“Ini nafkah buat kamu, Sin.”
Sindy menatap tiga lembar uang warna merah yang diletakkan Ardi di atas meja, dahinya berkerut karena jumlah nafkah yang diberikan kepadanya semakin berkurang dari minggu ke minggu. “Kok cuma segini, Mas?” “Segitu masa nggak cukup? Hemat sedikit lah, kapan kita bisa nabung kalau kamu nggak bisa atur uang belanja?” Sindy menghela napas. Mau protes, tapi dia juga tahu kalau akhir-akhir ini pekerjaan Ardi sebagai tenaga borongan di gudang besi sedang sepi, sehingga mempengaruhi penghasilan yang diterima suaminya. “Ya sudah, disyukuri saja ...” “Nah, itu tahu! Jadi istri memang harus pintar-pintar bersyukur, Sin.” “Kalau begitu hari ini aku masak tumis kangkung sama goreng tempe buat kamu ya, Mas?” Ardi mengernyitkan keningnya mendengar deretan menu yang disebut Sindy. “Tempe goreng lagi? Baru dua hari yang lalu kamu masak oseng tempe, sekarang goreng tempe ... Heran, apa kamu nggak bisa bikin menu yang lebih enak lagi selain olahan tempe?” Sindy mengembuskan napas berat. Ini yang membuatnya kadang tidak bisa bersyukur dengan rejeki yang sudah diterimanya, Ardi terlampau menuntut menu masakan yang menelan budget cukup tinggi sementara uang diberikan semepet itu. “Terus kamu mau aku masak apa? Tanya Sindy, mencoba untuk meluaskan kesabarannya sedalam lautan. “Ikan kakap, sambal terasi sama lalapan segar. Biar ada gizinya gitu sekali-kali kita makan ikan,” jawab Ardi sembari mengangkat cangkir kopinya yang masih mengepulkan asap dan aroma nikmat di hidung bangirnya. “Ikan kakap?” Kepala Sindy langsung menjelma menjadi kalkulator dadakan dan menghitung sisa uang jika dia belanja dua ekor ikan kakap mentah, cabai dan sayur untuk lalapan. Kemudian sisa uang itu masih harus Sindy bagi lagi setidaknya untuk enam hari ke depan sampai Ardi kembali menerima gaji. “Iya, masa kamu nggak dengar aku ngomong apa tadi? Kalau suami ngomong tuh dengerin makanya!” “Tapi, Mas ... Kalau hari ini kamu minta menu ikan kakap, besok-besok sisa uangnya cuma cukup buat masak menu sederhana. Nggak apa-apa kan?” Ardi berdecak, tapi dia masih sempat menyeruput sedikit kopi sebelum menoleh ke arah istrinya. “Kamu ini benar-benar nggak bisa ngatur keuangan kita, yang hemat gitu lho. Kayak ibu aku, pintar banget mengelola keuangan. Hemat, tapi menu yang disajikan untuk ayahku selalu enak dan penuh gizi.” Sindy menggosok-gosok telinganya, panas karena bukan sekali dua kali ini saja Ardi membandingkan cara mengelola uang antara dirinya dan ibu mertua. “Mungkin gaji ayah jauh lebih banyak, Mas. Makanya ibu bisa mengelola uang yang ada, sedangkan aku? Boro-boro nabung, nggak ninggal utang di warung sayur saja sudah syukur ...” “Sudah, sudah, pusing aku dengar omelan kamu! Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu harus cukup-cukupkan uang yang aku kasih tadi untuk satu minggu ke depan.” “Bisa kalau dipaksa cukup, asalkan permintaan kamu jangan yang tinggi-tinggi.” Sindy masih merendahkan suaranya meski ada emosi yang tertahan. “Tinggi gimana, orang suami minta menu ikan kakap doang kok protes terus!” “Ada apa sih kalian ini kok ribut-ribut?” Perhatian Sindy dan Ardi langsung teralihkan oleh suara yang baru saja bergabung dalam pembicaraan mereka. “Eh Ibu!” Ardi lantas garuk-garuk tengkuknya yang tidak gatal, sementara Sindy hanya bisa tersenyum kaku. “Belum ada makanan sama sekali di meja