Beranda / Pernikahan / Istri yang Tak Dinafkahi / 3 Perkara Uang Lima Puluh Ribu

Share

3 Perkara Uang Lima Puluh Ribu

Penulis: Setia_AM
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-23 14:12:29

“Tapi, Mas ...”

“Kak Ardi, aku boleh ambil tas itu nggak?” Tiba-tiba Sindy mendengar ada suara yang menyela.

“Boleh dong, ambil saja yang kamu suka!”

“Kak, aku mau sepatu yang itu ...”

“Ambil sana, kakak yang bayar!”

Sindy mengepalkan sebelah tangan, dia sangat mengenali suara-suara itu.

Adik-adik iparnya.

“Wah, Kak Ardi lagi banyak uang nih kayaknya!”

“Jelas, makanya kita bisa puas jalan-jalan hari ini!”

Dengan tubuh lunglai, Sindy duduk terpekur di kursinya sementara ponsel masih menyala di dekat telinganya.

Kemungkinan Ardi lupa mematikan sambungan mereka sampai Sindy bisa mendengar percakapan mereka.

“Habis ini kita mau makan apa, adik-adikku yang cantik?” Suara Ardi begitu penyayang saat bertanya kepada adik ipar Sindy.

“Aku mau ayam goreng tepung, Kak!”

“Oke, kalau Mita mau apa?”

“Burger sama minuman soda, Kak!”

“Ayok, belanjanya dibayar dulu. Habis itu kita makan sama-sama!”

“Siap, jangan lupa bungkus juga buat ibu sama ayah di rumah, Kak!”

“Beres, eh sebentar! Ponselku masih nyala ini ...”

Tut!

Detik itu juga Sindy menyadari jika Ardi sudah tersadar lalu memutuskan sambungan mereka.

“Ya Allah ...” ratap Sindy, dia tidak dapat lagi menahan lelehan bening yang kini menggenang di kedua matanya. “Tega dia ...”

Masih ingat dalam ingatan Sindy bagaimana pelitnya Ardi membagi uang demi berjaga-jaga jika putri mereka harus periksa ke dokter.

Itupun pakai embel-embel kalau Sindy harus mengembalikan uang itu seandainya Sisil tidak jadi diperiksa.

“Kamu dari mana, Mas?”

Ardi terlonjak kaget saat mendapati Sindy duduk di ruang tamu rumah mereka yang gelap gulita.

“Lho Sin, kok kamu belum tidur?”

“Kamu tahu nggak kalau Sisil lagi sakit?” tanya Sindy di balik kegelapan.

“Ngomong apa sih, lampu dinyalakan dulu kenapa?” Ardi menekan saklar lampu dengan keras. “Bukannya tadi aku sudah kasih kamu uang lima puluh ribu buat periksa?”

“Tapi aku juga butuh kamu buat gantian jaga Sisil, Mas! Aku butuh mandi, butuh makan ...”

“Mandi tinggal mandi, Sisil kan sudah bukan bayi lagi!”

Sindy menggelengkan kepala, Ardi benar-benar tidak memahami bagaimana risau-nya perasaan ibu jika anak sakit dan harus ditinggal sebentar sekalipun hanya untuk mandi.

“Kamu kira aku nggak butuh nyuci dan beres-beres rumah?” cecar Sindy meradang.

“Ya itu tugas kamu kan sebagai istri? Aku baru pulang lho ini, bukannya bikinin kopi malah ngajak ribut.”

Ardi melenggang pergi begitu saja melewati Sindy yang masih berdiri kaku.

“Oh ya, tadi jadi periksa nggak?”

Sindy diam saja, selagi tangannya sibuk menyeduh kopi.

“Sin, kalau ditanya itu jawab.”

“Nggak jadi.”

Ardi manggut-manggut. “Berarti uang lima puluh ribunya tadi bisa kamu kembalikan dong?”

Prak!

Sindy langsung membanting sendok yang sedang digunakannya ke atas meja dengan keras.

“Lima puluh ribu saja kamu tagih, Mas?”

“Memangnya kenapa? Bukannya tadi kamu sendiri yang bilang kalau uang itu akan kamu kembalikan kalau Sisil nggak jadi periksa ke dokter?”

