Nesi yang ada di meja kasir sempat mendengar keributan itu, tapi dia pura-pura tidak tahu dan justru menyembunyikan diri karena malas bertemu Ardi.“Nongol juga dia, lambat tapi.” Nesi bergumam sambil menghitung pendapatan hari itu.“Mas, maaf—Mbak Sindy lagi repot di dapur.” Meta memberi tahu dengan sopan.“Suruh keluar sebentar masa nggak bisa? Bilang saja kalau suaminya nyariin!”“Nggak bisa, Mas. Mbak Sindy sedang buat pesanan orang, nanti bos bisa marah kalau diganggu ...”“Saya cuma mau ketemu, bukan mau ganggu!” Ardi berkeras.“Iya, tapi mohon maaf sekali ini masih jam kerja.” Meta menangkup dua tangannya di depan dada sebagai isyarat permohonan maaf.“Kalau begitu mana bos kalian? Saya mau ketemu, sekaligus mau minta izin.”“Waduh!” Meta langsung gelagapan. “Maaf, Mas. Bos kami tidak sembarangan bisa ditemui, apalagi Mas bukan siapa-siapa ... Eh, anu ...”“Bicara apa kamu, nggak sopan! Panggil Sindy, cepat!“Nggak bisa, Mas. Lagian tadi Mbak Sindy bilang suruh telepo
“Mendidik nggak harus dengan menampar kan, Mas? Lagian kamu cuma tahunya membela nama baik ibu dan adik-adik kamu, sedangkan di satu sisi kamu nggak mikir kalau mereka justru mempermalukan aku di tempat kerja.” Sindy mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.“Ya karena aku adalah anak laki-laki di keluarga, mereka mengandalkan aku.” Ardi membela diri. “Seharusnya kamu ngerti, Sin.”“Cukup Mas, kita memang sudah berbeda prinsip dan pandangan. Jadi lebih kita berpisah saja ...”“Kamu jangan egois, pikirkan juga perasaan Sisil kalau kita pisah!” “Memangnya selama ini kamu memikirkan Sisil? Nggak, kan?” Sindy menatap Ardi lurus-lurus. “Saat senang saja, kamu mana ingat sama dia. Bagimu kebahagiaan orang tua dan adik-adik kamu adalah yang utama.”“Wajar, karena mereka yang dukung aku sejak sebelum bertemu kamu.”“Oh, ya sudah. Kamu fokus sama keluarga besarmu saja, biar aku fokus sama masa depanku dan Sisil.” Sindy berbalik dan bersiap masuk ke resto Zayyan, tapi Ardi segera meraih tangann
“Aku yakin kalau kamu Cuma sedang terbawa emosi, makanya nggak bisa berpikir jernih.” Ardi melanjutkan. “Kamu pulang dulu ke rumah, besok kita jemput Sisil sama-sama.”“Kamu tuh nyadar nggak sih kalau kamu habis melakukan kekerasan fisik sama aku?” tukas Sindy. “Pernah nggak kamu kepikiran sedikit saja buat minta maaf?”Ardi menarik napas, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa letih seakan menghadapi istri yang hanya bisa menuntut tanpa solusi.“Sin, kalau setiap suami yang berusaha mendidik istrinya harus minta maaf, buat apa perempuan itu dinikahi?”Sindy tidak menjawab.“Kita pulang, yuk?”“Aku mau pulang ke rumah orang tuaku, Mas. Bukankah kamu sudah terang-terangan ngusir aku?”“Jangan fitnah, aku nggak pernah usir kamu ...”“Kamu suruh aku pulang ke rumah orang tua aku, itu sama saja artinya dengan kamu ngusir aku.” Sindy menjelaskan. “Bahkan kalau kamu mengucapkannya dengan niat cerai, bisa diartikan sudah jatuh talak buat aku.”“Jangan mengada-ada, Sin! Aku bahkan nggak