ini?” tanya ibu Ardi. “Belum, Bu. Adanya baru kopi ...” “Kamu itu ya, Sin?” Ibu Ardi memotong ucapan. “Suami pulang kerja tuh seharusnya makanan atau cemilan sudah siap, jadi Ardi tinggal mandi terus makan.” “Masalahnya Mas Ardi kan baru gajian, jadi tadi aku nggak pegang uang, Bu.” Sindy membela diri, meski begitu dengan nada suara yang tetap santun. “Terus kenapa begitu dapat uang kamu nggak langsung lari ke warung beli sesuatu, ini malah ribut sama suami sendiri?” “Nggak tahu tuh, Bu. Padahal sudah pegang uang juga ...” Ardi terkesan menambah keruh situasi antara ibu dan istrinya. “Ya ampun, jangan begitu lah. Suami sudah capek-capek banting tulang, istri jangan nambahin beban pikiran.” “Bukan begitu, Bu. Masalahnya uang yang Mas Ardi kasih semakin berkurang,” bantah Sindy, karena dia sudah tidak tahan disudutkan terus oleh suami dan ibu mertuanya. “Kerjaan aku kan agak sepi, maklum tenaga borongan.” “Nah, itu masalahnya. Kenapa kamu nggak bisa ngertiin suami kamu?” Sindy semakin merasa terpojokkan. Kemarin-kemarin dia masih tahan diri dan lebih memilih mengalah, tapi kali ini apa harus begitu lagi? “Ya kalau kamu minta ikan kakap, minimal tambah lagi uang belanjanya biar besok-besok aku bisa masak menu selain tahu tempe.” Sindy berusaha membujuk suaminya, tapi reaksi keras justru datang dari ibu mertua. “Lho, lho, lho, Ardi kan sudah bilang kalau kerjaan lagi sepi. Kamu kok malah banyak nuntut begini sih?” “Bukan aku yang nuntut, tapi mas Ardi sendiri yang minta menu mahal-mahal.” “Sudah deh, cuma beli kakap saja sudah ngeluh. Itu Ardi sudah kasih uang kan? Cepat kamu belanja sana, biasanya jam segini di warung depan stok sayur sudah diganti yang baru-baru.” Sindy menghela napas panjang, percuma bicara panjang lebar dengan suami dan ibu mertuanya. Selalu dia yang dianggap tak becus. *** Dua ekor ikan kakap goreng, semangkok sambal terasi, dan irisan lalapan segar menghiasi meja makan di rumah Ardi. “Nah, ini baru masakan yang membangkitkan selera!” Ardi berdecap, air liurnya terbit menatap hasil masakan Sindy yang masih menguarkan aroma gurih itu. “Ambilkan aku nasi yang banyak, Sin!” Dengan penuh rasa bakti, Sindy mengambil piring bersih dan menyendokkan nasi sesuai permintaan suaminya. Tidak lupa dia juga mengambilkan satu porsi kecil untuk putri mereka yang masih berusia dua tahun. “Seharusnya itu kamu masak menu-menu bergizi seperti ini. Bukannya tahu tempe sama sayur bening setiap hari!” komentar Ardi dengan mulut penuh nasi bercampur potongan ikan kakap. Usai makan, ibu anak satu itu segera membereskan piring kosong bekas makan dirinya dan sang anak sementara dilihatnya Ardi masih sibuk menikmati lalapan segar yang dicocol dengan sambal terasi buatannya. Beberapa hari berlalu dan Sindy mulai pusing dengan sisa uang yang masih ada di dompetnya. “Mas Ardi bosan sama menu tempe, terus dengan uang sisa segini, aku harus masak apa?” pikir Sindy sambil menatap aneka sayur mayur yang tertata rapi di warung depan. Ketika melihat bumbu soto, Sindy akhirnya memutuskan membeli bahan-bahan yang digunakan untuk memasak soto saja. Ketika masakan sudah matang, Sindy sengaja mampir ke rumah mertua untuk sedikit berbagi. “Lihat ini, Bu. Gajiku sudah cair!” “Wah, lumayan banyak ya, Di!” Sindy baru saja akan mengetuk pintu ketika dia mendengar suara girang Ardi bersama ibu mertua. “Ini buat Ibu uangnya, cukup kan?” Bersambung—“Cukup, cukup, Di! Wah, kalau kayak begini gaji kamu, ibu yakin nih bisa nabung buat masa depan!”Sindy membeku di tempatnya berdiri. Tangan yang semula akan mengetuk pintu rumah mertuanya, kini menggantung di tengah udara.Mas Ardi gajian? Bukankah belum waktunya? Atau dia punya kerja sampingan, tapi kenapa aku nggak dikasih tahu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berjubelan di dalam pikiran Sindy.