“Mata kamu kok sembab banget, Sin?” sambut Nesi saat Sindy tiba di resto keesokan harinya. “Berantem lagi sama Ardi?”
“Begitulah, aku sudah nggak kuat ...” Nesi cepat-cepat menggendong Sisil, dan memotivasi Sindy untuk terus berjuang demi masa depan. “Kalau Ardi nggak niat kasih nafkah, biarkan saja. Saatnya kamu unjuk gigi dengan jadi tukang masak di resto ini, Pak Zayyan sudah janji mau angkat kamu jadi karyawan tetap kalau resto ramai lagi kan?” Sindy mengangguk pelan. “Nah, jangan sia-siakan kesempatan itu! Biarkan Ardi dengan doktrin keluarganya, nanti akan tiba saatnya kamu membalikkan keadaan.” “Apa aku mampu, Nes?” “Pasti, kamu punya kelebihan. Jangan ragu untuk maju, Sin. Punya suami dzolim kayak Ardi, harus bikin kamu tahan banting. Cari uang sendiri untuk kamu nikmati sendiri sama Sisil, oke?” Sindy terdiam sebentar. “Aku bukannya nggak mensyukuri nafkah dari Mas Ardi, berapapun itu pasti aku terima. Asalkan bukan sisa setelah nafkah itu dikurangi untuk kebutuhan orang tua dan keluarganya ...” “Sinting memang, Ardi nggak ngerti apa itu prioritas.” Nesi geleng-geleng kepala. “Sinting itu apa, Tante?” celetuk Sisil ingin tahu. “Eh, maaf! Tante salah bicara ...” Nesi meringis. “Sisil main dulu sama Tante, biar ibu masak sebentar.” Sembari mengenakan masker, Sindy tetap fokus meracik bumbu dan membakar ikan. Dia tetap berusaha profesional meski matanya bengkak karena menangis cukup lama. Ardi? Dia tetap berlagak tidak punya salah dan mendiamkan Sindy, berpikir jika istrinya harus diperlakukan demikian supaya sadar diri. “Mata kamu kenapa?” tanya Zayyan saat berkunjung ke dapur. “Perih kena asap, Pak.” Sindy beralasan. “Pakailah kaca mata.” “Nanti kalau gajian, Pak.” “Masa beli kaca mata saja tidak mampu?” Nyesss! Pertanyaan Zayyan terasa mengiris-iris sanubari, tapi Sindy tidak ingin memasukkannya ke dalam hati. “Saya tidak ingin kondisi mata kamu bikin citarasa ikan bakar ini jadi kacau ...” “Saya jamin tidak ada pengaruhnya, Pak.” “Oke, saya pegang omongan kamu.” Sindy tidak lagi bicara, dia akan buktikan jika resep ikan bakarnya tidak akan berubah hanya karena suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. “Bu, mau ikan bakal ...” pinta Sisil saat Sindy bersiap pulang. “Nunggu ibu gajian ya, Sayang?” “Ibu kapan gajian?” Sambil menahan perih di mata, Sindy menarik napas panjang. “Mungkin ... sebentar lagi.” Sisil mengerjapkan matanya, demi apa pun air mata Sindy mengalir tak tertahankan lagi. Dia tidak tega jika harus mengumbar janji, sementara gajian pertamanya saja masih lama. “Nes, aku ... boleh pinjam uang lagi?” Sindy memberanikan diri. “Sisil kepingin ikan bakar, aku sudah nggak ada uang ... Karena berantem kemarin, aku kembalikan uang nafkah itu ke tangan Mas Ardi ... aku nggak pegang uang sama sekali ...” Nesi menatap Sindy dengan iba. “Kasihan Sisil, ya sudah ... kamu pegang dulu uang aku ...” “Terima kasih, Sil. Sama satu lagi ... bisa nggak kamu sampaikan ke Pak Zayyan kalau aku minta gajian per minggu? Berapapun itu, aku nggak masalah. Asalkan aku pegang uang dulu untuk makan aku dan Sisil ...” Nesi mengangguk. “Aku akan coba bantu.” “Terima kasih ya, Nes? Aku nggak tahu lagi harus gimana kalau nggak ada kamu, suatu saat aku akan balas budi baik kamu.” “Nggak usah repot-repot, Sin. Pak Zayyan menjanjikan aku bonus kalau resto ini ramai lagi,” hibur Nesi. “Soalnya aku dianggap berjasa membawa kamu ke sini.” “Sekali lagi terima kasih, Nes.” “Yes, pulanglah