“Cukup, cukup, Di! Wah, kalau kayak begini gaji kamu, ibu yakin nih bisa nabung buat masa depan!”
Sindy membeku di tempatnya berdiri. Tangan yang semula akan mengetuk pintu rumah mertuanya, kini menggantung di tengah udara. Mas Ardi gajian? Bukankah belum waktunya? Atau dia punya kerja sampingan, tapi kenapa aku nggak dikasih tahu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berjubelan di dalam pikiran Sindy. “Ya sudah, Bu. Aku pergi dulu, ya?” “Hati-hati, Di. Yang semangat kerjanya, biar dapat banyak uang!” Ardi tersenyum lebar seraya keluar dari balik pintu, tapi seketika senyum itu memudar ketika melihat keberadaan Sindy tepat di depannya. “Sin? Sejak kapan kamu di situ?” Ardi tergagap, begitupun ibunya yang berdiri di belakang sang putra. “Baru saja kok, ini ngantar soto buat ibu.” “Wah, kamu masak soto, Sin?” “Iya, Bu.” “Nah, gitu dong! Jangan tahu tempe terus, bisa bosen Ardi kalau menu masakan kamu itu-itu saja tiap hari!” komentar ibu mertua, yang ditanggapi dengan senyuman getir di bibir Sindy. Boro-boro ucapan terima kasih, yang ada justru ibu Ardi sibuk mengoceh tentang masa lajang putranya yang senantiasa makan menu bergizi setiap hari. “... jadi memang sejak muda, Ardi tuh saya biasakan untuk makan yang mengandung nutrisi tinggi. Kamu lihat kan badan Ardi yang cukup berisi, biarpun kemarin-kemarin sempat kurus karena pola makan yang buruk gara-gara menu masakan kamu nggak pernah ganti ...” Sindy melirik Ardi, berharap suaminya itu membela walau hanya sepatah dua patah kata saja. Namun, seperti biasa Ardi malah justru ikut mendengarkan ceramah ibunya tanpa memikirkan perasaan sang istri. “Pulang yuk, aku lapar!” ajak Ardi setelah ibunya masuk rumah. Sindy yang hatinya masih dongkol, hanya diam saja meski kakinya segera melangkah. “Kamu tahu saja makanan kesukaan aku, kemarin-kemarin ngapain saja?” komentar Ardi dengan bibir yang begitu ringan saat dia menatap satu panci kuah soto di atas meja berikut lauk pelengkapnya. “Kamu nggak pernah ngerti gimana pusingnya ngatur keuangan yang mepet begini ...” keluh Sindy sambil menyendokkan nasi ke dalam mangkok. “Buktinya kamu bisa masak enak juga kan? Masa setiap hari harus diajari dulu sama ibuku.” Sindy diam, enggan meladeni ucapan Ardi yang seenak jidat. “Dagingnya mana?” Ardi mengerutkan kening ketika melihat sajian nasi soto di hadapannya. “Aku nggak beli daging, Mas. Uangnya nggak cukup, daging sapi kan mahal.” Wajah Ardi yang tadinya cerah, mendadak berubah karena mendengar penjelasan Sindy. “Terus ini soto apaan? Bukan soto daging nih kalau begini, masa cuma ada irisan lemak sapi doang!” “Uangnya cuma cukup buat beli itu, Mas. Kan yang penting rasa kuahnya, coba icip deh.” “Enggak ah, bikin selera makanku hilang aja. Masa soto daging, tapi nggak ada dagingnya. Lemak sapi kayak begini kan nggak sehat, Sin.” “Terus ini gimana, aku sudah telanjur ambilkan nasi buat kamu. Coba dulu lah, Mas. Setidaknya ini bukan tempe ...” “Males!” Sindy menarik napas dalam-dalam. “Aku sudah susah payah masak lho buat kamu,” katanya berusaha sabar. “Masak itu yang bener, Sin! Beli daging sapi sedikit kan bisa, bukannya