Home / Rumah Tangga / Istri yang Tak Dinafkahi / 7 Aku Adalah Milik Ibuku

Share

7 Aku Adalah Milik Ibuku

Author: Setia_AM
last update Last Updated: 2024-11-24 23:57:23

“Mata kamu kok sembab banget, Sin?” sambut Nesi saat Sindy tiba di resto keesokan harinya. “Berantem lagi sama Ardi?”

“Begitulah, aku sudah nggak kuat ...”

Nesi cepat-cepat menggendong Sisil, dan memotivasi Sindy untuk terus berjuang demi masa depan.

“Kalau Ardi nggak niat kasih nafkah, biarkan saja. Saatnya kamu unjuk gigi dengan jadi tukang masak di resto ini, Pak Zayyan sudah janji mau angkat kamu jadi karyawan tetap kalau resto ramai lagi kan?”

Sindy mengangguk pelan.

“Nah, jangan sia-siakan kesempatan itu! Biarkan Ardi dengan doktrin keluarganya, nanti akan tiba saatnya kamu membalikkan keadaan.”

“Apa aku mampu, Nes?”

“Pasti, kamu punya kelebihan. Jangan ragu untuk maju, Sin. Punya suami dzolim kayak Ardi, harus bikin kamu tahan banting. Cari uang sendiri untuk kamu nikmati sendiri sama Sisil, oke?”

Sindy terdiam sebentar. “Aku bukannya nggak mensyukuri nafkah dari Mas Ardi, berapapun itu pasti aku terima. Asalkan bukan sisa setelah nafkah itu dikurangi untuk kebutuhan orang tua dan keluarganya ...”

“Sinting memang, Ardi nggak ngerti apa itu prioritas.” Nesi geleng-geleng kepala.

“Sinting itu apa, Tante?” celetuk Sisil ingin tahu.

“Eh, maaf! Tante salah bicara ...” Nesi meringis. “Sisil main dulu sama Tante, biar ibu masak sebentar.”

Sembari mengenakan masker, Sindy tetap fokus meracik bumbu dan membakar ikan. Dia tetap berusaha profesional meski matanya bengkak karena menangis cukup lama.

Ardi? Dia tetap berlagak tidak punya salah dan mendiamkan Sindy, berpikir jika istrinya harus diperlakukan demikian supaya sadar diri.

“Mata kamu kenapa?” tanya Zayyan saat berkunjung ke dapur.

“Perih kena asap, Pak.” Sindy beralasan.

“Pakailah kaca mata.”

“Nanti kalau gajian, Pak.”

“Masa beli kaca mata saja tidak mampu?”

Nyesss! Pertanyaan Zayyan terasa mengiris-iris sanubari, tapi Sindy tidak ingin memasukkannya ke dalam hati.

“Saya tidak ingin kondisi mata kamu bikin citarasa ikan bakar ini jadi kacau ...”

“Saya jamin tidak ada pengaruhnya, Pak.”

“Oke, saya pegang omongan kamu.”

Sindy tidak lagi bicara, dia akan buktikan jika resep ikan bakarnya tidak akan berubah hanya karena suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja.

“Bu, mau ikan bakal ...” pinta Sisil saat Sindy bersiap pulang.

“Nunggu ibu gajian ya, Sayang?”

“Ibu kapan gajian?”

Sambil menahan perih di mata, Sindy menarik napas panjang.

“Mungkin ... sebentar lagi.”

Sisil mengerjapkan matanya, demi apa pun air mata Sindy mengalir tak tertahankan lagi. Dia tidak tega jika harus mengumbar janji, sementara gajian pertamanya saja masih lama.

“Nes, aku ... boleh pinjam uang lagi?” Sindy memberanikan diri. “Sisil kepingin ikan bakar, aku sudah nggak ada uang ... Karena berantem kemarin, aku kembalikan uang nafkah itu ke tangan Mas Ardi ... aku nggak pegang uang sama sekali ...”

Nesi menatap Sindy dengan iba. “Kasihan Sisil, ya sudah ... kamu pegang dulu uang aku ...”