“Ya sudah, Bu. Aku pergi dulu, ya?”“Hati-hati, Di. Yang semangat kerjanya, biar dapat banyak uang!”Ardi tersenyum lebar seraya keluar dari balik pintu, tapi seketika senyum itu memudar ketika melihat keberadaan Sindy tepat di depannya.“Sin? Sejak kapan kamu di situ?” Ardi tergagap, begitupun ibunya yang berdiri di belakang sang putra.“Baru saja kok, ini ngantar soto buat ibu.”“Wah, kamu masak soto, Sin?”“Iya, Bu.”“Nah, gitu dong! Jangan tahu tempe terus, bisa bosen Ardi kalau menu masakan kamu itu-itu saja tiap hari!” komentar ibu mertua, yang ditanggapi dengan senyuman geti
“Tapi, Mas ...” “Kak Ardi, aku boleh ambil tas itu nggak?” Tiba-tiba Sindy mendengar ada suara yang menyela. “Boleh dong, ambil saja yang kamu suka!” “Kak, aku mau sepatu yang itu ...” “Ambil sana, kakak yang bayar!” Sindy mengepalkan sebelah tangan, dia sangat mengenali suara-suara itu. Adik-adik iparnya. “Wah, Kak Ardi lagi banyak uang nih kayaknya!” “Jelas, makanya kita bisa puas jalan-jalan hari ini!” Dengan tubuh lunglai, Sindy duduk terpekur di kursinya sementara ponsel masih menyala di dekat telinganya. Kemungkinan Ardi lupa mematikan sambungan mereka sampai Sindy bisa mendengar percakapan mereka. “Habis ini kita mau makan apa, adik-adikku yang cantik?” Suara Ardi begitu penyayang saat bertanya kepada adik ipar Sindy. “Aku mau ayam goreng tepung, Kak!” “Oke, kalau Mita mau apa?” “Burger sama minuman soda, Kak!” “Ayok, belanjanya dibayar dulu. Habis itu kita makan sama-sama!” “Siap, jangan lupa bungkus juga buat ibu sama ayah di rumah, Kak!” “Be
“Lho, memangnya kenapa kalau Ardi memanjakan saudara-saudaranya? Itu juga pakai uang Ardi kan, kamu iri? Nggak boleh begitu, Sin. Jadi istri jangan banyak nuntut dan protes terhadap apa yang dilakukan suami.” Ibu mertua kembali ceramah. “Gimana aku nggak iri, Bu? Kemarin itu Sisil sakit, tapi Mas Ardi perhitungan banget cuma kasih uang lima puluh ribu. Itupun akhirnya minta dikembalikan karena Sisil nggak jadi periksa ke dokter,” ungkap Sindy agar ibu mertua tahu bagaimana kelakuan ajaib putra kebanggaannya itu. “Salahnya Ardi di mana ya, kan Sisil juga nggak jadi periksa? Daripada uangnya kamu buat foya-foya, lebih baik diambil sama Ardi buat ditabung.” Merasa disudutkan, Sindy kembali melontarkan protes kepada Ibu mertuanya. “Foya-foya dari mana, Bu? Uang lima puluh ribu bisa dapat apa sih?” “Sudah, sudah, kamu ini kalau dikasih tahu selalu saja membantah. Heran, makin ke sini makin membangkang kamu ya? Hati-hati kualat sama suami sendiri, Sin ...” “Nggak kebalik, Bu? Seh
