Kai bukanlah orang yang antipati terhadap hal bernama pernikahan. Sejujurnya, ia menghargai sebuah pernikahan dan dulunya, ia memimpikan pernikahan yang bahagia.
Jelas bukan yang seperti ini.
“Pagi, Den.”
Kai mengangguk singkat pada Mbak Jia yang menyambutnya saat ia masuk ke ruang makan. Lelaki yang hari ini mengenakan setelan jas biru dongker dari Zegna tersebut mengamati ke sekelilingnya.
Seperti mengetahui pikiran Kai, perempuan paruh baya itu kembali bicara, “Non Kristal baru aja berangkat ke kantor, Pak.”
“Oh, baguslah.” Kali ini Kai menghela napas dengan lega sambil membalik piringnya dan menuang nasi goreng tanpa kecap yang dimasakkan oleh Mbak Jia.
Mbak Jia yang tahu kalau hubungan suami-istri itu tak sebaik yang orang kira, menahan diri untuk tidak menghela napas kecewa dan berlalu ke dapur.
Saat suapan kelima sarapannya, Kai mendengar langkah kaki yang teratur menuju ke arahnya. Sudah bersama Rangga sejak ia tahun ketiga kuliah S1 membuat Kai hafal sekali dengan ritme langkah Rangga, asisten pribadinya.
“Pagi, Tuan.”
“Pagi, Rangga,” balas Kai. “Kamu sudah sarapan?”
“Sudah.”
“Kalau begitu, ayo, makan lagi.”
Kalau bukan karena Kai adalah atasannya, Rangga sudah mendengus mendengar perintah Kai. Rangga sejujurnya berbohong dengan mengatakan kalau ia sudah sarapan, karena toh ia memang tidak terlalu terbiasa sarapan.
Tapi sejak bekerja dengan Kai, Kai selalu memastikan dirinya ikut sarapan bersamanya. Hal-hal kecil yang jarang orang awam ketahui, tapi Kristal ketahui dengan baik.
“Apa hari ini ada rapat penting?” tanya Kai setelah menyesap jus jeruknya.
“Tidak ada,” jawab Rangga dengan cepat. Ia hafal semua jadwal Kai sebulan ke depan seperti ia hafal tanggal lahirnya. “Tapi kemarin Pak Barata menghubungi saya.”
Kai mengernyitkan keningnya saat mendengar nama ayahnya disebut. “Papa bilang apa?”
“Kapan Nona Kristal bisa bergabung ke perusahaan kita secepatnya, itu yang beliau tanyakan.”
Sebenarnya lidah Rangga selalu gatal ingin memanggil Kristal dengan sapaan ‘nyonya’, tapi Kai selalu melarangnya dengan mengatakan kalau kedudukan Kristal tidak setinggi itu untuk ia panggil ‘nyonya’ dan disematkan nama belakang keluarga Kai.
Kai berdecak tak suka. “Inilah kenapa aku menolak untuk terjun seutuhnya mengurus perusahaan keluarga. Papa masih bisa ikut campur untuk hal-hal remeh seperti ini.”
Rangga tak menginterupsi gerutuan Kai.
“Bilang sama Papa, kamu nggak tahu apa-apa.”
Rangga mengangguk. Tapi bekerja bertahun-tahun untuk Kai tidak membuatnya ketakutan untuk menanyakan hal yang bisa dibilang sensitif. “Tapi apa Tuan akan menerima Nona Kristal di kantor?”
“Ini hanya akal-akalan Papa saja.” Kai menaruh sendoknya. Untung saja sarapannya sudah habis sebelum mereka membicarakan ini. Karena jujur saja, pembahasan mengenai hal ini menghilangkan selera makannya.
“Lagipula bukannya dia sudah jadi associate di lawfirm yang terkenal itu?” Kai tak ingat nama lawfirm tempat Kristal bekerja. “Masa iya dia mau turun pangkat untuk jadi staf legal di perusahaanku.”
“Di Galileo Panjaitan & Partners,” imbuh Rangga yang jelas tahu semua informasi mengenai istri atasannya. “Dan… ya, mungkin agak tidak masuk akal jika Nona Kristal menyerahkan pekerjaannya di lawfirm itu begitu saja. Nona Kristal sendiri sudah bukan associate di sana, tapi sudah menduduki posisi partner.”
