Beranda / Rumah Tangga / Istri yang Tak Dinafkahi / 2 Pusingnya Ngatur Keuangan

Share

2 Pusingnya Ngatur Keuangan

Penulis: Setia_AM
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-23 14:07:11

“Cukup, cukup, Di! Wah, kalau kayak begini gaji kamu, ibu yakin nih bisa nabung buat masa depan!”

Sindy membeku di tempatnya berdiri. Tangan yang semula akan mengetuk pintu rumah mertuanya, kini menggantung di tengah udara.

Mas Ardi gajian? Bukankah belum waktunya? Atau dia punya kerja sampingan, tapi kenapa aku nggak dikasih tahu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berjubelan di dalam pikiran Sindy.

“Ya sudah, Bu. Aku pergi dulu, ya?”

“Hati-hati, Di. Yang semangat kerjanya, biar dapat banyak uang!”

Ardi tersenyum lebar seraya keluar dari balik pintu, tapi seketika senyum itu memudar ketika melihat keberadaan Sindy tepat di depannya.

“Sin? Sejak kapan kamu di situ?” Ardi tergagap, begitupun ibunya yang berdiri di belakang sang putra.

“Baru saja kok, ini ngantar soto buat ibu.”

“Wah, kamu masak soto, Sin?”

“Iya, Bu.”

“Nah, gitu dong! Jangan tahu tempe terus, bisa bosen Ardi kalau menu masakan kamu itu-itu saja tiap hari!” komentar ibu mertua, yang ditanggapi dengan senyuman getir di bibir Sindy.

Boro-boro ucapan terima kasih, yang ada justru ibu Ardi sibuk mengoceh tentang masa lajang putranya yang senantiasa makan menu bergizi setiap hari.

“... jadi memang sejak muda, Ardi tuh saya biasakan untuk makan yang mengandung nutrisi tinggi. Kamu lihat kan badan Ardi yang cukup berisi, biarpun kemarin-kemarin sempat kurus karena pola makan yang buruk gara-gara menu masakan kamu nggak pernah ganti ...”

Sindy melirik Ardi, berharap suaminya itu membela walau hanya sepatah dua patah kata saja. Namun, seperti biasa Ardi malah justru ikut mendengarkan ceramah ibunya tanpa memikirkan perasaan sang istri.

“Pulang yuk, aku lapar!” ajak Ardi setelah ibunya masuk rumah.

Sindy yang hatinya masih dongkol, hanya diam saja meski kakinya segera melangkah.

“Kamu tahu saja makanan kesukaan aku, kemarin-kemarin ngapain saja?” komentar Ardi dengan bibir yang begitu ringan saat dia menatap satu panci kuah soto di atas meja berikut lauk pelengkapnya.

“Kamu nggak pernah ngerti gimana pusingnya ngatur keuangan yang mepet begini ...” keluh Sindy sambil menyendokkan nasi ke dalam mangkok.

“Buktinya kamu bisa masak enak juga kan? Masa setiap hari harus diajari dulu sama ibuku.”

Sindy diam, enggan meladeni ucapan Ardi yang seenak jidat.

“Dagingnya mana?” Ardi mengerutkan kening ketika melihat sajian nasi soto di hadapannya.

“Aku nggak beli daging, Mas. Uangnya nggak cukup, daging sapi kan mahal.”

Wajah Ardi yang tadinya cerah, mendadak berubah karena mendengar penjelasan Sindy.

“Terus ini soto apaan? Bukan soto daging nih kalau begini, masa cuma ada irisan lemak sapi doang!”

“Uangnya cuma cukup buat beli itu, Mas. Kan yang penting rasa kuahnya, coba icip deh.”

“Enggak ah, bikin selera makanku hilang aja. Masa soto daging, tapi nggak ada dagingnya. Lemak sapi kayak begini kan nggak sehat, Sin.”

“Terus ini gimana, aku sudah telanjur ambilkan nasi buat kamu. Coba dulu lah, Mas. Setidaknya ini bukan tempe ...”

“Males!”

Sindy menarik napas dalam-dalam.