“Saya izinkan kamu bawa anak, Nesi yang akan asuh sementara kamu memasak menu. Kalau respons pelanggan bagus dan resto ini kembali ramai secara bertahap, kamu saya angkat jadi pegawai tetap di sini.” Bak terhipnotis, Sindy mengangguk saja ketika pria berkaca mata itu memberikan penegasan dalam setiap kata-katanya. “Pak Zayyan memang gitu, tegas. Tapi aku yakin kok kalau kamu mampu, Sin.” Nesi menghibur Sindy saat menceritakan sikap bos mereka. Hari pertama, sampel ikan bakar buatan Sindy mendapatkan respons yang lumayan positif. Beberapa pelanggan bahkan tak ragu memesan untuk dimakan di rumah. Hal itu membuat Sindy termotivasi, dia akan bekerja diam-diam tanpa sepengetahuan Ardi jika bos memberinya kesempatan. “Kamu cari kerja dong, biar perekonomian kita nggak gini-gini aja ...” tuntut Ardi suatu hari, tanpa rasa sungkan sedikitpun. Sindy menyodorkan suapan terakhir ke mulut sang putri yang sedang makan. Ardi dengan tidak sabar menunggu jawaban dari Sindy. “Mau ya,
Ardi mematung setelah Sindy meluapkan amarahnya sedemikian rupa.“Jangan sok tahu kamu, Sin. Sudah bagus aku tidak lupa kasih kamu nafkah ...”“Tapi seharusnya kamu memprioritaskan keluarga kecil kamu dulu, baru orang tua kamu!”Ardi berdecak. “Sudah deh, kamu cukup-cukupkan dulu nafkah dari aku. Bersyukur masih dikasih rejeki ...”“Harusnya kamu katakan itu sama orang tua kamu! Kalau memang nggak punya uang cukup, kenapa harus masak ayam ungkep? Menu lainnya kan bisa!”“Eh, lancang kamu ya! Siniin uangnya, seratus ribu saja nggak apa-apa!”“Tapi minggu ini jadwalnya bayar listrik sama air, Mas!”“Kamu kan sebentar lagi kerja, utang dulu sama temen kamu kek, siapa kek ... Sini uangnya, seratus ribu saja kok pakai adu mulut!”“Itu kalau kamu kasih aku seminggu satu juta, aku nggak masalah kamu ambil seratus dua ratus! Ini cuma lima ratus, masih juga dikorup! Nih, ambil semuanya sekalian!”Ardi kaget saat Sindy melempar lembaran uang warna merah itu ke arahnya.“Sin, kamu apa-
“Mata kamu kok sembab banget, Sin?” sambut Nesi saat Sindy tiba di resto keesokan harinya. “Berantem lagi sama Ardi?” “Begitulah, aku sudah nggak kuat ...” Nesi cepat-cepat menggendong Sisil, dan memotivasi Sindy untuk terus berjuang demi masa depan. “Kalau Ardi nggak niat kasih nafkah, biarkan saja. Saatnya kamu unjuk gigi dengan jadi tukang masak di resto ini, Pak Zayyan sudah janji mau angkat kamu jadi karyawan tetap kalau resto ramai lagi kan?” Sindy mengangguk pelan. “Nah, jangan sia-siakan kesempatan itu! Biarkan Ardi dengan doktrin keluarganya, nanti akan tiba saatnya kamu membalikkan keadaan.” “Apa aku mampu, Nes?” “Pasti, kamu punya kelebihan. Jangan ragu untuk maju, Sin. Punya suami dzolim kayak Ardi, harus bikin kamu tahan banting. Cari uang sendiri untuk kamu nikmati sendiri sama Sisil, oke?” Sindy terdiam sebentar. “Aku bukannya nggak mensyukuri nafkah dari Mas Ardi, berapapun itu pasti aku terima. Asalkan bukan sisa setelah nafkah itu dikurangi untuk kebut
“Nes, gimana? Pak Zayyan setuju nggak soal permintaan aku kemarin?” tanya Sindy penuh harap. “Aku butuh buat ongkos ke resto juga soalnya ...”“Tenang, sama aku sih beres!”“Beres gimana?”“Pak Zayyan bilang kalau nggak boleh ada hambatan bagi kamu untuk bisa membuat resep ikan bakar favorit pelanggan, karena itu dia setuju untuk kasih kamu gaji mingguan.”“Alkhamdulillah ...”“Eits, tapi ada syaratnya!”“Apa tuh?”“Jangan bilang ini ke pegawai lain, takutnya pada iri karena di sini sistemnya bulanan.”Sindy manggut-manggut mengerti.“Sebisa mungkin aku akan jaga rahasia, Nes. Nggak mungkin aku banyak tingkah.”“Ya sudah, semoga kamu semakin termotivasi dan tetap konsisten menyajikan ikan bakar yang rasanya spektakuler!”“Pasti, aku akan berjuang.” Sindy berjanji.Beberapa hari kemudian, Ardi telah menerima gaji dan mulai mengatur sendiri keuangan rumah tangganya.“Nih, buat belanja besok.” Ardi mengulurkan uang sebesar dua puluh ribu rupiah kepada Sindy. “Kamu masak ayam goreng, sop