“Terima kasih, Sil. Sama satu lagi ... bisa nggak kamu sampaikan ke Pak Zayyan kalau aku minta gajian per minggu? Berapapun itu, aku nggak masalah. Asalkan aku pegang uang dulu untuk makan aku dan Sisil ...”

Nesi mengangguk. “Aku akan coba bantu.”

“Terima kasih ya, Nes? Aku nggak tahu lagi harus gimana kalau nggak ada kamu, suatu saat aku akan balas budi baik kamu.”

“Nggak usah repot-repot, Sin. Pak Zayyan menjanjikan aku bonus kalau resto ini ramai lagi,” hibur Nesi. “Soalnya aku dianggap berjasa membawa kamu ke sini.”

“Sekali lagi terima kasih, Nes.”

“Yes, pulanglah dan masak ikan bakar untuk Sisil. Kalau bisa, Ardi nggak usah dikasih.”

Sindy tertawa, kemudian menerima uang pinjaman dari Nesi.

“Wah, enak nih! Sisil makan apa?” Ardi langsung menyapa putrinya begitu dia pulang dari bekerja di gudang.

“Ikan bakal, Yah.”

Ardi mengedarkan pandangan ke meja dan mendapati kepala ikan berserta durinya saja yang tersisa.

“Ikan bakarnya nggak ada lagi, Sil?”

“Habis Yah, Sisil suka!”

Sindy diam saja, meski dia sudah menghidangkan secangkir kopi dan juga tempe mendoan hangat untuk Ardi.

Dia melakukannya semata-mata untuk menghindari predikat istri durhaka.

“Kok cuma ini?” Ardi melirik mendoan hangat yang Sindy sajikan. “Harusnya ikan bakarnya disimpankan satu ...”

“Kamu kasih uang belanja nggak?” Sindy menyahut.

“Aku kan sudah kasih, kamu yang nolak. Salah sendiri, tapi buktinya kamu masih bisa masak ikan bakar. Pasti pakai uang yang kemarin-kemarin aku kasih ...” Ardi menggerutu.

Sindy melengos, menahan diri untuk langsung menyembur Ardi.

“Sisil cuci tangan dulu, setelah itu main di kamar ya?”

“Ya, Bu!”

“Anak solehah!”

Setelah Sisil berlalu pergi dari hadapan mereka, Sindy menatap Ardi dengan tajam.

“Kamu bilang apa tadi? Aku pakai uang yang kamu kasih kemarin-kemarin?”

Ardi mengangguk sambil mencomot sepotong tempe mendoan.

“Helllooooo, uang kamu mana pernah ada sisa, Mas! Yang ada kurang terus, karena selalu kamu kasih ke ibu kamu!”

Sindy lantas membereskan piring-piring bekas makan dirinya dan Sisil.

“Yang istri kamu tuh siapa sih? Aku apa ibu kamu?”

“Ya kamulah pakai nanya.”

“Terus kenapa malah ibu kamu yang selalu dinomorsatukan?”

Ardi terdiam, sementara mata Sindy menyorot tajam.

“Karena sampai kapanpun aku adalah milik ibuku, jadi wajar kalau aku menomorsatukan ibu dan keluargaku.”

Sindy tertawa sinis. “Ya sudah, kalau begitu nikah saja sama ibu kamu ...”

“Sindy!”

“Apa aku salah bicara? Aku masih bisa terima kalau nggak dikasih tahu berapa nominal gaji kamu yang sebenarnya, tapi setidaknya kalau kamu naik gaji, kamu wajib mendahulukan kebutuhan aku sama Sisil. Bukan orang tua dan keluarga besar kamu!”

“Nggak usah ngatur, yang penting kan aku tetap kasih kamu nafkah ...”

“Apa, nafkah sisa? Harusnya kamu kasih aku dulu, baru ke orang tua kamu kalau memang ada lebihan. Bukan sebaliknya, masa istri selalu dapat sisa. Padahal istri itu kan orang yang kamu pilih untuk kamu nikahi, tanggung jawab dong. Jangan setengah-setengah!”