Ardi hanya bisa meneguk saliva dengan kasar, pupus sudah harapannya untuk bisa sarapan gratis bersama Sindy. “Tega banget kamu, Sin. Aku cuma dikasih teh hangat saja ...” Ardi menggerutu sepanjang jalan pulang menuju rumah. “Itu juga perasaan aku saat kamu lebih mementingkan keluarga kamu sendiri, Mas.” Sindy menanggapi dengan santai. “Lagian kamu nggak kasih aku nafkah juga kan, jadi apa yang mau kamu harapkan dari aku?” Ardi mengembuskan napas keras, rasanya tidak punya tenaga lagi untuk banyak protes. “Apa pun yang bikin kamu bahagia, asalkan kita jangan cerai ya?” Sindy tidak menjawab pertanyaan Ardi, keputusannya untuk berpisah semakin kuat setelah telinganya mendengar sendiri percakapan antara Ardi dan Ratna. Kalau dipikir-pikir, tidak ada lagi yang perlu dipertahankan dari pernikahan mereka. Termasuk Sisil, putri mereka yang hampir tidak pernah memiliki kedekatan emosional dengan ayahnya sendiri. “Sin?” “Apa sih, Mas?” Sindy risi sekali ketika Ardi meraih tangann
Sindy terperanjat ketika Ardi mencelanya dengan teramat jelas. “Memangnya kenapa kalau aku jadi babu orang?” sahut Sindy sembari memendam rasa sakit hati yang teramat dalam. “Yang penting halal, daripada aku jadi istri kamu tapi nggak dinafkahi dengan layak?” “Sindy!” “Kenapa, tersinggung? Aku cuma membalikkan kata-kata kamu saja, tapi lihat? Kamu sudah sebegini marahnya,” tukas Sindy tenang. Tidak berapa lama menunggu, ojek pesanannya datang dan Sindy tidak ingin membuang waktu lagi. Dia segera naik dan meninggalkan Ardi yang sibuk mengumpat seorang diri. Namun, ternyata sudah ada Zayyan yang mengurungkan niatnya pulang dan berdiri di balik tembok karena mendengar pertengkaran mereka. “Kenapa kok wajahmu begitu, Di?” tanya Ratna yang bertandang ke rumah Ardi karena dilanda penasaran. “Sindy mana, nggak mau pulang dia?” Ardi menggeleng. “Nggak mau, Bu. Dia kekeh mau tetap cerai, mungkin karena merasa sudah bisa cari duit sendiri.” “Benar-benar ... terbukti kan omongan i
Ardi mengangguk penuh percaya diri. “Apalagi statusnya kan aku ini suami kamu, jadi sudah sepantasnya kalau kamu harus mendahulukan aku daripada orang tua kamu. Intinya sih aku harus diutamakan, Sin.” Mendengar ocehan Ardi, Sinta hanya bisa mengurut dada. “Kamu kok terkesan pilih kasih ya, Mas?” “Pilih kasih gimana?” Sindy mengembuskan napas keras. “Saat kamu yang gajian saja, boro-boro aku sama Sisil yang kamu utamakan, tapi kamu malah lebih dulu menyenangkan hati orang tua dan adik-adik kamu. Sekarang saat aku gajian dan ingin membahagiakan orang tuaku sendiri, kamu malah protes?” Mulut Ardi terbuka, tapi kata-katanya seperti tertelan di tenggorokan. “Bukan begitu maksud aku, Sin ... Tapi kan memang suami harus selalu diutamakan daripada orang tua, kalau nggak salah itu kata ustad di pengajian. Jadi lain kali, seharusnya uang baju kamu diatur dulu sama aku. Kebetulan habis ini ada uang kuliah adik aku yang harus dibayar, jadi utamakan yang itu dulu.” “Kamu bilang apa,
“Aku jadi nggak sabar, kayaknya bakal meriah banget!” komentar Nesi yang bantu-bantu urusan dekor. “Semoga saja nanti bisa jadi pembuka rezeki untuk pelanggan lain mengadakan momen berharga mereka di restoran kita,” timpal Sindy yang sibuk menyiapkan bumbu-bumbu untuk masak besar nanti. Berhubung mama Zayyan adalah seorang yang memiliki relasi luas, maka mereka harus menyiapkan banyak meja untuk menampung para anggota arisan yang hadir. Kebetulan mama Zayyan memilih konsep outdoor, sehingga mereka mempersiapkan segala sesuatunya dengan sangat cermat. Di satu sisi, Ardi yang sangat penasaran dengan kabar Sindy setelah bercerai darinya, hari itu iseng lewat di depan restoran tempat makan istrinya itu bekerja mencari nafkah. Bola matanya membulat sempurna ketika melihat jejeran mobil mewah yang terparkir di halaman, bahkan hingga sampai di pinggir jalan. “Restoran itu lumayan laris juga,” gumam Ardi yang memperlambat laju motornya hingga kemudian berhenti tidak jauh dari restoran
