Beranda / Pernikahan / Istri yang Tak Dinafkahi / 21 Sudah Bukan Suami Istri Lagi

Share

21 Sudah Bukan Suami Istri Lagi

Penulis: Setia_AM
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-10 23:58:33
Ardi mengangguk penuh percaya diri.

“Apalagi statusnya kan aku ini suami kamu, jadi sudah sepantasnya kalau kamu harus mendahulukan aku daripada orang tua kamu. Intinya sih aku harus diutamakan, Sin.”

Mendengar ocehan Ardi, Sinta hanya bisa mengurut dada.

“Kamu kok terkesan pilih kasih ya, Mas?”

“Pilih kasih gimana?”

Sindy mengembuskan napas keras. “Saat kamu yang gajian saja, boro-boro aku sama Sisil yang kamu utamakan, tapi kamu malah lebih dulu menyenangkan hati orang tua dan adik-adik kamu. Sekarang saat aku gajian dan ingin membahagiakan orang tuaku sendiri, kamu malah protes?”

Mulut Ardi terbuka, tapi kata-katanya seperti tertelan di tenggorokan.

“Bukan begitu maksud aku, Sin ... Tapi kan memang suami harus selalu diutamakan daripada orang tua, kalau nggak salah itu kata ustad di pengajian. Jadi lain kali, seharusnya uang baju kamu diatur dulu sama aku. Kebetulan habis ini ada uang kuliah adik aku yang harus dibayar, jadi utamakan yang itu dulu.”

“Kamu bilang apa,
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Istri yang Tak Dinafkahi    22 Andai Dia Masih Menantu

    “Aku jadi nggak sabar, kayaknya bakal meriah banget!” komentar Nesi yang bantu-bantu urusan dekor. “Semoga saja nanti bisa jadi pembuka rezeki untuk pelanggan lain mengadakan momen berharga mereka di restoran kita,” timpal Sindy yang sibuk menyiapkan bumbu-bumbu untuk masak besar nanti. Berhubung mama Zayyan adalah seorang yang memiliki relasi luas, maka mereka harus menyiapkan banyak meja untuk menampung para anggota arisan yang hadir. Kebetulan mama Zayyan memilih konsep outdoor, sehingga mereka mempersiapkan segala sesuatunya dengan sangat cermat. Di satu sisi, Ardi yang sangat penasaran dengan kabar Sindy setelah bercerai darinya, hari itu iseng lewat di depan restoran tempat makan istrinya itu bekerja mencari nafkah. Bola matanya membulat sempurna ketika melihat jejeran mobil mewah yang terparkir di halaman, bahkan hingga sampai di pinggir jalan. “Restoran itu lumayan laris juga,” gumam Ardi yang memperlambat laju motornya hingga kemudian berhenti tidak jauh dari restoran

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Istri yang Tak Dinafkahi    23 Mita Naksir yang Punya Resto?

    Zayyan ikut menoleh, tapi langsung membuang muka sesaat setelah menatap Sindy. “Besok aku jemput Sisil ya, biar menginap di rumahku.” Ardi meminta izin, dia sempat terpana dengan wajah Sindy yang jauh kelihatan lebih segar dibandingkan selama ini. “Kalau Sisil mau, nggak masalah.” Sindy menanggapi dengan datar. “Langsung saja kamu ke rumah, minta izin ayah atau ibuku.” “Oke, oke.” Ardi mengangguk, tatapannya tidak kunjung lepas dari mantan istrinya itu. Namun, yang justru terlihat risi adalah Nesi. “Kita kerja dulu ya, Di?” pamit Nesi, hari itu dia dan Sindy memang dapat giliran shift sore, sehingga keduanya memanfaatkan waktu luang untuk merawat diri. “Yang rajin kerjanya ya, Sin!” Ardi cengengesan. “Biar kita bisa punya banyak tabungan saat rujuk nanti.” Sontak saja Sindy dan Nesi terpana mendengar ucapan Ardi barusan. Zayyan yang sebenarnya enggan menguping, mau tak mau jadi mendengar perkataan mantan suami Sindy itu karena suaranya yang cukup keras. “Daripada memikirk