Ardi berdecak. Inilah yang tidak dia sukai dari Sindy, setiap diberi pengertian pasti selalu membantah.

Benar-benar harus dididik seperti kata ibunya.

“Terserah apa kamu bilang, pokoknya sebagai istri kamu harus terima apa pun yang aku putuskan.” Ardi meraih secangkir kopi dan menyesapnya hingga tandas.

“Ya sudah, mulai sekarang silakan atur keuangan rumah ini. Aku nggak mau lagi,” tolak Sindy tegas.

“Apa maksud kamu?”

“Kalau kamu saja setengah-setengah dalam memberi nafkah, maka aku juga akan setengah-setengah menjalankan kewajibanku.”

“Oh, sudah mulai berani melawan kamu ya!”

“Melawan kezaliman adalah wajib!”

Ardi mengepalkan tangannya melihat keberanian Sindy.

“Oke, mulai sekarang aku yang akan urus keuangan. Kamu, jangan mimpi dapat jatah uang lagi.”

“Oke, deal!”

“Kita lihat nanti, sejauh mana kamu bisa bertahan.” Ardi mencela. “Tiga ratus ribu saja ngeluh nggak cukup, eh ini malah nantang nggak mau lagi ngurus keuangan.”

Sindy tidak menjawab, baginya cukup sampai di sini dia menunjukkan perlawanannya.

Related chapters

  • Istri yang Tak Dinafkahi    8 Saat Ardi yang Belanja

    “Nes, gimana? Pak Zayyan setuju nggak soal permintaan aku kemarin?” tanya Sindy penuh harap. “Aku butuh buat ongkos ke resto juga soalnya ...”“Tenang, sama aku sih beres!”“Beres gimana?”“Pak Zayyan bilang kalau nggak boleh ada hambatan bagi kamu untuk bisa membuat resep ikan bakar favorit pelanggan, karena itu dia setuju untuk kasih kamu gaji mingguan.”“Alkhamdulillah ...”“Eits, tapi ada syaratnya!”“Apa tuh?”“Jangan bilang ini ke pegawai lain, takutnya pada iri karena di sini sistemnya bulanan.”Sindy manggut-manggut mengerti.“Sebisa mungkin aku akan jaga rahasia, Nes. Nggak mungkin aku banyak tingkah.”“Ya sudah, semoga kamu semakin termotivasi dan tetap konsisten menyajikan ikan bakar yang rasanya spektakuler!”“Pasti, aku akan berjuang.” Sindy berjanji.Beberapa hari kemudian, Ardi telah menerima gaji dan mulai mengatur sendiri keuangan rumah tangganya.“Nih, buat belanja besok.” Ardi mengulurkan uang sebesar dua puluh ribu rupiah kepada Sindy. “Kamu masak ayam goreng, sop

    Last Updated : 2024-11-25
  • Istri yang Tak Dinafkahi    9 Punya Hubungan Darah

    “Sin, buatkan saya dua puluh porsi ikan bakar untuk rekan-rekan saya. Minta bantuan Meta yang urus kardus makanan,” perintah Zayyan pagi itu saat Sindy sibuk meracik bumbu andalannya.“Komplit sama nasinya, Pak?”“Tentu saja, sambal dan lalapan juga jangan lupa.”Sindy mengangguk sigap.“Kira-kira hari apa pesanan saya selesai?” tanya Zayyan memastikan.Untuk sejenak, kepala Sindy penuh dengan hitung-hitungan antara tenaga dan waktu yang dibutuhkan.“Dua-tiga hari, Pak. Soalnya saya kerja sendiri ...”“Tidak bisa dipercepat lagi? Kalau perlu kamu lembur, saya akan kasih bonus kalau sudah selesai.”Sindy mempertimbangkan permintaan Zayyan. Sebetulnya bukan permintaan, melainkan perintah karena nada suara pria itu terdengar tegas dan Sindy tidak menemukan celah sedikitpun untuk memberikan penolakan.Belum lagi tawaran bonus yang dijanjikan Zayyan, tentu saja membuat jiwa perhitungan Sindy meronta-ronta.“Anak saya ikut lembur, nggak masalah kan, Pak?” tanya Sindy ragu.“Meman