Zayyan ikut menoleh, tapi langsung membuang muka sesaat setelah menatap Sindy. “Besok aku jemput Sisil ya, biar menginap di rumahku.” Ardi meminta izin, dia sempat terpana dengan wajah Sindy yang jauh kelihatan lebih segar dibandingkan selama ini. “Kalau Sisil mau, nggak masalah.” Sindy menanggapi dengan datar. “Langsung saja kamu ke rumah, minta izin ayah atau ibuku.” “Oke, oke.” Ardi mengangguk, tatapannya tidak kunjung lepas dari mantan istrinya itu. Namun, yang justru terlihat risi adalah Nesi. “Kita kerja dulu ya, Di?” pamit Nesi, hari itu dia dan Sindy memang dapat giliran shift sore, sehingga keduanya memanfaatkan waktu luang untuk merawat diri. “Yang rajin kerjanya ya, Sin!” Ardi cengengesan. “Biar kita bisa punya banyak tabungan saat rujuk nanti.” Sontak saja Sindy dan Nesi terpana mendengar ucapan Ardi barusan. Zayyan yang sebenarnya enggan menguping, mau tak mau jadi mendengar perkataan mantan suami Sindy itu karena suaranya yang cukup keras. “Daripada memikirk
Sindy buru-buru menggeleng.“Janganlah, Pak!’“Kalau begitu ikut mobil saya saja, tidak usah lama-lama!”Sindy akhirnya menurut.“Maaf merepotkan,” katanya saat dia duduk di kursi belakang.“Saya kok berasa jadi sopir kamu ya, Sin?”“Tidak enak sama pegawai lain kalau saya duduk di depan, Pak.” Sindy menjelaskan. “Takutnya ada yang berpikiran macam-macam terhadap Anda.”Zayyan tidak menjawab dan memilih untuk segera melajukan mobilnya.“Nanti saya turun di gang sana saja, Pak. Selanjutnya saya bisa jalan kaki ke resto,” ucap Sindy lagi.Namun, Zayyan masih tidak menjawab. Sindy pun menyerah, tidak lagi berusaha untuk menyambung obrolan. Dari respons Zayyan saja, dia sudah bisa menebak jika sang bos tidak terlalu suka basa-basi.“Sesuai permintaan kamu,” kata Zayyan ketika mobilnya tiba di gang yang dimaksud Sindy. “Jangan lupa isi paket datanya.”“Terima kasih, Pak.” Dengan sedikit menahan malu, Sindy turun dari mobil Zayyan dan berlari menuju restoran.“Apa harus dia lari
Ardi terenyak mendapatkan pertanyaan tajam itu dari bibir Sindy.“Setidaknya aku masih bertanggung jawab dengan kasih kamu nafkah, walau nggak banyak.”Sindy hanya memasang wajah datar, dia sudah tahu jika Ardi akan berkilah sedemikian rupa. Karena itu dia tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini.“Ayolah, Sin.”“Tidak, Mas. Aku nyaman dengan hidup aku yang sekarang,” tegas Sindy dengan nada suara yang hanya Ardi sendiri yang mendengarnya.“Mentang-mentang kamu sudah banyak uang sekarang?”Sindy tidak menjawab.“Ternyata benar ya, istri itu akan merasa tinggi kalau bisa cari uang sendiri.” Ardi melanjutkan.“Aku rasa kamu belum hilang ingatan, Mas. Aku sudah bukan istri kamu lagi, jadi kamu nggak punya hak untuk berkomentar apa pun tentang hidup aku.”Ardi menyerahkan kantong plastik yang tadi dibawanya ke tangan Sindy.“Ini apa?”“Itu barang-barang kebutuhan wanita, buat kamu.” “Aku nggak ...”“Itu sebagai wujud kepedulian aku buat kamu, Sin.” Ardi tetap memaksa.Sind
