“Ini nafkah buat kamu, Sin.”
Sindy menatap tiga lembar uang warna merah yang diletakkan Ardi di atas meja, dahinya berkerut karena jumlah nafkah yang diberikan kepadanya semakin berkurang dari minggu ke minggu. “Kok cuma segini, Mas?” “Segitu masa nggak cukup? Hemat sedikit lah, kapan kita bisa nabung kalau kamu nggak bisa atur uang belanja?” Sindy menghela napas. Mau protes, tapi dia juga tahu kalau akhir-akhir ini pekerjaan Ardi sebagai tenaga borongan di gudang besi sedang sepi, sehingga mempengaruhi penghasilan yang diterima suaminya. “Ya sudah, disyukuri saja ...” “Nah, itu tahu! Jadi istri memang harus pintar-pintar bersyukur, Sin.” “Kalau begitu hari ini aku masak tumis kangkung sama goreng tempe buat kamu ya, Mas?” Ardi mengernyitkan keningnya mendengar deretan menu yang disebut Sindy. “Tempe goreng lagi? Baru dua hari yang lalu kamu masak oseng tempe, sekarang goreng tempe ... Heran, apa kamu nggak bisa bikin menu yang lebih enak lagi selain olahan tempe?” Sindy mengembuskan napas berat. Ini yang membuatnya kadang tidak bisa bersyukur dengan rejeki yang sudah diterimanya, Ardi terlampau menuntut menu masakan yang menelan budget cukup tinggi sementara uang diberikan semepet itu. “Terus kamu mau aku masak apa? Tanya Sindy, mencoba untuk meluaskan kesabarannya sedalam lautan. “Ikan kakap, sambal terasi sama lalapan segar. Biar ada gizinya gitu sekali-kali kita makan ikan,” jawab Ardi sembari mengangkat cangkir kopinya yang masih mengepulkan asap dan aroma nikmat di hidung bangirnya. “Ikan kakap?” Kepala Sindy langsung menjelma menjadi kalkulator dadakan dan menghitung sisa uang jika dia belanja dua ekor ikan kakap mentah, cabai dan sayur untuk lalapan. Kemudian sisa uang itu masih harus Sindy bagi lagi setidaknya untuk enam hari ke depan sampai Ardi kembali menerima gaji. “Iya, masa kamu nggak dengar aku ngomong apa tadi? Kalau suami ngomong tuh dengerin makanya!” “Tapi, Mas ... Kalau hari ini kamu minta menu ikan kakap, besok-besok sisa uangnya cuma cukup buat masak menu sederhana. Nggak apa-apa kan?” Ardi berdecak, tapi dia masih sempat menyeruput sedikit kopi sebelum menoleh ke arah istrinya. “Kamu ini benar-benar nggak bisa ngatur keuangan kita, yang hemat gitu lho. Kayak ibu aku, pintar banget mengelola keuangan. Hemat, tapi menu yang disajikan untuk ayahku selalu enak dan penuh gizi.” Sindy menggosok-gosok telinganya, panas karena bukan sekali dua kali ini saja Ardi membandingkan cara mengelola uang antara dirinya dan ibu mertua. “Mungkin gaji ayah jauh lebih banyak, Mas. Makanya ibu bisa mengelola uang yang ada, sedangkan aku? Boro-boro nabung, nggak ninggal utang di warung sayur saja sudah syukur ...” “Sudah, sudah, pusing aku dengar omelan kamu! Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu harus cukup-cukupkan uang yang aku kasih tadi untuk satu minggu ke depan.” “Bisa kalau dipaksa cukup, asalkan permintaan kamu jangan yang tinggi-tinggi.” Sindy masih merendahkan suaranya meski ada emosi yang tertahan. “Tinggi gimana, orang suami minta menu ikan kakap doang kok protes terus!” “Ada apa sih kalian ini kok ribut-ribut?” Perhatian Sindy dan Ardi langsung teralihkan oleh suara yang baru saja bergabung dalam pembicaraan mereka. “Eh Ibu!” Ardi lantas garuk-garuk tengkuknya yang