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Istri yang Tak Dinafkahi    24 Hati Sisil Akhirnya Luluh

    “Kok salah, memangnya kenapa, Kak?” tanya Mita tidak mengerti. “Selera kamu kok tua banget, sih? Seumuran sama aku ...” “Itu artinya kamu merasa sudah tua, Kak?” ledek Mita, membuat Ardi tersenyum kecut. “Cari laki-laki lain saja, lagian dia sudah memperlakukan kamu sama Ibu dengan sangat nggak pantas. Aku yakin kalau Sani juga tidak akan setuju,” papar Ardi sembari mencomot pisang goreng yang masih tersisa. “Cuci tangan dulu kalau mau makan! Kebiasaan ...” Ratna menegur dengan keras. “Lapar, Bu!” Ardi cengengesan. “Ayo, Kak! Kapan kita ke sana?” rengek Mita seperti anak kecil. “Mau ngapain, sih?” “Makan sama lihat-lihat bosnya Mbak Sindy!” Ardi bergidik menyaksikan kegilaan Mita di hadapannya. Meskipun tidak memiliki masalah apa-apa dengan bos mantan istrinya, dia sudah merasakan ketidaksukaan terhadap pria itu sejak pertama kali bertemu. “Dia saja nggak akan ingat sama kamu,” ejek Ardi dengan mulut penuh pisang goreng. “Nggak apa-apa lagi, Kak. Kan aku yang peng

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Istri yang Tak Dinafkahi    25 Hilangnya Sisil

    Tumben, batin Sindy tanpa berniat mengomentari status yang dibikin oleh mantan suaminya itu. Badannya begitu lelah hari ini, tapi tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap fokus bekerja demi masa depan yang lebih baik. Sindy yakin, perpisahannya dengan Ardi memang jalan paling baik yang harus ditempuhnya mengingat banyaknya masalah dan tidak ada solusi di antara mereka berdua. Sedangkan kemungkinan untuk rujuk, Sindy sama sekali tidak pernah memikirkannya sedikitpun. Sementara itu di waktu yang bersamaan, tapi di tempat yang berbeda, Ardi terus melihat-lihat ponselnya. Dia tahu bahwa Sindy sudah mengintip status yang dibuatnya, dan merasa resah karena mantan istrinya itu tidak mengirimkan tanggapan sama sekali. “Sindy ini benar-benar ya, sombong banget sejak bisa mencari uang sendiri ...” Ardi menggerutu sambil melangkah menuju dapur, mencari-cari kopi untuk menemaninya mengusir sepi. Dengan bingung, dia membuka-buka lemari usang yang terbuat dari kayu, tempat Sindy terbiasa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Istri yang Tak Dinafkahi    26 Panggilan Masuk dari Ardi

    “Maksud ibu tuh begini ... biar Sindy bisa ikut cari Sisil, jadi kemungkinan Sisil ketemu bisa lebih besar!” ralat Ratna buru-buru.“Duh, Ibu ... Usul Ibu itu malah bikin situasi tambah runyam! Iya kalau bener Sisil ternyata pulang ke rumah mantan mertua, kalau nggak? Apa nggak habis aku dicaci maki sama Sindy?”Ardi mengacak-acak rambutnya dan sangat kasar.“Ya terus kita harus gimana, Di? Mas harus diam saja begini ...”Ardi menarik napas panjang, bingung juga dia.“Kita nggak punya pilihan lain kecuali telepon mantan istri kamu itu, siapa tahu Sisil memang belum terbiasa tidur jauh sama ibunya terus dia pulang sendiri gara-gara kamu nggak ada di rumah.” Ratna mengutarakan pendapatnya yang kurang masuk akal, mesti bisa saja kemungkinan itu terjadi. Terkadang kita tidak tahu bagaimana kecerdasan anak-anak itu bekerja.“Masa iya aku harus telepon Sindy, Bu?” “Nggak ada cara lain, Di. Ini sudah cukup malam untuk ukuran anak-anak seusia Sisil, gimana kalau ada apa-apa?”Ratna

