“Ini nafkah buat kamu, Sin.”
Sindy menatap tiga lembar uang warna merah yang diletakkan Ardi di atas meja, dahinya berkerut karena jumlah nafkah yang diberikan kepadanya semakin berkurang dari minggu ke minggu. “Kok cuma segini, Mas?” “Segitu masa nggak cukup? Hemat sedikit lah, kapan kita bisa nabung kalau kamu nggak bisa atur uang belanja?” Sindy menghela napas. Mau protes, tapi dia juga tahu kalau akhir-akhir ini pekerjaan Ardi sebagai tenaga borongan di gudang besi sedang sepi, sehingga mempengaruhi penghasilan yang diterima suaminya. “Ya sudah, disyukuri saja ...” “Nah, itu tahu! Jadi istri memang harus pintar-pintar bersyukur, Sin.” “Kalau begitu hari ini aku masak tumis kangkung sama goreng tempe buat kamu ya, Mas?” Ardi mengernyitkan keningnya mendengar deretan menu yang disebut Sindy. “Tempe goreng lagi? Baru dua hari yang lalu kamu masak oseng tempe, sekarang goreng tempe ... Heran, apa kamu nggak bisa bikin menu yang lebih enak lagi selain olahan tempe?” Sindy mengembuskan napas berat. Ini yang membuatnya kadang tidak bisa bersyukur dengan rejeki yang sudah diterimanya, Ardi terlampau menuntut menu masakan yang menelan budget cukup tinggi sementara uang diberikan semepet itu. “Terus kamu mau aku masak apa? Tanya Sindy, mencoba untuk meluaskan kesabarannya sedalam lautan. “Ikan kakap, sambal terasi sama lalapan segar. Biar ada gizinya gitu sekali-kali kita makan ikan,” jawab Ardi sembari mengangkat cangkir kopinya yang masih mengepulkan asap dan aroma nikmat di hidung bangirnya. “Ikan kakap?” Kepala Sindy langsung menjelma menjadi kalkulator dadakan dan menghitung sisa uang jika dia belanja dua ekor ikan kakap mentah, cabai dan sayur untuk lalapan. Kemudian sisa uang itu masih harus Sindy bagi lagi setidaknya untuk enam hari ke depan sampai Ardi kembali menerima gaji. “Iya, masa kamu nggak dengar aku ngomong apa tadi? Kalau suami ngomong tuh dengerin makanya!” “Tapi, Mas ... Kalau hari ini kamu minta menu ikan kakap, besok-besok sisa uangnya cuma cukup buat masak menu sederhana. Nggak apa-apa kan?” Ardi berdecak, tapi dia masih sempat menyeruput sedikit kopi sebelum menoleh ke arah istrinya. “Kamu ini benar-benar nggak bisa ngatur keuangan kita, yang hemat gitu lho. Kayak ibu aku, pintar banget mengelola keuangan. Hemat, tapi menu yang disajikan untuk ayahku selalu enak dan penuh gizi.” Sindy menggosok-gosok telinganya, panas karena bukan sekali dua kali ini saja Ardi membandingkan cara mengelola uang antara dirinya dan ibu mertua. “Mungkin gaji ayah jauh lebih banyak, Mas. Makanya ibu bisa mengelola uang yang ada, sedangkan aku? Boro-boro nabung, nggak ninggal utang di warung sayur saja sudah syukur ...” “Sudah, sudah, pusing aku dengar omelan kamu! Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu harus cukup-cukupkan uang yang aku kasih tadi untuk satu minggu ke depan.” “Bisa kalau dipaksa cukup, asalkan permintaan kamu jangan yang tinggi-tinggi.” Sindy masih merendahkan suaranya meski ada emosi yang tertahan. “Tinggi gimana, orang suami minta menu ikan kakap doang kok protes terus!” “Ada apa sih kalian ini kok ribut-ribut?” Perhatian Sindy dan Ardi langsung teralihkan oleh suara yang baru saja bergabung dalam pembicaraan mereka. “Eh Ibu!” Ardi lantas garuk-garuk tengkuknya yang tidak gatal, sementara Sindy hanya bisa tersenyum kaku. “Belum ada makanan sama sekali di meja ini?” tanya ibu Ardi. “Belum, Bu. Adanya baru kopi ...” “Kamu itu ya, Sin?” Ibu Ardi memotong ucapan. “Suami pulang kerja tuh seharusnya makanan atau cemilan sudah siap, jadi Ardi tinggal mandi terus makan.” “Masalahnya Mas Ardi kan baru gajian, jadi tadi aku nggak pegang uang, Bu.” Sindy membela diri, meski begitu dengan nada suara yang tetap santun. “Terus kenapa begitu dapat uang kamu nggak langsung lari ke warung beli sesuatu, ini malah ribut sama suami sendiri?” “Nggak tahu tuh, Bu. Padahal sudah pegang uang juga ...” Ardi terkesan menambah keruh situasi antara ibu dan istrinya. “Ya ampun, jangan begitu lah. Suami sudah capek-capek banting tulang, istri jangan nambahin beban pikiran.” “Bukan begitu, Bu. Masalahnya uang yang Mas Ardi kasih semakin berkurang,” bantah Sindy, karena dia sudah tidak tahan disudutkan terus oleh suami dan ibu mertuanya. “Kerjaan aku kan agak sepi, maklum tenaga borongan.” “Nah, itu masalahnya. Kenapa kamu nggak bisa ngertiin suami kamu?” Sindy semakin merasa terpojokkan. Kemarin-kemarin dia masih tahan diri dan lebih memilih mengalah, tapi kali ini apa harus begitu lagi? “Ya kalau kamu minta ikan kakap, minimal tambah lagi uang belanjanya biar besok-besok aku bisa masak menu selain tahu tempe.” Sindy berusaha membujuk suaminya, tapi reaksi keras justru datang dari ibu mertua. “Lho, lho, lho, Ardi kan sudah bilang kalau kerjaan lagi sepi. Kamu kok malah banyak nuntut begini sih?” “Bukan aku yang nuntut, tapi mas Ardi sendiri yang minta menu mahal-mahal.” “Sudah deh, cuma beli kakap saja sudah ngeluh. Itu Ardi sudah kasih uang kan? Cepat kamu belanja sana, biasanya jam segini di warung depan stok sayur sudah diganti yang baru-baru.” Sindy menghela napas panjang, percuma bicara panjang lebar dengan suami dan ibu mertuanya. Selalu dia yang dianggap tak becus. *** Dua ekor ikan kakap goreng, semangkok sambal terasi, dan irisan lalapan segar menghiasi meja makan di rumah Ardi. “Nah, ini baru masakan yang membangkitkan selera!” Ardi berdecap, air liurnya terbit menatap hasil masakan Sindy yang masih menguarkan aroma gurih itu. “Ambilkan aku nasi yang banyak, Sin!” Dengan penuh rasa bakti, Sindy mengambil piring bersih dan menyendokkan nasi sesuai permintaan suaminya. Tidak lupa dia juga mengambilkan satu porsi kecil untuk putri mereka yang masih berusia dua tahun. “Seharusnya itu kamu masak menu-menu bergizi seperti ini. Bukannya tahu tempe sama sayur bening setiap hari!” komentar Ardi dengan mulut penuh nasi bercampur potongan ikan kakap. Usai makan, ibu anak satu itu segera membereskan piring kosong bekas makan dirinya dan sang anak sementara dilihatnya Ardi masih sibuk menikmati lalapan segar yang dicocol dengan sambal terasi buatannya. Beberapa hari berlalu dan Sindy mulai pusing dengan sisa uang yang masih ada di dompetnya. “Mas Ardi bosan sama menu tempe, terus dengan uang sisa