Sindy mengembuskan napas keras, dia tidak bisa menebak cara berpikir Ardi sebagai seorang ayah.

“Kamu perhitungan banget ya sama anak sendiri?”

“Maksud kamu apa sih?” Ardi mengerutkan keningnya.

“Cuma lima puluh ribu, itu saja kamu perhitungan dan benar-benar minta dibalikin! Sedangkan untuk adik-adik kamu saja, sepatu dan tas kamu belikan cuma-cuma!”

Ekspresi wajah Ardi mendadak berubah keras.

“Kenapa kamu jadi bawa-bawa adikku?”

“Karena kamu pilih kasih, Mas?”

“Memangnya salah kalau aku menyenangkan hati adik-adik aku, Sin?”

“Aku nggak pernah bilang kalau itu salah, tapi Sisil itu anak kandung kamu!” Sindy meledak. “Dia butuh kamu sebagai ayahnya, tapi kamu malah dengan sengaja mengabaikannya!”

Lagi, Sindy membanting cangkir kopi ke hadapan Ardi hingga isinya memercik sedikit di meja.

“Sekarang aku tanya sama kamu, Sisil jadi periksa ke dokter atau nggak?”

Sindy menggeleng lemah.

“Nah, itu artinya Sisil nggak sakit parah kan? Terus apa masalahnya kalau aku telat pulang karena harus menemani adik-adik aku belanja?” tukas Ardi, seolah menganggap enteng kondisi anaknya.

“Benar-benar kamu, Mas ...”

Ardi menyeruput kopinya sedikit, lalu menatap Sindy. “Terus mana uang lima puluh ribu tadi?”

Sindy terbelalak saat Ardi menengadahkan tangannya.

“Kamu benar-benar menagih uang itu, Mas?”

“Memangnya kenapa, kan itu sudah kesepakatan kita tadi.”

Sindy menatap tak percaya ke arah suaminya.

“Kamu benar-benar perhitungan ya, sedangkan adik-adik kamu saja pasti kamu bayarin semua belanjaan mereka.”

Bukannya merasa bersalah, Ardi justru membuang muka.

“Mereka saudaraku, Sin. Wajar kalau aku bayarin mereka ...”

“Terus Sisil apa bagimu?!”

“Apa sih, nggak usah teriak-teriak juga!”

Sindy mengusap kasar ujung matanya. “Itu karena kamu perhitungan, Mas! Perkara lima puluh ribu kamu tagih betulan, tapi kamu makan enak di luar sana apa ingat sama kami di rumah?”

Lagi-lagi, Ardi menunjukkan wajah tidak suka.

“Apa kamu sedikitpun kepikiran, aku sama Sisil sudah makan atau belum?” tanya Sindy lagi, menahan gempuran emosi yang membuncah di dada. “Mikir sampai ke sana nggak?!”

“Pastinya sudah kan, nggak mungkin kamu sama Sisil belum makan.” Ardi menyahut dengan suara yang lebih rendah dibandingkan tadi. “Sudah malam, mana uangnya?”

Kalap, Sindy mengambil lembaran uang lima puluh ribu yang terlipat di saku celana, meremasnya kuat-kuat lalu melemparkannya ke arah Ardi.

“Makan tuh uang kamu!” gertak Sindy sambil pergi ke kamar dan mengunci pintunya rapat.

Cukup lama dia menumpahkan seluruh emosinya tanpa suara di samping Sisil yang terlelap tidur. Tidak dipedulikannya suara Ardi yang menggedor-gedor pintu kamar, hendak ikut tidur.

Namun, Sindy yang telanjur benci, sama sekali tidak memberikan kesempatan sedikit saja bagi Ardi untuk istirahat bersama keluarga kecil mereka.

***

Keesokan paginya, Sindy memaksa diri untuk beraktivitas seperti biasa. Ardi sendiri tidak kelihatan di mana rimbanya, untuk sementara dia memilih fokus mengurus rumah dan buah hatinya.

“Sin, kamu ini apa-apaan?”

Suasana rumah yang seharusnya tenang, mendadak berubah tegang saat suara ibu mertua datang menghampiri telinga.