tidak gatal, sementara Sindy hanya bisa tersenyum kaku. “Belum ada makanan sama sekali di meja ini?” tanya ibu Ardi. “Belum, Bu. Adanya baru kopi ...” “Kamu itu ya, Sin?” Ibu Ardi memotong ucapan. “Suami pulang kerja tuh seharusnya makanan atau cemilan sudah siap, jadi Ardi tinggal mandi terus makan.” “Masalahnya Mas Ardi kan baru gajian, jadi tadi aku nggak pegang uang, Bu.” Sindy membela diri, meski begitu dengan nada suara yang tetap santun. “Terus kenapa begitu dapat uang kamu nggak langsung lari ke warung beli sesuatu, ini malah ribut sama suami sendiri?” “Nggak tahu tuh, Bu. Padahal sudah pegang uang juga ...” Ardi terkesan menambah keruh situasi antara ibu dan istrinya. “Ya ampun, jangan begitu lah. Suami sudah capek-capek banting tulang, istri jangan nambahin beban pikiran.” “Bukan begitu, Bu. Masalahnya uang yang Mas Ardi kasih semakin berkurang,” bantah Sindy, karena dia sudah tidak tahan disudutkan terus oleh suami dan ibu mertuanya. “Kerjaan aku kan agak sepi, maklum tenaga borongan.” “Nah, itu masalahnya. Kenapa kamu nggak bisa ngertiin suami kamu?” Sindy semakin merasa terpojokkan. Kemarin-kemarin dia masih tahan diri dan lebih memilih mengalah, tapi kali ini apa harus begitu lagi? “Ya kalau kamu minta ikan kakap, minimal tambah lagi uang belanjanya biar besok-besok aku bisa masak menu selain tahu tempe.” Sindy berusaha membujuk suaminya, tapi reaksi keras justru datang dari ibu mertua. “Lho, lho, lho, Ardi kan sudah bilang kalau kerjaan lagi sepi. Kamu kok malah banyak nuntut begini sih?” “Bukan aku yang nuntut, tapi mas Ardi sendiri yang minta menu mahal-mahal.” “Sudah deh, cuma beli kakap saja sudah ngeluh. Itu Ardi sudah kasih uang kan? Cepat kamu belanja sana, biasanya jam segini di warung depan stok sayur sudah diganti yang baru-baru.” Sindy menghela napas panjang, percuma bicara panjang lebar dengan suami dan ibu mertuanya. Selalu dia yang dianggap tak becus. *** Dua ekor ikan kakap goreng, semangkok sambal terasi, dan irisan lalapan segar menghiasi meja makan di rumah Ardi. “Nah, ini baru masakan yang membangkitkan selera!” Ardi berdecap, air liurnya terbit menatap hasil masakan Sindy yang masih menguarkan aroma gurih itu. “Ambilkan aku nasi yang banyak, Sin!” Dengan penuh rasa bakti, Sindy mengambil piring bersih dan menyendokkan nasi sesuai permintaan suaminya. Tidak lupa dia juga mengambilkan satu porsi kecil untuk putri mereka yang masih berusia dua tahun. “Seharusnya itu kamu masak menu-menu bergizi seperti ini. Bukannya tahu tempe sama sayur bening setiap hari!” komentar Ardi dengan mulut penuh nasi bercampur potongan ikan kakap. Usai makan, ibu anak satu itu segera membereskan piring kosong bekas makan dirinya dan sang anak sementara dilihatnya Ardi masih sibuk menikmati lalapan segar yang dicocol dengan sambal terasi buatannya. Beberapa hari berlalu dan Sindy mulai pusing dengan sisa uang yang masih ada di dompetnya. “Mas Ardi bosan sama menu tempe, terus dengan uang sisa segini, aku harus masak apa?” pikir Sindy sambil menatap aneka sayur mayur yang tertata rapi di warung depan. Ketika melihat bumbu soto, Sindy akhirnya memutuskan membeli bahan-bahan yang digunakan untuk memasak soto saja. Ketika masakan sudah matang, Sindy sengaja mampir ke rumah mertua untuk