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Istri yang Tak Dinafkahi    27 Bicara dengan Zayyan

    Keesokan paginya, seluruh anggota keluarga beraktivitas seperti biasa. Semua sepakat untuk tidak bertanya apa-apa dulu kepada Sisil.“Takutnya ada hal yang bikin dia trauma, kita kan nggak pernah tahu apa yang dialami Sisil sebelum bertemu sama Pak Zayyan.” Ibu menjelaskan kepada Sindy.“Itu juga yang aku pikirkan, Bu. Untung Sisil masih dilindungi, rasanya lemas kalau membayangkan hal yang buruk bisa menimpa anakku kapan saja ...” ratap Sindy, dia selalu lemah jika sudah berkaitan dengan Sisil.“Ibu mengerti perasaan kamu, pokoknya kamu harus tunjukkan wajah ceria.”Sindy mengangguk, dia memang harus mencari tahu kejadian yang sebenarnya dari Zayyan.“Ibu!” Sisil menyapa Sindy dengan ekspresi biasanya, seakan tidak ada yang aneh.“Peluk dulu, ibu kangen sama Sisil!” Sindy melebarkan kedua tangannya, sehingga Sisil langsung menghambur ke pelukan.“Ibu nggak kelja?”“Kerja, ini mau sarapan dulu.”“Cali uang yang banyak ya, Bu?” pinta Sisil.“Memangnya Sisil mau beli apa?“

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Istri yang Tak Dinafkahi    28 Terlibat Adu Mulut

    “Sisil hilang? Kok kamu nggak cerita, Sin?” Nesi langsung melontarkan pertanyaan begitu Sindy menutup teleponnya.“Ceritanya panjang banget, Nes. Yang jelas sekarang aku harus pulang ke rumah, kira-kira Pak Zayyan kasih izin nggak ya?”“Kalau gawat, pasti dikasih izin.”Bertepatan dengan itu, sayang keluar dari ruangannya dan melangkah keluar. “Pak Zayyan!” panggil Sindy buru-buru. “Saya boleh izin, Pak?”“Memangnya ada apa?”“Mantan suami mengamuk di rumah, Pak! Saya harus menyelesaikan masalah ini dulu, tidak apa-apa kalau mau dipotong gaji atau saya harus lembur untuk mengganti jam kerja hari ini. Saya sangat takut kalau Sisil kenapa-napa lagi ...”Zayyan menarik napas.“Oke, selesaikan masalah kamu.”“Terima kasih, Pak!” Sindy bergegas kembali ke dapur untuk mengambil tas miliknya.“Tunggu, Sin!” cegah Zayyan ketika Sindy berjalan terburu-buru melewatinya. “Ada apa, Pak?”“Sekalian saja kamu ikut mobil saya, rumah kita searah kok!”“Saya tidak ingin merepotkan, Pak

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Istri yang Tak Dinafkahi    29 Karena Sindy istimewa?

    Sindy dan ibunya kompak menggelengkan kepala, mereka benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran lelaki di hadapan mereka itu.“Percuma bicara sama kamu, Mas.” Sindy menggeleng lemah. “Sejak aku masih jadi istri kamu, aku memang nggak pernah didengar sekalipun benar.”Sindy berbalik, kemudian melangkah masuk rumah diikuti oleh sang ibu.“Sin, tunggu! Kasih aku masuk, aku mau bertemu Sisil!” Ardi menggedor-gedor pintu rumah yang telanjur tertutup. “Kamu nggak berhak menghalangi aku, Sin! Aku ini ayah kandungnya Sisil!”Sindy saling pandang dengan ibunya.“Mantan suami kamu itu benar-benar manusia paling antik yang pernah ibu temui, Sin. Kalau ayahmu ada di rumah, bisa habis dia tadi.”“Untung Ibu nggak telepon ayah.”“Sebenarnya ibu jauh lebih aman kalau ada ayahmu, tapi ibu khawatir juga kalau nanti dia nggak bisa menahan emosinya.”Sindy duduk di kursi dapur, kemudian memijat-mijat pelipisnya.“Tapi kita harus tetap cerita sama ayah, Bu.”“Tentu saja, ibu yakin kalau

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14

Bab terbaru

  • Istri yang Tak Dinafkahi    49 Mana Urat Malunya?

