“Tapi, Mas ...”
“Kak Ardi, aku boleh ambil tas itu nggak?” Tiba-tiba Sindy mendengar ada suara yang menyela. “Boleh dong, ambil saja yang kamu suka!” “Kak, aku mau sepatu yang itu ...” “Ambil sana, kakak yang bayar!” Sindy mengepalkan sebelah tangan, dia sangat mengenali suara-suara itu. Adik-adik iparnya. “Wah, Kak Ardi lagi banyak uang nih kayaknya!” “Jelas, makanya kita bisa puas jalan-jalan hari ini!” Dengan tubuh lunglai, Sindy duduk terpekur di kursinya sementara ponsel masih menyala di dekat telinganya. Kemungkinan Ardi lupa mematikan sambungan mereka sampai Sindy bisa mendengar percakapan mereka. “Habis ini kita mau makan apa, adik-adikku yang cantik?” Suara Ardi begitu penyayang saat bertanya kepada adik ipar Sindy. “Aku mau ayam goreng tepung, Kak!” “Oke, kalau Mita mau apa?” “Burger sama minuman soda, Kak!” “Ayok, belanjanya dibayar dulu. Habis itu kita makan sama-sama!” “Siap, jangan lupa bungkus juga buat ibu sama ayah di rumah, Kak!” “Beres, eh sebentar! Ponselku masih nyala ini ...” Tut! Detik itu juga Sindy menyadari jika Ardi sudah tersadar lalu memutuskan sambungan mereka. “Ya Allah ...” ratap Sindy, dia tidak dapat lagi menahan lelehan bening yang kini menggenang di kedua matanya. “Tega dia ...” Masih ingat dalam ingatan Sindy bagaimana pelitnya Ardi membagi uang demi berjaga-jaga jika putri mereka harus periksa ke dokter. Itupun pakai embel-embel kalau Sindy harus mengembalikan uang itu seandainya Sisil tidak jadi diperiksa. “Kamu dari mana, Mas?” Ardi terlonjak kaget saat mendapati Sindy duduk di ruang tamu rumah mereka yang gelap gulita. “Lho Sin, kok kamu belum tidur?” “Kamu tahu nggak kalau Sisil lagi sakit?” tanya Sindy di balik kegelapan. “Ngomong apa sih, lampu dinyalakan dulu kenapa?” Ardi menekan saklar lampu dengan keras. “Bukannya tadi aku sudah kasih kamu uang lima puluh ribu buat periksa?” “Tapi aku juga butuh kamu buat gantian jaga Sisil, Mas! Aku butuh mandi, butuh makan ...” “Mandi tinggal mandi, Sisil kan sudah bukan bayi lagi!” Sindy menggelengkan kepala, Ardi benar-benar tidak memahami bagaimana risau-nya perasaan ibu jika anak sakit dan harus ditinggal sebentar sekalipun hanya untuk mandi. “Kamu kira aku nggak butuh nyuci dan beres-beres rumah?” cecar Sindy meradang. “Ya itu tugas kamu kan sebagai istri? Aku baru pulang lho ini, bukannya bikinin kopi malah ngajak ribut.” Ardi melenggang pergi begitu saja melewati Sindy yang masih berdiri kaku. “Oh ya, tadi jadi periksa nggak?” Sindy diam saja, selagi tangannya sibuk menyeduh kopi. “Sin, kalau ditanya itu jawab.” “Nggak jadi.” Ardi manggut-manggut. “Berarti uang lima puluh ribunya tadi bisa kamu kembalikan dong?” Prak! Sindy langsung membanting sendok yang sedang digunakannya ke atas meja dengan keras. “Lima puluh ribu saja kamu tagih, Mas?” “Memangnya kenapa? Bukannya tadi kamu sendiri yang bilang kalau uang itu akan kamu kembalikan kalau Sisil nggak jadi periksa ke dokter?” Sindy mengembuskan napas keras, dia tidak bisa menebak cara berpikir Ardi sebagai seorang ayah. “Kamu perhitungan banget ya sama anak sendiri?” “Maksud kamu apa sih?” Ardi mengerutkan keningnya. “Cuma lima puluh ribu, itu saja