segini, aku harus masak apa?” pikir Sindy sambil menatap aneka sayur mayur yang tertata rapi di warung depan. Ketika melihat bumbu soto, Sindy akhirnya memutuskan membeli bahan-bahan yang digunakan untuk memasak soto saja. Ketika masakan sudah matang, Sindy sengaja mampir ke rumah mertua untuk sedikit berbagi. “Lihat ini, Bu. Gajiku sudah cair!” “Wah, lumayan banyak ya, Di!” Sindy baru saja akan mengetuk pintu ketika dia mendengar suara girang Ardi bersama ibu mertua. “Ini buat Ibu uangnya, cukup kan?” Bersambung—“Cukup, cukup, Di! Wah, kalau kayak begini gaji kamu, ibu yakin nih bisa nabung buat masa depan!”Sindy membeku di tempatnya berdiri. Tangan yang semula akan mengetuk pintu rumah mertuanya, kini menggantung di tengah udara.Mas Ardi gajian? Bukankah belum waktunya? Atau dia punya kerja sampingan, tapi kenapa aku nggak dikasih tahu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berjubelan di dalam pikiran Sindy.“Ya sudah, Bu. Aku pergi dulu, ya?”“Hati-hati, Di. Yang semangat kerjanya, biar dapat banyak uang!”Ardi tersenyum lebar seraya keluar dari balik pintu, tapi seketika senyum itu memudar ketika melihat keberadaan Sindy tepat di depannya.“Sin? Sejak kapan kamu di situ?” Ardi tergagap, begitupun ibunya yang berdiri di belakang sang putra.“Baru saja kok, ini ngantar soto buat ibu.”“Wah, kamu masak soto, Sin?”“Iya, Bu.”“Nah, gitu dong! Jangan tahu tempe terus, bisa bosen Ardi kalau menu masakan kamu itu-itu saja tiap hari!” komentar ibu mertua, yang ditanggapi dengan senyuman geti
“Tapi, Mas ...” “Kak Ardi, aku boleh ambil tas itu nggak?” Tiba-tiba Sindy mendengar ada suara yang menyela. “Boleh dong, ambil saja yang kamu suka!” “Kak, aku mau sepatu yang itu ...” “Ambil sana, kakak yang bayar!” Sindy mengepalkan sebelah tangan, dia sangat mengenali suara-suara itu. Adik-adik iparnya. “Wah, Kak Ardi lagi banyak uang nih kayaknya!” “Jelas, makanya kita bisa puas jalan-jalan hari ini!” Dengan tubuh lunglai, Sindy duduk terpekur di kursinya sementara ponsel masih menyala di dekat telinganya. Kemungkinan Ardi lupa mematikan sambungan mereka sampai Sindy bisa mendengar percakapan mereka. “Habis ini kita mau makan apa, adik-adikku yang cantik?” Suara Ardi begitu penyayang saat bertanya kepada adik ipar Sindy. “Aku mau ayam goreng tepung, Kak!” “Oke, kalau Mita mau apa?” “Burger sama minuman soda, Kak!” “Ayok, belanjanya dibayar dulu. Habis itu kita makan sama-sama!” “Siap, jangan lupa bungkus juga buat ibu sama ayah di rumah, Kak!” “Be
“Lho, memangnya kenapa kalau Ardi memanjakan saudara-saudaranya? Itu juga pakai uang Ardi kan, kamu iri? Nggak boleh begitu, Sin. Jadi istri jangan banyak nuntut dan protes terhadap apa yang dilakukan suami.” Ibu mertua kembali ceramah. “Gimana aku nggak iri, Bu? Kemarin itu Sisil sakit, tapi Mas Ardi perhitungan banget cuma kasih uang lima puluh ribu. Itupun akhirnya minta dikembalikan karena Sisil nggak jadi periksa ke dokter,” ungkap Sindy agar ibu mertua tahu bagaimana kelakuan ajaib putra kebanggaannya itu. “Salahnya Ardi di mana ya, kan Sisil juga nggak jadi periksa? Daripada uangnya kamu buat foya-foya, lebih baik diambil sama Ardi buat ditabung.” Merasa disudutkan, Sindy kembali melontarkan protes kepada Ibu mertuanya. “Foya-foya dari mana, Bu? Uang lima puluh ribu bisa dapat apa sih?” “Sudah, sudah, kamu ini kalau dikasih tahu selalu saja membantah. Heran, makin ke sini makin membangkang kamu ya? Hati-hati kualat sama suami sendiri, Sin ...” “Nggak kebalik,