    Meta refleks melirik melirik ke arah Sindy yang wajahnya merah padam karena ditatap hampir semua orang yang ada di ruangan.“Ini makanan dan minumannya, sesuai pesanan ya!” ucap Sindy buru-buru, setelah itu dia berjalan mendahului Meta yang masih sibuk meletakkan gelas-gelas di atas meja.Kok aku nggak baca nama pelanggan di catatan kemarin ya, sama Pak Zayyan ditulis nggak sih? Sindy kembali ke dapur sambil uring-uringan dalam hati.“Mas Roni, catatan yang kemarin ditinggal nggak?” tanya Sindy.“Kalau nggak salah dipegang Nesi buat dibikin nota tagihan, Mbak.”Sindy mengangguk dan berbalik arah menuju kasir, tempat Nesi berjaga.“Sudah semua, Sin?”Sindy mengangguk. “Di catatan kemarin itu ada nama pelanggan yang pesan nggak sih?”“Memangnya kenapa? Aku nggak perhatikan ...”Sindy menghela napas panjang, lalu menceritakan tentang Ardi yang ikut hadir di acara event pesanan pelanggan.“Serius? Jadi ini acara kantornya Ardi?” Nesi terbelalak kaget.“Mungkin,” angguk Sindy. “

  • Istri yang Tak Dinafkahi    48 Keakraban yang Tidak Wajar

    Sindy buru-buru menggeleng.“Janganlah, Pak!’“Kalau begitu ikut mobil saya saja, tidak usah lama-lama!”Sindy akhirnya menurut.“Maaf merepotkan,” katanya saat dia duduk di kursi belakang.“Saya kok berasa jadi sopir kamu ya, Sin?”“Tidak enak sama pegawai lain kalau saya duduk di depan, Pak.” Sindy menjelaskan. “Takutnya ada yang berpikiran macam-macam terhadap Anda.”Zayyan tidak menjawab dan memilih untuk segera melajukan mobilnya.“Nanti saya turun di gang sana saja, Pak. Selanjutnya saya bisa jalan kaki ke resto,” ucap Sindy lagi.Namun, Zayyan masih tidak menjawab. Sindy pun menyerah, tidak lagi berusaha untuk menyambung obrolan. Dari respons Zayyan saja, dia sudah bisa menebak jika sang bos tidak terlalu suka basa-basi.“Sesuai permintaan kamu,” kata Zayyan ketika mobilnya tiba di gang yang dimaksud Sindy. “Jangan lupa isi paket datanya.”“Terima kasih, Pak.” Dengan sedikit menahan malu, Sindy turun dari mobil Zayyan dan berlari menuju restoran.“Apa harus dia lari

  • Istri yang Tak Dinafkahi    47 Mencoba untuk Perhatian

    Ardi terenyak mendapatkan pertanyaan tajam itu dari bibir Sindy.“Setidaknya aku masih bertanggung jawab dengan kasih kamu nafkah, walau nggak banyak.”Sindy hanya memasang wajah datar, dia sudah tahu jika Ardi akan berkilah sedemikian rupa. Karena itu dia tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini.“Ayolah, Sin.”“Tidak, Mas. Aku nyaman dengan hidup aku yang sekarang,” tegas Sindy dengan nada suara yang hanya Ardi sendiri yang mendengarnya.“Mentang-mentang kamu sudah banyak uang sekarang?”Sindy tidak menjawab.“Ternyata benar ya, istri itu akan merasa tinggi kalau bisa cari uang sendiri.” Ardi melanjutkan.“Aku rasa kamu belum hilang ingatan, Mas. Aku sudah bukan istri kamu lagi, jadi kamu nggak punya hak untuk berkomentar apa pun tentang hidup aku.”Ardi menyerahkan kantong plastik yang tadi dibawanya ke tangan Sindy.“Ini apa?”“Itu barang-barang kebutuhan wanita, buat kamu.” “Aku nggak ...”“Itu sebagai wujud kepedulian aku buat kamu, Sin.” Ardi tetap memaksa.Sind