dan masak ikan bakar untuk Sisil. Kalau bisa, Ardi nggak usah dikasih.” Sindy tertawa, kemudian menerima uang pinjaman dari Nesi. “Wah, enak nih! Sisil makan apa?” Ardi langsung menyapa putrinya begitu dia pulang dari bekerja di gudang. “Ikan bakal, Yah.” Ardi mengedarkan pandangan ke meja dan mendapati kepala ikan berserta durinya saja yang tersisa. “Ikan bakarnya nggak ada lagi, Sil?” “Habis Yah, Sisil suka!” Sindy diam saja, meski dia sudah menghidangkan secangkir kopi dan juga tempe mendoan hangat untuk Ardi. Dia melakukannya semata-mata untuk menghindari predikat istri durhaka. “Kok cuma ini?” Ardi melirik mendoan hangat yang Sindy sajikan. “Harusnya ikan bakarnya disimpankan satu ...” “Kamu kasih uang belanja nggak?” Sindy menyahut. “Aku kan sudah kasih, kamu yang nolak. Salah sendiri, tapi buktinya kamu masih bisa masak ikan bakar. Pasti pakai uang yang kemarin-kemarin aku kasih ...” Ardi menggerutu. Sindy melengos, menahan diri untuk langsung menyembur Ardi. “Sisil cuci tangan dulu, setelah itu main di kamar ya?” “Ya, Bu!” “Anak solehah!” Setelah Sisil berlalu pergi dari hadapan mereka, Sindy menatap Ardi dengan tajam. “Kamu bilang apa tadi? Aku pakai uang yang kamu kasih kemarin-kemarin?” Ardi mengangguk sambil mencomot sepotong tempe mendoan. “Helllooooo, uang kamu mana pernah ada sisa, Mas! Yang ada kurang terus, karena selalu kamu kasih ke ibu kamu!” Sindy lantas membereskan piring-piring bekas makan dirinya dan Sisil. “Yang istri kamu tuh siapa sih? Aku apa ibu kamu?” “Ya kamulah pakai nanya.” “Terus kenapa malah ibu kamu yang selalu dinomorsatukan?” Ardi terdiam, sementara mata Sindy menyorot tajam. “Karena sampai kapanpun aku adalah milik ibuku, jadi wajar kalau aku menomorsatukan ibu dan keluargaku.” Sindy tertawa sinis. “Ya sudah, kalau begitu nikah saja sama ibu kamu ...” “Sindy!” “Apa aku salah bicara? Aku masih bisa terima kalau nggak dikasih tahu berapa nominal gaji kamu yang sebenarnya, tapi setidaknya kalau kamu naik gaji, kamu wajib mendahulukan kebutuhan aku sama Sisil. Bukan orang tua dan keluarga besar kamu!” “Nggak usah ngatur, yang penting kan aku tetap kasih kamu nafkah ...” “Apa, nafkah sisa? Harusnya kamu kasih aku dulu, baru ke orang tua kamu kalau memang ada lebihan. Bukan sebaliknya, masa istri selalu dapat sisa. Padahal istri itu kan orang yang kamu pilih untuk kamu nikahi, tanggung jawab dong. Jangan setengah-setengah!” Ardi berdecak. Inilah yang tidak dia sukai dari Sindy, setiap diberi pengertian pasti selalu membantah. Benar-benar harus dididik seperti kata ibunya. “Terserah apa kamu bilang, pokoknya sebagai istri kamu harus terima apa pun yang aku putuskan.” Ardi meraih secangkir kopi dan menyesapnya hingga tandas. “Ya sudah, mulai sekarang silakan atur keuangan rumah ini. Aku nggak mau lagi,” tolak Sindy tegas. “Apa maksud kamu?” “Kalau kamu saja setengah-setengah dalam memberi nafkah, maka aku juga akan setengah-setengah menjalankan kewajibanku.” “Oh, sudah mulai berani melawan kamu ya!” “Melawan kezaliman adalah wajib!” Ardi mengepalkan tangannya melihat keberanian Sindy. “Oke, mulai sekarang aku yang akan urus keuangan. Kamu, jangan mimpi dapat jatah uang lagi.” “Oke, deal!” “Kita lihat nanti, sejauh mana kamu bisa bertahan.” Ardi mencela. “Tiga ratus ribu saja ngeluh nggak cukup, eh ini malah nantang nggak mau lagi ngurus keuangan.” Sindy tidak menjawab, baginya cukup sampai di sini dia menunjukkan perlawanannya.