“Ada apa, Bu?” tanya Sindy datar.

“Kenapa semalam kamu nggak bukain pintu buat Ardi?”

“Siapa bilang? Pintunya nggak aku kunci kok.”

“Jangan bohong kamu, Sin. Buktinya Ardi sampai nggak bisa tidur dan harus menginap di rumah saya,” tukas ibu mertua.

“Oh, jadi Mas Ardi sejak semalam ada di sana?”

“Nggak usah pura-pura lagi kamu, bisa-bisanya suami sendiri nggak dibukain pintu. Itu namanya istri durhaka!”

Sindy menarik napas panjang.

“Itu pilihan Mas Ardi sendiri buat tidur di rumah Ibu, aku nggak pernah suruh dia tidur di luar.”

“Tapi Ardi bilang kalau pintu kamarnya kamu kunci?”

Sindy mengangguk paham. “Kalau pintu kamar, memang betul aku kunci. Mas Ardi kan masih bisa tidur di depan TV atau di sofa ...”

“Keterlaluan ya kamu, Sin?”

“Keterlaluan gimana sih, Bu? Mas Ardi sendiri lebih memanjakan adik-adiknya daripada Sisil,” ujar Sindy tidak terima.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing goblok. pantas aja suamimu g memberi nafkah cukup krn kebodohanmu sendiri dan terlalu menye2. g ada sedikitpun ketegasanmu njing.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Istri yang Tak Dinafkahi    4 Mengabaikan Anak dan Istri

    “Lho, memangnya kenapa kalau Ardi memanjakan saudara-saudaranya? Itu juga pakai uang Ardi kan, kamu iri? Nggak boleh begitu, Sin. Jadi istri jangan banyak nuntut dan protes terhadap apa yang dilakukan suami.” Ibu mertua kembali ceramah. “Gimana aku nggak iri, Bu? Kemarin itu Sisil sakit, tapi Mas Ardi perhitungan banget cuma kasih uang lima puluh ribu. Itupun akhirnya minta dikembalikan karena Sisil nggak jadi periksa ke dokter,” ungkap Sindy agar ibu mertua tahu bagaimana kelakuan ajaib putra kebanggaannya itu. “Salahnya Ardi di mana ya, kan Sisil juga nggak jadi periksa? Daripada uangnya kamu buat foya-foya, lebih baik diambil sama Ardi buat ditabung.” Merasa disudutkan, Sindy kembali melontarkan protes kepada Ibu mertuanya. “Foya-foya dari mana, Bu? Uang lima puluh ribu bisa dapat apa sih?” “Sudah, sudah, kamu ini kalau dikasih tahu selalu saja membantah. Heran, makin ke sini makin membangkang kamu ya? Hati-hati kualat sama suami sendiri, Sin ...” “Nggak kebalik, Bu? Seh

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Istri yang Tak Dinafkahi    5 Kamu kan cuma di Rumah

    “Saya izinkan kamu bawa anak, Nesi yang akan asuh sementara kamu memasak menu. Kalau respons pelanggan bagus dan resto ini kembali ramai secara bertahap, kamu saya angkat jadi pegawai tetap di sini.” Bak terhipnotis, Sindy mengangguk saja ketika pria berkaca mata itu memberikan penegasan dalam setiap kata-katanya. “Pak Zayyan memang gitu, tegas. Tapi aku yakin kok kalau kamu mampu, Sin.” Nesi menghibur Sindy saat menceritakan sikap bos mereka. Hari pertama, sampel ikan bakar buatan Sindy mendapatkan respons yang lumayan positif. Beberapa pelanggan bahkan tak ragu memesan untuk dimakan di rumah. Hal itu membuat Sindy termotivasi, dia akan bekerja diam-diam tanpa sepengetahuan Ardi jika bos memberinya kesempatan. “Kamu cari kerja dong, biar perekonomian kita nggak gini-gini aja ...” tuntut Ardi suatu hari, tanpa rasa sungkan sedikitpun. Sindy menyodorkan suapan terakhir ke mulut sang putri yang sedang makan. Ardi dengan tidak sabar menunggu jawaban dari Sindy. “Mau ya,