lemak begini.” “Aku kan sudah bilang kalau uangnya nggak cukup.” Ardi berdecak, dia paling tidak senang kalau Sindy membahas nominal uang yang tidak pernah cukup. “Kamu tuh bisa nggak sih belajar dari ibu aku? Dia pintar mengelola uang berapa pun jumlahnya,” omel Ardi sambil menyendok nasi yang sudah bercampur kuah panas. “Sudah hemat, masakan selalu enak, masih bisa nabung pula ... Kamu ini gimana sih? Jadi istri kok nggak bisa atur uang belanja.” Sindy diam saja, ada rasa sesak di dada yang sulit untuk dijabarkan. *** Pagi itu Sindy terbangun dengan perasaan gerah, dia menoleh dan melihat putrinya berbaring menggigil. “Sisil, kamu demam?” Sindy baru sadar saat meletakkan tangan di atas kening putrinya. “Maaf ya, ibu baru bangun ...” Cepat-cepat Sindy mengambil tablet penurun panas dan segelas air putih untuk putrinya. “Mas, aku minta uang buat jaga-jaga. Sisil demam soalnya,” pinta Sindy sebelum Ardi berangkat kerja. “Kasih aja obat warung kayak biasa.” “Sudah, Mas. Tapi masih demam sedikit, nggak ada salahnya kan jaga-jaga?” “Kamu sambil kompres pakai air dingin coba,” suruh Ardi sambil bersiap menyalakan mesin motornya. “Jadi istri itu selain harus pintar menghemat uang belanja, dia juga harus bisa mengatasi berbagai masalah.” “Tapi aku bukan dokter, Mas!” Sindy akhirnya habis kesabaran. “Lagian aku minta uang juga buat jaga-jaga, nanti aku kembalikan kalau memang nggak jadi terpakai!” Ardi berdecak, lalu mengeluarkan dompetnya. Cukup lama dia memilin-milin uang yang ada di dompet, sebelum akhirnya menarik satu lembar uang berwarna biru. “Itu uang kamu ada banyak, diminta sedikit kok nggak boleh.” Sindy mengomel. “Ini temanku nitip buat bayar kontrakan, janji ya dibalikin kalau uangnya nggak jadi dipakai buat periksa?” “Ya ampun, Mas! Cuma lima puluh ribu loh ini, itu juga buat anak kita!” Ardi hanya mengangkat bahu, lalu maju pergi dengan sepeda motornya. Sepanjang hari itu Sindy mengompres kening putrinya menggunakan air hangat dengan telaten, seraya berdoa untuk kesembuhannya. Sore hari, Sindy terbangun dari tidur dengan panik. Buru-buru dia periksa kening Sisil dan ternyata panasnya sudah menurun. “Bu, lapar ...” lirih Sisil dengan suara yang nyaris tidak terdengar. “Haus ...” “Sebentar ya, ibu ambilkan makan buat kamu.” Si kecil mengangguk pelan. Sindy lekas menyiapkan makanan berkuah dan segelas teh hangat supaya putrinya tidak dehidrasi. “Makan dan minum yang banyak ya, biar badan kamu berkeringat.” Sisil mengangguk saat Sindy menyuapinya, anak kecil itu makan dengan lahap meski hanya dengan kuah soto saja. Itupun dia beli pagi tadi karena tidak sempat memasak. “Mas Ardi kok belum pulang juga, ya?” gumam Sindy ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. “Sisil kan sakit, setidaknya biar bisa gantian jaga kalau dia pulang cepat.” Tubuh Sindy benar-benar terasa letih, dia berharap Ardi segera tiba di rumah sehingga bisa gantian menjaga Sisil. Namun, hingga jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam, Ardi belum juga tampak batang hidungnya. “Ya ampun, benar-benar keterlaluan!” Geram, Sindy meraih ponselnya dan menghubungi