“Nggak masalah kan, dulu sebelum hamil bukankah dia juga kerja?”“Masalahnya siapa yang jaga anak kami, Bu?”“Gampang itu, asalkan ada kemauan pasti ada jalan.”Begitu pulang dari rumah orang tuanya, Ardi menyaksikan Sindy yang sedang menyuapi anak mereka dengan sayur bening tadi.“Kamu cari kerja dong, biar perekonomian kita nggak gini-gini aja ...” tuntut Ardi tanpa rasa bersalah.Sindy menyodorkan suapan terakhir ke mulut sang putri.“Habis minum, kamu main di kamar dulu ya?” “Iya, Bu ...”Ardi dengan tidak sabar menunggu jawaban dari Sindy.“Mau ya, ini demi masa depan kita juga.”Sindy menunggu putrinya masuk kamar dulu, baru berkomentar.“Nafkah itu kewajiban siapa sih, Mas? Suami atau istri?”“Apa salahnya kalau istri bantu-bantu suami, ibu aku juga gitu kok.”“Aku tanya dulu, nafkah itu kewajiban suami atau istri?”“Suami, tapi istri juga nggak berdosa kalau ikut bantu-bantu cari uang.”“Memang nggak berdosa, tapi nggak wajib juga.”“Kamu ini ya, nggak pernah
“Nggak masalah kan, dulu sebelum hamil bukankah dia juga kerja?”“Masalahnya siapa yang jaga anak kami, Bu?”“Gampang itu, asalkan ada kemauan pasti ada jalan.”Begitu pulang dari rumah orang tuanya, Ardi menyaksikan Sindy yang sedang menyuapi anak mereka dengan sayur bening tadi.“Kamu cari kerja dong, biar perekonomian kita nggak gini-gini aja ...” tuntut Ardi tanpa rasa bersalah.Sindy menyodorkan suapan terakhir ke mulut sang putri.“Habis minum, kamu main di kamar dulu ya?” “Iya, Bu ...”Ardi dengan tidak sabar menunggu jawaban dari Sindy.“Mau ya, ini demi masa depan kita juga.”Sindy menunggu putrinya masuk kamar dulu, baru berkomentar.“Nafkah itu kewajiban siapa sih, Mas? Suami atau istri?”“Apa salahnya kalau istri bantu-bantu suami, ibu aku juga gitu kok.”“Aku tanya dulu, nafkah itu kewajiban suami atau istri?”“Suami, tapi istri juga nggak berdosa kalau ikut bantu-bantu cari uang.”“Memang nggak berdosa, tapi nggak wajib juga.”“Kamu ini ya, nggak pernah
“Lho, memangnya kenapa kalau Ardi memanjakan saudara-saudaranya? Itu juga pakai uang Ardi kan, kamu iri? Nggak boleh begitu, Sin. Jadi istri jangan banyak nuntut dan protes terhadap apa yang dilakukan suami.” Ibu mertua kembali ceramah. “Gimana aku nggak iri, Bu? Kemarin itu Sisil sakit, tapi Mas Ardi perhitungan banget cuma kasih uang lima puluh ribu. Itupun akhirnya minta dikembalikan karena Sisil nggak jadi periksa ke dokter,” ungkap Sindy agar ibu mertua tahu bagaimana kelakuan ajaib putra kebanggaannya itu. “Salahnya Ardi di mana ya, kan Sisil juga nggak jadi periksa? Daripada uangnya kamu buat foya-foya, lebih baik diambil sama Ardi buat ditabung.” Merasa disudutkan, Sindy kembali melontarkan protes kepada Ibu mertuanya. “Foya-foya dari mana, Bu? Uang lima puluh ribu bisa dapat apa sih?” “Sudah, sudah, kamu ini kalau dikasih tahu selalu saja membantah. Heran, makin ke sini makin membangkang kamu ya? Hati-hati kualat sama suami sendiri, Sin ...” “Nggak kebalik,