“Aku sudah susah payah masak lho buat kamu,” katanya berusaha sabar.

“Masak itu yang bener, Sin! Beli daging sapi sedikit kan bisa, bukannya lemak begini.”

“Aku kan sudah bilang kalau uangnya nggak cukup.”

Ardi berdecak, dia paling tidak senang kalau Sindy membahas nominal uang yang tidak pernah cukup.

“Kamu tuh bisa nggak sih belajar dari ibu aku? Dia pintar mengelola uang berapa pun jumlahnya,” omel Ardi sambil menyendok nasi yang sudah bercampur kuah panas. “Sudah hemat, masakan selalu enak, masih bisa nabung pula ... Kamu ini gimana sih? Jadi istri kok nggak bisa atur uang belanja.”

Sindy diam saja, ada rasa sesak di dada yang sulit untuk dijabarkan.

***

Pagi itu Sindy terbangun dengan perasaan gerah, dia menoleh dan melihat putrinya berbaring menggigil.

“Sisil, kamu demam?” Sindy baru sadar saat meletakkan tangan di atas kening putrinya. “Maaf ya, ibu baru bangun ...”

Cepat-cepat Sindy mengambil tablet penurun panas dan segelas air putih untuk putrinya.

“Mas, aku minta uang buat jaga-jaga. Sisil demam soalnya,” pinta Sindy sebelum Ardi berangkat kerja.

“Kasih aja obat warung kayak biasa.”

“Sudah, Mas. Tapi masih demam sedikit, nggak ada salahnya kan jaga-jaga?”

“Kamu sambil kompres pakai air dingin coba,” suruh Ardi sambil bersiap menyalakan mesin motornya. “Jadi istri itu selain harus pintar menghemat uang belanja, dia juga harus bisa mengatasi berbagai masalah.”

“Tapi aku bukan dokter, Mas!” Sindy akhirnya habis kesabaran. “Lagian aku minta uang juga buat jaga-jaga, nanti aku kembalikan kalau memang nggak jadi terpakai!”

Ardi berdecak, lalu mengeluarkan dompetnya. Cukup lama dia memilin-milin uang yang ada di dompet, sebelum akhirnya menarik satu lembar uang berwarna biru.

“Itu uang kamu ada banyak, diminta sedikit kok nggak boleh.” Sindy mengomel.

“Ini temanku nitip buat bayar kontrakan, janji ya dibalikin kalau uangnya nggak jadi dipakai buat periksa?”

“Ya ampun, Mas! Cuma lima puluh ribu loh ini, itu juga buat anak kita!”

Ardi hanya mengangkat bahu, lalu maju pergi dengan sepeda motornya.

Sepanjang hari itu Sindy mengompres kening putrinya menggunakan air hangat dengan telaten, seraya berdoa untuk kesembuhannya.

Sore hari, Sindy terbangun dari tidur dengan panik. Buru-buru dia periksa kening Sisil dan ternyata panasnya sudah menurun.

“Bu, lapar ...” lirih Sisil dengan suara yang nyaris tidak terdengar. “Haus ...”

“Sebentar ya, ibu ambilkan makan buat kamu.”

Si kecil mengangguk pelan. Sindy lekas menyiapkan makanan berkuah dan segelas teh hangat supaya putrinya tidak dehidrasi.

“Makan dan minum yang banyak ya, biar badan kamu berkeringat.”

Sisil mengangguk saat Sindy menyuapinya, anak kecil itu makan dengan lahap meski hanya dengan kuah soto saja.

Itupun dia beli pagi tadi karena tidak sempat memasak.

“Mas Ardi kok belum pulang juga, ya?” gumam Sindy ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. “Sisil kan sakit, setidaknya biar bisa gantian jaga kalau dia pulang cepat.”

Tubuh Sindy benar-benar terasa letih, dia berharap Ardi segera tiba di rumah sehingga bisa gantian menjaga Sisil.

Namun, hingga jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam, Ardi belum juga tampak batang hidungnya.