Oh, aku baru denger soal itu, batin Kai. Kalau benar Kristal sudah menduduki posisi partner di salah satu lawfirm yang masuk ke dalam daftar 20 lawfirm terbaik di Indonesia, berarti perempuan itu masih pintar.
Seperti saat mereka masih kecil dulu.
“Ayo, berangkat,” ucap Kai setelah melihat kalau Rangga sudah selesai dengan sarapannya.
Selama perjalanan menuju kawasan Sudirman di mana perusahaan production house dan artist management-nya berada, Kai kembali melakukan rutinitasnya sejak putus dari Cessa.
Melihat kembali riwayat chat mereka saat masih berhubungan.
Kai tahu hal ini terdengar menyedihkan, but he can’t help himself. Ditinggal Cessa karena perempuan itu ingin mengejar kariernya masih merupakan perpisahan terpahit dan menyakitkan baginya.
Walaupun begitu, kai masih mencintai perempuan itu. Hingga rasanya Kai seperti berkhianat pada Cessa ketika menerima perjodohan yang diatur oleh orangtuanya dengan Kristal.
Getar singkat dan nama Kristal yang melintas di notification bar-nya membuat Kai sedikit terkejut. Ia membuka pesan W******p yang ditinggalkan Kristal dan mendengus pelan.
‘Kai, aku hari ini pulang agak malam karena harus mempersiapkan untuk sidang besok.’
“Kayak ada yang nungguin aja.” Dengan berkata seperti itu, Kai menghapus pesan yang dikirim Kristal dari ponselnya.
Saat ini sudah satu bulan lebih sejak pesta pernikahan mereka. Tidak ada hal yang berubah secara signifikan. Kristal selalu pergi lebih pagi dari dirinya dan pulang lebih dulu daripada dirinya. Atau kadang-kadang Kai sampai di rumah lebih dulu ketika perempuan itu lembur.
Kristal tahu kalau Kai tidak suka dengan kehadirannya dan tak peduli. Kristal mencoba sebisa mungkin untuk tak bersinggungan langsung, namun Kai masih menerima pesan dari Kristal yang setiap hari mengabarkan dirinya.
Tidak sering memang, biasanya hanya dua sampai tiga kali sehari. Tapi tetap saja bagi Kai hal itu bukanlah hal yang penting.
“Tuan, sudah sampai.”
Kata-kata Rangga yang duduk di bagian depan membuat Kai baru sadar kalau mobil yang dinaikinya sudah berhenti. Kai pun keluar dari mobilnya diiringi dengan Rangga yang langsung berjalan bersisian dengannya.
“Selamat pagi, Pak Kaisar.”
Kai mengangguk sopan sambil sesekali tersenyum simpul pada pegawainya. Para pegawainya memang terbiasa memanggilnya Kaisar. Kadang ia risih karena nama itu terkesan terlalu ‘berat’, tapi ia juga sudah terlalu malas untuk mengoreksi mereka.
“Jadi jadwalku hari ini apa saja?” tanya Kai saat mereka berada di lift yang akan membawanya menuju lantai 25, tempat di mana ruangannya berada.
“Hanya ada satu meeting untuk membicarakan mengenai audit eksternal yang akan dilakukan dua minggu lagi.”
Kai mengangguk paham. Jarang sekali ia mendapatkan satu hari dengan satu meeting saja, ia harus bekerja seefisien mungkin agar bisa mengakomodasi waktu luang yang sangat jarang ia dapatkan ini.
“Kaisar….”
Sapaan dari suara seorang lelaki yang merupakan perokok berat itu membuat Kai langsung memicingkan matanya saat tatapannya bertemu dengan pendatang di ruangannya itu.
Kai pun beralih pada Rangga yang sepertinya juga terkejut dengan kehadiran Barata--ayahnya, di ruang kerjanya sepagi ini. “Nanti aku panggil lagi.”
Rangga pun mengangguk dan menunduk hormat pada ayah atasannya sebelum pamit dari ruang kerja Kai.
Kai menutup pintu di belakangnya dan beranjak menuju wine cellar yang ia miliki di sudut ruangan.
“Sepagi ini sudah minum wine?” komentar Barata tak setuju.
“Kalau Papa nggak ke sini pagi-pagi, aku nggak akan minum.”
