“Aku nggak mau.”
“Kristal, jangan bikin kepala Abang mau pecah,” tegur Galileo Panjaitan sambil memijit pelipisnya. “Mertuamu sendiri yang minta.”
Kristal menahan diri untuk tidak mendengus atau menggembungkan pipinya karena kesal di hadapan seniornya yang biasa dipanggil Bang Leo oleh para partner di firmanya.
“Tapi nggak mungkin juga aku langsung keluar dari sini,” tolak Kristal untuk ke sekian kalinya.
Sejak mertuanya meminta ia pindah untuk bekerja di perusahaan Kai, Kristal tidak mengiakan dan berujung pada teror yang diterima Bang Leo dari ayah mertuanya.
“Ya, aku juga nggak rela kamu keluar.” Bang Leo mengemukakan pendapatnya. “Jujur aja, kamu salah satu partner yang terbaik yang aku punya di sini. Dan menyerahkan kamu untuk jadi legal officer di perusahaan suamimu, bukan hal yang mudah untukku.”
“Bang Leo setuju untuk mengeluarkan aku dari sini?” tanya Kristal pelan. Ia suka bekerja di GPP sekalipun kadang jam kerjanya jadi sangat tidak manusiawi ketika menghadapi kasus yang cukup berat.
“Nggak.” Bang Leo menggeleng. “Sejak awal aku nggak setuju, makanya itu aku beberapa kali bernegosiasi dengan mertuamu.”
Seperti seorang pengacara seharusnya, batin Kristal saat mendengar Bang Leo sampai berdiskusi dengan mertuanya.
“Kamu cukup jadi konsultan legal aja di sana, jam kerja bebas, asalkan minimal tiga kali seminggu kamu setor muka ke sana barang satu atau dua jam,” jelas Bang Leo dengan cepat.
“Itu penawaran yang lebih baik, kan? Kamu juga dapet kompensasi untuk nggak ke sana kalau pekerjaan kamu di sini nggak bisa ditinggal atau ada sidang, asal berkabar sama bagian legal di sana.”
Kristal menggigit bibirnya tanpa sadar. Penawaran ini jelas lebih baik daripada mundur dari GPP dan bergabung dengan PH Kai. Belum lagi bayangan kebencian dari Kai yang pasti akan semakin meningkat kalau ia bekerja penuh waktu di sana.
“Bang, aku bener-bener nggak bisa nolak ini sama sekali, ya?”
Bang Leo tentu tak tahu mengenai hubungannya dengan Kai yang kacau balau, tapi ia mengetahui satu hal mengenai mertuanya.
“Kamu tahu kan kalau mertuamu itu punya motto ‘I get what I see’? Nah, kurasa hanya dengan itu otakmu yang pintar pasti mengerti sejauh apa usaha yang kulakukan untuk melobi mertuamu sampai keputusan ini keluar.”
Kristal meringis mendengarnya. “Baiklah….”
“Lagipula dengan segala macam artis yang ada di naungan manajemen suamimu, bukan nggak mungkin mereka suatu hari nanti akan butuh bantuanmu.”
Artis-artis yang berada di bawah naungan manajemen Kai rata-rata merupakan sosok yang well-educateddan tak macam-macam tingkahnya. Tapi di dunia hiburan yang keras, semua tentu bisa terjadi.
“Iya, sih….”
Bang Leo menatap Kristal selama beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk bertanya, “Kamu kenapa juga nggak mau kerja di tempat suamimu sampai sebegitunya, sih?”
Kristal memang dekat dengan hampir semua partner yang ada di firma hukum tersebut. Tapi bukan berarti ia akan mengumbar aib pernikahannya sendiri. “Conflict of interest, takut itu aja sih.”
Sepertinya jawaban Kristal dapat dimengerti oleh Bang Leo karena setelahnya ia hanya berkata, “Kalau begitu, setelah jam makan siang kamu ke kantor suamimu, ya. Aku tahu hari ini kamu nggak ada janji temu dengan orang lain setelah makan siang.”
Kristal mengangguk patuh, tak ada gunanya juga ia membantah. Setelah keluar dari ruangan Bang Leo, Kristal segera menuju ruangannya sendiri yang terletak di lantai yang berbeda.
“Haruskah aku benar-benar bekerja di sana?” gumam Kristal sambil memeluk dirinya sendiri selama di lift.
Kristal sudah menghindar dari Kai dengan sangat cerdas semenjak mereka tinggal bersama. Ia pergi lebih awal dan pulang lebih larut. Untung saja ia memang merupakan morning person, jadi berangkat lebih awal dari biasanya merupakan hal yang cukup mudah.