kamu perhitungan dan benar-benar minta dibalikin! Sedangkan untuk adik-adik kamu saja, sepatu dan tas kamu belikan cuma-cuma!” Ekspresi wajah Ardi mendadak berubah keras. “Kenapa kamu jadi bawa-bawa adikku?” “Karena kamu pilih kasih, Mas?” “Memangnya salah kalau aku menyenangkan hati adik-adik aku, Sin?” “Aku nggak pernah bilang kalau itu salah, tapi Sisil itu anak kandung kamu!” Sindy meledak. “Dia butuh kamu sebagai ayahnya, tapi kamu malah dengan sengaja mengabaikannya!” Lagi, Sindy membanting cangkir kopi ke hadapan Ardi hingga isinya memercik sedikit di meja. “Sekarang aku tanya sama kamu, Sisil jadi periksa ke dokter atau nggak?” Sindy menggeleng lemah. “Nah, itu artinya Sisil nggak sakit parah kan? Terus apa masalahnya kalau aku telat pulang karena harus menemani adik-adik aku belanja?” tukas Ardi, seolah menganggap enteng kondisi anaknya. “Benar-benar kamu, Mas ...” Ardi menyeruput kopinya sedikit, lalu menatap Sindy. “Terus mana uang lima puluh ribu tadi?” Sindy terbelalak saat Ardi menengadahkan tangannya. “Kamu benar-benar menagih uang itu, Mas?” “Memangnya kenapa, kan itu sudah kesepakatan kita tadi.” Sindy menatap tak percaya ke arah suaminya. “Kamu benar-benar perhitungan ya, sedangkan adik-adik kamu saja pasti kamu bayarin semua belanjaan mereka.” Bukannya merasa bersalah, Ardi justru membuang muka. “Mereka saudaraku, Sin. Wajar kalau aku bayarin mereka ...” “Terus Sisil apa bagimu?!” “Apa sih, nggak usah teriak-teriak juga!” Sindy mengusap kasar ujung matanya. “Itu karena kamu perhitungan, Mas! Perkara lima puluh ribu kamu tagih betulan, tapi kamu makan enak di luar sana apa ingat sama kami di rumah?” Lagi-lagi, Ardi menunjukkan wajah tidak suka. “Apa kamu sedikitpun kepikiran, aku sama Sisil sudah makan atau belum?” tanya Sindy lagi, menahan gempuran emosi yang membuncah di dada. “Mikir sampai ke sana nggak?!” “Pastinya sudah kan, nggak mungkin kamu sama Sisil belum makan.” Ardi menyahut dengan suara yang lebih rendah dibandingkan tadi. “Sudah malam, mana uangnya?” Kalap, Sindy mengambil lembaran uang lima puluh ribu yang terlipat di saku celana, meremasnya kuat-kuat lalu melemparkannya ke arah Ardi. “Makan tuh uang kamu!” gertak Sindy sambil pergi ke kamar dan mengunci pintunya rapat. Cukup lama dia menumpahkan seluruh emosinya tanpa suara di samping Sisil yang terlelap tidur. Tidak dipedulikannya suara Ardi yang menggedor-gedor pintu kamar, hendak ikut tidur. Namun, Sindy yang telanjur benci, sama sekali tidak memberikan kesempatan sedikit saja bagi Ardi untuk istirahat bersama keluarga kecil mereka. *** Keesokan paginya, Sindy memaksa diri untuk beraktivitas seperti biasa. Ardi sendiri tidak kelihatan di mana rimbanya, untuk sementara dia memilih fokus mengurus rumah dan buah hatinya. “Sin, kamu ini apa-apaan?” Suasana rumah yang seharusnya tenang, mendadak berubah tegang saat suara ibu mertua datang menghampiri telinga. “Ada apa, Bu?” tanya Sindy datar. “Kenapa semalam kamu nggak bukain pintu buat Ardi?” “Siapa bilang? Pintunya nggak aku kunci kok.” “Jangan bohong kamu, Sin. Buktinya Ardi sampai nggak bisa tidur dan harus menginap di rumah saya,” tukas ibu