    Last Updated : 2024-11-25
  • Istri yang Tak Dinafkahi    10 Punya Penghasilan Sendiri

    “Bagaimana, Pak?” tanya Sindy ketika Zayyan sendiri yang datang untuk mengambil pesanan ikan bakar ke resto. “Tampilan kardus dan tatanan isinya?” Sebelum menjawab, Zayyan membuka salah satu tutup kardus dan mengamati sajian ikan bakar di dalamnya sementara Sindy harap-harap cemas. Khawatir jika apa yang dia dan teman-temannya lakukan tidak sesuai dengan ekspektasi Zayyan. “Lumayan, saya akan kasih bonusnya sekarang juga. Berapa nomor rekening kamu, biar saya transfer ...” “Kalau saya minta tunai, boleh Pak?” tanya Sindy buru-buru. “Masalahnya mau saya bagi sama teman yang bantu saya tadi.” Zayyan terlihat mempertimbangkan permintaan Sindy, tidak lama setelahnya dia menganggukkan kepala. “Ini, pergunakan dengan baik.” Zayyan menarik berlembar-lembar uang warna merah kepada Sindy. “Terima kasih, Pak!” Sindy mengangguk, terlebih karena mendengar ucapan terakhir Zayyan yang seolah menyiratkan sesuatu. Tanpa menunda waktu lagi, Sindy segera membagi uang itu kepada N

    Last Updated : 2024-11-26
  • Istri yang Tak Dinafkahi    11 Sikap Aneh Ardi

    Mendengar ucapan Mita, Ardi mengangguk-angguk mengerti. “Benar juga. Mau suami atau istri yang kerja, itu sudah jadi uang kita bersama!”Ratna, ibu Ardi ikut mendukung pernyataan Mita dengan menganggukkan kepalanya.“Yeeeyyy, itu artinya kita akan lebih sering senang-senang lagi!” Mita begitu riang gembira, karena sudah membayangkan jika uang yang dimiliki kakak kandungnya kini akan semakin bertambah banyak dengan gaji yang dimiliki oleh kakak ipar.“Kita bisa mulai menabung juga untuk hari tua,” imbuh Ratna. “Kamu jangan lupa bilang sama Sindy supaya nggak lupa sama kewajibannya membantu kamu, Di.”“Nanti aku akan bilang, Bu.”Ardi sudah tidak sabar menunggu Sindy pulang ke rumah, supaya mereka berdua bisa bebas bicara. Karena istrinya kini sudah memiliki penghasilan sendiri, maka Ardi berniat untuk memberikan gajinya demi kesejahteraan keluarga besarnya.Sementara gaji Sindy bisa dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka bertiga.“Capek, Sin?”Ardi memasang senyum lebar s

    Last Updated : 2024-11-27
  • Istri yang Tak Dinafkahi    12 Disuruh Bayar Tagihan Makanan

    “Kakakku kan kerja di sini, jadi kami bebas makan apa saja!”“Tidak begitu konsepnya, Dek! Bukan masalah kakak kamu kerja di sini, tapi kamu bisa bayar tak?”“Mantu saya bisa bayar!” sahut Ratna yakin. “Tadi kakak, sekarang mantu ... Ampun, Gusti!”Sindy terbelalak sampai matanya hampir lepas ketika menyaksikan adu mulut yang terjadi antara rekan kerjanya dengan Ratna dan Mita.“Ibu kok makan di sini sih?” tanya Sindy tanpa basa-basi.“Nah, itu dia mantu saya datang!” tunjuk Ratna dengan penuh percaya diri.“Mbak Sindy, betul mereka keluarga kamu?” tanya rekan yang tadi berdebat.“Keluarga suami sih ...”“Ini tagihan yang harus dibayarkan, Mbak.”Sindy terkaget-kaget. “Kok aku?”“Mereka bilang kalau kamu yang akan bayar semua makanan mereka, Mbak!”Sindy langsung menoleh cepat ke arah keluarga Ardi.“Bu, ini gimana urusannya?”“Tinggal bayar saja kan beres, Sin. Tadi ibu pesan satu porsi nasi goreng, udang goreng tepung, nasi dua piring, capcay kuah, sama cumi asam mani

    Last Updated : 2024-11-28
  • Istri yang Tak Dinafkahi    13 Pulang Sana ke Orang Tuamu!