“Nes, gimana? Pak Zayyan setuju nggak soal permintaan aku kemarin?” tanya Sindy penuh harap. “Aku butuh buat ongkos ke resto juga soalnya ...”“Tenang, sama aku sih beres!”“Beres gimana?”“Pak Zayyan bilang kalau nggak boleh ada hambatan bagi kamu untuk bisa membuat resep ikan bakar favorit pelanggan, karena itu dia setuju untuk kasih kamu gaji mingguan.”“Alkhamdulillah ...”“Eits, tapi ada syaratnya!”“Apa tuh?”“Jangan bilang ini ke pegawai lain, takutnya pada iri karena di sini sistemnya bulanan.”Sindy manggut-manggut mengerti.“Sebisa mungkin aku akan jaga rahasia, Nes. Nggak mungkin aku banyak tingkah.”“Ya sudah, semoga kamu semakin termotivasi dan tetap konsisten menyajikan ikan bakar yang rasanya spektakuler!”“Pasti, aku akan berjuang.” Sindy berjanji.Beberapa hari kemudian, Ardi telah menerima gaji dan mulai mengatur sendiri keuangan rumah tangganya.“Nih, buat belanja besok.” Ardi mengulurkan uang sebesar dua puluh ribu rupiah kepada Sindy. “Kamu masak ayam goreng, sop
“Sin, buatkan saya dua puluh porsi ikan bakar untuk rekan-rekan saya. Minta bantuan Meta yang urus kardus makanan,” perintah Zayyan pagi itu saat Sindy sibuk meracik bumbu andalannya.“Komplit sama nasinya, Pak?”“Tentu saja, sambal dan lalapan juga jangan lupa.”Sindy mengangguk sigap.“Kira-kira hari apa pesanan saya selesai?” tanya Zayyan memastikan.Untuk sejenak, kepala Sindy penuh dengan hitung-hitungan antara tenaga dan waktu yang dibutuhkan.“Dua-tiga hari, Pak. Soalnya saya kerja sendiri ...”“Tidak bisa dipercepat lagi? Kalau perlu kamu lembur, saya akan kasih bonus kalau sudah selesai.”Sindy mempertimbangkan permintaan Zayyan. Sebetulnya bukan permintaan, melainkan perintah karena nada suara pria itu terdengar tegas dan Sindy tidak menemukan celah sedikitpun untuk memberikan penolakan.Belum lagi tawaran bonus yang dijanjikan Zayyan, tentu saja membuat jiwa perhitungan Sindy meronta-ronta.“Anak saya ikut lembur, nggak masalah kan, Pak?” tanya Sindy ragu.“Meman
“Bagaimana, Pak?” tanya Sindy ketika Zayyan sendiri yang datang untuk mengambil pesanan ikan bakar ke resto. “Tampilan kardus dan tatanan isinya?” Sebelum menjawab, Zayyan membuka salah satu tutup kardus dan mengamati sajian ikan bakar di dalamnya sementara Sindy harap-harap cemas. Khawatir jika apa yang dia dan teman-temannya lakukan tidak sesuai dengan ekspektasi Zayyan. “Lumayan, saya akan kasih bonusnya sekarang juga. Berapa nomor rekening kamu, biar saya transfer ...” “Kalau saya minta tunai, boleh Pak?” tanya Sindy buru-buru. “Masalahnya mau saya bagi sama teman yang bantu saya tadi.” Zayyan terlihat mempertimbangkan permintaan Sindy, tidak lama setelahnya dia menganggukkan kepala. “Ini, pergunakan dengan baik.” Zayyan menarik berlembar-lembar uang warna merah kepada Sindy. “Terima kasih, Pak!” Sindy mengangguk, terlebih karena mendengar ucapan terakhir Zayyan yang seolah menyiratkan sesuatu. Tanpa menunda waktu lagi, Sindy segera membagi uang itu kepada N