“Sin, buatkan saya dua puluh porsi ikan bakar untuk rekan-rekan saya. Minta bantuan Meta yang urus kardus makanan,” perintah Zayyan pagi itu saat Sindy sibuk meracik bumbu andalannya.“Komplit sama nasinya, Pak?”“Tentu saja, sambal dan lalapan juga jangan lupa.”Sindy mengangguk sigap.“Kira-kira hari apa pesanan saya selesai?” tanya Zayyan memastikan.Untuk sejenak, kepala Sindy penuh dengan hitung-hitungan antara tenaga dan waktu yang dibutuhkan.“Dua-tiga hari, Pak. Soalnya saya kerja sendiri ...”“Tidak bisa dipercepat lagi? Kalau perlu kamu lembur, saya akan kasih bonus kalau sudah selesai.”Sindy mempertimbangkan permintaan Zayyan. Sebetulnya bukan permintaan, melainkan perintah karena nada suara pria itu terdengar tegas dan Sindy tidak menemukan celah sedikitpun untuk memberikan penolakan.Belum lagi tawaran bonus yang dijanjikan Zayyan, tentu saja membuat jiwa perhitungan Sindy meronta-ronta.“Anak saya ikut lembur, nggak masalah kan, Pak?” tanya Sindy ragu.“Meman
Waktu berlalu, sindy bersyukur karena tidak ada telepon dari Ardi lagi yang menanyakan kabar Sisil. Bukan apa-apa, dia malas saja jika harus ribut dengan mantan suaminya itu perkara adu pendapat yang berbeda."Pak, ada Ardi di depan." Nesi memberi tahu tepat ketika Zayyan muncul dari balik pintu ruangannya."Kapan dia datang?""Baru beberapa menit yang lalu, Pak. Dia datang sama adiknya yang dulu itu ...""Oke," angguk Zayyan yang sudah bisa menebak siapa adik Ardi yang ikut serta. "Tolong panggilkan sindy sekalian, biar tidak ada kesalahpahaman.""Baik, Pak."Usai Zayyan berlalu untuk menemui Ardi lebih dulu, Nesi segera melesat ke dapur untuk memanggil Sindy."Kerjaan kamu sudah selesai belum, Sin?" Tanya Nesi buru-buru. "Ada pesanan tadi, sudah selesai kok tapi ... Ada apa, Nes?""Kamu dipanggil Pak Zayyan, Ardi datang lagi tuh!" "Oh ya? Mau ngapain kira-kira ..."Nesi mengangkat bahu. "Ada mantan adik ipar kamu juga."Sindy membulatkan matanya ketika Nesi menyebut mantan adik ip
"Terus apa yang harus aku lakukan kalau Ardi memaksa, Mas? Kejadian yang dulu itu fatal sekali, aku tidak mau terjadi lagi!"Suasana hati Sindy berubah gusar, dia tidak sanggup membayangkan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi akibat perbuatan ceroboh Ardi.Entah disengaja atau tidak."Nanti kita hadapi berdua, tapi ada baiknya juga kamu tanya Sisil dulu.""Sisil masih kecil, Mas. Dia pasti mau-mau saja kalau diajak pergi, apalagi sama ayahnya."Zayyan terdiam sebentar. Sebagai ayah sambung, tentu dia sependapat dengan sindy karena mengizinkan Sisil menginap di rumah Ardi memiliki risiko yang sangat luar biasa mengerikan.Namun, sekali lagi dia kalah secara status jika dibandingkan dengan ayah kandung Sisil.Bahkan orang tua Sindy sendiri juga menolak keras saat putri mereka menelepon untuk meminta pendapat."Aduh Sin, nanti cucu ibu hilang lagi kayak dulu! Ardi itu kan ceroboh ... beruntung Sisil nggak ketemu sama orang jahat ..."Rita langsung menyatakan ketidaksetujuannya saat Sind