sedikit berbagi. “Lihat ini, Bu. Gajiku sudah cair!” “Wah, lumayan banyak ya, Di!” Sindy baru saja akan mengetuk pintu ketika dia mendengar suara girang Ardi bersama ibu mertua. “Ini buat Ibu uangnya, cukup kan?” Bersambung—“Cukup, cukup, Di! Wah, kalau kayak begini gaji kamu, ibu yakin nih bisa nabung buat masa depan!”Sindy membeku di tempatnya berdiri. Tangan yang semula akan mengetuk pintu rumah mertuanya, kini menggantung di tengah udara.Mas Ardi gajian? Bukankah belum waktunya? Atau dia punya kerja sampingan, tapi kenapa aku nggak dikasih tahu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berjubelan di dalam pikiran Sindy.“Ya sudah, Bu. Aku pergi dulu, ya?”“Hati-hati, Di. Yang semangat kerjanya, biar dapat banyak uang!”Ardi tersenyum lebar seraya keluar dari balik pintu, tapi seketika senyum itu memudar ketika melihat keberadaan Sindy tepat di depannya.“Sin? Sejak kapan kamu di situ?” Ardi tergagap, begitupun ibunya yang berdiri di belakang sang putra.“Baru saja kok, ini ngantar soto buat ibu.”“Wah, kamu masak soto, Sin?”“Iya, Bu.”“Nah, gitu dong! Jangan tahu tempe terus, bisa bosen Ardi kalau menu masakan kamu itu-itu saja tiap hari!” komentar ibu mertua, yang ditanggapi dengan senyuman geti
“Tapi, Mas ...” “Kak Ardi, aku boleh ambil tas itu nggak?” Tiba-tiba Sindy mendengar ada suara yang menyela. “Boleh dong, ambil saja yang kamu suka!” “Kak, aku mau sepatu yang itu ...” “Ambil sana, kakak yang bayar!” Sindy mengepalkan sebelah tangan, dia sangat mengenali suara-suara itu. Adik-adik iparnya. “Wah, Kak Ardi lagi banyak uang nih kayaknya!” “Jelas, makanya kita bisa puas jalan-jalan hari ini!” Dengan tubuh lunglai, Sindy duduk terpekur di kursinya sementara ponsel masih menyala di dekat telinganya. Kemungkinan Ardi lupa mematikan sambungan mereka sampai Sindy bisa mendengar percakapan mereka. “Habis ini kita mau makan apa, adik-adikku yang cantik?” Suara Ardi begitu penyayang saat bertanya kepada adik ipar Sindy. “Aku mau ayam goreng tepung, Kak!” “Oke, kalau Mita mau apa?” “Burger sama minuman soda, Kak!” “Ayok, belanjanya dibayar dulu. Habis itu kita makan sama-sama!” “Siap, jangan lupa bungkus juga buat ibu sama ayah di rumah, Kak!” “Be
“Lho, memangnya kenapa kalau Ardi memanjakan saudara-saudaranya? Itu juga pakai uang Ardi kan, kamu iri? Nggak boleh begitu, Sin. Jadi istri jangan banyak nuntut dan protes terhadap apa yang dilakukan suami.” Ibu mertua kembali ceramah. “Gimana aku nggak iri, Bu? Kemarin itu Sisil sakit, tapi Mas Ardi perhitungan banget cuma kasih uang lima puluh ribu. Itupun akhirnya minta dikembalikan karena Sisil nggak jadi periksa ke dokter,” ungkap Sindy agar ibu mertua tahu bagaimana kelakuan ajaib putra kebanggaannya itu. “Salahnya Ardi di mana ya, kan Sisil juga nggak jadi periksa? Daripada uangnya kamu buat foya-foya, lebih baik diambil sama Ardi buat ditabung.” Merasa disudutkan, Sindy kembali melontarkan protes kepada Ibu mertuanya. “Foya-foya dari mana, Bu? Uang lima puluh ribu bisa dapat apa sih?” “Sudah, sudah, kamu ini kalau dikasih tahu selalu saja membantah. Heran, makin ke sini makin membangkang kamu ya? Hati-hati kualat sama suami sendiri, Sin ...” “Nggak kebalik, Bu? Seh