“Tapi, Mas ...” “Kak Ardi, aku boleh ambil tas itu nggak?” Tiba-tiba Sindy mendengar ada suara yang menyela. “Boleh dong, ambil saja yang kamu suka!” “Kak, aku mau sepatu yang itu ...” “Ambil sana, kakak yang bayar!” Sindy mengepalkan sebelah tangan, dia sangat mengenali suara-suara itu. Adik-adik iparnya. “Wah, Kak Ardi lagi banyak uang nih kayaknya!” “Jelas, makanya kita bisa puas jalan-jalan hari ini!” Dengan tubuh lunglai, Sindy duduk terpekur di kursinya sementara ponsel masih menyala di dekat telinganya. Kemungkinan Ardi lupa mematikan sambungan mereka sampai Sindy bisa mendengar percakapan mereka. “Habis ini kita mau makan apa, adik-adikku yang cantik?” Suara Ardi begitu penyayang saat bertanya kepada adik ipar Sindy. “Aku mau ayam goreng tepung, Kak!” “Oke, kalau Mita mau apa?” “Burger sama minuman soda, Kak!” “Ayok, belanjanya dibayar dulu. Habis itu kita makan sama-sama!” “Siap, jangan lupa bungkus juga buat ibu sama ayah di rumah, Kak!” “Be
“Cukup, cukup, Di! Wah, kalau kayak begini gaji kamu, ibu yakin nih bisa nabung buat masa depan!”Sindy membeku di tempatnya berdiri. Tangan yang semula akan mengetuk pintu rumah mertuanya, kini menggantung di tengah udara.Mas Ardi gajian? Bukankah belum waktunya? Atau dia punya kerja sampingan, tapi kenapa aku nggak dikasih tahu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berjubelan di dalam pikiran Sindy.“Ya sudah, Bu. Aku pergi dulu, ya?”“Hati-hati, Di. Yang semangat kerjanya, biar dapat banyak uang!”Ardi tersenyum lebar seraya keluar dari balik pintu, tapi seketika senyum itu memudar ketika melihat keberadaan Sindy tepat di depannya.“Sin? Sejak kapan kamu di situ?” Ardi tergagap, begitupun ibunya yang berdiri di belakang sang putra.“Baru saja kok, ini ngantar soto buat ibu.”“Wah, kamu masak soto, Sin?”“Iya, Bu.”“Nah, gitu dong! Jangan tahu tempe terus, bisa bosen Ardi kalau menu masakan kamu itu-itu saja tiap hari!” komentar ibu mertua, yang ditanggapi dengan senyuman geti
“Ini nafkah buat kamu, Sin.”Sindy menatap tiga lembar uang warna merah yang diletakkan Ardi di atas meja, dahinya berkerut karena jumlah nafkah yang diberikan kepadanya semakin berkurang dari minggu ke minggu.“Kok cuma segini, Mas?”“Segitu masa nggak cukup? Hemat sedikit lah, kapan kita bisa nabung kalau kamu nggak bisa atur uang belanja?”Sindy menghela napas. Mau protes, tapi dia juga tahu kalau akhir-akhir ini pekerjaan Ardi sebagai tenaga borongan di gudang besi sedang sepi, sehingga mempengaruhi penghasilan yang diterima suaminya.“Ya sudah, disyukuri saja ...”“Nah, itu tahu! Jadi istri memang harus pintar-pintar bersyukur, Sin.”“Kalau begitu hari ini aku masak tumis kangkung sama goreng tempe buat kamu ya, Mas?”Ardi mengernyitkan keningnya mendengar deretan menu yang disebut Sindy.“Tempe goreng lagi? Baru dua hari yang lalu kamu masak oseng tempe, sekarang goreng tempe ... Heran, apa kamu nggak bisa bikin menu yang lebih enak lagi selain olahan tempe?”Sindy men