelang sore, saat tiba-tiba Kristal menoleh padanya yang tengah meneliti dokumen untuk ia bawa meeting hari Senin minggu depan.Kristal sendiri baru menyelesaikan pekerjaannya setengah jam yang lalu dan mulai merasa bosan.Sebagai orang yang keluar rumah lima hari dalam seminggu, berada di rumah dari hari Minggu sampai Kamis seperti ini sudah mulai membuatnya jenuh.“Mau.” Kai menjawab tanpa berpikir panjang. “Mau makan di mana, Sayang?”“Pancious?” Kristal meringis karena lagi-lagi nama restoran itulah yang ia pilih. Di kepalanya hanya akan selalu ada dua tempat makan yang akan sudi ia datangi dalam mood apa saja, McDonald’s dan PanciousKai mengacak rambut Kristal dengan gemas. “Boleh.”“Kamu sibuk banget, Mas?” tanya Kristal sambil mendekat pada Kai hingga tubuh mereka bersisian, dan perempuan itu menatap laptop di depan Kai. “Masih banyak nggak kerjaannya?”“Nggak, kok,” jawab Kai untuk dua pertanya
Walau dokter mengatakan biasanya ketika proses kuretase berjalan lancar pasien bisa beraktivitas kembali setelah pulang dari rumah sakit, Kai tetap menganjurkan Kristal untuk beristirahat. Maka di sinilah Kristal, menghabiskan beberapa hari cutinya di rumah.Dalam diam Kai dan Kristal sama-sama sepakat kalau waktu istirahat bukan hanya untuk menyembuhkan diri pasca proses medis tersebut, tapi juga mengistirahatkan mental yang benar-benar lelah.“Kamu nggak ke kantor?” tanya Kristal setelah siang itu mereka tiba di rumah.“Nggak.” Kai menggeleng sambil ikut duduk di sofa, di samping Kristal. “Aku juga cuti.”Kristal mengerutkan keningnya. “Mas, aku nggak apa-apa. Kamu nggak perlu jagain aku 24 jam.”“It’s okay. Kalaupun kamu nggak butuh aku di sini, aku yang butuh kamu, Ta.”Ucapan Kai membuat Kristal terdiam selama beberapa saat. Dengan hati-hati, Kai merengkuh Kristal ke dalam dekapannya.Saat itulah, dari puluhan pelukan yang ia dapat sejak mereka dikabarkan kalau sang calon anak ya
Kristal terbangun karena rasa sakit yang membuat kepalanya juga langsung pusing. Namun, ia menahan diri untuk tidak memanggil siapa pun. Jadi yang ia lakukan hanya berdesis pelan, sepelan mungkin agar Kai tidak terbangun.Kristal bisa merasakan bagaimana Kai tertidur di samping ranjangnya, dengan posisi yang tidak nyaman. Kepalanya terkulai di sisi ranjang yang Kristal tempati dengan kedua tangannya yang menggenggam tangan Kristal.Kristal menelisik ke sekitarnya dan tidak menemukan siapa pun selain Kai. Sebenarnya beberapa jam yang lalu ia sempat terbangun, namun hanya bisa mendengar suara Julia dan Kai yang mengobrol lirih, kemudian ia jatuh tertidur lagi.Kristal mencoba menghela napas dalam-dalam. Tatapannya kini terpaku pada langit-langit kamarnya.“Kak… kok kamu tinggalin Mama sama Papa, sih? Katanya mau ketemu sama Mama sama Papa,” lirihnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.Rasanya masih seperti mimpi saat dokter mengatakan padanya kalau janinnya tidak berkembang dan ha
[Kehamilan Kristal. Minggu kelima.]Kai yang baru pulang bekerja memanggil Kristal, saat ia tidak menemukannya di ruang tengah atau di ruang makan. “Tata?”Karena tidak ada sahutan, Kai berpikir mungkin Kristal ada di kamar. Mengingat akhir-akhir ini istrinya mudah sekali merasa mengantuk.“Mas?”Panggilan itu membuat langkahnya terhenti dan kembali turun dari dua anak tangga yang sudah ia naiki. Matanya menangkap sosok Kristal yang melongok ke arahnya dari teras samping.“Lho, di sini kamu ternyata,” ucap Kai saat menghampiri istrinya dan memeluknya. Kemudian ia mencium kening dan bibirnya seperti biasa. “Ngapain malem-malem di luar?”“Lihatin bintang.” Krista
Hari ini adalah kunjungan rutin Kristal ke dokter kandungan. Dan seperti biasa, Kai tentu menemaninya. Lelaki itu tidak pernah meninggalkan Kristal pergi sendiri di jadwal kunjungan rutinnya.Kristal merasa excited karena hari ini akan menyapa anaknya lewat USG dan mendengarkan apa kata dokter mengenai kandungannya, tapi ada sedikit keresahan yang muncul sejak semalam.Walaupun begitu, ia berusaha baik-baik saja di depan Kai karena tidak ingin membuat suaminya khawatir. Hanya saja usahanya digoyahkan dengan apa yang ia dapati pagi ini.“Sayang.” Panggilan Kai diiringi ketukan di pintu kamar mandi. “Tumben lama? Kamu nggak pingsan, kan?”“Nggak, kok.” Gema suaranya menyamarkan su
“Sayang, kamu belum mau liat-liat baju buat si Kakak?”Pertanyaan Kai membuat Kristal yang tadinya sedang melihat website Sephora untuk request makeuppada Hafi, jadi terhenti karenanya. “Baru tiga bulan, Mas.”“Iya, sih.” Kai mengangguk pelan. “Tapi kayaknya lucu nggak, sih, kalau kita mulai cicil baju bayi?”Kristal terkekeh pelan dan meninggalkan iPad Kai yang tadinya ia pinjam di atas meja.“Mas, baju bayi tuh kepakenya cuma sebentar, lho. Kan, makin lama dia makin gede. Kalau kita beli dari sekarang, nanti yang ada pas Kakak baru lahir, stok bajunya udah hampir setengah baju kita.”Kai yang baru sadar setelah mendengar ucapan Kristal langsung terkekeh malu. Ia menggaruk tengkuknya ya