“Oh, that’s hurt,” canda Barata yang ditanggapi dengan dingin oleh Kai.
Kai beranjak duduk di sofa yang berseberangan dengan Barata sambil menyesap wine-nya. “Ada apa Papa ke sini?”
“Kristal belum mulai kerja di sini?”
Kai tak menyembunyikan ketidaksukaannya terhadap Kristal di depan keluarganya. Biasanya ibunya hanya menghela napas dan menasehatinya, sedangkan ayahnya lebih keras lagi untuk membuatnya menerima Kristal.
Kadang Kai merasa orangtuanya lebih menyayangi Kristal daripada dirinya. Dan bertambah lagi satu alasannya membenci Kristal.
“Dia sudah bekerja di GPP,” sahut Kai menyebut singkatan nama lawfirm tempat Kristal bekerja yang sudah terkenal di kalangan publik. “Untuk apa dia turun jadi legal di sini?”
“Supaya kalian bisa berada di satu lingkungan yang sama dan akhirnya kamu jatuh cinta dengannya—setidaknya itu yang diungkapkan mamamu.”
Kai mendengus pelan. “Bilang sama Mama, ini bukan skenario film roman picisan yang sering beliau tulis.”
“Mamamu akan marah besar begitu denger ejekanmu itu, Kai.” Barata tertawa pelan.
Keluarga mereka memang campuran antara keluarga pebisnis dan pelaku seni. Barata merupakan pebisnis yang berani keluar dari lingkup perusahaan keluarga dan membangun usahanya dari nol hingga kini bisa diwariskan kepada Kai.
Istrinya, Martha, merupakan penulis skenario film dan novel roman yang terkenal hingga hampir dua puluh tahun lamanya.
“Aku serius, Pa.”
“Papa dan Mama juga serius.” Kali ini Barata terlihat serius juga, tak seperti beberapa menit sebelumnya yang masih bisa melemparkan candaan.
Di antara keluarganya, Barata dan Martha merupakan orang yang luwes dan senang bercanda. Hanya Kai yang sering terlihat kaku dan dingin, seakan-akan siap memusuhi siapa pun kapan saja.
“Papa pikir kamu dulu nggak suka dia hanya karena dia sering manja sama kamu waktu kecil.” Barata kembali teringat bagaimana dulu ia menyaksikan sendiri pertumbuhan Kristal dan Kai sejak kecil. “Tapi kenapa sampai sekarang kamu seakan-akan nggak peduli sama dia?”
“Pa, aku sudah menikah sama dia seperti apa yang kalian harapkan.” Kai menatap Barata dengan senyum sinis di wajahnya. “Kalian udah meminta hal yang cukup besar dariku. Apa nggak berlebihan kalau kalian juga memintaku peduli dengan orang yang sebenarnya tak ingin kunikahi?”
Barata terdiam di tempatnya.
Kai meletakkan gelas wine-nya yang sudah kosong ke atas meja dan bangkit berdiri. Ia berjalan menuju pintu, memilih untuk menjadi orang yang pertama keluar dari ruangan ini sebelum ia melampiaskan emosinya pada ayahnya sendiri.
“Pa, jadi manusia pun kita harus sadar diri. Jangan selalu meminta hal-hal yang nggak mungkin untuk diwujudkan. Aku udah menikahi Kristal sesuai apa yang kalian minta sejak awal, jadi jangan berharap dan meminta lebih.”
Setelah mengatakan itu, Kai pun keluar dari ruangannya.