“Jadi Tante mau memaafkan aku?” Mata Clara berbinar-binar.“Tante bisa apa? Menyimpan dendam itu sejatinya tidak baik,” sahut Keke, gaya bicaranya lugas dan elegan. Berbeda sekali ketika dia mengobrol dengan Zayyan dan adiknya.“Terima kasih, Tante. Kalau begitu aku tinggal membujuk Mas Zayyan ...”“Membujuk buat apa?”“Untuk memperbaiki semuanya, Tante.” Clara begitu percaya diri karena merasa sudah mendapatkan dukungan dari Keke.“Tidak perlu sampai seperti itu, Cla. Bagi Zayyan, hubungan terbaik kalian ya dengan tetap seperti ini.”“Maksud Tante?”Keke menatap Clara lurus-lurus.“Kamu seharusnya paham kalau ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan apa adanya, jadi jangan dipaksakan untuk menjadi baik-baik saja. Apa kamu paham?”Clara tertegun mendengar penuturan Keke.“Apa itu artinya aku tidak boleh memperbaiki hubunganku dengan Mas Zayyan? Aku cuma tidak ingin terkesan bermusuhan seperti ini, Tante ...”Keke menarik napas. “Tidak ada satu orang pun yang menganggap kamu
Ini kenapa semua keluarga mantan suami pada error sih, batin Sindy. Dia merasa tidak perlu membalas pesan mantan adik iparnya itu.Malam harinya saat Sindy merebahkan diri di tempat tidur, lagi-lagi ponselnya berbunyi singkat.Ternyata ada pesan baru lagi.[Sin, kapan main ke rumah? Jangan memutuskan ikatan kekeluargaan di antara kita, mainlah ke sini sama Sisil]Sindy membaca pesan yang dikirim dari kontak mantan ibu mertuanya yang masih tersimpan.[Maaf Bu, saya belum bisa ambil cuti. Restoran ramai]Sejujurnya Sindy juga enggan membalas, tapi di terpaksa demi mempertahankan sopan santun terhadap orang tua.[Ibu senang karena kamu pintar cari uang, Ardi pasti bangga sama kamu, Sin]“Astaga, apa urusannya sama Mas Ardi sih?” Sindy geleng-geleng kepala membaca pesan balasan dari Ratna.[Terima kasih, Bu. Aku pamit tidur duluan, besok kerja]Sindy bergegas melempar ponselnya ke arah berlawanan, lalu cepat-cepat memejamkan mata.Situasi restoran terasa lebih tegang daripada b
Zayyan berputar menghadap mamanya.“Kadang Mama agak sok tahu ...”“Mama memang tahu kamu sejak orok, Zay! Nggak usah diragukan lagi,” sahut Keke seraya duduk di salah satu kursi. “Sekarang cerita sama mama, apa yang sebetulnya terjadi di restoran kamu tadi?”“Aku kan sudah cerita, Ma.” Zayyan kembali melanjutkan pekerjaannya menyeduh kopi.“Masa cuma karena Sindy melayani pelanggan, kamu jadi semarah ini?”“Itu karena menurut aku, koki nggak boleh meninggalkan dapur kecuali keadaan darurat. Kalau misalnya pesanan ikan bakar antre, terus Sindy malah sibuk melayani pelanggan di depan, bisa-bisa restoranku terancam gulung tikar lagi ...”“Hust, omongan itu bisa jadi doa. Jangan sembarangan,” tegur Keke. “Memangnya pesanan ikan bakar di resto keteteran ditinggal Sindy?”“Kebetulan enggak sih ...”“Nah, itu artinya Sindy cukup tahu situasi! Sudahlah, jangan ditanggapi berlebihan. Kadang pelanggan memang macam-macam permintaannya, Zay.”“Tapi seumur-umur aku buka restoran, baru ka
Meta mendeskripsikan ciri-ciri orang yang memaksa untuk meminta Sindy melayaninya.“... yang satu cewek, masih muda, dulu pernah disuruh cuci piring di belakang.”Sindy mengangguk paham, dia kenal betul siapa orang yang dimaksud Meta.“Mau pesan apa, Bapak? Adek?” Ardi menoleh saat Sindy muncul sambil membawa daftar menu.“Sin ...” Mata Ardi semakin terpana melihat penampilan Sindy yang sekarang, khususnya bagian wajah yang terlihat makin bersinar.“Lama banget,” celetuk Mita yang tidak sabaran. “Aku mau pesan nih, lapar!”“Tapi bisa bayar, kan?” tanya Sindy dengan senyum ramah.“Kamu jangan menghina ya, Mbak?” Suara Mita sedikit meninggi, sampai-sampai membuat beberapa pengunjung menoleh ke arah mereka.“Tidak perlu berteriak, Bu.”“Kamu ...”“Mit, jangan bikin keributan atau kamu bayar sendiri makanan kamu!” desis Ardi mengancam.“Ihhh, menyebalkan ...” Mita memajukan bibirnya.“Jadi mau pesan apa, Pak?” tanya Sindy sambil menunjukkan profesionalitasnya. “Biar bisa seg