Mendengar ucapan Mita, Ardi mengangguk-angguk mengerti. “Benar juga. Mau suami atau istri yang kerja, itu sudah jadi uang kita bersama!”Ratna, ibu Ardi ikut mendukung pernyataan Mita dengan menganggukkan kepalanya.“Yeeeyyy, itu artinya kita akan lebih sering senang-senang lagi!” Mita begitu riang gembira, karena sudah membayangkan jika uang yang dimiliki kakak kandungnya kini akan semakin bertambah banyak dengan gaji yang dimiliki oleh kakak ipar.“Kita bisa mulai menabung juga untuk hari tua,” imbuh Ratna. “Kamu jangan lupa bilang sama Sindy supaya nggak lupa sama kewajibannya membantu kamu, Di.”“Nanti aku akan bilang, Bu.”Ardi sudah tidak sabar menunggu Sindy pulang ke rumah, supaya mereka berdua bisa bebas bicara. Karena istrinya kini sudah memiliki penghasilan sendiri, maka Ardi berniat untuk memberikan gajinya demi kesejahteraan keluarga besarnya.Sementara gaji Sindy bisa dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka bertiga.“Capek, Sin?”Ardi memasang senyum lebar s
“Kakakku kan kerja di sini, jadi kami bebas makan apa saja!”“Tidak begitu konsepnya, Dek! Bukan masalah kakak kamu kerja di sini, tapi kamu bisa bayar tak?”“Mantu saya bisa bayar!” sahut Ratna yakin. “Tadi kakak, sekarang mantu ... Ampun, Gusti!”Sindy terbelalak sampai matanya hampir lepas ketika menyaksikan adu mulut yang terjadi antara rekan kerjanya dengan Ratna dan Mita.“Ibu kok makan di sini sih?” tanya Sindy tanpa basa-basi.“Nah, itu dia mantu saya datang!” tunjuk Ratna dengan penuh percaya diri.“Mbak Sindy, betul mereka keluarga kamu?” tanya rekan yang tadi berdebat.“Keluarga suami sih ...”“Ini tagihan yang harus dibayarkan, Mbak.”Sindy terkaget-kaget. “Kok aku?”“Mereka bilang kalau kamu yang akan bayar semua makanan mereka, Mbak!”Sindy langsung menoleh cepat ke arah keluarga Ardi.“Bu, ini gimana urusannya?”“Tinggal bayar saja kan beres, Sin. Tadi ibu pesan satu porsi nasi goreng, udang goreng tepung, nasi dua piring, capcay kuah, sama cumi asam mani
“Baik, Mas!” Mau tak mau, Sindy mengangguk.“Aku lanjut kerja lagi, ya? Pokoknya kamu harus jelaskan seluruhnya ke Pak Zayyan tanpa ada yang perlu ditutup-tutupi.”“Iya, Nes ...”Dengan jantung berdegup kencang, Sindy melangkahkan kakinya yang seberat batu ke ruangan Zayyan.“Permisi, Pak ...” sapa Sindy ragu-ragu, matanya memindai sekelilingnya dengan wajah waspada.“Masuklah, siapa yang kamu cari?”Sindy menelan ludah ketika Zayyan melontarkan pertanyaan itu.“Tidak, Pak ...” Zayyan lantas mengisyaratkan kepada Sindy untuk duduk di depan mejanya.“Sebelumnya ... saya mau minta maaf tentang kejadian tadi ...”“Jadi betul kalau mereka adalah keluarga kamu?” tanya Zayyan tanpa basa-basi.“Mereka keluarga suami saya, Pak. Bukan saya tidak mau tanggung jawab, tapi saya merasa bahwa tidak seharusnya saya bertanggung jawab terhadap perbuatan yang tidak saya lakukan. Jadi dengan ini saya berlepas tangan dari urusan mereka, silakan jika Bapak ingin melaporkan mereka ke polisi sek
“Sabar, mungkin Mas Ardi terbawa emosi. Kita sebagai istri hendaknya jangan melawan kalau suami lagi bicara.” “Masalahnya dia fitnah saya, Bu.” Sindy membela diri. “Saya tidak mungkin minta maaf atas kesalahan yang tidak saya perbuat ...” “Mbak Sindy yang sabar, ya?” Sindy mengangguk dan sekalian berpamitan karena siapa tahu dirinya tidak akan pernah kembali ke lingkungan ini lagi. Sambil terus menggenggam erat tangan Sisil, Sindy melangkah menyusuri jalan setapak menuju jalan utama, bahkan hingga detik ini pun Ardi sama sekali tidak memiliki niat baik untuk menghalangi kepergiannya. Bekas gambar tangan Ardi di pipinya akan terus Sindy ingat sepanjang hidup .... “Kita nunggu siapa, Bu?” tanya Sisil menyadarkan lamunan Sindy. “Ibu pesan taksi dulu ya, biar nggak capek kita.” Sisil menganggukkan kepalanya. Saat sedang membuka aplikasi yang ada di ponsel, sebuah mobil putih bersih menepi di dekatnya. Tidak berapa lama kemudian kaca mobil itu terbuka dan memperli