    “Baik, Mas!” Mau tak mau, Sindy mengangguk.“Aku lanjut kerja lagi, ya? Pokoknya kamu harus jelaskan seluruhnya ke Pak Zayyan tanpa ada yang perlu ditutup-tutupi.”“Iya, Nes ...”Dengan jantung berdegup kencang, Sindy melangkahkan kakinya yang seberat batu ke ruangan Zayyan.“Permisi, Pak ...” sapa Sindy ragu-ragu, matanya memindai sekelilingnya dengan wajah waspada.“Masuklah, siapa yang kamu cari?”Sindy menelan ludah ketika Zayyan melontarkan pertanyaan itu.“Tidak, Pak ...” Zayyan lantas mengisyaratkan kepada Sindy untuk duduk di depan mejanya.“Sebelumnya ... saya mau minta maaf tentang kejadian tadi ...”“Jadi betul kalau mereka adalah keluarga kamu?” tanya Zayyan tanpa basa-basi.“Mereka keluarga suami saya, Pak. Bukan saya tidak mau tanggung jawab, tapi saya merasa bahwa tidak seharusnya saya bertanggung jawab terhadap perbuatan yang tidak saya lakukan. Jadi dengan ini saya berlepas tangan dari urusan mereka, silakan jika Bapak ingin melaporkan mereka ke polisi sek

    Last Updated : 2024-12-01
  • Istri yang Tak Dinafkahi    14 Bekas Gambar Tangan Ardi

    “Sabar, mungkin Mas Ardi terbawa emosi. Kita sebagai istri hendaknya jangan melawan kalau suami lagi bicara.” “Masalahnya dia fitnah saya, Bu.” Sindy membela diri. “Saya tidak mungkin minta maaf atas kesalahan yang tidak saya perbuat ...” “Mbak Sindy yang sabar, ya?” Sindy mengangguk dan sekalian berpamitan karena siapa tahu dirinya tidak akan pernah kembali ke lingkungan ini lagi. Sambil terus menggenggam erat tangan Sisil, Sindy melangkah menyusuri jalan setapak menuju jalan utama, bahkan hingga detik ini pun Ardi sama sekali tidak memiliki niat baik untuk menghalangi kepergiannya. Bekas gambar tangan Ardi di pipinya akan terus Sindy ingat sepanjang hidup .... “Kita nunggu siapa, Bu?” tanya Sisil menyadarkan lamunan Sindy. “Ibu pesan taksi dulu ya, biar nggak capek kita.” Sisil menganggukkan kepalanya. Saat sedang membuka aplikasi yang ada di ponsel, sebuah mobil putih bersih menepi di dekatnya. Tidak berapa lama kemudian kaca mobil itu terbuka dan memperli

    Last Updated : 2024-12-02
  • Istri yang Tak Dinafkahi    15 Surat dari Pengadilan Agama

    Apa yang diharapkan Ardi nyatanya tidak terjadi, Sindy sudah satu minggu pulang ke rumah orang tuanya dan sampai detik ini belum kembali. Hal itu membuat Ardi harap-harap cemas. Makan tidak selera, kerja apalagi. Rasanya sudah sangat malas mau melakukan apa pun. “Sudah semingguan ini, Sindy sama Sisil belum balik-balik juga, Bu ...” keluh Ardi sambil memijat-mijat pelipisnya. “Masih betah mungkin, Di.” “Minimal telepon kek, kirim pesan kek, eh ini nggak ada sama sekali ...” “Kamu sudah coba telepon?” “Belum sih, harusnya dia duluan kan yang sadar diri terus hubungi aku?” Ratna mengangguk. “Betul juga.” “Kalau Sindy nggak pulang-pulang gimana, Bu?” tanya Ardi lagi. “Masa sih dia nggak pulang? Pasti pulang lah, Di.” Namun, Ardi mulai krisis kepercayaan terhadap ibunya. Apalagi jika dia teringat tamparan yang justru dia hadiahkan kepada Sindy sebelum menyuruhnya pulang ke rumah orang tua. Apa istrinya akan tetap pulang semudah itu? “Galau amat sih, Kak?” tanya Mita