“Saya izinkan kamu bawa anak, Nesi yang akan asuh sementara kamu memasak menu. Kalau respons pelanggan bagus dan resto ini kembali ramai secara bertahap, kamu saya angkat jadi pegawai tetap di sini.” Bak terhipnotis, Sindy mengangguk saja ketika pria berkaca mata itu memberikan penegasan dalam setiap kata-katanya. “Pak Zayyan memang gitu, tegas. Tapi aku yakin kok kalau kamu mampu, Sin.” Nesi menghibur Sindy saat menceritakan sikap bos mereka. Hari pertama, sampel ikan bakar buatan Sindy mendapatkan respons yang lumayan positif. Beberapa pelanggan bahkan tak ragu memesan untuk dimakan di rumah. Hal itu membuat Sindy termotivasi, dia akan bekerja diam-diam tanpa sepengetahuan Ardi jika bos memberinya kesempatan. “Kamu cari kerja dong, biar perekonomian kita nggak gini-gini aja ...” tuntut Ardi suatu hari, tanpa rasa sungkan sedikitpun. Sindy menyodorkan suapan terakhir ke mulut sang putri yang sedang makan. Ardi dengan tidak sabar menunggu jawaban dari Sindy. “Mau ya,
Ardi mematung setelah Sindy meluapkan amarahnya sedemikian rupa.“Jangan sok tahu kamu, Sin. Sudah bagus aku tidak lupa kasih kamu nafkah ...”“Tapi seharusnya kamu memprioritaskan keluarga kecil kamu dulu, baru orang tua kamu!”Ardi berdecak. “Sudah deh, kamu cukup-cukupkan dulu nafkah dari aku. Bersyukur masih dikasih rejeki ...”“Harusnya kamu katakan itu sama orang tua kamu! Kalau memang nggak punya uang cukup, kenapa harus masak ayam ungkep? Menu lainnya kan bisa!”“Eh, lancang kamu ya! Siniin uangnya, seratus ribu saja nggak apa-apa!”“Tapi minggu ini jadwalnya bayar listrik sama air, Mas!”“Kamu kan sebentar lagi kerja, utang dulu sama temen kamu kek, siapa kek ... Sini uangnya, seratus ribu saja kok pakai adu mulut!”“Itu kalau kamu kasih aku seminggu satu juta, aku nggak masalah kamu ambil seratus dua ratus! Ini cuma lima ratus, masih juga dikorup! Nih, ambil semuanya sekalian!”Ardi kaget saat Sindy melempar lembaran uang warna merah itu ke arahnya.“Sin, kamu apa-
“Mata kamu kok sembab banget, Sin?” sambut Nesi saat Sindy tiba di resto keesokan harinya. “Berantem lagi sama Ardi?” “Begitulah, aku sudah nggak kuat ...” Nesi cepat-cepat menggendong Sisil, dan memotivasi Sindy untuk terus berjuang demi masa depan. “Kalau Ardi nggak niat kasih nafkah, biarkan saja. Saatnya kamu unjuk gigi dengan jadi tukang masak di resto ini, Pak Zayyan sudah janji mau angkat kamu jadi karyawan tetap kalau resto ramai lagi kan?” Sindy mengangguk pelan. “Nah, jangan sia-siakan kesempatan itu! Biarkan Ardi dengan doktrin keluarganya, nanti akan tiba saatnya kamu membalikkan keadaan.” “Apa aku mampu, Nes?” “Pasti, kamu punya kelebihan. Jangan ragu untuk maju, Sin. Punya suami dzolim kayak Ardi, harus bikin kamu tahan banting. Cari uang sendiri untuk kamu nikmati sendiri sama Sisil, oke?” Sindy terdiam sebentar. “Aku bukannya nggak mensyukuri nafkah dari Mas Ardi, berapapun itu pasti aku terima. Asalkan bukan sisa setelah nafkah itu dikurangi untuk kebut