Apa yang diharapkan Ardi nyatanya tidak terjadi, Sindy sudah satu minggu pulang ke rumah orang tuanya dan sampai detik ini belum kembali. Hal itu membuat Ardi harap-harap cemas. Makan tidak selera, kerja apalagi. Rasanya sudah sangat malas mau melakukan apa pun. “Sudah semingguan ini, Sindy sama Sisil belum balik-balik juga, Bu ...” keluh Ardi sambil memijat-mijat pelipisnya. “Masih betah mungkin, Di.” “Minimal telepon kek, kirim pesan kek, eh ini nggak ada sama sekali ...” “Kamu sudah coba telepon?” “Belum sih, harusnya dia duluan kan yang sadar diri terus hubungi aku?” Ratna mengangguk. “Betul juga.” “Kalau Sindy nggak pulang-pulang gimana, Bu?” tanya Ardi lagi. “Masa sih dia nggak pulang? Pasti pulang lah, Di.” Namun, Ardi mulai krisis kepercayaan terhadap ibunya. Apalagi jika dia teringat tamparan yang justru dia hadiahkan kepada Sindy sebelum menyuruhnya pulang ke rumah orang tua. Apa istrinya akan tetap pulang semudah itu? “Galau amat sih, Kak?” tanya Mita
Ardi terenyak mendapatkan pertanyaan tajam itu dari bibir Sindy.“Setidaknya aku masih bertanggung jawab dengan kasih kamu nafkah, walau nggak banyak.”Sindy hanya memasang wajah datar, dia sudah tahu jika Ardi akan berkilah sedemikian rupa. Karena itu dia tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini.“Ayolah, Sin.”“Tidak, Mas. Aku nyaman dengan hidup aku yang sekarang,” tegas Sindy dengan nada suara yang hanya Ardi sendiri yang mendengarnya.“Mentang-mentang kamu sudah banyak uang sekarang?”Sindy tidak menjawab.“Ternyata benar ya, istri itu akan merasa tinggi kalau bisa cari uang sendiri.” Ardi melanjutkan.“Aku rasa kamu belum hilang ingatan, Mas. Aku sudah bukan istri kamu lagi, jadi kamu nggak punya hak untuk berkomentar apa pun tentang hidup aku.”Ardi menyerahkan kantong plastik yang tadi dibawanya ke tangan Sindy.“Ini apa?”“Itu barang-barang kebutuhan wanita, buat kamu.” “Aku nggak ...”“Itu sebagai wujud kepedulian aku buat kamu, Sin.” Ardi tetap memaksa.Sind
“Jadi Tante mau memaafkan aku?” Mata Clara berbinar-binar.“Tante bisa apa? Menyimpan dendam itu sejatinya tidak baik,” sahut Keke, gaya bicaranya lugas dan elegan. Berbeda sekali ketika dia mengobrol dengan Zayyan dan adiknya.“Terima kasih, Tante. Kalau begitu aku tinggal membujuk Mas Zayyan ...”“Membujuk buat apa?”“Untuk memperbaiki semuanya, Tante.” Clara begitu percaya diri karena merasa sudah mendapatkan dukungan dari Keke.“Tidak perlu sampai seperti itu, Cla. Bagi Zayyan, hubungan terbaik kalian ya dengan tetap seperti ini.”“Maksud Tante?”Keke menatap Clara lurus-lurus.“Kamu seharusnya paham kalau ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan apa adanya, jadi jangan dipaksakan untuk menjadi baik-baik saja. Apa kamu paham?”Clara tertegun mendengar penuturan Keke.“Apa itu artinya aku tidak boleh memperbaiki hubunganku dengan Mas Zayyan? Aku cuma tidak ingin terkesan bermusuhan seperti ini, Tante ...”Keke menarik napas. “Tidak ada satu orang pun yang menganggap kamu
Ini kenapa semua keluarga mantan suami pada error sih, batin Sindy. Dia merasa tidak perlu membalas pesan mantan adik iparnya itu.Malam harinya saat Sindy merebahkan diri di tempat tidur, lagi-lagi ponselnya berbunyi singkat.Ternyata ada pesan baru lagi.[Sin, kapan main ke rumah? Jangan memutuskan ikatan kekeluargaan di antara kita, mainlah ke sini sama Sisil]Sindy membaca pesan yang dikirim dari kontak mantan ibu mertuanya yang masih tersimpan.[Maaf Bu, saya belum bisa ambil cuti. Restoran ramai]Sejujurnya Sindy juga enggan membalas, tapi di terpaksa demi mempertahankan sopan santun terhadap orang tua.[Ibu senang karena kamu pintar cari uang, Ardi pasti bangga sama kamu, Sin]“Astaga, apa urusannya sama Mas Ardi sih?” Sindy geleng-geleng kepala membaca pesan balasan dari Ratna.[Terima kasih, Bu. Aku pamit tidur duluan, besok kerja]Sindy bergegas melempar ponselnya ke arah berlawanan, lalu cepat-cepat memejamkan mata.Situasi restoran terasa lebih tegang daripada b
