Share

BAB 5 - Suami yang Tak Pernah Peduli

Kai bukanlah orang yang antipati terhadap hal bernama pernikahan. Sejujurnya, ia menghargai sebuah pernikahan dan dulunya, ia memimpikan pernikahan yang bahagia.

Jelas bukan yang seperti ini.

“Pagi, Den.”

Kai mengangguk singkat pada Mbak Jia yang menyambutnya saat ia masuk ke ruang makan. Lelaki yang hari ini mengenakan setelan jas biru dongker dari Zegna tersebut mengamati ke sekelilingnya.

Seperti mengetahui pikiran Kai, perempuan paruh baya itu kembali bicara, “Non Kristal baru aja berangkat ke kantor, Pak.”

“Oh, baguslah.” Kali ini Kai menghela napas dengan lega sambil membalik piringnya dan menuang nasi goreng tanpa kecap yang dimasakkan oleh Mbak Jia.

Mbak Jia yang tahu kalau hubungan suami-istri itu tak sebaik yang orang kira, menahan diri untuk tidak menghela napas kecewa dan berlalu ke dapur.

Saat suapan kelima sarapannya, Kai mendengar langkah kaki yang teratur menuju ke arahnya. Sudah bersama Rangga sejak ia tahun ketiga kuliah S1 membuat Kai hafal sekali dengan ritme langkah Rangga, asisten pribadinya.

“Pagi, Tuan.”

“Pagi, Rangga,” balas Kai. “Kamu sudah sarapan?”

“Sudah.”

“Kalau begitu, ayo, makan lagi.”

Kalau bukan karena Kai adalah atasannya, Rangga sudah mendengus mendengar perintah Kai. Rangga sejujurnya berbohong dengan mengatakan kalau ia sudah sarapan, karena toh ia memang tidak terlalu terbiasa sarapan.

Tapi sejak bekerja dengan Kai, Kai selalu memastikan dirinya ikut sarapan bersamanya. Hal-hal kecil yang jarang orang awam ketahui, tapi Kristal ketahui dengan baik.

“Apa hari ini ada rapat penting?” tanya Kai setelah menyesap jus jeruknya.

“Tidak ada,” jawab Rangga dengan cepat. Ia hafal semua jadwal Kai sebulan ke depan seperti ia hafal tanggal lahirnya. “Tapi kemarin Pak Barata menghubungi saya.”

Kai mengernyitkan keningnya saat mendengar nama ayahnya disebut. “Papa bilang apa?”

“Kapan Nona Kristal bisa bergabung ke perusahaan kita secepatnya, itu yang beliau tanyakan.”

Sebenarnya lidah Rangga selalu gatal ingin memanggil Kristal dengan sapaan ‘nyonya’, tapi Kai selalu melarangnya dengan mengatakan kalau kedudukan Kristal tidak setinggi itu untuk ia panggil ‘nyonya’ dan disematkan nama belakang keluarga Kai.

Kai berdecak tak suka. “Inilah kenapa aku menolak untuk terjun seutuhnya mengurus perusahaan keluarga. Papa masih bisa ikut campur untuk hal-hal remeh seperti ini.”

Rangga tak menginterupsi gerutuan Kai.

“Bilang sama Papa, kamu nggak tahu apa-apa.”

Rangga mengangguk. Tapi bekerja bertahun-tahun untuk Kai tidak membuatnya ketakutan untuk menanyakan hal yang bisa dibilang sensitif. “Tapi apa Tuan akan menerima Nona Kristal di kantor?”

“Ini hanya akal-akalan Papa saja.” Kai menaruh sendoknya. Untung saja sarapannya sudah habis sebelum mereka membicarakan ini. Karena jujur saja, pembahasan mengenai hal ini menghilangkan selera makannya.

“Lagipula bukannya dia sudah jadi associate di lawfirm yang terkenal itu?” Kai tak ingat nama lawfirm tempat Kristal bekerja. “Masa iya dia mau turun pangkat untuk jadi staf legal di perusahaanku.”

