Share

BAB 7 - Dugaan yang Salah

“Aku di… kantor Kai.”

“Huh? Kantor Kai? Yang mana?”

Kristal ingin terkekeh mendengar pertanyaan polos Renjana. Big Screen—nama PH keluarga Kai memang bukan satu-satunya perusahaan Kai yang ia pimpin. Tapi masih ada perusahaan lain yang lelaki bangun sendiri dari nol dan Renjana tahu itu.

“Big Screen.” Kristal menyebut nama PH Kai yang kantornya terletak di daerah Sudirman, masih satu gedung dengan perusahaan Kai yang lain sebenarnya.

“Oh, yang di daerah Sudirman ya.” Renjana langsung mengingatnya. “Tumben kamu ke sana? Kamu mau casting jadi pemain film?”

“Nggaklah.” Kristal menggeleng pelan mendengar ide sahabatnya itu. “It’s a long story. Kenapa kamu nanya aku di mana?”

“Ketemu, yuk.”

“Oh, boleh.” Kristal baru saja ingin mengajukan restoran favorit mereka sebagai tempat pertemuan saat sadar pekerjaannya masih banyak. “Tapi pekerjaanku masih banyak.”

“Ya udah, aku ke sana ya.”

“E-eh, jangan—”

Terlambat. Karena setelahnya Renjana sudah lebih dulu mengakhiri sambungan telepon dan Kristal hanya bisa menghela napas.

Ya sudah, lebih baik kukerjakan semuanya lebih cepat saja, pikir Kristal sambil kembali membaca dokumen di hadapannya dengan cepat.

Sudah satu jam berlalu sejak ia mengerjakan tugas barunya dan Kristal sudah mulai memahami hal-hal yang harus ia kuasai mengenai Big Screen. Perempuan itu mencoba menepis pikirannya yang mengatakan kalau Shiana jelas-jelas tidak menyukainya.

Setidaknya, ia mencoba untuk berpikir positif dulu.

Ponselnya yang diatur dengan mode getar sedikit mengejutkannya saat bergetar singkat. Tanpa membuka kunci layarnya, Kristal membaca pesan terbaru dari Renjana yang tampil di layarnya.

Aku sudah di lobi, kutunggu di MAXX Coffee ya.

Perempuan berambut panjang dan hitam legam itu menoleh ke arah ruangan legal manajer yang berdinding kaca, namun ia taidk menemukan sosok Shiana di sana. Kepalanya menoleh ke sekitar, tapi tak kunjung menemukan sosok atasannya itu.

Akhirnya Kristal memutuskan untuk menghampiri salah satu legal staff yang mejanya paling dekat dengannya. Seorang lelaki yang Kristal perkirakan baru berumur sekitar 24 tahun.

“Hei,” sapa Kristal dengan ramah, untungnya lelaki itu juga membalas sapaannya dengan ramah.

“Saya ada perlu sebentar untuk turun ke lobi, mau izin ke Bu Shiana tapi beliau nggak ada. Kalau beliau cari saya, bisa tolong sampaikan saya ke lobi sebentar?”

“Oh, bisa, bisa. Nanti saya sampaikan ke Bu Shiana.”

Kristal tersenyum senang lalu pamit untuk ke lobi. Sejak hari pernikahannya, ia memang agak membatasi pertemuannya dengan Renjana. Bisa dibilang mereka baru bertemu dua kali, padahal dulu minimal sekali seminggu mereka akan bertemu.

Rasanya Kristal belum siap untuk Renjana bisa melihat kesedihannya yang terpampang jelas. Mungkin itu sebabnya juga Renjana yang khawatir padanya langsung menyusulnya ke sini.

Begitu sampai di lobi, Kristal langsung melangkah menuju gerai MAXX Coffee. Di sana, ia melihat sosok Renjana tengah duduk membelakanginya. Sahabatnya itu memilih meja yang ada di sisi dinding kaca gedung.

“Kristal? Ngapain kamu di sini?”

Teguran yang ia dapat saat baru saja masuk ke gerai coffee shop tersebut membuat langkahnya terhenti. Di hadapannya, sosok Shiana tengah berdiri menghadang jalannya.

“Oh, Bu Shiana di sini rupanya.”Kristal bicara setenang mungkin. “Saya tadi mau izin nemuin temen saya sebentar, tapi Bu Shiana nggak ada.”

“Alasan aja kamu,” tukas Shiana tak suka. “Karena kamu pergi tanpa izin, silakan kamu kembali ke atas untuk—”

“Sore, ladies.”

Kristal menoleh untuk mendapati Renjana kini berdiri di belakang Shiana. Shiana pun ikut menoleh ke belakangnya dan sedikit terkejut mendapati sosok Renjana Putri, istri dari Aiden Ganendra si kasanova paling dicari di Jakarta, menyapanya.

“Y-ya?” Aura intimidatif yang dikeluarkan Renjana hampir setiap saat itu rupanya berhasil membuat Shiana tergagap.

Kristal memang bisa menjadi sosok yang intimidatif di ruang sidang atau menghadapi orang-orang yang menyebalkan di pekerjaannya. Tapi berbeda dengan Renjana, yang bisa menjadi sangat intimidatif dan menyeramkan bahkan tanpa ia inginkan.

Sepertinya kerasnya kehidupan Renjana selama ini mampu membuatnya terlihat untuk selalu diperhitungkan baik-baik oleh orang lain.

“Anda siapa?” tanya Renjana dengan sopan walau nada suaranya terkesan dingin.

“Saya Shiana, legal manager di Big Screen.” Shiana mengulurkan tangannya dengan cepat, yang untungnya dibalas oleh Renjana.