Zayyan berputar menghadap mamanya.“Kadang Mama agak sok tahu ...”“Mama memang tahu kamu sejak orok, Zay! Nggak usah diragukan lagi,” sahut Keke seraya duduk di salah satu kursi. “Sekarang cerita sama mama, apa yang sebetulnya terjadi di restoran kamu tadi?”“Aku kan sudah cerita, Ma.” Zayyan kembali melanjutkan pekerjaannya menyeduh kopi.“Masa cuma karena Sindy melayani pelanggan, kamu jadi semarah ini?”“Itu karena menurut aku, koki nggak boleh meninggalkan dapur kecuali keadaan darurat. Kalau misalnya pesanan ikan bakar antre, terus Sindy malah sibuk melayani pelanggan di depan, bisa-bisa restoranku terancam gulung tikar lagi ...”“Hust, omongan itu bisa jadi doa. Jangan sembarangan,” tegur Keke. “Memangnya pesanan ikan bakar di resto keteteran ditinggal Sindy?”“Kebetulan enggak sih ...”“Nah, itu artinya Sindy cukup tahu situasi! Sudahlah, jangan ditanggapi berlebihan. Kadang pelanggan memang macam-macam permintaannya, Zay.”“Tapi seumur-umur aku buka restoran, baru ka
Meta mendeskripsikan ciri-ciri orang yang memaksa untuk meminta Sindy melayaninya.“... yang satu cewek, masih muda, dulu pernah disuruh cuci piring di belakang.”Sindy mengangguk paham, dia kenal betul siapa orang yang dimaksud Meta.“Mau pesan apa, Bapak? Adek?” Ardi menoleh saat Sindy muncul sambil membawa daftar menu.“Sin ...” Mata Ardi semakin terpana melihat penampilan Sindy yang sekarang, khususnya bagian wajah yang terlihat makin bersinar.“Lama banget,” celetuk Mita yang tidak sabaran. “Aku mau pesan nih, lapar!”“Tapi bisa bayar, kan?” tanya Sindy dengan senyum ramah.“Kamu jangan menghina ya, Mbak?” Suara Mita sedikit meninggi, sampai-sampai membuat beberapa pengunjung menoleh ke arah mereka.“Tidak perlu berteriak, Bu.”“Kamu ...”“Mit, jangan bikin keributan atau kamu bayar sendiri makanan kamu!” desis Ardi mengancam.“Ihhh, menyebalkan ...” Mita memajukan bibirnya.“Jadi mau pesan apa, Pak?” tanya Sindy sambil menunjukkan profesionalitasnya. “Biar bisa seg
“... kita bisa kok, Mas. Asalkan kamu mau menerima ...”“Tidak ada yang perlu menerima atau diterima, Cla. Jadi tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan.”“Mas, jangan begitu ...”Sindy berusaha menulikan kedua telinganya dari obrolan Zayyan dengan wanita itu, tangannya sibuk menaruh beberapa kantong plastik berisi sampah dapur.“Sudah ya, Cla. Aku sibuk ...”“Aku belum selesai bicara, Mas!”Zayyan menoleh ke sekeliling dan tatapannya tertumbuk pada Sindy.“Sin, kamu ikut saya beli bahan baku!”Mendengar namanya disebut, Sindy segera menoleh ke arah Zayyan. “Saya, Pak?”“Kamulah, siapa lagi yang saya panggil selain kamu?”Sindy hanya mengangguk dengan tampang cengo, terlebih saat wanita yang menjadi lawan bicara Zayyan menatapnya dengan mata menyipit.“Nggak bisa begitu dong, Mas. Kamu mau ajak dia ... nggak salah?” “Clara, tolong ya? Apa yang aku lakukan di sini bukanlah urusan kamu, jadi kamu tidak perlu mengomentari hal-hal seperti ini.” Zayyan mengingatkan. “Ayo, Sin.