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Istri yang Tak Dinafkahi    6 Laki-laki Harus Ditaati

    Ardi mematung setelah Sindy meluapkan amarahnya sedemikian rupa.“Jangan sok tahu kamu, Sin. Sudah bagus aku tidak lupa kasih kamu nafkah ...”“Tapi seharusnya kamu memprioritaskan keluarga kecil kamu dulu, baru orang tua kamu!”Ardi berdecak. “Sudah deh, kamu cukup-cukupkan dulu nafkah dari aku. Bersyukur masih dikasih rejeki ...”“Harusnya kamu katakan itu sama orang tua kamu! Kalau memang nggak punya uang cukup, kenapa harus masak ayam ungkep? Menu lainnya kan bisa!”“Eh, lancang kamu ya! Siniin uangnya, seratus ribu saja nggak apa-apa!”“Tapi minggu ini jadwalnya bayar listrik sama air, Mas!”“Kamu kan sebentar lagi kerja, utang dulu sama temen kamu kek, siapa kek ... Sini uangnya, seratus ribu saja kok pakai adu mulut!”“Itu kalau kamu kasih aku seminggu satu juta, aku nggak masalah kamu ambil seratus dua ratus! Ini cuma lima ratus, masih juga dikorup! Nih, ambil semuanya sekalian!”Ardi kaget saat Sindy melempar lembaran uang warna merah itu ke arahnya.“Sin, kamu apa-

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • Istri yang Tak Dinafkahi    7 Aku Adalah Milik Ibuku

    “Mata kamu kok sembab banget, Sin?” sambut Nesi saat Sindy tiba di resto keesokan harinya. “Berantem lagi sama Ardi?” “Begitulah, aku sudah nggak kuat ...” Nesi cepat-cepat menggendong Sisil, dan memotivasi Sindy untuk terus berjuang demi masa depan. “Kalau Ardi nggak niat kasih nafkah, biarkan saja. Saatnya kamu unjuk gigi dengan jadi tukang masak di resto ini, Pak Zayyan sudah janji mau angkat kamu jadi karyawan tetap kalau resto ramai lagi kan?” Sindy mengangguk pelan. “Nah, jangan sia-siakan kesempatan itu! Biarkan Ardi dengan doktrin keluarganya, nanti akan tiba saatnya kamu membalikkan keadaan.” “Apa aku mampu, Nes?” “Pasti, kamu punya kelebihan. Jangan ragu untuk maju, Sin. Punya suami dzolim kayak Ardi, harus bikin kamu tahan banting. Cari uang sendiri untuk kamu nikmati sendiri sama Sisil, oke?” Sindy terdiam sebentar. “Aku bukannya nggak mensyukuri nafkah dari Mas Ardi, berapapun itu pasti aku terima. Asalkan bukan sisa setelah nafkah itu dikurangi untuk kebut

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Istri yang Tak Dinafkahi    8 Saat Ardi yang Belanja

    “Nes, gimana? Pak Zayyan setuju nggak soal permintaan aku kemarin?” tanya Sindy penuh harap. “Aku butuh buat ongkos ke resto juga soalnya ...”“Tenang, sama aku sih beres!”“Beres gimana?”“Pak Zayyan bilang kalau nggak boleh ada hambatan bagi kamu untuk bisa membuat resep ikan bakar favorit pelanggan, karena itu dia setuju untuk kasih kamu gaji mingguan.”“Alkhamdulillah ...”“Eits, tapi ada syaratnya!”“Apa tuh?”“Jangan bilang ini ke pegawai lain, takutnya pada iri karena di sini sistemnya bulanan.”Sindy manggut-manggut mengerti.“Sebisa mungkin aku akan jaga rahasia, Nes. Nggak mungkin aku banyak tingkah.”“Ya sudah, semoga kamu semakin termotivasi dan tetap konsisten menyajikan ikan bakar yang rasanya spektakuler!”“Pasti, aku akan berjuang.” Sindy berjanji.Beberapa hari kemudian, Ardi telah menerima gaji dan mulai mengatur sendiri keuangan rumah tangganya.“Nih, buat belanja besok.” Ardi mengulurkan uang sebesar dua puluh ribu rupiah kepada Sindy. “Kamu masak ayam goreng, sop