Mengetahui siapa Kristal sesungguhnya, tentu membuat Shiana juga tahu siapa sosok Renjana. Renjana sendiri sudah sangat sering masuk kanal berita karena prestasinya atau rumah tangganya.

“Saya Renjana, sahabat Kristal. Dan maaf sebelumnya, saya yang meminta dia untuk ke sini menemui saya.”

Shiana mengangguk kaku. Walau ia merasa terintimidasi dengan tatapan tajam Renjana, ia ingin mencoba keberuntungannya sekali lagi. “Tapi saya hanya kasih dia waktu dua jam untuk membaca semua dokumen yang harus ia review lagi ke saya.”

Satu alis Renjana naik, tak suka dengan bagaimana Shiana dengan terang-terangan mengatakan bahwa ia meminta Kristal melakukan hal yang mustahil.

“Kamu nggak tahu, ya, siapa Kristal ini?”

Kristal menatap Renjana yang justru tengah menatap Shiana dengan tajam. Perempuan itu langsung menarik tangan Renjana hingga sahabatnya hampir terkesiap kaget.

“Apa kita bisa tunda bahas dokumennya setengah jam lagi, Bu Shiana?” tanya Kristal dengan cepat. “Setengah jam, paling lama.”

Shiana tidak suka dengan hal yang diminta Kristal, tapi tak mungkin juga ia bersikap kejam di depan Renjana. Bagaimanapun ia punya imej yang harus dijaga.

“Baiklah, setengah jam lagi, saya tunggu.”

Begitu Shiana melangkah keluar, Renjana langsung menarik Kristal ke meja yang tadi ia tempati. Beruntung coffee shop itu tak terlalu ramai hingga tak ada yang menyadari drama barusan.

“Kenapa kamu bersikap kayak gitu?”

“Aku nggak mau kamu mengumumkan statusku sebagai istri Kai di sini,” jawab Kristal jujur.

Renjana mengerutkan keningnya. “Memangnya Kai nggak memberi pengumuman tentang pernikahannya?”

Kristal sudah tak peduli lagi apakah ia terlihat menyedihkan atau tidak di hadapan Renjana. Ia menggeleng pelan.

“Dia cuma mengumumkan kalau dia menikah ke jajaran C-officer. Level manajer ke bawah cuma tahu rumor-rumor aja.”

“Oh my God…,” desis Renjana pelan. “Dan kenapa kamu cegah aku barusan? Bagaimanapun cepat atau lambat orang-orang akan tahu statusmu dan Kai. Toh kalian nggak menyembunyikan ini rapat-rapat juga.”

“You know him, Jan.” Kristal berkata dengan lemah. “And you know me. Kalau dia nggak mau ada yang tahu tentang aku, maka aku nggak akan memberi tahu orang lain.”

Renjana menggeleng perlahan, prihatin dengan nasib Kristal. “Cinta memang bisa membuat orang-orang jadi bodoh ya,” komentar Renjana pelan.

Kristal mengerucutkan bibirnya. “Tolong berkaca, kamu ke Aiden bukannya sama aja? Cuma nggak ketahuan orang aja, sedangkan aku gampang dibaca orang lain.”

“Iya, iya, aku tahu itu.” Renjana mengedikkan bahunya. “Tapi… apa kamu baik-baik aja?”

“Kurasa iya.” Kristal mengangguk ragu. “Kurasa aku baik-baik aja selagi orang-orang di sini nggak tahu kalau Kai adalah suamiku atau nggak mengungkit soal pernikahanku di depan wajahku dan Kai.”

***

Ting.

Denting lift menyadarkan Kai kalau ia sudah tiba di lobi gedung. Ia melangkah keluar dan menuju MAXX Coffee. Jam tiga sore seperti saat ini adalah waktu rutinitas minum kopinya terlaksana.

Karena sedang ingin mencari suasana baru dan mencoba untuk tak merisaukan kehadiran Kristal hari ini di kantornya, Kai pun memutuskan untuk membeli kopinya sendiri. Biasanya Rangga sudah siap sedia membelikan kopinya.

“Satu cafe latte,” pesan Kai pada barista yang menerima pesanannya di counter.

Saat ia tengah memperhatikan kue-kue yang terpajang di display sembari menunggu kopinya jadi, samar-samar ia mendengar namanya disebut.

“Aku nggak mau kamu mengumumkan statusku sebagai istri Kai di sini.”

Suara itu tak keras, cenderung rendah dan agak berbisik. Namun kondisi MAXX Coffee yang sepi membuatnya bisa mendengarnya dengan jelas. Saat ia mencari pemilik suara yang ia kenal, matanya menangkap sosok Kristal dan Renjana tengah duduk di meja yang tak jauh dari counter area.

Dia lagi, keluh Kai dalam hati. Baru sehari perempuan itu bekerja di sini, tapi rasanya Kai sudah melihatnya di mana-mana.

Kai menegakkan tubuhnya yang tadinya sedikit membungkuk untuk memperhatikan detail kue yang ada. Namun, kini nafsu makannya sudah hilang.

Saat ia ingin cepat-cepat pergi dari sana, telinganya kembali menangkap suara Kristal.

“Kurasa aku baik-baik aja selagi orang-orang di sini nggak tahu kalau Kai adalah suamiku atau nggak mengungkit soal pernikahanku di depan wajahku dan Kai.”

Kai menahan diri untuk tak mendengus. Lelaki itu menyugar rambutnya dengan geram.

Apa dia sampai harus bicara selugas itu di gedung ini? Saat ada aku yang juga mendengarnya? Dia yang meminta untuk menikah denganku, kenapa juga kesannya dia yang malu karena pernikahan ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status