Zayyan tidak menjawab.“Ayolah, Mas ...” bujuk Clara. “Sudah lama juga kita nggak ketemu.”“Aku sibuk,” tolak Zayyan. “Kamu tahu sendiri kalau restoran aku ini hampir gulung tikar, jadi aku tidak mau buang-buang waktu untuk hal yang kurang penting lagi.”“Sebentar saja kok, Mas ...”“Kamu paham bahasa manusia atau tidak?” tukas Zayyan yang kesabarannya setipis tisu. “Aku tidak ada waktu, butuh usaha dan perjuangan keras untuk mencapai titik ini dan akan jauh lebih sulit lagi untuk mempertahankannya.”Clara terpaku, lama tidak bertemu ternyata sudah mengubah Zayyan menjadi sekeras itu.“Y—ya sudah, kapan-kapan aku akan datang lagi ...”“Tidak perlu, karena aku selalu sibuk memperbaiki ekonomi.”Tanpa menunggu jawaban dari Clara sedikitpun, Zayyan berlalu masuk ke mobilnya sendiri. Sambil melaju perlahan, dia menghubungi Beni melalui ponselnya.“Halo, Pak Bos?”“Kamu sudah selesai cuci motornya?”“Ini masih lap-lap biar makin kinclong, ada apa, Pak?”“Kalau sudah selesai, co
Zayyan mengemudikan mobilnya dengan hati-hati karena jalanan begitu padat merayap. Meski penglihatannya terlihat fokus menatap ke arah lalu lintas yang ada di depan, tapi pikirannya justru terngiang-ngiang oleh ucapkan Sindy beberapa waktu yang lalu.‘Kalau memang suatu saat nanti Anda akan menikah dengan Mita dan menjadikannya sebagai bos kami, saya terpaksa mengundurkan diri.’Pada awalnya Zayyan mengira jika ucapan Sindy itu menyiratkan sesuatu hal, tapi ternyata justru karena Sindy pernah bersaudara ipar dengan Mita yang kemungkinan besar memiliki perangai buruk.Mungkin aku saja yang berpikir terlalu jauh, batin Zayyan dalam hati. Namun, jelas tidak tidak berminat sedikit pun untuk menjadikan Mita sebagai pendamping hidupnya. Perempuan seusia adiknya itu sama sekali bukanlah tipe wanita yang diinginkan Zayyan.“Sudah kamu sampaikan Sindy?” tanya Keke ketika putranya itu tiba di rumah. “Sudah dari kemarin, Ma.”“Sindy bilang apa?”“Terima kasih, katanya.”Keke mencebikkan
Sindy mematung sebentar gara-gara pertanyaan yang Zayyan lontarkan, otaknya buru-buru berpikir untuk mencari jawaban logis supaya Zayyan tidak mengira jika dirinya iri.“Saya ... punya pengalaman buruk saat masih menjadi kakak ipar Mita,” jawab Sindy lambat-lambat. “Saya tidak ingin lagi berhubungan sama dia, karena itu saya memilih mengundurkan diri seandainya dia jadi bos di sini ...”Zayyan terdiam untuk beberapa saat lamanya. Ada rasa ingin tertawa, tapi dia berusaha keras menahannya.“Pemikiran kamu sudah terlalu jauh ternyata,” komentar Zayyan. “Memang seharusnya begitu kan, Pak? Karena perjalanan hidup ini tidaklah singkat, sebab itu saya tidak ingin terjebak dalam situasi yang sulit lagi. Cukup kemarin-kemarin saja dijadikan pelajaran saja, jadi kalau Anda memang akan menikah sama Mita, itu hak Anda. Maaf, tapi saya memilih mundur karena tidak ingin punya bos seperti Mita.” Sindy terpaksa mengutarakan rencananya meski terdengar sedikit berlebihan.Lagipula memangnya Zayy