mertua. “Oh, jadi Mas Ardi sejak semalam ada di sana?” “Nggak usah pura-pura lagi kamu, bisa-bisanya suami sendiri nggak dibukain pintu. Itu namanya istri durhaka!” Sindy menarik napas panjang. “Itu pilihan Mas Ardi sendiri buat tidur di rumah Ibu, aku nggak pernah suruh dia tidur di luar.” “Tapi Ardi bilang kalau pintu kamarnya kamu kunci?” Sindy mengangguk paham. “Kalau pintu kamar, memang betul aku kunci. Mas Ardi kan masih bisa tidur di depan TV atau di sofa ...” “Keterlaluan ya kamu, Sin?” “Keterlaluan gimana sih, Bu? Mas Ardi sendiri lebih memanjakan adik-adiknya daripada Sisil,” ujar Sindy tidak terima.“Lho, memangnya kenapa kalau Ardi memanjakan saudara-saudaranya? Itu juga pakai uang Ardi kan, kamu iri? Nggak boleh begitu, Sin. Jadi istri jangan banyak nuntut dan protes terhadap apa yang dilakukan suami.” Ibu mertua kembali ceramah. “Gimana aku nggak iri, Bu? Kemarin itu Sisil sakit, tapi Mas Ardi perhitungan banget cuma kasih uang lima puluh ribu. Itupun akhirnya minta dikembalikan karena Sisil nggak jadi periksa ke dokter,” ungkap Sindy agar ibu mertua tahu bagaimana kelakuan ajaib putra kebanggaannya itu. “Salahnya Ardi di mana ya, kan Sisil juga nggak jadi periksa? Daripada uangnya kamu buat foya-foya, lebih baik diambil sama Ardi buat ditabung.” Merasa disudutkan, Sindy kembali melontarkan protes kepada Ibu mertuanya. “Foya-foya dari mana, Bu? Uang lima puluh ribu bisa dapat apa sih?” “Sudah, sudah, kamu ini kalau dikasih tahu selalu saja membantah. Heran, makin ke sini makin membangkang kamu ya? Hati-hati kualat sama suami sendiri, Sin ...” “Nggak kebalik,
“Nggak masalah kan, dulu sebelum hamil bukankah dia juga kerja?”“Masalahnya siapa yang jaga anak kami, Bu?”“Gampang itu, asalkan ada kemauan pasti ada jalan.”Begitu pulang dari rumah orang tuanya, Ardi menyaksikan Sindy yang sedang menyuapi anak mereka dengan sayur bening tadi.“Kamu cari kerja dong, biar perekonomian kita nggak gini-gini aja ...” tuntut Ardi tanpa rasa bersalah.Sindy menyodorkan suapan terakhir ke mulut sang putri.“Habis minum, kamu main di kamar dulu ya?” “Iya, Bu ...”Ardi dengan tidak sabar menunggu jawaban dari Sindy.“Mau ya, ini demi masa depan kita juga.”Sindy menunggu putrinya masuk kamar dulu, baru berkomentar.“Nafkah itu kewajiban siapa sih, Mas? Suami atau istri?”“Apa salahnya kalau istri bantu-bantu suami, ibu aku juga gitu kok.”“Aku tanya dulu, nafkah itu kewajiban suami atau istri?”“Suami, tapi istri juga nggak berdosa kalau ikut bantu-bantu cari uang.”“Memang nggak berdosa, tapi nggak wajib juga.”“Kamu ini ya, nggak pernah
“Ini nafkah buat kamu, Sin.”Sindy menatap tiga lembar uang warna merah yang diletakkan Ardi di atas meja, dahinya berkerut karena jumlah nafkah yang diberikan kepadanya semakin berkurang dari minggu ke minggu.“Kok cuma segini, Mas?”“Segitu masa nggak cukup? Hemat sedikit lah, kapan kita bisa nabung kalau kamu nggak bisa atur uang belanja?”Sindy menghela napas. Mau protes, tapi dia juga tahu kalau akhir-akhir ini pekerjaan Ardi sebagai tenaga borongan di gudang besi sedang sepi, sehingga mempengaruhi penghasilan yang diterima suaminya.“Ya sudah, disyukuri saja ...”“Nah, itu tahu! Jadi istri memang harus pintar-pintar bersyukur, Sin.”“Kalau begitu hari ini aku masak tumis kangkung sama goreng tempe buat kamu ya, Mas?”Ardi mengernyitkan keningnya mendengar deretan menu yang disebut Sindy.“Tempe goreng lagi? Baru dua hari yang lalu kamu masak oseng tempe, sekarang goreng tempe ... Heran, apa kamu nggak bisa bikin menu yang lebih enak lagi selain olahan tempe?”Sindy men