“Aku nggak mau.”“Kristal, jangan bikin kepala Abang mau pecah,” tegur Galileo Panjaitan sambil memijit pelipisnya. “Mertuamu sendiri yang minta.”Kristal menahan diri untuk tidak mendengus atau menggembungkan pipinya karena kesal di hadapan seniornya yang biasa dipanggil Bang Leo oleh para partner di firmanya.“Tapi nggak mungkin juga aku langsung keluar dari sini,” tolak Kristal untuk ke sekian kalinya.Sejak mertuanya meminta ia pindah untuk bekerja di perusahaan Kai, Kristal tidak mengiakan dan berujung pada teror yang diterima Bang Leo dari ayah mertuanya.“Ya, aku juga nggak rela kamu keluar.” Bang Leo mengemukakan pendapatnya. “Jujur aja, kamu salah satu partner yang terbaik yang aku punya di sini. Dan menyerahkan kamu untuk jadi legal officer di perusahaan suamimu, bukan hal yang mudah untukku.”“Bang Leo setuju untuk mengeluarkan aku dari sini?” tanya Kristal pelan. Ia suka bekerja di GPP sekalipun kadang jam kerjanya jadi sangat tidak manusiawi ketika menghadapi kasus yang c
“Aku di… kantor Kai.”“Huh? Kantor Kai? Yang mana?”Kristal ingin terkekeh mendengar pertanyaan polos Renjana. Big Screen—nama PH keluarga Kai memang bukan satu-satunya perusahaan Kai yang ia pimpin. Tapi masih ada perusahaan lain yang lelaki bangun sendiri dari nol dan Renjana tahu itu.“Big Screen.” Kristal menyebut nama PH Kai yang kantornya terletak di daerah Sudirman, masih satu gedung dengan perusahaan Kai yang lain sebenarnya.“Oh, yang di daerah Sudirman ya.” Renjana langsung mengingatnya. “Tumben kamu ke sana? Kamu mau casting jadi pemain film?”“Nggaklah.” Kristal menggeleng pelan mendengar ide sahabatnya itu. “It’s a long story. Kenapa kamu nanya aku di mana?”“Ketemu, yuk.”“Oh, boleh.” Kristal baru saja ingin mengajukan restoran favorit mereka sebagai tempat pertemuan saat sadar pekerjaannya masih banyak. “Tapi pekerjaanku masih banyak.”“Ya udah, aku ke sana ya.”“E-eh, jangan—”Terlambat. Karena setelahnya Renjana sudah lebih dulu mengakhiri sambungan telepon dan Krista
Renjana hanya berada di kantor baru Kristal selama dua puluh menit. Setelahnya, ia kembali ke kantornya lagi. Renjana hanya ingin memastikan kalau Kristal baik-baik saja dan Kristal sangat menghargainya.“Kamu tahu kan kalau kamu bisa ngomong apa pun sama aku?” pesan Renjana seraya mencium kedua pipi Kristal dan memeluknya singkat sebelum akhirnya berlalu dari MAXX Coffee.Setelah Renjana kembali ke kantornya, Kristal pun kembali naik ke atas dan melanjutkan membaca dokumen-dokumen sesuai dengan sisa waktu yang ia miliki. Beruntung saat ia selesai membaca lembar terakhir, bertepatan dengan Shiana yang memanggilnya ke ruangannya.“Sudah selesai?” tanya Shiana dengan senyum meremehkan yang tak pernah lepas di wajahnya setiap kali bicara dengan Kristal.Perempuan itu mencoba untuk bersabar dan mengabaikannya. “Sudah. Kita bisa bahas sekarang.”Setengah jam berikutnya, Kristal sudah memaparkan pandangannya mengenai perkembangan legal di perusahaan Kai. Selama lima tahun terakhir Big Scree
Kristal memasuki rumah mewah berlantai dua tersebut dengan lelah. Padahal ia biasa datang ke banyak tempat dalam satu hari. Tapi tenaganya sama terkurasnya karena emosinya benar-benar diuji hari ini.“Malam, Non,” sapa Mbak Jia begitu Kristal merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah. “Mau makan malam sekarang? Atau setelah mandi?”Kristal menggeleng pelan. Walaupun lelah, rasanya ia sudah tak punya tenaga untuk makan. “Nggak usah, Mbak. Saya lagi nggak pengen makan.”“Tapi, Non—”“Nggak apa-apa kok, Mbak,” tukas Kristal lagi. “Mbak Jia istirahat aja, kalaupun nanti saya lapar, biar saya masak sendiri.”Mbak Jia melihat Kristal dengan ragu, namun pada akhirnya mengangguk. “Panggil saya aja ya, Mbak, kalau mau makan nanti.”Kristal mengiakan dengan gumaman pelan, kemudian membiarkan Mbak Jia berlalu menuju kamarnya yang tak jauh dari dapur.Biasanya begitu sampai rumah, Kristal akan mandi lalu makan malam sendiri, kemudian ke kamarnya dan berdiam di sana sampai tidur. Namun, kali ini ia