“Ya ampun, benar-benar keterlaluan!” Geram, Sindy meraih ponselnya dan menghubungi Ardi.

Terdengar nada sambung yang menandakan ponsel milik suaminya itu aktif, tapi tidak kunjung diangkat sampai dia harus mengulang lagi panggilannya.

“Mas Ardi ke mana sih, sudah jam segini ...” keluh Sindy sambil berjalan mondar-mandir di teras rumah.

Usai panggilan yang kesekian kali, akhirnya Ardi memberikan respons.

“Halo? Apa sih nelepon terus?”

“Mas, kamu kok belum pulang?” tanya Sindy buru-buru.

“Aku ada urusan, kenapa sih?”

“Sisil kan lagi sakit, Mas. Aku butuh kamu buat gantian jaga ...”

“Aku masih sibuk sama adik-adik aku, Sin. Kamu jaga Sisil dulu, ya!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri g berguna kau nyet. cuma menerima aja bisa mu. klu kau begitu terus, bisa2 anakmu meregang nyawa . kau kebanyakan drama njing. tau suami bohong kau diam aja. mampuslah kau goblok
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Istri yang Tak Dinafkahi    3 Perkara Uang Lima Puluh Ribu

    “Tapi, Mas ...” “Kak Ardi, aku boleh ambil tas itu nggak?” Tiba-tiba Sindy mendengar ada suara yang menyela. “Boleh dong, ambil saja yang kamu suka!” “Kak, aku mau sepatu yang itu ...” “Ambil sana, kakak yang bayar!” Sindy mengepalkan sebelah tangan, dia sangat mengenali suara-suara itu. Adik-adik iparnya. “Wah, Kak Ardi lagi banyak uang nih kayaknya!” “Jelas, makanya kita bisa puas jalan-jalan hari ini!” Dengan tubuh lunglai, Sindy duduk terpekur di kursinya sementara ponsel masih menyala di dekat telinganya. Kemungkinan Ardi lupa mematikan sambungan mereka sampai Sindy bisa mendengar percakapan mereka. “Habis ini kita mau makan apa, adik-adikku yang cantik?” Suara Ardi begitu penyayang saat bertanya kepada adik ipar Sindy. “Aku mau ayam goreng tepung, Kak!” “Oke, kalau Mita mau apa?” “Burger sama minuman soda, Kak!” “Ayok, belanjanya dibayar dulu. Habis itu kita makan sama-sama!” “Siap, jangan lupa bungkus juga buat ibu sama ayah di rumah, Kak!” “Be

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Istri yang Tak Dinafkahi    4 Mengabaikan Anak dan Istri

    “Lho, memangnya kenapa kalau Ardi memanjakan saudara-saudaranya? Itu juga pakai uang Ardi kan, kamu iri? Nggak boleh begitu, Sin. Jadi istri jangan banyak nuntut dan protes terhadap apa yang dilakukan suami.” Ibu mertua kembali ceramah. “Gimana aku nggak iri, Bu? Kemarin itu Sisil sakit, tapi Mas Ardi perhitungan banget cuma kasih uang lima puluh ribu. Itupun akhirnya minta dikembalikan karena Sisil nggak jadi periksa ke dokter,” ungkap Sindy agar ibu mertua tahu bagaimana kelakuan ajaib putra kebanggaannya itu. “Salahnya Ardi di mana ya, kan Sisil juga nggak jadi periksa? Daripada uangnya kamu buat foya-foya, lebih baik diambil sama Ardi buat ditabung.” Merasa disudutkan, Sindy kembali melontarkan protes kepada Ibu mertuanya. “Foya-foya dari mana, Bu? Uang lima puluh ribu bisa dapat apa sih?” “Sudah, sudah, kamu ini kalau dikasih tahu selalu saja membantah. Heran, makin ke sini makin membangkang kamu ya? Hati-hati kualat sama suami sendiri, Sin ...” “Nggak kebalik, Bu? Seh

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Istri yang Tak Dinafkahi    5 Kamu kan cuma di Rumah