“Di Galileo Panjaitan & Partners,” imbuh Rangga yang jelas tahu semua informasi mengenai istri atasannya. “Dan… ya, mungkin agak tidak masuk akal jika Nona Kristal menyerahkan pekerjaannya di lawfirm itu begitu saja. Nona Kristal sendiri sudah bukan associate di sana, tapi sudah menduduki posisi partner.”

Oh, aku baru denger soal itu, batin Kai. Kalau benar Kristal sudah menduduki posisi partner di salah satu lawfirm yang masuk ke dalam daftar 20 lawfirm terbaik di Indonesia, berarti perempuan itu masih pintar.

Seperti saat mereka masih kecil dulu.

“Ayo, berangkat,” ucap Kai setelah melihat kalau Rangga sudah selesai dengan sarapannya.

Selama perjalanan menuju kawasan Sudirman di mana perusahaan production house dan artist management-nya berada, Kai kembali melakukan rutinitasnya sejak putus dari Cessa.

Melihat kembali riwayat chat mereka saat masih berhubungan.

Kai tahu hal ini terdengar menyedihkan, but he can’t help himself. Ditinggal Cessa karena perempuan itu ingin mengejar kariernya masih merupakan perpisahan terpahit dan menyakitkan baginya.

Walaupun begitu, kai masih mencintai perempuan itu. Hingga rasanya Kai seperti berkhianat pada Cessa ketika menerima perjodohan yang diatur oleh orangtuanya dengan Kristal.

Getar singkat dan nama Kristal yang melintas di notification bar-nya membuat Kai sedikit terkejut. Ia membuka pesan W******p yang ditinggalkan Kristal dan mendengus pelan.

‘Kai, aku hari ini pulang agak malam karena harus mempersiapkan untuk sidang besok.’

“Kayak ada yang nungguin aja.” Dengan berkata seperti itu, Kai menghapus pesan yang dikirim Kristal dari ponselnya.

Saat ini sudah satu bulan lebih sejak pesta pernikahan mereka. Tidak ada hal yang berubah secara signifikan. Kristal selalu pergi lebih pagi dari dirinya dan pulang lebih dulu daripada dirinya. Atau kadang-kadang Kai sampai di rumah lebih dulu ketika perempuan itu lembur.

Kristal tahu kalau Kai tidak suka dengan kehadirannya dan tak peduli. Kristal mencoba sebisa mungkin untuk tak bersinggungan langsung, namun Kai masih menerima pesan dari Kristal yang setiap hari mengabarkan dirinya.

Tidak sering memang, biasanya hanya dua sampai tiga kali sehari. Tapi tetap saja bagi Kai hal itu bukanlah hal yang penting.

“Tuan, sudah sampai.”

Kata-kata Rangga yang duduk di bagian depan membuat Kai baru sadar kalau mobil yang dinaikinya sudah berhenti. Kai pun keluar dari mobilnya diiringi dengan Rangga yang langsung berjalan bersisian dengannya.

“Selamat pagi, Pak Kaisar.”

Kai mengangguk sopan sambil sesekali tersenyum simpul pada pegawainya. Para pegawainya memang terbiasa memanggilnya Kaisar. Kadang ia risih karena nama itu terkesan terlalu ‘berat’, tapi ia juga sudah terlalu malas untuk mengoreksi mereka.

“Jadi jadwalku hari ini apa saja?” tanya Kai saat mereka berada di lift yang akan membawanya menuju lantai 25, tempat di mana ruangannya berada.

“Hanya ada satu meeting untuk membicarakan mengenai audit eksternal yang akan dilakukan dua minggu lagi.”

Kai mengangguk paham. Jarang sekali ia mendapatkan satu hari dengan satu meeting saja, ia harus bekerja seefisien mungkin agar bisa mengakomodasi waktu luang yang sangat jarang ia dapatkan ini.

“Kaisar….”

Sapaan dari suara seorang lelaki yang merupakan perokok berat itu membuat Kai langsung memicingkan matanya saat tatapannya bertemu dengan pendatang di ruangannya itu.