Ardi. Terdengar nada sambung yang menandakan ponsel milik suaminya itu aktif, tapi tidak kunjung diangkat sampai dia harus mengulang lagi panggilannya. “Mas Ardi ke mana sih, sudah jam segini ...” keluh Sindy sambil berjalan mondar-mandir di teras rumah. Usai panggilan yang kesekian kali, akhirnya Ardi memberikan respons. “Halo? Apa sih nelepon terus?” “Mas, kamu kok belum pulang?” tanya Sindy buru-buru. “Aku ada urusan, kenapa sih?” “Sisil kan lagi sakit, Mas. Aku butuh kamu buat gantian jaga ...” “Aku masih sibuk sama adik-adik aku, Sin. Kamu jaga Sisil dulu, ya!”“Tapi, Mas ...” “Kak Ardi, aku boleh ambil tas itu nggak?” Tiba-tiba Sindy mendengar ada suara yang menyela. “Boleh dong, ambil saja yang kamu suka!” “Kak, aku mau sepatu yang itu ...” “Ambil sana, kakak yang bayar!” Sindy mengepalkan sebelah tangan, dia sangat mengenali suara-suara itu. Adik-adik iparnya. “Wah, Kak Ardi lagi banyak uang nih kayaknya!” “Jelas, makanya kita bisa puas jalan-jalan hari ini!” Dengan tubuh lunglai, Sindy duduk terpekur di kursinya sementara ponsel masih menyala di dekat telinganya. Kemungkinan Ardi lupa mematikan sambungan mereka sampai Sindy bisa mendengar percakapan mereka. “Habis ini kita mau makan apa, adik-adikku yang cantik?” Suara Ardi begitu penyayang saat bertanya kepada adik ipar Sindy. “Aku mau ayam goreng tepung, Kak!” “Oke, kalau Mita mau apa?” “Burger sama minuman soda, Kak!” “Ayok, belanjanya dibayar dulu. Habis itu kita makan sama-sama!” “Siap, jangan lupa bungkus juga buat ibu sama ayah di rumah, Kak!” “Be
“Lho, memangnya kenapa kalau Ardi memanjakan saudara-saudaranya? Itu juga pakai uang Ardi kan, kamu iri? Nggak boleh begitu, Sin. Jadi istri jangan banyak nuntut dan protes terhadap apa yang dilakukan suami.” Ibu mertua kembali ceramah. “Gimana aku nggak iri, Bu? Kemarin itu Sisil sakit, tapi Mas Ardi perhitungan banget cuma kasih uang lima puluh ribu. Itupun akhirnya minta dikembalikan karena Sisil nggak jadi periksa ke dokter,” ungkap Sindy agar ibu mertua tahu bagaimana kelakuan ajaib putra kebanggaannya itu. “Salahnya Ardi di mana ya, kan Sisil juga nggak jadi periksa? Daripada uangnya kamu buat foya-foya, lebih baik diambil sama Ardi buat ditabung.” Merasa disudutkan, Sindy kembali melontarkan protes kepada Ibu mertuanya. “Foya-foya dari mana, Bu? Uang lima puluh ribu bisa dapat apa sih?” “Sudah, sudah, kamu ini kalau dikasih tahu selalu saja membantah. Heran, makin ke sini makin membangkang kamu ya? Hati-hati kualat sama suami sendiri, Sin ...” “Nggak kebalik,
“Nggak masalah kan, dulu sebelum hamil bukankah dia juga kerja?”“Masalahnya siapa yang jaga anak kami, Bu?”“Gampang itu, asalkan ada kemauan pasti ada jalan.”Begitu pulang dari rumah orang tuanya, Ardi menyaksikan Sindy yang sedang menyuapi anak mereka dengan sayur bening tadi.“Kamu cari kerja dong, biar perekonomian kita nggak gini-gini aja ...” tuntut Ardi tanpa rasa bersalah.Sindy menyodorkan suapan terakhir ke mulut sang putri.“Habis minum, kamu main di kamar dulu ya?” “Iya, Bu ...”Ardi dengan tidak sabar menunggu jawaban dari Sindy.“Mau ya, ini demi masa depan kita juga.”Sindy menunggu putrinya masuk kamar dulu, baru berkomentar.“Nafkah itu kewajiban siapa sih, Mas? Suami atau istri?”“Apa salahnya kalau istri bantu-bantu suami, ibu aku juga gitu kok.”“Aku tanya dulu, nafkah itu kewajiban suami atau istri?”“Suami, tapi istri juga nggak berdosa kalau ikut bantu-bantu cari uang.”“Memang nggak berdosa, tapi nggak wajib juga.”“Kamu ini ya, nggak pernah