    “Saya izinkan kamu bawa anak, Nesi yang akan asuh sementara kamu memasak menu. Kalau respons pelanggan bagus dan resto ini kembali ramai secara bertahap, kamu saya angkat jadi pegawai tetap di sini.” Bak terhipnotis, Sindy mengangguk saja ketika pria berkaca mata itu memberikan penegasan dalam setiap kata-katanya. “Pak Zayyan memang gitu, tegas. Tapi aku yakin kok kalau kamu mampu, Sin.” Nesi menghibur Sindy saat menceritakan sikap bos mereka. Hari pertama, sampel ikan bakar buatan Sindy mendapatkan respons yang lumayan positif. Beberapa pelanggan bahkan tak ragu memesan untuk dimakan di rumah. Hal itu membuat Sindy termotivasi, dia akan bekerja diam-diam tanpa sepengetahuan Ardi jika bos memberinya kesempatan. “Kamu cari kerja dong, biar perekonomian kita nggak gini-gini aja ...” tuntut Ardi suatu hari, tanpa rasa sungkan sedikitpun. Sindy menyodorkan suapan terakhir ke mulut sang putri yang sedang makan. Ardi dengan tidak sabar menunggu jawaban dari Sindy. “Mau ya,

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Istri yang Tak Dinafkahi    6 Laki-laki Harus Ditaati

    Ardi mematung setelah Sindy meluapkan amarahnya sedemikian rupa.“Jangan sok tahu kamu, Sin. Sudah bagus aku tidak lupa kasih kamu nafkah ...”“Tapi seharusnya kamu memprioritaskan keluarga kecil kamu dulu, baru orang tua kamu!”Ardi berdecak. “Sudah deh, kamu cukup-cukupkan dulu nafkah dari aku. Bersyukur masih dikasih rejeki ...”“Harusnya kamu katakan itu sama orang tua kamu! Kalau memang nggak punya uang cukup, kenapa harus masak ayam ungkep? Menu lainnya kan bisa!”“Eh, lancang kamu ya! Siniin uangnya, seratus ribu saja nggak apa-apa!”“Tapi minggu ini jadwalnya bayar listrik sama air, Mas!”“Kamu kan sebentar lagi kerja, utang dulu sama temen kamu kek, siapa kek ... Sini uangnya, seratus ribu saja kok pakai adu mulut!”“Itu kalau kamu kasih aku seminggu satu juta, aku nggak masalah kamu ambil seratus dua ratus! Ini cuma lima ratus, masih juga dikorup! Nih, ambil semuanya sekalian!”Ardi kaget saat Sindy melempar lembaran uang warna merah itu ke arahnya.“Sin, kamu apa-

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • Istri yang Tak Dinafkahi    7 Aku Adalah Milik Ibuku

    “Mata kamu kok sembab banget, Sin?” sambut Nesi saat Sindy tiba di resto keesokan harinya. “Berantem lagi sama Ardi?” “Begitulah, aku sudah nggak kuat ...” Nesi cepat-cepat menggendong Sisil, dan memotivasi Sindy untuk terus berjuang demi masa depan. “Kalau Ardi nggak niat kasih nafkah, biarkan saja. Saatnya kamu unjuk gigi dengan jadi tukang masak di resto ini, Pak Zayyan sudah janji mau angkat kamu jadi karyawan tetap kalau resto ramai lagi kan?” Sindy mengangguk pelan. “Nah, jangan sia-siakan kesempatan itu! Biarkan Ardi dengan doktrin keluarganya, nanti akan tiba saatnya kamu membalikkan keadaan.” “Apa aku mampu, Nes?” “Pasti, kamu punya kelebihan. Jangan ragu untuk maju, Sin. Punya suami dzolim kayak Ardi, harus bikin kamu tahan banting. Cari uang sendiri untuk kamu nikmati sendiri sama Sisil, oke?” Sindy terdiam sebentar. “Aku bukannya nggak mensyukuri nafkah dari Mas Ardi, berapapun itu pasti aku terima. Asalkan bukan sisa setelah nafkah itu dikurangi untuk kebut