Setelah satu bulan lebih hidup bersama, Kristal sudah hafal di luar kepala jam-jam kepulangan Kai. Mengingat mereka tadi bertemu di Big Screen, Kristal menebak lelaki itu akan pulang lebih malam dari biasanya.Kristal tahu sekali bagaimana tak sukanya Kai hingga lelaki itu sering sekali memilih untuk di luar rumah lebih lama dibanding di bawah satu atap yang sama dengannya.“Apa sih yang bisa kamu kerjakan dengan benar?” cecar Kai yang sepertinya menemukan kesempatan untuk meluapkan emosinya yang bertumpuk seharian ini.Walaupun Kristal benar-benar mencintai Kai hingga kadang terlihat seperti orang bodoh, sejak dulu Kristal juga yang selalu berani membalikkan kata-katanya di saat-saat tertentu.Sifatnya itulah yang selalu membuat Kai kesal.“Aku cuma masak makan malam,” jawab Kristal dengan kesal. Ia tak merasa berbuat salah.Memang dapur itu berantakan, tapi bukan berarti Kai bisa meneriakinya begitu saja. Kristal mungkin masih bisa menerima jika Kai hanya bicara dengan dingin atau m
“Kenapa kamu perlu bertindak seperti itu? Merasa terganggu karena mantan kekasihmu muncul di televisi?”Kai langsung mendelik tak suka mendengar pertanyaan blak-blakan dari Kristal.Tapi bukannya takut, Kristal justru kembali bicara seakan-akan tak ada yang bisa menghentikannya. “Kenapa kamu bereaksi seperti itu? Apa kalau kamu sangat mencintai perempuan itu, kamu tidak akan bisa move on selamanya?”“Sekarang mari kembalikan pertanyaan itu padamu,” tantang Kai yang jelas-jelas tak suka kalau Kristal bisa menang dalam perdebatan konyol ini. “Aku tahu kamu menyukaiku atau mungkin… mencintaiku?”Rasanya Kristal benar-benar ingin meninju wajah tampan Kai saat ini juga saat melihat senyum meledek di wajah adonisnya.“Kalau misalnya kita saat ini nggak menikah, kemudian kamu melihat berita tentangku yang jelas hidup baik-baik saja tanpa kamu di dalamnya, bagaimana reaksimu?”Kristal merapatkan bibirnya hingga membentuk garis lurus. Mungkin Kristal tak benar-benar mencintai Kai dengan membab
“Lesu banget?” tegur Bang Leo saat Cessa baru kembali ke kantor setelah menghadapi sidang kliennya pagi ini.Di kantor GPP, mereka mempunyai satu ruang istirahat yang cukup luas dengan meja yang cukup besar untuk menampung stok makanan dan bean bag yang tersebar di beberapa sudut.Daripada di pantry, pengacara-pengacara GPP lebih memilih untuk beristirahat di ruang istirahat kalau sedang suntuk. Begitulah yang dilakukan oleh Kristal siang itu.“Capek aja, Bang.”“Capek hati?”Pertanyaan Bang Leo membuat Kristal mengerucutkan bibirnya. Bang Leo tentu saja tak tahu mengenai kenyataan pernikahannya dengan Kai. Tapi tebakannya yang jitu tentu saja membuat Kristal merasa sebal.Bagaimana tidak, se
Semua orang yang membicarakan kepulangan Aksa ke Indonesia memang selalu mengaitkannya dengan kedekatan antara Kristal dan Aksa. Keduanya memang dekat. Kristal yang berkuliah sendiri di UI sementara Renjana di pertengahan semester perkuliahannya tiba-tiba pindah kampus, akhirnya merasa tidak benar-benar punya teman di kampus.Lalu Kristal tidak sengaja bertemu dengan Aksa di perpustakaan, kemudian… semuanya berjalan begitu saja, mengalir seperti air. Awalnya Kristal berpikir bahwa pertemanannya dengan Aksa seperti ia, Renjana, dan Hafi. Tidak ada yang menaruh perasaan untuk satu sama lain.Sampai akhirnya di menjelang hari wisuda, Aksa menyatakan cinta pada Kristal.Dan Kristal tidak bisa membalasnya.“Selamat malam, Bu. Sudah reservasi?”“Malam,&r