“Nes, gimana? Pak Zayyan setuju nggak soal permintaan aku kemarin?” tanya Sindy penuh harap. “Aku butuh buat ongkos ke resto juga soalnya ...”“Tenang, sama aku sih beres!”“Beres gimana?”“Pak Zayyan bilang kalau nggak boleh ada hambatan bagi kamu untuk bisa membuat resep ikan bakar favorit pelanggan, karena itu dia setuju untuk kasih kamu gaji mingguan.”“Alkhamdulillah ...”“Eits, tapi ada syaratnya!”“Apa tuh?”“Jangan bilang ini ke pegawai lain, takutnya pada iri karena di sini sistemnya bulanan.”Sindy manggut-manggut mengerti.“Sebisa mungkin aku akan jaga rahasia, Nes. Nggak mungkin aku banyak tingkah.”“Ya sudah, semoga kamu semakin termotivasi dan tetap konsisten menyajikan ikan bakar yang rasanya spektakuler!”“Pasti, aku akan berjuang.” Sindy berjanji.Beberapa hari kemudian, Ardi telah menerima gaji dan mulai mengatur sendiri keuangan rumah tangganya.“Nih, buat belanja besok.” Ardi mengulurkan uang sebesar dua puluh ribu rupiah kepada Sindy. “Kamu masak ayam goreng, sop
“Sin, buatkan saya dua puluh porsi ikan bakar untuk rekan-rekan saya. Minta bantuan Meta yang urus kardus makanan,” perintah Zayyan pagi itu saat Sindy sibuk meracik bumbu andalannya.“Komplit sama nasinya, Pak?”“Tentu saja, sambal dan lalapan juga jangan lupa.”Sindy mengangguk sigap.“Kira-kira hari apa pesanan saya selesai?” tanya Zayyan memastikan.Untuk sejenak, kepala Sindy penuh dengan hitung-hitungan antara tenaga dan waktu yang dibutuhkan.“Dua-tiga hari, Pak. Soalnya saya kerja sendiri ...”“Tidak bisa dipercepat lagi? Kalau perlu kamu lembur, saya akan kasih bonus kalau sudah selesai.”Sindy mempertimbangkan permintaan Zayyan. Sebetulnya bukan permintaan, melainkan perintah karena nada suara pria itu terdengar tegas dan Sindy tidak menemukan celah sedikitpun untuk memberikan penolakan.Belum lagi tawaran bonus yang dijanjikan Zayyan, tentu saja membuat jiwa perhitungan Sindy meronta-ronta.“Anak saya ikut lembur, nggak masalah kan, Pak?” tanya Sindy ragu.“Meman
Namun, dia tidak ingin Zayyan berpikir macam-macam tentangnya.Memang ada yang salah kalau Aftar dekat dengan Mita?“Kamu kenapa gelisah begitu?” tanya Zayyan seolah mengerti dengan gelagat istrinya. “Mungkin Aftar dan adiknya Ardi cuma teman biasa.”“Kamu yakin, Mas?”“Ya namanya juga pergaulan, kita tidak bisa ikut menyeleksi siapa-siapa saja yang berinteraksi sama adik-adikku. Kecuali terbukti ada yang membawa pengaruh buruk bagi mereka, baru di saat itulah aku akan bertindak.” Zayyan menjelaskan.“Semoga ini cuma prasangka buruk aku saja, mau gimana lagi ... Mita itu kan dulunya gencar sekali ngejar-ngejar kamu, aku curiga dia ...”Zayyan menunggu Sindy menyelesaikan ucapannya.“Takutnya Mita dekat-dekat Aftar cuma buat modus,” sambung Sindy dengan wajah muram.“Dia mau ngapain kek, yang penting aku tidak akan menanggapi. Jadi kamu tidak perlu khawatir, oke?”Sindy tidak menjawab.“Kok malah diam?”“Tidak apa-apa ...”“Jangan dipikirkan selama adiknya Ardi tidak mengus
Usai Affan pergi, Roni menoleh ke arah Sindy."Itu nggak apa-apa adiknya Pak Bos disuruh-suruh, Mbak?""Nggak apa-apa lagi, Mas. Mereka kan memang ngisi waktu libur di sini, sama Pak Bos juga digaji kok.""Wah, salut aku.""Kenapa, Mas?""Sejak muda sudah dididik cari uang, nggak semua begitu soalnya.""Iya, mungkin karena perbedaan prinsip atau latar belakang."Mereka berdua tidak lagi mengobrol, melainkan kembali fokus dengan pekerjaan masing-masing."Kak!"Sindy menoleh dan melihat salah satu si kembar muncul di dapur."Sebentar lagi matang, Fan!""Aku Aftar, Kak.""Oh, kamu ada pesanan?"Aftar menggeleng ragu. "Aku tadi pesan minum sama Mbak Nesi, tapi katanya tinggal bikin saja di dapur.""Memang iya, khusus pegawai nggak usah bayar di kasir." Sindy menjelaskan sambil menghias piring saji untuk ikan bakarnya. "Kamu bisa bikin kopi atau teh di sini, Tar."Sebelum Aftar menjawab, tiba-tiba muncul saudara kembarnya."Ngapain kamu, ada pesanan?" Tanya Affan.Sebelum Aftar menjawab, S