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Istri yang Tak Dinafkahi    9 Punya Hubungan Darah

    “Sin, buatkan saya dua puluh porsi ikan bakar untuk rekan-rekan saya. Minta bantuan Meta yang urus kardus makanan,” perintah Zayyan pagi itu saat Sindy sibuk meracik bumbu andalannya.“Komplit sama nasinya, Pak?”“Tentu saja, sambal dan lalapan juga jangan lupa.”Sindy mengangguk sigap.“Kira-kira hari apa pesanan saya selesai?” tanya Zayyan memastikan.Untuk sejenak, kepala Sindy penuh dengan hitung-hitungan antara tenaga dan waktu yang dibutuhkan.“Dua-tiga hari, Pak. Soalnya saya kerja sendiri ...”“Tidak bisa dipercepat lagi? Kalau perlu kamu lembur, saya akan kasih bonus kalau sudah selesai.”Sindy mempertimbangkan permintaan Zayyan. Sebetulnya bukan permintaan, melainkan perintah karena nada suara pria itu terdengar tegas dan Sindy tidak menemukan celah sedikitpun untuk memberikan penolakan.Belum lagi tawaran bonus yang dijanjikan Zayyan, tentu saja membuat jiwa perhitungan Sindy meronta-ronta.“Anak saya ikut lembur, nggak masalah kan, Pak?” tanya Sindy ragu.“Meman

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Istri yang Tak Dinafkahi    10 Punya Penghasilan Sendiri

    “Bagaimana, Pak?” tanya Sindy ketika Zayyan sendiri yang datang untuk mengambil pesanan ikan bakar ke resto. “Tampilan kardus dan tatanan isinya?” Sebelum menjawab, Zayyan membuka salah satu tutup kardus dan mengamati sajian ikan bakar di dalamnya sementara Sindy harap-harap cemas. Khawatir jika apa yang dia dan teman-temannya lakukan tidak sesuai dengan ekspektasi Zayyan. “Lumayan, saya akan kasih bonusnya sekarang juga. Berapa nomor rekening kamu, biar saya transfer ...” “Kalau saya minta tunai, boleh Pak?” tanya Sindy buru-buru. “Masalahnya mau saya bagi sama teman yang bantu saya tadi.” Zayyan terlihat mempertimbangkan permintaan Sindy, tidak lama setelahnya dia menganggukkan kepala. “Ini, pergunakan dengan baik.” Zayyan menarik berlembar-lembar uang warna merah kepada Sindy. “Terima kasih, Pak!” Sindy mengangguk, terlebih karena mendengar ucapan terakhir Zayyan yang seolah menyiratkan sesuatu. Tanpa menunda waktu lagi, Sindy segera membagi uang itu kepada N

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26
  • Istri yang Tak Dinafkahi    11 Sikap Aneh Ardi

    Mendengar ucapan Mita, Ardi mengangguk-angguk mengerti. “Benar juga. Mau suami atau istri yang kerja, itu sudah jadi uang kita bersama!”Ratna, ibu Ardi ikut mendukung pernyataan Mita dengan menganggukkan kepalanya.“Yeeeyyy, itu artinya kita akan lebih sering senang-senang lagi!” Mita begitu riang gembira, karena sudah membayangkan jika uang yang dimiliki kakak kandungnya kini akan semakin bertambah banyak dengan gaji yang dimiliki oleh kakak ipar.“Kita bisa mulai menabung juga untuk hari tua,” imbuh Ratna. “Kamu jangan lupa bilang sama Sindy supaya nggak lupa sama kewajibannya membantu kamu, Di.”“Nanti aku akan bilang, Bu.”Ardi sudah tidak sabar menunggu Sindy pulang ke rumah, supaya mereka berdua bisa bebas bicara. Karena istrinya kini sudah memiliki penghasilan sendiri, maka Ardi berniat untuk memberikan gajinya demi kesejahteraan keluarga besarnya.Sementara gaji Sindy bisa dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka bertiga.“Capek, Sin?”Ardi memasang senyum lebar s