“... kita bisa kok, Mas. Asalkan kamu mau menerima ...”“Tidak ada yang perlu menerima atau diterima, Cla. Jadi tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan.”“Mas, jangan begitu ...”Sindy berusaha menulikan kedua telinganya dari obrolan Zayyan dengan wanita itu, tangannya sibuk menaruh beberapa kantong plastik berisi sampah dapur.“Sudah ya, Cla. Aku sibuk ...”“Aku belum selesai bicara, Mas!”Zayyan menoleh ke sekeliling dan tatapannya tertumbuk pada Sindy.“Sin, kamu ikut saya beli bahan baku!”Mendengar namanya disebut, Sindy segera menoleh ke arah Zayyan. “Saya, Pak?”“Kamulah, siapa lagi yang saya panggil selain kamu?”Sindy hanya mengangguk dengan tampang cengo, terlebih saat wanita yang menjadi lawan bicara Zayyan menatapnya dengan mata menyipit.“Nggak bisa begitu dong, Mas. Kamu mau ajak dia ... nggak salah?” “Clara, tolong ya? Apa yang aku lakukan di sini bukanlah urusan kamu, jadi kamu tidak perlu mengomentari hal-hal seperti ini.” Zayyan mengingatkan. “Ayo, Sin.
Zayyan tidak menjawab.“Ayolah, Mas ...” bujuk Clara. “Sudah lama juga kita nggak ketemu.”“Aku sibuk,” tolak Zayyan. “Kamu tahu sendiri kalau restoran aku ini hampir gulung tikar, jadi aku tidak mau buang-buang waktu untuk hal yang kurang penting lagi.”“Sebentar saja kok, Mas ...”“Kamu paham bahasa manusia atau tidak?” tukas Zayyan yang kesabarannya setipis tisu. “Aku tidak ada waktu, butuh usaha dan perjuangan keras untuk mencapai titik ini dan akan jauh lebih sulit lagi untuk mempertahankannya.”Clara terpaku, lama tidak bertemu ternyata sudah mengubah Zayyan menjadi sekeras itu.“Y—ya sudah, kapan-kapan aku akan datang lagi ...”“Tidak perlu, karena aku selalu sibuk memperbaiki ekonomi.”Tanpa menunggu jawaban dari Clara sedikitpun, Zayyan berlalu masuk ke mobilnya sendiri. Sambil melaju perlahan, dia menghubungi Beni melalui ponselnya.“Halo, Pak Bos?”“Kamu sudah selesai cuci motornya?”“Ini masih lap-lap biar makin kinclong, ada apa, Pak?”“Kalau sudah selesai, co
Zayyan mengemudikan mobilnya dengan hati-hati karena jalanan begitu padat merayap. Meski penglihatannya terlihat fokus menatap ke arah lalu lintas yang ada di depan, tapi pikirannya justru terngiang-ngiang oleh ucapkan Sindy beberapa waktu yang lalu.‘Kalau memang suatu saat nanti Anda akan menikah dengan Mita dan menjadikannya sebagai bos kami, saya terpaksa mengundurkan diri.’Pada awalnya Zayyan mengira jika ucapan Sindy itu menyiratkan sesuatu hal, tapi ternyata justru karena Sindy pernah bersaudara ipar dengan Mita yang kemungkinan besar memiliki perangai buruk.Mungkin aku saja yang berpikir terlalu jauh, batin Zayyan dalam hati. Namun, jelas tidak tidak berminat sedikit pun untuk menjadikan Mita sebagai pendamping hidupnya. Perempuan seusia adiknya itu sama sekali bukanlah tipe wanita yang diinginkan Zayyan.“Sudah kamu sampaikan Sindy?” tanya Keke ketika putranya itu tiba di rumah. “Sudah dari kemarin, Ma.”“Sindy bilang apa?”“Terima kasih, katanya.”Keke mencebikkan