Tapi, bekerja di kantor Kai… walaupun hanya sebagai konsultan tentu saja akan ada satu atau dua kesempatan mereka berpapasan.
Kristal hanya takut tak bisa menyembunyikan tatapannya kepada Kai dari orang-orang di sana. Karena hampir semua orang bisa melihat bagaimana ia mencintai Kai.
Tapi tidak dengan Kai.
***
Shiana menatap Kristal dari atas sampai bawah dengan terang-terangan. Kristal sendiri langsung mengernyitkan keningnya saat mendapati tatapan tidak suka dari legal manager tersebut.
“Oh, jadi kamu konsultan itu,” ucap perempuan yang lebih tua dua tahun dari Kristal itu dengan nada bosan. “Saya Shiana, legal manager dari divisi legal perusahaan ini. Di divisi ini ada tujuh legal staff dan harusnya ada dua legal coordinator atau biasa kita sebut supervisor.
“Tapi karena supervisor yang satunya baru resign dua bulan lalu, sepertinya perusahaan merasa kalau saya butuh anggota tambahan.”
Dengan kata lain, dia benar-benar nggak menginginkanku, batin Kristal sembari berjalan mengikuti Shiana menuju ruangan divisi legal.
“Tempatmu di sini.” Shiana menunjuk meja yang ada di hadapan mereka saat ini.
Meja itu terletak terpisah dengan kubikel para legal staff lainnya dan berdampingan dengan mesin fotokopi.
Oh, ini, sih, tempat untuk orang terbuang banget. Kristal tak bisa menahan diri untuk berkomentar di dalam hatinya.
“Kamu bisa pelajari semua dokumen perusahaan selama lima tahun terakhir ini.” Shiana menepuk permukaan tumpukan binder yang ada di atas meja kerja baru Kristal.
“Dan dua jam lagi silakan menghadap saya untuk mendiskusikan apa saja yang kamu pelajari dari dokumen-dokumen ini.”
Kali ini Kristal tidak bisa menahan diri untuk tak membelalakkan matanya karena terkejut. Yang benar saja? Dua jam untuk mempelajari dokumen sebanyak ini?
“Tapi—”
“Saya nggak terima penolakan, Kristal. Itu hal pertama yang harus kamu pelajari saat bekerja di sini.”
Dengan begitu, Shiana berlalu begitu saja, meninggalkan Kristal yang sudah siap memaki legal manager tersebut dengan semua sumpah serapah yang ia ketahui.
Yang tidak diketahui oleh Kristal adalah Kai sudah lebih dulu menyadari kehadiran Kristal sebelum perempuan itu bertemu dengan Shiana.
Kai baru saja kembali dari ruang casting untuk bertemu dengan aktor senior yang akan bergabung dengan film produksi PH-nya, ketika ia melihat sosok Kristal tengah menunggu di ruang rapat yang satu sisi dindingnya terbuat dari kaca.
Saat itu juga Kai menghentikan langkahnya untuk memastikan sosok yang ia lihat benar adalah Kristal.
Rupanya orangtuanya masih bersikukuh dengan keinginan mereka. Kai mendengus sebal saat menyadari hal tersebut.
“Pak Kaisar.”
Panggilan dari perempuan dengan suara sehalus beledu itu mengalihkan perhatian Kai. Di sampingnya, kini berdiri sosok Shiana yang menatapnya dengan tatapan penasaran.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyanya sopan.
“Kamu mau ke mana? Bukannya ruang divisi legal ada di sebelah sana?” Kai mengedikkan dagunya ke arah datangnya Shiana.
“Saya mau temuin Ibu Kristal, Pak. Dia konsultan legal baru di sini.”
Lelaki bertubuh tinggi tersebut tak sanggup untuk menyembunyikan senyum meremehkan di wajahnya.
“Oh, konsultan ternyata.”
“Ini… benar Ibu Kristal yang istri Bapak kan?”
Walaupun Kai sendiri bukan artis, memang agak mustahil baginya menyembunyikan statusnya dan Kristal. Bagaimanapun mereka datang dari dua keluarga yang berada dengan lingkup pergaulan kaum jetset yang semua informasi tersebar dengan cepat.
Dan untuk seseorang yang punya jabatan seperti Shiana ini, info tersebut bukan hal baru baginya.
“Iya, betul.” Walau begitu, Kai tidak berpura-pura manis atau menciptakan ilusi bahwa pernikahannya bahagia.
Shiana sendiri bisa menangkap gelagat tak suka yang dipancarkan Kai pada Kristal, bahkan setelah lelaki itu berlalu dari hadapannya.