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27

Bab terbaru

  • Istri yang Tak Dinafkahi    47 Mencoba untuk Perhatian

    Ardi terenyak mendapatkan pertanyaan tajam itu dari bibir Sindy.“Setidaknya aku masih bertanggung jawab dengan kasih kamu nafkah, walau nggak banyak.”Sindy hanya memasang wajah datar, dia sudah tahu jika Ardi akan berkilah sedemikian rupa. Karena itu dia tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini.“Ayolah, Sin.”“Tidak, Mas. Aku nyaman dengan hidup aku yang sekarang,” tegas Sindy dengan nada suara yang hanya Ardi sendiri yang mendengarnya.“Mentang-mentang kamu sudah banyak uang sekarang?”Sindy tidak menjawab.“Ternyata benar ya, istri itu akan merasa tinggi kalau bisa cari uang sendiri.” Ardi melanjutkan.“Aku rasa kamu belum hilang ingatan, Mas. Aku sudah bukan istri kamu lagi, jadi kamu nggak punya hak untuk berkomentar apa pun tentang hidup aku.”Ardi menyerahkan kantong plastik yang tadi dibawanya ke tangan Sindy.“Ini apa?”“Itu barang-barang kebutuhan wanita, buat kamu.” “Aku nggak ...”“Itu sebagai wujud kepedulian aku buat kamu, Sin.” Ardi tetap memaksa.Sind

  • Istri yang Tak Dinafkahi    46 Cukup Sampai di Sini

    “Jadi Tante mau memaafkan aku?” Mata Clara berbinar-binar.“Tante bisa apa? Menyimpan dendam itu sejatinya tidak baik,” sahut Keke, gaya bicaranya lugas dan elegan. Berbeda sekali ketika dia mengobrol dengan Zayyan dan adiknya.“Terima kasih, Tante. Kalau begitu aku tinggal membujuk Mas Zayyan ...”“Membujuk buat apa?”“Untuk memperbaiki semuanya, Tante.” Clara begitu percaya diri karena merasa sudah mendapatkan dukungan dari Keke.“Tidak perlu sampai seperti itu, Cla. Bagi Zayyan, hubungan terbaik kalian ya dengan tetap seperti ini.”“Maksud Tante?”Keke menatap Clara lurus-lurus.“Kamu seharusnya paham kalau ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan apa adanya, jadi jangan dipaksakan untuk menjadi baik-baik saja. Apa kamu paham?”Clara tertegun mendengar penuturan Keke.“Apa itu artinya aku tidak boleh memperbaiki hubunganku dengan Mas Zayyan? Aku cuma tidak ingin terkesan bermusuhan seperti ini, Tante ...”Keke menarik napas. “Tidak ada satu orang pun yang menganggap kamu

  • Istri yang Tak Dinafkahi    45 Pesan dari Keluarga Mantan

    Ini kenapa semua keluarga mantan suami pada error sih, batin Sindy. Dia merasa tidak perlu membalas pesan mantan adik iparnya itu.Malam harinya saat Sindy merebahkan diri di tempat tidur, lagi-lagi ponselnya berbunyi singkat.Ternyata ada pesan baru lagi.[Sin, kapan main ke rumah? Jangan memutuskan ikatan kekeluargaan di antara kita, mainlah ke sini sama Sisil]Sindy membaca pesan yang dikirim dari kontak mantan ibu mertuanya yang masih tersimpan.[Maaf Bu, saya belum bisa ambil cuti. Restoran ramai]Sejujurnya Sindy juga enggan membalas, tapi di terpaksa demi mempertahankan sopan santun terhadap orang tua.[Ibu senang karena kamu pintar cari uang, Ardi pasti bangga sama kamu, Sin]“Astaga, apa urusannya sama Mas Ardi sih?” Sindy geleng-geleng kepala membaca pesan balasan dari Ratna.[Terima kasih, Bu. Aku pamit tidur duluan, besok kerja]Sindy bergegas melempar ponselnya ke arah berlawanan, lalu cepat-cepat memejamkan mata.Situasi restoran terasa lebih tegang daripada b

  • Istri yang Tak Dinafkahi    44 Ardi Mengirimkan Mata-mata?