“Ini nafkah buat kamu, Sin.”Sindy menatap tiga lembar uang warna merah yang diletakkan Ardi di atas meja, dahinya berkerut karena jumlah nafkah yang diberikan kepadanya semakin berkurang dari minggu ke minggu.“Kok cuma segini, Mas?”“Segitu masa nggak cukup? Hemat sedikit lah, kapan kita bisa nabung kalau kamu nggak bisa atur uang belanja?”Sindy menghela napas. Mau protes, tapi dia juga tahu kalau akhir-akhir ini pekerjaan Ardi sebagai tenaga borongan di gudang besi sedang sepi, sehingga mempengaruhi penghasilan yang diterima suaminya.“Ya sudah, disyukuri saja ...”“Nah, itu tahu! Jadi istri memang harus pintar-pintar bersyukur, Sin.”“Kalau begitu hari ini aku masak tumis kangkung sama goreng tempe buat kamu ya, Mas?”Ardi mengernyitkan keningnya mendengar deretan menu yang disebut Sindy.“Tempe goreng lagi? Baru dua hari yang lalu kamu masak oseng tempe, sekarang goreng tempe ... Heran, apa kamu nggak bisa bikin menu yang lebih enak lagi selain olahan tempe?”Sindy men
“Nggak masalah kan, dulu sebelum hamil bukankah dia juga kerja?”“Masalahnya siapa yang jaga anak kami, Bu?”“Gampang itu, asalkan ada kemauan pasti ada jalan.”Begitu pulang dari rumah orang tuanya, Ardi menyaksikan Sindy yang sedang menyuapi anak mereka dengan sayur bening tadi.“Kamu cari kerja dong, biar perekonomian kita nggak gini-gini aja ...” tuntut Ardi tanpa rasa bersalah.Sindy menyodorkan suapan terakhir ke mulut sang putri.“Habis minum, kamu main di kamar dulu ya?” “Iya, Bu ...”Ardi dengan tidak sabar menunggu jawaban dari Sindy.“Mau ya, ini demi masa depan kita juga.”Sindy menunggu putrinya masuk kamar dulu, baru berkomentar.“Nafkah itu kewajiban siapa sih, Mas? Suami atau istri?”“Apa salahnya kalau istri bantu-bantu suami, ibu aku juga gitu kok.”“Aku tanya dulu, nafkah itu kewajiban suami atau istri?”“Suami, tapi istri juga nggak berdosa kalau ikut bantu-bantu cari uang.”“Memang nggak berdosa, tapi nggak wajib juga.”“Kamu ini ya, nggak pernah
“Lho, memangnya kenapa kalau Ardi memanjakan saudara-saudaranya? Itu juga pakai uang Ardi kan, kamu iri? Nggak boleh begitu, Sin. Jadi istri jangan banyak nuntut dan protes terhadap apa yang dilakukan suami.” Ibu mertua kembali ceramah. “Gimana aku nggak iri, Bu? Kemarin itu Sisil sakit, tapi Mas Ardi perhitungan banget cuma kasih uang lima puluh ribu. Itupun akhirnya minta dikembalikan karena Sisil nggak jadi periksa ke dokter,” ungkap Sindy agar ibu mertua tahu bagaimana kelakuan ajaib putra kebanggaannya itu. “Salahnya Ardi di mana ya, kan Sisil juga nggak jadi periksa? Daripada uangnya kamu buat foya-foya, lebih baik diambil sama Ardi buat ditabung.” Merasa disudutkan, Sindy kembali melontarkan protes kepada Ibu mertuanya. “Foya-foya dari mana, Bu? Uang lima puluh ribu bisa dapat apa sih?” “Sudah, sudah, kamu ini kalau dikasih tahu selalu saja membantah. Heran, makin ke sini makin membangkang kamu ya? Hati-hati kualat sama suami sendiri, Sin ...” “Nggak kebalik,