Sindy menatap Zayyan. "Namanya juga anak muda, Mas. Mungkin Aftar mau kumpul-kumpul selagi masih liburan di sini ...""Tapi biasanya anak itu lebih suka di rumah sama Affan, setahu aku libur mereka juga tidak terlalu lama. Ini sudah lebih dari dua mingguan kan?"Tidak berselang lama, terdengar deru suara motor yang melaju pergi meninggalkan rumah."Laki-laki mana ada yang anak rumahan, jarang." Sindy berkomentar."Mungkin, ya sudahlah. Kita lanjutkan, sampai mana tadi?""Belum sampai mana-mana ...""Kelamaan kan ini," kata Zayyan tidak sabar."Sabar ..." Sindy sedikit berdebar karena malam itu Zayyan menginginkan pengaman di antara mereka tidak perlu digunakan lagi. Ada rasa was-was jika penyatuan mereka langsung membuahkan hasil, jujur saja sindy belum merasa siap lahir batin.Keesokan harinya, dapur sudah ramai seperti biasa saat Sindy dan Zayyan turun untuk sarapan."Kemarin kamu pulang jam berapa?" Tanya Keke kepada Aftar, sementara satu tangannya terulur meraih tangan Sisil. "Cuc
"Cukup ya, aku sudah tahan-tahan sejak tadi. Tapi kamu semakin berburuk sangka sama sindy," tegas Zayyan habis sabar. Kalau bukan karena ada Sisil di dekatnya, dia pasti sudah membuat perhitungan dengan Ardi sedari tadi."Aku bicara kenyataan, sindy pasti sudah berhasil memengaruhi Sisil supaya nggak mau ikut aku menginap ...""Cukup, silakan pulang. Aku selalu rutin ajak Sisil jalan-jalan ke taman setiap sore, jadi tolong pengertiannya." Wajah Ardi semakin masam ketika Zayyan terang-terangan mengusirnya di depan Sisil dan Mita.**"Kalau Ardi tetap menggugat hak asuh Sisil melalui meja hijau bagaimana, Mas?"Sejak Zayyan memberi tahu tentang niat Ardi tentang perebutan hak asuh, hati Sindy semakin tidak tenang dari hari ke hari."Aku tidak bermaksud meremehkan ayahnya Sisil, tapi memangnya dia mampu?" "Begitulah, Mas ...""Kalau dia mampu secara keuangan, kenapa tidak memikirkan nafkah Sisil saja? Apa karena dia merasa bahwa semua kebutuhan Sisil sudah tercukupi sama kamu?" "Aku j
Sindy membelalakkan matanya mendengar permintaan Ardi.Lebih tepatnya tuntutan."Hak asuh Sisil? Beraninya kamu ...""Apa salahnya? Sisil anak kandung aku."Sindy melirik Zayyan, seolah meminta izin untuk mengamuk detik itu juga."Sebentar, ini tadi rencananya kan cuma mau bertemu Sisil. Kenapa jadi bahas masalah hak asuh anak?" Tanya Zayyan tidak senang."Sekalian saja mumpung kalian ada di sini, aku nggak mau kalau sampai Sisil melupakan aku sebagai ayah kandungnya atau lebih dekat sama orang lain yang bukan siapa-siapa."Sorot mata Ardi menyala-nyala ketika mengucapkan hal itu, seakan selama ini dia telah dipisahkan dengan sangat sadis oleh sindy."Sebaiknya kamu bawa Sisil kayak dulu," pinta Zayyan kepada Sindy."Iya, mas ...""Tunggu, mau dibawa ke mana anakku? Aku belum puas bertemu sama dia," protes Ardi keras."Kita tidak bisa membicarakan hal-hal seperti ini di depan Sisil," kata Zayyan tenang. "Jadi biarkan dia sama sindy di dalam dulu.""Tapi urusanku cuma sama sindy ...""