    Zayyan berputar menghadap mamanya.“Kadang Mama agak sok tahu ...”“Mama memang tahu kamu sejak orok, Zay! Nggak usah diragukan lagi,” sahut Keke seraya duduk di salah satu kursi. “Sekarang cerita sama mama, apa yang sebetulnya terjadi di restoran kamu tadi?”“Aku kan sudah cerita, Ma.” Zayyan kembali melanjutkan pekerjaannya menyeduh kopi.“Masa cuma karena Sindy melayani pelanggan, kamu jadi semarah ini?”“Itu karena menurut aku, koki nggak boleh meninggalkan dapur kecuali keadaan darurat. Kalau misalnya pesanan ikan bakar antre, terus Sindy malah sibuk melayani pelanggan di depan, bisa-bisa restoranku terancam gulung tikar lagi ...”“Hust, omongan itu bisa jadi doa. Jangan sembarangan,” tegur Keke. “Memangnya pesanan ikan bakar di resto keteteran ditinggal Sindy?”“Kebetulan enggak sih ...”“Nah, itu artinya Sindy cukup tahu situasi! Sudahlah, jangan ditanggapi berlebihan. Kadang pelanggan memang macam-macam permintaannya, Zay.”“Tapi seumur-umur aku buka restoran, baru ka

  • Istri yang Tak Dinafkahi    43 Zayyan Sedang Sensitif

    Meta mendeskripsikan ciri-ciri orang yang memaksa untuk meminta Sindy melayaninya.“... yang satu cewek, masih muda, dulu pernah disuruh cuci piring di belakang.”Sindy mengangguk paham, dia kenal betul siapa orang yang dimaksud Meta.“Mau pesan apa, Bapak? Adek?” Ardi menoleh saat Sindy muncul sambil membawa daftar menu.“Sin ...” Mata Ardi semakin terpana melihat penampilan Sindy yang sekarang, khususnya bagian wajah yang terlihat makin bersinar.“Lama banget,” celetuk Mita yang tidak sabaran. “Aku mau pesan nih, lapar!”“Tapi bisa bayar, kan?” tanya Sindy dengan senyum ramah.“Kamu jangan menghina ya, Mbak?” Suara Mita sedikit meninggi, sampai-sampai membuat beberapa pengunjung menoleh ke arah mereka.“Tidak perlu berteriak, Bu.”“Kamu ...”“Mit, jangan bikin keributan atau kamu bayar sendiri makanan kamu!” desis Ardi mengancam.“Ihhh, menyebalkan ...” Mita memajukan bibirnya.“Jadi mau pesan apa, Pak?” tanya Sindy sambil menunjukkan profesionalitasnya. “Biar bisa seg

  • Istri yang Tak Dinafkahi    42 Tangan Mereka Bersentuhan

    “... kita bisa kok, Mas. Asalkan kamu mau menerima ...”“Tidak ada yang perlu menerima atau diterima, Cla. Jadi tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan.”“Mas, jangan begitu ...”Sindy berusaha menulikan kedua telinganya dari obrolan Zayyan dengan wanita itu, tangannya sibuk menaruh beberapa kantong plastik berisi sampah dapur.“Sudah ya, Cla. Aku sibuk ...”“Aku belum selesai bicara, Mas!”Zayyan menoleh ke sekeliling dan tatapannya tertumbuk pada Sindy.“Sin, kamu ikut saya beli bahan baku!”Mendengar namanya disebut, Sindy segera menoleh ke arah Zayyan. “Saya, Pak?”“Kamulah, siapa lagi yang saya panggil selain kamu?”Sindy hanya mengangguk dengan tampang cengo, terlebih saat wanita yang menjadi lawan bicara Zayyan menatapnya dengan mata menyipit.“Nggak bisa begitu dong, Mas. Kamu mau ajak dia ... nggak salah?” “Clara, tolong ya? Apa yang aku lakukan di sini bukanlah urusan kamu, jadi kamu tidak perlu mengomentari hal-hal seperti ini.” Zayyan mengingatkan. “Ayo, Sin.