Karena itulah ia kembali ke ruangannya untuk mengatur segunung pekerjaan untuk konsultan barunya tersebut.
Kalau atasannya tak menyukai Kristal, untuk apa juga ia bersikap baik pada perempuan yang berpotensi untuk merebut jabatannya kapan saja?
“Aku di… kantor Kai.”“Huh? Kantor Kai? Yang mana?”Kristal ingin terkekeh mendengar pertanyaan polos Renjana. Big Screen—nama PH keluarga Kai memang bukan satu-satunya perusahaan Kai yang ia pimpin. Tapi masih ada perusahaan lain yang lelaki bangun sendiri dari nol dan Renjana tahu itu.“Big Screen.” Kristal menyebut nama PH Kai yang kantornya terletak di daerah Sudirman, masih satu gedung dengan perusahaan Kai yang lain sebenarnya.“Oh, yang di daerah Sudirman ya.” Renjana langsung mengingatnya. “Tumben kamu ke sana? Kamu mau casting jadi pemain film?”“Nggaklah.” Kristal menggeleng pelan mendengar ide sahabatnya itu. “It’s a long story. Kenapa kamu nanya aku di mana?”“Ketemu, yuk.”“Oh, boleh.” Kristal baru saja ingin mengajukan restoran favorit mereka sebagai tempat pertemuan saat sadar pekerjaannya masih banyak. “Tapi pekerjaanku masih banyak.”“Ya udah, aku ke sana ya.”“E-eh, jangan—”Terlambat. Karena setelahnya Renjana sudah lebih dulu mengakhiri sambungan telepon dan Krista
Renjana hanya berada di kantor baru Kristal selama dua puluh menit. Setelahnya, ia kembali ke kantornya lagi. Renjana hanya ingin memastikan kalau Kristal baik-baik saja dan Kristal sangat menghargainya.“Kamu tahu kan kalau kamu bisa ngomong apa pun sama aku?” pesan Renjana seraya mencium kedua pipi Kristal dan memeluknya singkat sebelum akhirnya berlalu dari MAXX Coffee.Setelah Renjana kembali ke kantornya, Kristal pun kembali naik ke atas dan melanjutkan membaca dokumen-dokumen sesuai dengan sisa waktu yang ia miliki. Beruntung saat ia selesai membaca lembar terakhir, bertepatan dengan Shiana yang memanggilnya ke ruangannya.“Sudah selesai?” tanya Shiana dengan senyum meremehkan yang tak pernah lepas di wajahnya setiap kali bicara dengan Kristal.Perempuan itu mencoba untuk bersabar dan mengabaikannya. “Sudah. Kita bisa bahas sekarang.”Setengah jam berikutnya, Kristal sudah memaparkan pandangannya mengenai perkembangan legal di perusahaan Kai. Selama lima tahun terakhir Big Scree
Kristal memasuki rumah mewah berlantai dua tersebut dengan lelah. Padahal ia biasa datang ke banyak tempat dalam satu hari. Tapi tenaganya sama terkurasnya karena emosinya benar-benar diuji hari ini.“Malam, Non,” sapa Mbak Jia begitu Kristal merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah. “Mau makan malam sekarang? Atau setelah mandi?”Kristal menggeleng pelan. Walaupun lelah, rasanya ia sudah tak punya tenaga untuk makan. “Nggak usah, Mbak. Saya lagi nggak pengen makan.”“Tapi, Non—”“Nggak apa-apa kok, Mbak,” tukas Kristal lagi. “Mbak Jia istirahat aja, kalaupun nanti saya lapar, biar saya masak sendiri.”Mbak Jia melihat Kristal dengan ragu, namun pada akhirnya mengangguk. “Panggil saya aja ya, Mbak, kalau mau makan nanti.”Kristal mengiakan dengan gumaman pelan, kemudian membiarkan Mbak Jia berlalu menuju kamarnya yang tak jauh dari dapur.Biasanya begitu sampai rumah, Kristal akan mandi lalu makan malam sendiri, kemudian ke kamarnya dan berdiam di sana sampai tidur. Namun, kali ini ia
Setelah satu bulan lebih hidup bersama, Kristal sudah hafal di luar kepala jam-jam kepulangan Kai. Mengingat mereka tadi bertemu di Big Screen, Kristal menebak lelaki itu akan pulang lebih malam dari biasanya.Kristal tahu sekali bagaimana tak sukanya Kai hingga lelaki itu sering sekali memilih untuk di luar rumah lebih lama dibanding di bawah satu atap yang sama dengannya.“Apa sih yang bisa kamu kerjakan dengan benar?” cecar Kai yang sepertinya menemukan kesempatan untuk meluapkan emosinya yang bertumpuk seharian ini.Walaupun Kristal benar-benar mencintai Kai hingga kadang terlihat seperti orang bodoh, sejak dulu Kristal juga yang selalu berani membalikkan kata-katanya di saat-saat tertentu.Sifatnya itulah yang selalu membuat Kai kesal.“Aku cuma masak makan malam,” jawab Kristal dengan kesal. Ia tak merasa berbuat salah.Memang dapur itu berantakan, tapi bukan berarti Kai bisa meneriakinya begitu saja. Kristal mungkin masih bisa menerima jika Kai hanya bicara dengan dingin atau m