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Istri yang Tak Dinafkahi    8 Saat Ardi yang Belanja

    “Nes, gimana? Pak Zayyan setuju nggak soal permintaan aku kemarin?” tanya Sindy penuh harap. “Aku butuh buat ongkos ke resto juga soalnya ...”“Tenang, sama aku sih beres!”“Beres gimana?”“Pak Zayyan bilang kalau nggak boleh ada hambatan bagi kamu untuk bisa membuat resep ikan bakar favorit pelanggan, karena itu dia setuju untuk kasih kamu gaji mingguan.”“Alkhamdulillah ...”“Eits, tapi ada syaratnya!”“Apa tuh?”“Jangan bilang ini ke pegawai lain, takutnya pada iri karena di sini sistemnya bulanan.”Sindy manggut-manggut mengerti.“Sebisa mungkin aku akan jaga rahasia, Nes. Nggak mungkin aku banyak tingkah.”“Ya sudah, semoga kamu semakin termotivasi dan tetap konsisten menyajikan ikan bakar yang rasanya spektakuler!”“Pasti, aku akan berjuang.” Sindy berjanji.Beberapa hari kemudian, Ardi telah menerima gaji dan mulai mengatur sendiri keuangan rumah tangganya.“Nih, buat belanja besok.” Ardi mengulurkan uang sebesar dua puluh ribu rupiah kepada Sindy. “Kamu masak ayam goreng, sop

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Istri yang Tak Dinafkahi    9 Punya Hubungan Darah

    “Sin, buatkan saya dua puluh porsi ikan bakar untuk rekan-rekan saya. Minta bantuan Meta yang urus kardus makanan,” perintah Zayyan pagi itu saat Sindy sibuk meracik bumbu andalannya.“Komplit sama nasinya, Pak?”“Tentu saja, sambal dan lalapan juga jangan lupa.”Sindy mengangguk sigap.“Kira-kira hari apa pesanan saya selesai?” tanya Zayyan memastikan.Untuk sejenak, kepala Sindy penuh dengan hitung-hitungan antara tenaga dan waktu yang dibutuhkan.“Dua-tiga hari, Pak. Soalnya saya kerja sendiri ...”“Tidak bisa dipercepat lagi? Kalau perlu kamu lembur, saya akan kasih bonus kalau sudah selesai.”Sindy mempertimbangkan permintaan Zayyan. Sebetulnya bukan permintaan, melainkan perintah karena nada suara pria itu terdengar tegas dan Sindy tidak menemukan celah sedikitpun untuk memberikan penolakan.Belum lagi tawaran bonus yang dijanjikan Zayyan, tentu saja membuat jiwa perhitungan Sindy meronta-ronta.“Anak saya ikut lembur, nggak masalah kan, Pak?” tanya Sindy ragu.“Meman

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Istri yang Tak Dinafkahi    10 Punya Penghasilan Sendiri

    “Bagaimana, Pak?” tanya Sindy ketika Zayyan sendiri yang datang untuk mengambil pesanan ikan bakar ke resto. “Tampilan kardus dan tatanan isinya?” Sebelum menjawab, Zayyan membuka salah satu tutup kardus dan mengamati sajian ikan bakar di dalamnya sementara Sindy harap-harap cemas. Khawatir jika apa yang dia dan teman-temannya lakukan tidak sesuai dengan ekspektasi Zayyan. “Lumayan, saya akan kasih bonusnya sekarang juga. Berapa nomor rekening kamu, biar saya transfer ...” “Kalau saya minta tunai, boleh Pak?” tanya Sindy buru-buru. “Masalahnya mau saya bagi sama teman yang bantu saya tadi.” Zayyan terlihat mempertimbangkan permintaan Sindy, tidak lama setelahnya dia menganggukkan kepala. “Ini, pergunakan dengan baik.” Zayyan menarik berlembar-lembar uang warna merah kepada Sindy. “Terima kasih, Pak!” Sindy mengangguk, terlebih karena mendengar ucapan terakhir Zayyan yang seolah menyiratkan sesuatu. Tanpa menunda waktu lagi, Sindy segera membagi uang itu kepada N