“Tapi, Mas ...” “Kak Ardi, aku boleh ambil tas itu nggak?” Tiba-tiba Sindy mendengar ada suara yang menyela. “Boleh dong, ambil saja yang kamu suka!” “Kak, aku mau sepatu yang itu ...” “Ambil sana, kakak yang bayar!” Sindy mengepalkan sebelah tangan, dia sangat mengenali suara-suara itu. Adik-adik iparnya. “Wah, Kak Ardi lagi banyak uang nih kayaknya!” “Jelas, makanya kita bisa puas jalan-jalan hari ini!” Dengan tubuh lunglai, Sindy duduk terpekur di kursinya sementara ponsel masih menyala di dekat telinganya. Kemungkinan Ardi lupa mematikan sambungan mereka sampai Sindy bisa mendengar percakapan mereka. “Habis ini kita mau makan apa, adik-adikku yang cantik?” Suara Ardi begitu penyayang saat bertanya kepada adik ipar Sindy. “Aku mau ayam goreng tepung, Kak!” “Oke, kalau Mita mau apa?” “Burger sama minuman soda, Kak!” “Ayok, belanjanya dibayar dulu. Habis itu kita makan sama-sama!” “Siap, jangan lupa bungkus juga buat ibu sama ayah di rumah, Kak!” “Be
“Cukup, cukup, Di! Wah, kalau kayak begini gaji kamu, ibu yakin nih bisa nabung buat masa depan!”Sindy membeku di tempatnya berdiri. Tangan yang semula akan mengetuk pintu rumah mertuanya, kini menggantung di tengah udara.Mas Ardi gajian? Bukankah belum waktunya? Atau dia punya kerja sampingan, tapi kenapa aku nggak dikasih tahu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berjubelan di dalam pikiran Sindy.“Ya sudah, Bu. Aku pergi dulu, ya?”“Hati-hati, Di. Yang semangat kerjanya, biar dapat banyak uang!”Ardi tersenyum lebar seraya keluar dari balik pintu, tapi seketika senyum itu memudar ketika melihat keberadaan Sindy tepat di depannya.“Sin? Sejak kapan kamu di situ?” Ardi tergagap, begitupun ibunya yang berdiri di belakang sang putra.“Baru saja kok, ini ngantar soto buat ibu.”“Wah, kamu masak soto, Sin?”“Iya, Bu.”“Nah, gitu dong! Jangan tahu tempe terus, bisa bosen Ardi kalau menu masakan kamu itu-itu saja tiap hari!” komentar ibu mertua, yang ditanggapi dengan senyuman geti
“Ini nafkah buat kamu, Sin.”Sindy menatap tiga lembar uang warna merah yang diletakkan Ardi di atas meja, dahinya berkerut karena jumlah nafkah yang diberikan kepadanya semakin berkurang dari minggu ke minggu.“Kok cuma segini, Mas?”“Segitu masa nggak cukup? Hemat sedikit lah, kapan kita bisa nabung kalau kamu nggak bisa atur uang belanja?”Sindy menghela napas. Mau protes, tapi dia juga tahu kalau akhir-akhir ini pekerjaan Ardi sebagai tenaga borongan di gudang besi sedang sepi, sehingga mempengaruhi penghasilan yang diterima suaminya.“Ya sudah, disyukuri saja ...”“Nah, itu tahu! Jadi istri memang harus pintar-pintar bersyukur, Sin.”“Kalau begitu hari ini aku masak tumis kangkung sama goreng tempe buat kamu ya, Mas?”Ardi mengernyitkan keningnya mendengar deretan menu yang disebut Sindy.“Tempe goreng lagi? Baru dua hari yang lalu kamu masak oseng tempe, sekarang goreng tempe ... Heran, apa kamu nggak bisa bikin menu yang lebih enak lagi selain olahan tempe?”Sindy men