“Kenapa kamu perlu bertindak seperti itu? Merasa terganggu karena mantan kekasihmu muncul di televisi?”Kai langsung mendelik tak suka mendengar pertanyaan blak-blakan dari Kristal.Tapi bukannya takut, Kristal justru kembali bicara seakan-akan tak ada yang bisa menghentikannya. “Kenapa kamu bereaksi seperti itu? Apa kalau kamu sangat mencintai perempuan itu, kamu tidak akan bisa move on selamanya?”“Sekarang mari kembalikan pertanyaan itu padamu,” tantang Kai yang jelas-jelas tak suka kalau Kristal bisa menang dalam perdebatan konyol ini. “Aku tahu kamu menyukaiku atau mungkin… mencintaiku?”Rasanya Kristal benar-benar ingin meninju wajah tampan Kai saat ini juga saat melihat senyum meledek di wajah adonisnya.“Kalau misalnya kita saat ini nggak menikah, kemudian kamu melihat berita tentangku yang jelas hidup baik-baik saja tanpa kamu di dalamnya, bagaimana reaksimu?”Kristal merapatkan bibirnya hingga membentuk garis lurus. Mungkin Kristal tak benar-benar mencintai Kai dengan membab
“Lesu banget?” tegur Bang Leo saat Cessa baru kembali ke kantor setelah menghadapi sidang kliennya pagi ini.Di kantor GPP, mereka mempunyai satu ruang istirahat yang cukup luas dengan meja yang cukup besar untuk menampung stok makanan dan bean bag yang tersebar di beberapa sudut.Daripada di pantry, pengacara-pengacara GPP lebih memilih untuk beristirahat di ruang istirahat kalau sedang suntuk. Begitulah yang dilakukan oleh Kristal siang itu.“Capek aja, Bang.”“Capek hati?”Pertanyaan Bang Leo membuat Kristal mengerucutkan bibirnya. Bang Leo tentu saja tak tahu mengenai kenyataan pernikahannya dengan Kai. Tapi tebakannya yang jitu tentu saja membuat Kristal merasa sebal.Bagaimana tidak, se
Semua orang yang membicarakan kepulangan Aksa ke Indonesia memang selalu mengaitkannya dengan kedekatan antara Kristal dan Aksa. Keduanya memang dekat. Kristal yang berkuliah sendiri di UI sementara Renjana di pertengahan semester perkuliahannya tiba-tiba pindah kampus, akhirnya merasa tidak benar-benar punya teman di kampus.Lalu Kristal tidak sengaja bertemu dengan Aksa di perpustakaan, kemudian… semuanya berjalan begitu saja, mengalir seperti air. Awalnya Kristal berpikir bahwa pertemanannya dengan Aksa seperti ia, Renjana, dan Hafi. Tidak ada yang menaruh perasaan untuk satu sama lain.Sampai akhirnya di menjelang hari wisuda, Aksa menyatakan cinta pada Kristal.Dan Kristal tidak bisa membalasnya.“Selamat malam, Bu. Sudah reservasi?”“Malam,&r
Kristal benci hari Rabu.Oh, tentu saja hal itu ada alasannya. Dan sebenarnya Kristal baru membencinya akhir-akhir ini—lebih tepatnya ketika ia menjadi bagian dari Big Screen.Kristal sudah menyelesaikan pekerjaannya di GPP sejak satu jam yang lalu ia berada di Starbucks yang ada di samping gedung Big Screen. Jam di layar laptopnya baru menunjukkan pukul satu siang, di mana para pegawai biasanya baru kembali dari makan siang.Kristal sendiri memilih untuk berdiam diri menyiapkan mentalnya sebelum berhadapan dengan Shiana yang seakan-akan ingin mengirimnya ke kerak bumi setiap saat.Lima belas menit setelahnya, Kristal pun memutuskan memasukkan Macbook-nya ke dalam tas dan berjalan masuk ke gedung GPP. Ketika baru saja menekan tombol lift dan menunggu lift terbuka, aroma Calvin Klein yang sangat ia kenal