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26

Bab terbaru

  • Istri yang Tak Dinafkahi    125

    Waktu berlalu, sindy bersyukur karena tidak ada telepon dari Ardi lagi yang menanyakan kabar Sisil. Bukan apa-apa, dia malas saja jika harus ribut dengan mantan suaminya itu perkara adu pendapat yang berbeda."Pak, ada Ardi di depan." Nesi memberi tahu tepat ketika Zayyan muncul dari balik pintu ruangannya."Kapan dia datang?""Baru beberapa menit yang lalu, Pak. Dia datang sama adiknya yang dulu itu ...""Oke," angguk Zayyan yang sudah bisa menebak siapa adik Ardi yang ikut serta. "Tolong panggilkan sindy sekalian, biar tidak ada kesalahpahaman.""Baik, Pak."Usai Zayyan berlalu untuk menemui Ardi lebih dulu, Nesi segera melesat ke dapur untuk memanggil Sindy."Kerjaan kamu sudah selesai belum, Sin?" Tanya Nesi buru-buru. "Ada pesanan tadi, sudah selesai kok tapi ... Ada apa, Nes?""Kamu dipanggil Pak Zayyan, Ardi datang lagi tuh!" "Oh ya? Mau ngapain kira-kira ..."Nesi mengangkat bahu. "Ada mantan adik ipar kamu juga."Sindy membulatkan matanya ketika Nesi menyebut mantan adik ip

  • Istri yang Tak Dinafkahi    124

    "Terus apa yang harus aku lakukan kalau Ardi memaksa, Mas? Kejadian yang dulu itu fatal sekali, aku tidak mau terjadi lagi!"Suasana hati Sindy berubah gusar, dia tidak sanggup membayangkan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi akibat perbuatan ceroboh Ardi.Entah disengaja atau tidak."Nanti kita hadapi berdua, tapi ada baiknya juga kamu tanya Sisil dulu.""Sisil masih kecil, Mas. Dia pasti mau-mau saja kalau diajak pergi, apalagi sama ayahnya."Zayyan terdiam sebentar. Sebagai ayah sambung, tentu dia sependapat dengan sindy karena mengizinkan Sisil menginap di rumah Ardi memiliki risiko yang sangat luar biasa mengerikan.Namun, sekali lagi dia kalah secara status jika dibandingkan dengan ayah kandung Sisil.Bahkan orang tua Sindy sendiri juga menolak keras saat putri mereka menelepon untuk meminta pendapat."Aduh Sin, nanti cucu ibu hilang lagi kayak dulu! Ardi itu kan ceroboh ... beruntung Sisil nggak ketemu sama orang jahat ..."Rita langsung menyatakan ketidaksetujuannya saat Sind

  • Istri yang Tak Dinafkahi    123

    "Aku mau ajak Sisil menginap di rumahku selama beberapa hari," kata Ardi tanpa basa-basi. "Aku ini ayah kandungnya, jadi aku merasa punya hak untuk itu."Zayyan mengangguk. "Aku tidak akan menghalangi, tapi apa kamu sudah izin Sindy?""Kenapa aku harus izin sindy? Kan kamu kepala rumah tangganya, jangan bilang kalau kamu termasuk suami takut istri?"Zayyan tersenyum saja meski ucapan Ardi yang terakhir seolah mengejeknya."Aku menghargai sindy sebagai ibu kandung Sisil, karena itu tidak salah kalau aku harus minta izin dia kalau Sisil mau mengubah di rumahmu.""Alasan saja kamu ...""Terserah, pendapat Sindy juga penting bagiku."Ardi berdecih tidak suka. "aku tidak peduli. Dengan atau tanpa seizin sindy, aku tetap punya hak untuk membawa Sisil menginap.""Kalau sikap kamu arogan seperti ini, aku tidak yakin kalau Sindy akan kasih kamu izin.""Aku kan sudah bilang kalau aku tidak butuh izin dari kalian berdua, secara hukum aku punya hak penuh atas Sisil karena aku adalah ayah kandungn