“Boleh minta, Nek?” Celetuk Sisil, perhatiannya terpecah saat menyaksikan Mita ngemil.“Tentu saja, Sisil ambil yang disuka.”“Terima kasih, nek.”“Sama-sama, Sayang.”Hati Ardi terasa aneh ketika melihat interaksi yang cukup akrab antara Sisil dan nenek barunya, padahal selama ini dia jarang sekali melihat Ratna bisa sedekat itu dengan sang cucu semata wayang.“Ayah, minum!” Kata Sisil ceria.“Iya, Sil ...” Meski canggung karena seolah Keke mengawasi, Ardi meneguk es sirup yang dihidangkan.Tidak berapa lama kemudian, mobil Zayyan menepi di depan halaman rumah. Begitu mesin mobil berhenti, sindy dan Zayyan langsung turun.“Itu Ibu sama papa Yayan!” Tunjuk Sisil, fokusnya kini teralihkan sepenuhnya kepada mereka berdua.Membuat Ardi kesal saja.“Jadi gimana, Sil? Mau ya ikut sama ayah menginap di rumah nenek Ratna?” Tanya Ardi tanpa bosan sementara Mita lebih memilih untuk melanjutkan ngemilnya.“Gak, Yah ...”“Kok nggak mau sih?”Kali ini Keke diam saja karena sindy dan
“aku akan telepon mama dan memintanya untuk tidak meninggalkan Sisil sendirian, kamu tenang ya?” Bujuk Zayyan, dia sangat mengerti dengan kegelisahan yang dirasakan sindy.“Cepat, Mas! Atau kamu bisa pulang duluan, aku benar-benar tidak tenang ini ...”Zayyan menyentuh lengan sindy sebagai isyarat untuk diam sejenak karena sambungan dengan Keke mulai terhubung.“Halo, Zay?”“Ma, ayah kandung Sisil mau datang ke rumah. Aku minta tolong jangan pernah tinggalkan Sisil sama dia, ini sindy sudah ketakutan setengah mati soalnya.”“Memangnya ada apa, Zay? Ayahnya Sisil Cuma datang buat bertemu, kan?”“Ceritanya panjang, ma. Pokoknya aku minta tolong jangan biarkan Sisil sendirian, tolong ya, Ma?”“Oke, kamu tenang saja. Mama akan jaga Sisil,” sahut Keke buru-buru.Usai pembicaraan dengan ibunya berakhir, Zayyan menoleh memandang Sindy.“Mama sudah aku kasih tahu soal Ardi, jadi kamu tenang saja.”Sindy hanya bisa mengangguk, meski dalam hati rasanya ingin cepat pulang ke rumah.“K
Sindy mengangguk, dia percaya jika Zayyan yang bicara.**Hari yang direncanakan tiba, Ardi harus menekan ego-nya sampai ke dasar demi bisa menemui putri semata wayangnya.Ditemani Mita, dia meluncur pergi ke restoran Zayyan sepulang kerja untuk meminta alamat rumah mereka."Resto sudah tutup belum ya jam segini, Mit?""Masih buka biasanya, kita kan cuma minta alamat rumah kakak bos. Malah lebih nyaman kalau kita bisa menemui Sisil tanpa kehadiran mereka kan, Kak?"Ardi mengangguk setuju. "Betul juga kamu, Mit.""Ayo kita berangkat sekarang, keburu pulang mereka nanti!"Ardi segera menyalakan motornya dan melaju kencang bersama menuju ke restoran Zayyan."Nes, panggil bos kamu sekarang." Ardi memerintah ketika dia tiba di resto dan langsung menemui Nesi di meja kasir."Ada urusan apa kalau boleh tahu?" Tanya Nesi formal."Ada deh, ini urusan aku sama bos kamu. Cepat panggil," perintah Ardi lagi, membuat wajah Nesi seketika masam. Meski begitu, dia langsung meraih gagang telepon dan me
Selama beberapa saat mereka berdua terdiam dan sibuk dengan isi pikiran masing-masing."Apa kita harus membutuhkan pengakuan langsung darinya kalau ingin meneruskan kasus itu?" Tanya Zayyan masih penasaran."Memang tidak harus, asalkan ada bukti yang kuat. Masalahnya adalah kita baru menyelidiki sendiri karena ternyata pihak berwajib kurang gesit dalam menangani kasus Anda, dalam kurun waktu tersebut saya yakin sudah banyak bukti yang entah tercecer, entah tersamarkan." Boby menjawab dengan raut wajah serius."Wah, wah, dia benar-benar bermain cantik dan rapi.""Lebih tepatnya karena didukung situasi juga, Pak. Anda yang saat itu kecelakaan cukup parah, kemudian lanjut terapi, sehingga Nyonya Keke hanya fokus terhadap kesembuhan Anda, dan dia datang sebagai malaikat penolong di saat yang benar-benar tepat."Zayyan mengangguk setuju. "Jadi dia memiliki alibi untuk berkelit kalau kita mendesaknya sekarang?""Saya pikir begitu, terpaksa kita harus bersabar dan tetap memantau pergerakan