"Aku mau ajak Sisil menginap di rumahku selama beberapa hari," kata Ardi tanpa basa-basi. "Aku ini ayah kandungnya, jadi aku merasa punya hak untuk itu."Zayyan mengangguk. "Aku tidak akan menghalangi, tapi apa kamu sudah izin Sindy?""Kenapa aku harus izin sindy? Kan kamu kepala rumah tangganya, jangan bilang kalau kamu termasuk suami takut istri?"Zayyan tersenyum saja meski ucapan Ardi yang terakhir seolah mengejeknya."Aku menghargai sindy sebagai ibu kandung Sisil, karena itu tidak salah kalau aku harus minta izin dia kalau Sisil mau mengubah di rumahmu.""Alasan saja kamu ...""Terserah, pendapat Sindy juga penting bagiku."Ardi berdecih tidak suka. "aku tidak peduli. Dengan atau tanpa seizin sindy, aku tetap punya hak untuk membawa Sisil menginap.""Kalau sikap kamu arogan seperti ini, aku tidak yakin kalau Sindy akan kasih kamu izin.""Aku kan sudah bilang kalau aku tidak butuh izin dari kalian berdua, secara hukum aku punya hak penuh atas Sisil karena aku adalah ayah kandungn
"Sindy sekarang sombong banget, Bu.""Sombong gimana, Di?"Sore itu Ardi tengah menikmati tenggelamnya matahari di halaman belakang rumah, ditemani sang ibu sekaligus secangkir kopi susu panas dan pisang goreng yang masih hangat."Dia bilang kalau Sisil jauh lebih berbahagia sama ayah tirinya sekarang ...""Serius sindy bilang begitu, Di?""Serius lah, makanya aku benci banget. Niat aku kan baik nanyain kabar Sisil, eh malah dia menyombongkan diri."Ratna geleng-geleng kepala, rasa tidak sukanya terhadap Sindy jadi semakin besar."Benar-benar sombong, apa dia nggak takut kualat sama kamu?""Tahu tuh ...""Lagian ayah tiri baik juga nggak selamanya, apalagi kalau nantinya si dia sudah bosan ... Bisa-bisa nangis darah itu sindy."Ardi manggut-manggut. "Nah, dia nggak mikir ke arah sana, malah sibuk menyombongkan diri.""Lagian tumben kamu telepon sindy segala?" Cibir Ratna tidak suka."Niat aku kan baik, Bu. Mau tahu kabar anak kami, makanya aku telepon sindy. Kan nggak mungkin aku nany
"Nggak sopan gimana maksud kamu?""Kenapa kamu cuma sebut nama aku?""Lho, salahnya di mana?"Ardi tentu saja geram bukan kepalang."Mentang-mentang sudah cerai, kamu nggak ada rasa hormat sedikitpun sama aku lagi ... Kenapa kamu cuma panggil aku Ardi?""Lho, nama kamu kan memang Ardi? Apa sudah ganti jadi Michael?"Ardi mengepalkan tangannya erat-erat."Biar begini-begini juga aku tuh mantan suami kamu, tunjukkan dong rasa hormat kamu!""Aku nggak punya kewajiban untuk hormat sama kamu lagi, kecuali buat suamiku seorang.""Hah, sudahlah! Intinya aku mau memastikan kalau suami baru kamu itu benar-benar menyayangi Sisil dan nggak semena-mena kayak bapak tiri kejam. Awas saja kalau dia melakukannya ..."Dapat Ardi dengar jika Sindy menarik napas panjang di ujung sana."Sudah deh ya, intinya Sisil baik-baik saja. Mas Zayyan nggak jahat kayak apa yang kamu pikirkan, dia justru sayang banget sama Sisil melebihi kamu.""Apa?""Memang itu kenyataannya kok."Mendengar sindy memuji-muji lelaki
"Apa sih, biasa saja kali ...""Aku kira kamu sudah move on.""Memang sudah, kamu saja yang telat info. Sibuk bisnis sih," ujar Mita tanpa menatap adiknya."Ya iyalah, mumpung ada kesempatan nih. Lagian tinggal posting-posting doang, barang nggak usah nyetok. Kalau laku, tinggal ambil di toko."Mita mencibir, meski dengan mata terarah lurus ke layar ponsel."Serius amat, sudah ada gebetan baru?" Tanya Sani penasaran."Kamu bikinkan aku kopi dulu, nanti aku kasih tahu cerita lengkapnya.""Dih, ogah banget!""Nggak ada salahnya berbakti sama kakak, San.""Kakak macam apa dulu?""Sudah deh, cepetan!"Dengan bibir maju, Sani pergi ke dapur dan menyeduh kopi untuk Mita."Jadi tuh aku lagi dekat sama seseorang, kali ini usianya nggak terlalu jauh. Memang lebih tuaan dia, tapi nggak sebanyak kakak bos." Mita mulai bercerita, saat Sani menyajikan secangkir kopi panas untuknya."Oh, terus?""Orangnya asyik, ramah, dan menyambut baik pertemanan kita." Mita melanjutkan. "Kalau nggak salah, dia k