    Last Updated : 2024-12-03

Latest chapter

  • Istri yang Tak Dinafkahi    115

    Pasti karena sudah punya pacar, jadi cuma ada kamu sama si dia. Yang lainnya numpang lewat saja."Tanpa sadar Sindy malah melamun, mengingat kembali hal-hal apa saja yang membuatnya tidak terlalu terkenang dengan masa putih abu-abu.Sadar dengan perubahan ekspresi di wajah istrinya, Zayyan meletakkan foto itu di atas meja dan mendatanginya."Kok jadi sedih begitu?"Sindy terperanjat, lalu menggeleng perlahan."Cuma lagi mengingat-ingat sesuatu ...""Ada yang kamu ingat tentang aku?" tanya Zayyan dengan mata berbinar."Tidak ada," sahut Sindy sambil nyengir minta maaf. "Masa-masa SMA itu benar-benar menguras tenaga dan pikiran, jadi aku tidak terlalu ingat siapa saja teman aku."Zayyan menatap Sindy, seolah tidak percaya dengan kata-katanya.Namun, sebelum dia sempat berkomentar, tiba-tiba ponsel yang tergeletak di atas meja samping tempat tidur berdering nyaring."Halo?" "Pak, saya sudah mulai dapatkan titik terang mengenai kecelakaan mobil yang Anda alami!" Sahut boby dengan nada be

  • Istri yang Tak Dinafkahi    114

    "Betul, Kak. Uangnya buat masa depan sendiri saja," imbuh Mita supaya Ardi tak lagi ragu. "Sini uang yang jatah aku, mau aku pakai buat perawatan ...""Kamu kerja dong, Mit! Kayak Sani kek, biarpun seringnya rebahan, tapi dia sambil jualan online. Jadi dia nggak melulu mengharapkan uang dari aku," ujar Ardi.Nasehatnya sebagai kakak sebetulnya baik, hanya saja baik Ratna ataupun Mita tidak sebaik itu mampu menerima."Kamu apaan sih, Kak? Biasanya juga ngasih aku tanpa syarat, kenapa ini tiba-tiba nyuruh aku kerja?" sewot Mita dengan bibir maju."Iya nih, Di. Mita ini kan anak anak perempuan pertama, jadi dia duluan yang akan dipinang jodohnya. Lebih baik dia fokus merawat diri biar calon suaminya nanti nggak kecewa," imbuh Ratna membela."Ya iya deh, aku doakan semoga kamu dapat jodoh sultan yang cuma peduli sama kecantikan semata." Ardi mencibir. Padahal di matanya, istri itu setidaknya harus pandai merawat diri, membersihkan rumah, memasak, mengurus anak, dan mencari uang tambahan.

  • Istri yang Tak Dinafkahi    113

    Mita mengangguk-angguk mengerti dengan ucapan kakaknya itu."Kalau begitu bagi duit dong, Kak!""Buat apa lagi sih?""Aku kan harus sering-sering ke restoran buat mantau!"Ardi garuk-garuk rambutnya yang tidak gatal."Nanti dulu lah, sibuk ini ...""Jangan pelit-pelit begitu, Kak.""Diam dulu, Mit!" Kali ini Ratna yang menegur. "Itu kakakmu lagi fokus hitung gajinya, jangan dulu kamu ganggu.""Kayak biasa ini buat ibu, Sani sama Mita ..." Ardi yang sudah membagi-bagi uang itu menjadi tiga kelompok menyerahkannya kepada Ratna. "Sisanya aku yang pegang buat kebutuhan pribadi."Ratna manggut-manggut dan meraih uang bagiannya dan juga Sani. Dalam hati dia berpikir jika nantinya harus berbagi lagi dengan istri baru Ardi, itupun kalau anak lelakinya ingin kembali meniti rumah tangga dengan orang baru."Kamu nggak usah buru-buru nikah deh, Di.""Lho, memangnya kenapa, Bu? Masa iya aku jadi duda selamanya sementara Sindy sudah menikah lagi?"Mita ikut memandang ibunya dengan kening berkerut.