  • Istri yang Tak Dinafkahi    122

    "Sindy sekarang sombong banget, Bu.""Sombong gimana, Di?"Sore itu Ardi tengah menikmati tenggelamnya matahari di halaman belakang rumah, ditemani sang ibu sekaligus secangkir kopi susu panas dan pisang goreng yang masih hangat."Dia bilang kalau Sisil jauh lebih berbahagia sama ayah tirinya sekarang ...""Serius sindy bilang begitu, Di?""Serius lah, makanya aku benci banget. Niat aku kan baik nanyain kabar Sisil, eh malah dia menyombongkan diri."Ratna geleng-geleng kepala, rasa tidak sukanya terhadap Sindy jadi semakin besar."Benar-benar sombong, apa dia nggak takut kualat sama kamu?""Tahu tuh ...""Lagian ayah tiri baik juga nggak selamanya, apalagi kalau nantinya si dia sudah bosan ... Bisa-bisa nangis darah itu sindy."Ardi manggut-manggut. "Nah, dia nggak mikir ke arah sana, malah sibuk menyombongkan diri.""Lagian tumben kamu telepon sindy segala?" Cibir Ratna tidak suka."Niat aku kan baik, Bu. Mau tahu kabar anak kami, makanya aku telepon sindy. Kan nggak mungkin aku nany

  • Istri yang Tak Dinafkahi    121

    "Nggak sopan gimana maksud kamu?""Kenapa kamu cuma sebut nama aku?""Lho, salahnya di mana?"Ardi tentu saja geram bukan kepalang."Mentang-mentang sudah cerai, kamu nggak ada rasa hormat sedikitpun sama aku lagi ... Kenapa kamu cuma panggil aku Ardi?""Lho, nama kamu kan memang Ardi? Apa sudah ganti jadi Michael?"Ardi mengepalkan tangannya erat-erat."Biar begini-begini juga aku tuh mantan suami kamu, tunjukkan dong rasa hormat kamu!""Aku nggak punya kewajiban untuk hormat sama kamu lagi, kecuali buat suamiku seorang.""Hah, sudahlah! Intinya aku mau memastikan kalau suami baru kamu itu benar-benar menyayangi Sisil dan nggak semena-mena kayak bapak tiri kejam. Awas saja kalau dia melakukannya ..."Dapat Ardi dengar jika Sindy menarik napas panjang di ujung sana."Sudah deh ya, intinya Sisil baik-baik saja. Mas Zayyan nggak jahat kayak apa yang kamu pikirkan, dia justru sayang banget sama Sisil melebihi kamu.""Apa?""Memang itu kenyataannya kok."Mendengar sindy memuji-muji lelaki

  • Istri yang Tak Dinafkahi    120

    "Apa sih, biasa saja kali ...""Aku kira kamu sudah move on.""Memang sudah, kamu saja yang telat info. Sibuk bisnis sih," ujar Mita tanpa menatap adiknya."Ya iyalah, mumpung ada kesempatan nih. Lagian tinggal posting-posting doang, barang nggak usah nyetok. Kalau laku, tinggal ambil di toko."Mita mencibir, meski dengan mata terarah lurus ke layar ponsel."Serius amat, sudah ada gebetan baru?" Tanya Sani penasaran."Kamu bikinkan aku kopi dulu, nanti aku kasih tahu cerita lengkapnya.""Dih, ogah banget!""Nggak ada salahnya berbakti sama kakak, San.""Kakak macam apa dulu?""Sudah deh, cepetan!"Dengan bibir maju, Sani pergi ke dapur dan menyeduh kopi untuk Mita."Jadi tuh aku lagi dekat sama seseorang, kali ini usianya nggak terlalu jauh. Memang lebih tuaan dia, tapi nggak sebanyak kakak bos." Mita mulai bercerita, saat Sani menyajikan secangkir kopi panas untuknya."Oh, terus?""Orangnya asyik, ramah, dan menyambut baik pertemanan kita." Mita melanjutkan. "Kalau nggak salah, dia k