“Cukup, cukup, Di! Wah, kalau kayak begini gaji kamu, ibu yakin nih bisa nabung buat masa depan!”Sindy membeku di tempatnya berdiri. Tangan yang semula akan mengetuk pintu rumah mertuanya, kini menggantung di tengah udara.Mas Ardi gajian? Bukankah belum waktunya? Atau dia punya kerja sampingan, tapi kenapa aku nggak dikasih tahu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berjubelan di dalam pikiran Sindy.“Ya sudah, Bu. Aku pergi dulu, ya?”“Hati-hati, Di. Yang semangat kerjanya, biar dapat banyak uang!”Ardi tersenyum lebar seraya keluar dari balik pintu, tapi seketika senyum itu memudar ketika melihat keberadaan Sindy tepat di depannya.“Sin? Sejak kapan kamu di situ?” Ardi tergagap, begitupun ibunya yang berdiri di belakang sang putra.“Baru saja kok, ini ngantar soto buat ibu.”“Wah, kamu masak soto, Sin?”“Iya, Bu.”“Nah, gitu dong! Jangan tahu tempe terus, bisa bosen Ardi kalau menu masakan kamu itu-itu saja tiap hari!” komentar ibu mertua, yang ditanggapi dengan senyuman geti
“Nggak masalah kan, dulu sebelum hamil bukankah dia juga kerja?”“Masalahnya siapa yang jaga anak kami, Bu?”“Gampang itu, asalkan ada kemauan pasti ada jalan.”Begitu pulang dari rumah orang tuanya, Ardi menyaksikan Sindy yang sedang menyuapi anak mereka dengan sayur bening tadi.“Kamu cari kerja dong, biar perekonomian kita nggak gini-gini aja ...” tuntut Ardi tanpa rasa bersalah.Sindy menyodorkan suapan terakhir ke mulut sang putri.“Habis minum, kamu main di kamar dulu ya?” “Iya, Bu ...”Ardi dengan tidak sabar menunggu jawaban dari Sindy.“Mau ya, ini demi masa depan kita juga.”Sindy menunggu putrinya masuk kamar dulu, baru berkomentar.“Nafkah itu kewajiban siapa sih, Mas? Suami atau istri?”“Apa salahnya kalau istri bantu-bantu suami, ibu aku juga gitu kok.”“Aku tanya dulu, nafkah itu kewajiban suami atau istri?”“Suami, tapi istri juga nggak berdosa kalau ikut bantu-bantu cari uang.”“Memang nggak berdosa, tapi nggak wajib juga.”“Kamu ini ya, nggak pernah
“Lho, memangnya kenapa kalau Ardi memanjakan saudara-saudaranya? Itu juga pakai uang Ardi kan, kamu iri? Nggak boleh begitu, Sin. Jadi istri jangan banyak nuntut dan protes terhadap apa yang dilakukan suami.” Ibu mertua kembali ceramah. “Gimana aku nggak iri, Bu? Kemarin itu Sisil sakit, tapi Mas Ardi perhitungan banget cuma kasih uang lima puluh ribu. Itupun akhirnya minta dikembalikan karena Sisil nggak jadi periksa ke dokter,” ungkap Sindy agar ibu mertua tahu bagaimana kelakuan ajaib putra kebanggaannya itu. “Salahnya Ardi di mana ya, kan Sisil juga nggak jadi periksa? Daripada uangnya kamu buat foya-foya, lebih baik diambil sama Ardi buat ditabung.” Merasa disudutkan, Sindy kembali melontarkan protes kepada Ibu mertuanya. “Foya-foya dari mana, Bu? Uang lima puluh ribu bisa dapat apa sih?” “Sudah, sudah, kamu ini kalau dikasih tahu selalu saja membantah. Heran, makin ke sini makin membangkang kamu ya? Hati-hati kualat sama suami sendiri, Sin ...” “Nggak kebalik,