Kai pun beralih pada Rangga yang sepertinya juga terkejut dengan kehadiran Barata--ayahnya, di ruang kerjanya sepagi ini. “Nanti aku panggil lagi.”

Rangga pun mengangguk dan menunduk hormat pada ayah atasannya sebelum pamit dari ruang kerja Kai.

Kai menutup pintu di belakangnya dan beranjak menuju wine cellar yang ia miliki di sudut ruangan.

“Sepagi ini sudah minum wine?” komentar Barata tak setuju.

“Kalau Papa nggak ke sini pagi-pagi, aku nggak akan minum.”

“Oh, that’s hurt,” canda Barata yang ditanggapi dengan dingin oleh Kai.

Kai beranjak duduk di sofa yang berseberangan dengan Barata sambil menyesap wine-nya. “Ada apa Papa ke sini?”

“Kristal belum mulai kerja di sini?”

Kai tak menyembunyikan ketidaksukaannya terhadap Kristal di depan keluarganya. Biasanya ibunya hanya menghela napas dan menasehatinya, sedangkan ayahnya lebih keras lagi untuk membuatnya menerima Kristal.

Kadang Kai merasa orangtuanya lebih menyayangi Kristal daripada dirinya. Dan bertambah lagi satu alasannya membenci Kristal.

“Dia sudah bekerja di GPP,” sahut Kai menyebut singkatan nama lawfirm tempat Kristal bekerja yang sudah terkenal di kalangan publik. “Untuk apa dia turun jadi legal di sini?”

“Supaya kalian bisa berada di satu lingkungan yang sama dan akhirnya kamu jatuh cinta dengannya—setidaknya itu yang diungkapkan mamamu.”

Kai mendengus pelan. “Bilang sama Mama, ini bukan skenario film roman picisan yang sering beliau tulis.”

“Mamamu akan marah besar begitu denger ejekanmu itu, Kai.” Barata tertawa pelan.

Keluarga mereka memang campuran antara keluarga pebisnis dan pelaku seni. Barata merupakan pebisnis yang berani keluar dari lingkup perusahaan keluarga dan membangun usahanya dari nol hingga kini bisa diwariskan kepada Kai.

Istrinya, Martha, merupakan penulis skenario film dan novel roman yang terkenal hingga hampir dua puluh tahun lamanya.

“Aku serius, Pa.”

“Papa dan Mama juga serius.” Kali ini Barata terlihat serius juga, tak seperti beberapa menit sebelumnya yang masih bisa melemparkan candaan.

Di antara keluarganya, Barata dan Martha merupakan orang yang luwes dan senang bercanda. Hanya Kai yang sering terlihat kaku dan dingin, seakan-akan siap memusuhi siapa pun kapan saja.

“Papa pikir kamu dulu nggak suka dia hanya karena dia sering manja sama kamu waktu kecil.” Barata kembali teringat bagaimana dulu ia menyaksikan sendiri pertumbuhan Kristal dan Kai sejak kecil. “Tapi kenapa sampai sekarang kamu seakan-akan nggak peduli sama dia?”

“Pa, aku sudah menikah sama dia seperti apa yang kalian harapkan.” Kai menatap Barata dengan senyum sinis di wajahnya. “Kalian udah meminta hal yang cukup besar dariku. Apa nggak berlebihan kalau kalian juga memintaku peduli dengan orang yang sebenarnya tak ingin kunikahi?”

Barata terdiam di tempatnya.

Kai meletakkan gelas wine-nya yang sudah kosong ke atas meja dan bangkit berdiri. Ia berjalan menuju pintu, memilih untuk menjadi orang yang pertama keluar dari ruangan ini sebelum ia melampiaskan emosinya pada ayahnya sendiri.

“Pa, jadi manusia pun kita harus sadar diri. Jangan selalu meminta hal-hal yang nggak mungkin untuk diwujudkan. Aku udah menikahi Kristal sesuai apa yang kalian minta sejak awal, jadi jangan berharap dan meminta lebih.”

Setelah mengatakan itu, Kai pun keluar dari ruangannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status