  • Istri yang Tak Dinafkahi    119

    “Ma, biar aku saja yang suapi Sisil. Mama kan juga harus sarapan,” ujar sindy menawarkan diri.“Tidak apa-apa, kamu urus Zayyan saja. Mama akan sarapan setelah Sisil kenyang,” sahut Keke.Sindy menoleh ke arah Zayyan yang menganggukkan kepalanya.“Aku jadi nggak enak sama Mama, Mas.” Sindy berangkat ke resto bersama Zayyan, sementara si kembar naik motor seperti biasa.“Ini kan pengalaman pertama mama urus cucu, sin. Jadi kamu tidak usah merasa tidak enakan begitu,” sahut Zayyan tenang sembari menyalakan mesin mobilnya.“Aku ... tetap saja merasa tidak enak, Mas. Seperti egois karena membiarkan mama yang urus anak aku.”“Lho, Sisil juga anak aku sekarang. Cucu mama,” ralat Zayyan tidak sependapat. “Lagian kamu kan ngurusin aku, bukan orang lain.”“Iya, deh ...”Sindy akhirnya tidak memperpanjang pembicaraan mereka karena dia harus fokus untuk bekerja.Setibanya di restoran, terlihat Aftar sedang ngobrol bersama seseorang yang familiar di mata Sindy.“Itu anak bukannya lang

  • Istri yang Tak Dinafkahi    118

    “Kalau iya, bagaimana? Mama jadi khawatir, Zay.”“Masa ketemuan sama satu cewek saja sampai berjam-jam, palingan nongkrong sama teman-teman kampus yang kebetulan ada di sekitar sini.” Zayyan berpendapat.“Justru itu, bagaimana kalau cuma sama satu cewek? Ngeri mama membayangkannya.” Lebih ngeri lagi kalau cewek itu Mita, batin Sindy dalam hati. Dia tidak berani berpendapat, takut salah bicara.“Nanti jangan lupa Aftar suruh makan, Fan.”“Oke, Ma. Nggak usah dipikirin, Aftar kan sudah dewasa.”“Tapi pergaulan zaman sekarang ngeri-ngeri, Fan. Mama sering tuh lihat di berita, ngeri pokoknya.”“Urusan Aftar biar aku sama Affan yang pantau, Ma.” Zayyan yang khawatir, langsung menengahi. “Ya sudah, mama mau ngelonin Sisil dulu di kamar.”Zayyan dan Affan saling pandang usai ibu mereka pergi meninggalkan dapur.“Aku akan coba telepon Aftar,” kata Affan tanpa diminta, dia mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi saudara kembarnya.“Tar, cepat pulang! Bucin banget ... iya-iya, k

  • Istri yang Tak Dinafkahi    118

    "Jangan kebanyakan ngopi kamu," bisik Nesi karena Roni duduk tidak jauh dari mereka. "Memangnya kenapa sih?""Kamu kan sudah nikah lagi, sin ...""Ya terus?""Kebanyakan kopi bisa memengaruhi kesuburan, bukankah normalnya kamu sama Pak Zayyan mau punya momongan?" Celetuk Nesi, membuat mata Sindy melotot lebar."Memangnya ngaruh ya, lagian kan aku cuma minum satu cangkir. Bukan satu ember, Nes!""Iya sih, aku kan cuma mengingatkan saja. Kalau bisa sih jangan kebanyakan kafein ...""Siap, Bu Kasir!"Nesi cekikikan, setelah itu dia menoleh ke arah Roni."Sudah makan siang, Mas?""Sudah tadi, Nes."Masih sambil nyengir, Nesi kembali menatap sindy dan berbisik."Semoga cepat tekdung!"Hampir saja kopi yang ada di mulut Sindy tersembur keluar gara-gara bisikan Nesi, untung tidak sampai tersedak.**"Adik-adik kamu tidak pulang sama kita, Mas?" Sindy masuk mobil setelah jam kerja berakhir, dia celingukan ke tempat duduk belakang yang kosong melompong."Mereka bawa motor sendiri kok, sin."

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status