“Ma, biar aku saja yang suapi Sisil. Mama kan juga harus sarapan,” ujar sindy menawarkan diri.“Tidak apa-apa, kamu urus Zayyan saja. Mama akan sarapan setelah Sisil kenyang,” sahut Keke.Sindy menoleh ke arah Zayyan yang menganggukkan kepalanya.“Aku jadi nggak enak sama Mama, Mas.” Sindy berangkat ke resto bersama Zayyan, sementara si kembar naik motor seperti biasa.“Ini kan pengalaman pertama mama urus cucu, sin. Jadi kamu tidak usah merasa tidak enakan begitu,” sahut Zayyan tenang sembari menyalakan mesin mobilnya.“Aku ... tetap saja merasa tidak enak, Mas. Seperti egois karena membiarkan mama yang urus anak aku.”“Lho, Sisil juga anak aku sekarang. Cucu mama,” ralat Zayyan tidak sependapat. “Lagian kamu kan ngurusin aku, bukan orang lain.”“Iya, deh ...”Sindy akhirnya tidak memperpanjang pembicaraan mereka karena dia harus fokus untuk bekerja.Setibanya di restoran, terlihat Aftar sedang ngobrol bersama seseorang yang familiar di mata Sindy.“Itu anak bukannya lang
“Kalau iya, bagaimana? Mama jadi khawatir, Zay.”“Masa ketemuan sama satu cewek saja sampai berjam-jam, palingan nongkrong sama teman-teman kampus yang kebetulan ada di sekitar sini.” Zayyan berpendapat.“Justru itu, bagaimana kalau cuma sama satu cewek? Ngeri mama membayangkannya.” Lebih ngeri lagi kalau cewek itu Mita, batin Sindy dalam hati. Dia tidak berani berpendapat, takut salah bicara.“Nanti jangan lupa Aftar suruh makan, Fan.”“Oke, Ma. Nggak usah dipikirin, Aftar kan sudah dewasa.”“Tapi pergaulan zaman sekarang ngeri-ngeri, Fan. Mama sering tuh lihat di berita, ngeri pokoknya.”“Urusan Aftar biar aku sama Affan yang pantau, Ma.” Zayyan yang khawatir, langsung menengahi. “Ya sudah, mama mau ngelonin Sisil dulu di kamar.”Zayyan dan Affan saling pandang usai ibu mereka pergi meninggalkan dapur.“Aku akan coba telepon Aftar,” kata Affan tanpa diminta, dia mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi saudara kembarnya.“Tar, cepat pulang! Bucin banget ... iya-iya, k
"Jangan kebanyakan ngopi kamu," bisik Nesi karena Roni duduk tidak jauh dari mereka. "Memangnya kenapa sih?""Kamu kan sudah nikah lagi, sin ...""Ya terus?""Kebanyakan kopi bisa memengaruhi kesuburan, bukankah normalnya kamu sama Pak Zayyan mau punya momongan?" Celetuk Nesi, membuat mata Sindy melotot lebar."Memangnya ngaruh ya, lagian kan aku cuma minum satu cangkir. Bukan satu ember, Nes!""Iya sih, aku kan cuma mengingatkan saja. Kalau bisa sih jangan kebanyakan kafein ...""Siap, Bu Kasir!"Nesi cekikikan, setelah itu dia menoleh ke arah Roni."Sudah makan siang, Mas?""Sudah tadi, Nes."Masih sambil nyengir, Nesi kembali menatap sindy dan berbisik."Semoga cepat tekdung!"Hampir saja kopi yang ada di mulut Sindy tersembur keluar gara-gara bisikan Nesi, untung tidak sampai tersedak.**"Adik-adik kamu tidak pulang sama kita, Mas?" Sindy masuk mobil setelah jam kerja berakhir, dia celingukan ke tempat duduk belakang yang kosong melompong."Mereka bawa motor sendiri kok, sin."