  • Istri yang Tak Dinafkahi    112

    Ekor apa dulu, Ma?" Zayyan yang menyahut."Ekor ikan, tentu saja calon bayi lah!""Doakan saja menantu Mama ini bersedia tanpa kebanyakan alasan buat bikin ...""Aku tidak banyak alasan, tapi memang ada alasan logis." Sindy membantah dengan segera."Ya itu kan tetap saja namanya alasan, Sin."Keke geleng-geleng kepala menyaksikan perdebatan anak dan menantunya."Terserah kalian berdua prosesnya mau gimana, pokoknya mama terima beres saja." Dia menengahi.Saat hari keberangkatan, Keke melepas kepergian Zayyan dan istrinya di pagi buta."Nanti mama bilang Sisil kalau kalian ada urusan, sana berangkat.""Terima kasih ya Ma, sudah mau jaga Sisil ..." "Sama-sama, ada om kembarnya juga, sudah sana."Sindy tersenyum saat Keke mendorongnya masuk mobil. Perjalanan menuju lokasi berlangsung mulus karena hari masih pagi, sehingga belum banyak kendaraan yang beradu di jalanan.Zayyan ternyata sudah menyewa penginapan khusus untuknya dan Sindy dalam rangka suasana pengantin baru.Di sana, mereka

  • Istri yang Tak Dinafkahi    111

    Zayyan menarik napas panjang, kedua matanya tetap fokus memperhatikan arah jalan yang ada di depannya. "Pokoknya kita jadi pergi bulan madu, mumpung ada waktu." "Tidak enak sama pegawai kamu, Mas." "Ya ampun, apa hubungannya sama pegawai aku coba?" "Takutnya ... nanti ada yang berpikiran kalau aku nikah sama kamu karena kamu pengusaha kaya ..." "Amin!" sambar Zayyan. "Insha Allah aku akan tetap rendah hati meskipun aku sudah kaya tujuh turunan. Masalahnya adalah, untuk apa juga kamu harus cerita sama mereka kalau kita mau bulan madu?" Sindy meringis. “Terserah kamu saja,” katanya. “Mau ke hotel bintang lima juga tidak apa-apa, asal kamu mau pasang badan kalau orang-orang berpikir bahwa aku cuma menghabiskan uang kamu atau apa.” “Pasang nyawa juga akan aku lakukan demi kamu,” sahut Zayyan tenang. "Bicara apa sih, Mas?" "Kan betul, kamu sudah jadi tanggung jawab aku sekarang. Termasuk Sisil," tegas Zayyan. "Sebentar lagi sampai rumah, biar aku yang bilang sama Mama." Sindy

  • Istri yang Tak Dinafkahi    110

    Ardi memutar bola matanya malas."Gimana mau nabung, kan sebagian besar uang aku dipegang sama Ibu." Dia mengingatkan."Masa sih? Terus yang dipegang sama Sindy apa, masa dia nggak bisa menyisihkan sedikit buat ditabung?" Ratna masih saja menyangkal."Sindy saja selalu bilang kalau uangnya kurang, kan dia memang dapatnya sisa gaji karena Ibu yang pertama kali ambil gajiku.""Oh, ya wajar kan? Keluarga kamu yang utama, istri sudah seharusnya menerima berapa pun yang dikasih suaminya."Ardi hanya bertopang dagu, selalu itu-itu saja yang Ratna tekankan kepadanya sejak awal meniti rumah tangga dengan Sindy. Dan polosnya, prinsip itu dia telan mentah-mentah tanpa disaring terlebih dahulu.Tidak heran jika rumah tangga Ardi jauh dari kata harmonis.**“Akhir pekan ini kamu mau kita bulan madu ke vila puncak atau pantai?” tanya Zayyan ketika mobil yang dikemudikannya mulai melaju dengan kecepatan sedang. Mereka dalam perjalanan pulang dari restoran menuju rumah usai jam kerja berakhir.“K