“Menurut kamu, gimana filmnya?”Kristal menoleh pada Kai dan menatapnya dengan penuh perhitungan. “Kamu mau jawaban jujur atau bohong?”Kai menyeringai. “Jujur dong, Babe.”“Hm….” Kristal mengusap dagunya sembari berpikir. “Alur ceritanya agak membosankan, terlalu sering dijadiin formula film-film sejenis dan nggak ada twist apa-apa.“Perkembangan karakternya juga nol. Padahal film atau buku itu akan bener-bener seperti ‘film dan buku’ ketika karakternya berkembang—menurutku tapi ini, ya.“Kayaknya kalau bukan karena kamu yang ngajak, aku nggak bakal mau nonton, deh.”Kai
Kai menatap istrinya untuk waktu yang lama. Kristal bukannya tidak sadar kalau suaminya yang tengah duduk di tepi ranjang tengah mengamatinya yang kini sedang memoles wajahnya dengan riasan.“Kenapa, sih, Mas?” Akhirnya Kristal tidak tahan untuk angkat bicara. “Lipstikku menor banget, ya?”Kai tergelak seraya menggeleng. “Nggak, red looks so good on you.”Perempuan yang hari ini mengenakan atasan plisket berwarna biru langit dan midi skirt hitam tersebut menatap Kai dengan curiga. “Terus? Kok ngelihatin aku kayak gitu banget?”“Soalnya kamu cantik.”“Basi, Mas.”Kai kembali tertawa. Kristal yang sudah selesai pun beranjak ke ranjang dan duduk di sa
Kristal menatap deretan buku yang ada di ruang santai di lantai dua. Hari telah beranjak siang saat ia naik ke lantai atas untuk mengambil laptopnya dan mulai mengerjakan pekerjaannya.Akan tetapi, ia malah terdistraksi oleh rak buku yang penuh dengan buku anak-anak dan buku dongeng di ruang santai. Baru minggu lalu ia dan Kai membeli banyak buku di Gramedia dan Periplus untuk anak mereka.Menunda keinginannya untuk mengambil laptop, Kristal beralih pada ruang santai dan duduk di single sofa yang terletak di depan rak tersebut.Matanya mengamati deretan buku beraneka warna dan beraneka ukuran tersebut memenuhi rak buku mereka. Kristal dan Kai berharap anak mereka nanti akan suka membaca seperti mereka berdua.Kai
“Mas, makan di luar, yuk. Mau nggak?”Hari ini adalah hari Kamis dan hari sudah menjelang sore, saat tiba-tiba Kristal menoleh padanya yang tengah meneliti dokumen untuk ia bawa meeting hari Senin minggu depan.Kristal sendiri baru menyelesaikan pekerjaannya setengah jam yang lalu dan mulai merasa bosan.Sebagai orang yang keluar rumah lima hari dalam seminggu, berada di rumah dari hari Minggu sampai Kamis seperti ini sudah mulai membuatnya jenuh.“Mau.” Kai menjawab tanpa berpikir panjang. “Mau makan di mana, Sayang?”“Pancious?” Kristal meringis karena lagi-lagi nama restoran itulah yang ia pilih. Di kepalanya hanya akan selalu ada dua tempat makan yang akan sudi ia datangi dalam mood apa saja, McDonald’s dan PanciousKai mengacak rambut Kristal dengan gemas. “Boleh.”“Kamu sibuk banget, Mas?” tanya Kristal sambil mendekat pada Kai hingga tubuh mereka bersisian, dan perempuan itu menatap laptop di depan Kai. “Masih banyak nggak kerjaannya?”“Nggak, kok,” jawab Kai untuk dua pertanya