  • Istri yang Tak Dinafkahi    41 Zayyan Menjadi Sekeras Itu

    Zayyan tidak menjawab.“Ayolah, Mas ...” bujuk Clara. “Sudah lama juga kita nggak ketemu.”“Aku sibuk,” tolak Zayyan. “Kamu tahu sendiri kalau restoran aku ini hampir gulung tikar, jadi aku tidak mau buang-buang waktu untuk hal yang kurang penting lagi.”“Sebentar saja kok, Mas ...”“Kamu paham bahasa manusia atau tidak?” tukas Zayyan yang kesabarannya setipis tisu. “Aku tidak ada waktu, butuh usaha dan perjuangan keras untuk mencapai titik ini dan akan jauh lebih sulit lagi untuk mempertahankannya.”Clara terpaku, lama tidak bertemu ternyata sudah mengubah Zayyan menjadi sekeras itu.“Y—ya sudah, kapan-kapan aku akan datang lagi ...”“Tidak perlu, karena aku selalu sibuk memperbaiki ekonomi.”Tanpa menunggu jawaban dari Clara sedikitpun, Zayyan berlalu masuk ke mobilnya sendiri. Sambil melaju perlahan, dia menghubungi Beni melalui ponselnya.“Halo, Pak Bos?”“Kamu sudah selesai cuci motornya?”“Ini masih lap-lap biar makin kinclong, ada apa, Pak?”“Kalau sudah selesai, co

  • Istri yang Tak Dinafkahi    40 Jangan Ada Tujuan Lain

    Zayyan mengemudikan mobilnya dengan hati-hati karena jalanan begitu padat merayap. Meski penglihatannya terlihat fokus menatap ke arah lalu lintas yang ada di depan, tapi pikirannya justru terngiang-ngiang oleh ucapkan Sindy beberapa waktu yang lalu.‘Kalau memang suatu saat nanti Anda akan menikah dengan Mita dan menjadikannya sebagai bos kami, saya terpaksa mengundurkan diri.’Pada awalnya Zayyan mengira jika ucapan Sindy itu menyiratkan sesuatu hal, tapi ternyata justru karena Sindy pernah bersaudara ipar dengan Mita yang kemungkinan besar memiliki perangai buruk.Mungkin aku saja yang berpikir terlalu jauh, batin Zayyan dalam hati. Namun, jelas tidak tidak berminat sedikit pun untuk menjadikan Mita sebagai pendamping hidupnya. Perempuan seusia adiknya itu sama sekali bukanlah tipe wanita yang diinginkan Zayyan.“Sudah kamu sampaikan Sindy?” tanya Keke ketika putranya itu tiba di rumah. “Sudah dari kemarin, Ma.”“Sindy bilang apa?”“Terima kasih, katanya.”Keke mencebikkan

  • Istri yang Tak Dinafkahi    39 Berkhayal Menikah sama Zayyan

    Sindy mematung sebentar gara-gara pertanyaan yang Zayyan lontarkan, otaknya buru-buru berpikir untuk mencari jawaban logis supaya Zayyan tidak mengira jika dirinya iri.“Saya ... punya pengalaman buruk saat masih menjadi kakak ipar Mita,” jawab Sindy lambat-lambat. “Saya tidak ingin lagi berhubungan sama dia, karena itu saya memilih mengundurkan diri seandainya dia jadi bos di sini ...”Zayyan terdiam untuk beberapa saat lamanya. Ada rasa ingin tertawa, tapi dia berusaha keras menahannya.“Pemikiran kamu sudah terlalu jauh ternyata,” komentar Zayyan. “Memang seharusnya begitu kan, Pak? Karena perjalanan hidup ini tidaklah singkat, sebab itu saya tidak ingin terjebak dalam situasi yang sulit lagi. Cukup kemarin-kemarin saja dijadikan pelajaran saja, jadi kalau Anda memang akan menikah sama Mita, itu hak Anda. Maaf, tapi saya memilih mundur karena tidak ingin punya bos seperti Mita.” Sindy terpaksa mengutarakan rencananya meski terdengar sedikit berlebihan.Lagipula memangnya Zayy

DMCA.com Protection Status