  • Istri yang Tak Dinafkahi    109

    "kamu masih menyimpan foto ini, itu artinya kenangan itu sangat penting buat kamu kan?" Tanya Sindy lagi."Memang penting, tadi kan sudah aku jelaskan sama kamu."Sindy menarik napas, tentu saja itu bukan jawaban yang dia harapkan. Tadinya dia pikir Zayyan akan minta maaf dan berjanji untuk membuang benda masa lalu itu sesegera mungkin, tapi ternyata tidak demikian."Ada lagi yang mau kamu tanyakan?" cetus Zayyan ketika melihat Sindy hanya terdiam bisu."Tidak ada ...""Ngambek?""Tidaklah, buat apa ngambek. Kamu mandi saja, ini bajunya." Sindy buru-buru mengulurkan satu setel baju ke tangan Zayyan.Selama Zayyan mandi, sindy lebih memilih untuk berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Dia punya firasat jika suaminya masih terikat kuat dengan foto yang ditemukannya itu, terus apa gunanya mereka menikah jika masih kepikiran dengan masa lalu?Tujuan sindy menikah adalah untuk bisa memulai segalanya dari awal, dan foto itu merupakan bukti jika Zayyan memiliki prinsip yang berseberan

  • Istri yang Tak Dinafkahi    108

    Zayyan hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah adik kembarnya. Mereka meneruskan obrolan, hingga keduanya memutuskan untuk pergi dari restoran Zayyan karena ingin kembali ke rumah.Mita ternyata masih berada di resto bersama teman-temannya dan ketika si kembar muncul, tatapan matanya tidak bergeser satu senti pun dari mereka berdua.Saat itu Mita terlalu bingung untuk menjatuhkan pilihannya kepada siapa. Dua-duanya punya kharisma dan wajah yang begitu mirip.Andai di negara ini poliandri dilegalkan, pikir Mita mulai ngelantur. "Mit, kamu nggak apa-apa?" tanya salah satu teman ketika melihat kebisuan Mita. "Kesambet mungkin dia ...""Ngaco! Siang-siang begini mana ada kesambet.""Setan mana ada pilih-pilih waktu, sih?"Mita tidak menghiraukan ucapan teman-temannya, dia justru fokus kepada dua laki-laki muda itu sampai mereka masuk mobil dan melaju pergi."Aku jadi bingung pilih mana," ucap Mita saat tiba di rumah, dia menjatuhkan diri di tempat dan berbaring telungkup. "Kakak Bos

  • Istri yang Tak Dinafkahi    107

    Zayyan hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah adik kembarnya. Mereka meneruskan obrolan, hingga keduanya memutuskan untuk pergi dari restoran Zayyan karena ingin kembali ke rumah.Saat jam kerja di resto berakhir, Zayyan menunggu kedatangan Sindy di mobil. Betapa herannya dia karena mendapati wajah istrinya tidak seperti biasa."Capek?" Tanya Zayyan basa-basi."Sudah biasa.""Tapi kamu tidak kelihatan semangat, capek ya?""Sudah biasa."Zayyan terdiam. Baru juga masa-masa pengantin baru, tapi kenapa aura asli sindy sudah terlihat secepat itu?"Mungkin kamu mau mampir ke suatu tempat dulu?" Tawar Zayyan seraya mengemudikan mobilnya. "Serius deh, kamu kelihatan capek."Sindy menarik napas panjang."Sudah biasa aku seperti ini."Zayyan mulai menyerah, lebih baik dia ajak ngobrol sindy ketika mereka sudah tiba di rumah nanti.Bisa gawat kalau tiba-tiba berantem di tengah perjalanan, batin Zayyan dalam hati.Setibanya di rumah, sindy langsung turun dan pergi ke kamar Sisil."Ma, biar a

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status