Walau dokter mengatakan biasanya ketika proses kuretase berjalan lancar pasien bisa beraktivitas kembali setelah pulang dari rumah sakit, Kai tetap menganjurkan Kristal untuk beristirahat. Maka di sinilah Kristal, menghabiskan beberapa hari cutinya di rumah.Dalam diam Kai dan Kristal sama-sama sepakat kalau waktu istirahat bukan hanya untuk menyembuhkan diri pasca proses medis tersebut, tapi juga mengistirahatkan mental yang benar-benar lelah.“Kamu nggak ke kantor?” tanya Kristal setelah siang itu mereka tiba di rumah.“Nggak.” Kai menggeleng sambil ikut duduk di sofa, di samping Kristal. “Aku juga cuti.”Kristal mengerutkan keningnya. “Mas, aku nggak apa-apa. Kamu nggak perlu jagain aku 24 jam.”“It’s okay. Kalaupun kamu nggak butuh aku di sini, aku yang butuh kamu, Ta.”Ucapan Kai membuat Kristal terdiam selama beberapa saat. Dengan hati-hati, Kai merengkuh Kristal ke dalam dekapannya.Saat itulah, dari puluhan pelukan yang ia dapat sejak mereka dikabarkan kalau sang calon anak ya
Kristal terbangun karena rasa sakit yang membuat kepalanya juga langsung pusing. Namun, ia menahan diri untuk tidak memanggil siapa pun. Jadi yang ia lakukan hanya berdesis pelan, sepelan mungkin agar Kai tidak terbangun.Kristal bisa merasakan bagaimana Kai tertidur di samping ranjangnya, dengan posisi yang tidak nyaman. Kepalanya terkulai di sisi ranjang yang Kristal tempati dengan kedua tangannya yang menggenggam tangan Kristal.Kristal menelisik ke sekitarnya dan tidak menemukan siapa pun selain Kai. Sebenarnya beberapa jam yang lalu ia sempat terbangun, namun hanya bisa mendengar suara Julia dan Kai yang mengobrol lirih, kemudian ia jatuh tertidur lagi.Kristal mencoba menghela napas dalam-dalam. Tatapannya kini terpaku pada langit-langit kamarnya.“Kak… kok kamu tinggalin Mama sama Papa, sih? Katanya mau ketemu sama Mama sama Papa,” lirihnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.Rasanya masih seperti mimpi saat dokter mengatakan padanya kalau janinnya tidak berkembang dan ha
[Kehamilan Kristal. Minggu kelima.]Kai yang baru pulang bekerja memanggil Kristal, saat ia tidak menemukannya di ruang tengah atau di ruang makan. “Tata?”Karena tidak ada sahutan, Kai berpikir mungkin Kristal ada di kamar. Mengingat akhir-akhir ini istrinya mudah sekali merasa mengantuk.“Mas?”Panggilan itu membuat langkahnya terhenti dan kembali turun dari dua anak tangga yang sudah ia naiki. Matanya menangkap sosok Kristal yang melongok ke arahnya dari teras samping.“Lho, di sini kamu ternyata,” ucap Kai saat menghampiri istrinya dan memeluknya. Kemudian ia mencium kening dan bibirnya seperti biasa. “Ngapain malem-malem di luar?”“Lihatin bintang.” Krista
Hari ini adalah kunjungan rutin Kristal ke dokter kandungan. Dan seperti biasa, Kai tentu menemaninya. Lelaki itu tidak pernah meninggalkan Kristal pergi sendiri di jadwal kunjungan rutinnya.Kristal merasa excited karena hari ini akan menyapa anaknya lewat USG dan mendengarkan apa kata dokter mengenai kandungannya, tapi ada sedikit keresahan yang muncul sejak semalam.Walaupun begitu, ia berusaha baik-baik saja di depan Kai karena tidak ingin membuat suaminya khawatir. Hanya saja usahanya digoyahkan dengan apa yang ia dapati pagi ini.“Sayang.” Panggilan Kai diiringi ketukan di pintu kamar mandi. “Tumben lama? Kamu nggak pingsan, kan?”“Nggak, kok.” Gema suaranya menyamarkan su
“Sayang, kamu belum mau liat-liat baju buat si Kakak?”Pertanyaan Kai membuat Kristal yang tadinya sedang melihat website Sephora untuk request makeuppada Hafi, jadi terhenti karenanya. “Baru tiga bulan, Mas.”“Iya, sih.” Kai mengangguk pelan. “Tapi kayaknya lucu nggak, sih, kalau kita mulai cicil baju bayi?”Kristal terkekeh pelan dan meninggalkan iPad Kai yang tadinya ia pinjam di atas meja.“Mas, baju bayi tuh kepakenya cuma sebentar, lho. Kan, makin lama dia makin gede. Kalau kita beli dari sekarang, nanti yang ada pas Kakak baru lahir, stok bajunya udah hampir setengah baju kita.”Kai yang baru sadar setelah mendengar ucapan Kristal langsung terkekeh malu. Ia menggaruk tengkuknya ya