“Tapi, Mas ...” “Kak Ardi, aku boleh ambil tas itu nggak?” Tiba-tiba Sindy mendengar ada suara yang menyela. “Boleh dong, ambil saja yang kamu suka!” “Kak, aku mau sepatu yang itu ...” “Ambil sana, kakak yang bayar!” Sindy mengepalkan sebelah tangan, dia sangat mengenali suara-suara itu. Adik-adik iparnya. “Wah, Kak Ardi lagi banyak uang nih kayaknya!” “Jelas, makanya kita bisa puas jalan-jalan hari ini!” Dengan tubuh lunglai, Sindy duduk terpekur di kursinya sementara ponsel masih menyala di dekat telinganya. Kemungkinan Ardi lupa mematikan sambungan mereka sampai Sindy bisa mendengar percakapan mereka. “Habis ini kita mau makan apa, adik-adikku yang cantik?” Suara Ardi begitu penyayang saat bertanya kepada adik ipar Sindy. “Aku mau ayam goreng tepung, Kak!” “Oke, kalau Mita mau apa?” “Burger sama minuman soda, Kak!” “Ayok, belanjanya dibayar dulu. Habis itu kita makan sama-sama!” “Siap, jangan lupa bungkus juga buat ibu sama ayah di rumah, Kak!” “Be
“Cukup, cukup, Di! Wah, kalau kayak begini gaji kamu, ibu yakin nih bisa nabung buat masa depan!”Sindy membeku di tempatnya berdiri. Tangan yang semula akan mengetuk pintu rumah mertuanya, kini menggantung di tengah udara.Mas Ardi gajian? Bukankah belum waktunya? Atau dia punya kerja sampingan, tapi kenapa aku nggak dikasih tahu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berjubelan di dalam pikiran Sindy.“Ya sudah, Bu. Aku pergi dulu, ya?”“Hati-hati, Di. Yang semangat kerjanya, biar dapat banyak uang!”Ardi tersenyum lebar seraya keluar dari balik pintu, tapi seketika senyum itu memudar ketika melihat keberadaan Sindy tepat di depannya.“Sin? Sejak kapan kamu di situ?” Ardi tergagap, begitupun ibunya yang berdiri di belakang sang putra.“Baru saja kok, ini ngantar soto buat ibu.”“Wah, kamu masak soto, Sin?”“Iya, Bu.”“Nah, gitu dong! Jangan tahu tempe terus, bisa bosen Ardi kalau menu masakan kamu itu-itu saja tiap hari!” komentar ibu mertua, yang ditanggapi dengan senyuman geti
“Ini nafkah buat kamu, Sin.”Sindy menatap tiga lembar uang warna merah yang diletakkan Ardi di atas meja, dahinya berkerut karena jumlah nafkah yang diberikan kepadanya semakin berkurang dari minggu ke minggu.“Kok cuma segini, Mas?”“Segitu masa nggak cukup? Hemat sedikit lah, kapan kita bisa nabung kalau kamu nggak bisa atur uang belanja?”Sindy menghela napas. Mau protes, tapi dia juga tahu kalau akhir-akhir ini pekerjaan Ardi sebagai tenaga borongan di gudang besi sedang sepi, sehingga mempengaruhi penghasilan yang diterima suaminya.“Ya sudah, disyukuri saja ...”“Nah, itu tahu! Jadi istri memang harus pintar-pintar bersyukur, Sin.”“Kalau begitu hari ini aku masak tumis kangkung sama goreng tempe buat kamu ya, Mas?”Ardi mengernyitkan keningnya mendengar deretan menu yang disebut Sindy.“Tempe goreng lagi? Baru dua hari yang lalu kamu masak oseng tempe, sekarang goreng tempe ... Heran, apa kamu nggak bisa bikin menu yang lebih enak lagi selain olahan tempe?”Sindy men