  • Istri yang Tak Dinafkahi    46 Cukup Sampai di Sini

    “Jadi Tante mau memaafkan aku?” Mata Clara berbinar-binar.“Tante bisa apa? Menyimpan dendam itu sejatinya tidak baik,” sahut Keke, gaya bicaranya lugas dan elegan. Berbeda sekali ketika dia mengobrol dengan Zayyan dan adiknya.“Terima kasih, Tante. Kalau begitu aku tinggal membujuk Mas Zayyan ...”“Membujuk buat apa?”“Untuk memperbaiki semuanya, Tante.” Clara begitu percaya diri karena merasa sudah mendapatkan dukungan dari Keke.“Tidak perlu sampai seperti itu, Cla. Bagi Zayyan, hubungan terbaik kalian ya dengan tetap seperti ini.”“Maksud Tante?”Keke menatap Clara lurus-lurus.“Kamu seharusnya paham kalau ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan apa adanya, jadi jangan dipaksakan untuk menjadi baik-baik saja. Apa kamu paham?”Clara tertegun mendengar penuturan Keke.“Apa itu artinya aku tidak boleh memperbaiki hubunganku dengan Mas Zayyan? Aku cuma tidak ingin terkesan bermusuhan seperti ini, Tante ...”Keke menarik napas. “Tidak ada satu orang pun yang menganggap kamu

  • Istri yang Tak Dinafkahi    45 Pesan dari Keluarga Mantan

    Ini kenapa semua keluarga mantan suami pada error sih, batin Sindy. Dia merasa tidak perlu membalas pesan mantan adik iparnya itu.Malam harinya saat Sindy merebahkan diri di tempat tidur, lagi-lagi ponselnya berbunyi singkat.Ternyata ada pesan baru lagi.[Sin, kapan main ke rumah? Jangan memutuskan ikatan kekeluargaan di antara kita, mainlah ke sini sama Sisil]Sindy membaca pesan yang dikirim dari kontak mantan ibu mertuanya yang masih tersimpan.[Maaf Bu, saya belum bisa ambil cuti. Restoran ramai]Sejujurnya Sindy juga enggan membalas, tapi di terpaksa demi mempertahankan sopan santun terhadap orang tua.[Ibu senang karena kamu pintar cari uang, Ardi pasti bangga sama kamu, Sin]“Astaga, apa urusannya sama Mas Ardi sih?” Sindy geleng-geleng kepala membaca pesan balasan dari Ratna.[Terima kasih, Bu. Aku pamit tidur duluan, besok kerja]Sindy bergegas melempar ponselnya ke arah berlawanan, lalu cepat-cepat memejamkan mata.Situasi restoran terasa lebih tegang daripada b

  • Istri yang Tak Dinafkahi    44 Ardi Mengirimkan Mata-mata?

    Zayyan berputar menghadap mamanya.“Kadang Mama agak sok tahu ...”“Mama memang tahu kamu sejak orok, Zay! Nggak usah diragukan lagi,” sahut Keke seraya duduk di salah satu kursi. “Sekarang cerita sama mama, apa yang sebetulnya terjadi di restoran kamu tadi?”“Aku kan sudah cerita, Ma.” Zayyan kembali melanjutkan pekerjaannya menyeduh kopi.“Masa cuma karena Sindy melayani pelanggan, kamu jadi semarah ini?”“Itu karena menurut aku, koki nggak boleh meninggalkan dapur kecuali keadaan darurat. Kalau misalnya pesanan ikan bakar antre, terus Sindy malah sibuk melayani pelanggan di depan, bisa-bisa restoranku terancam gulung tikar lagi ...”“Hust, omongan itu bisa jadi doa. Jangan sembarangan,” tegur Keke. “Memangnya pesanan ikan bakar di resto keteteran ditinggal Sindy?”“Kebetulan enggak sih ...”“Nah, itu artinya Sindy cukup tahu situasi! Sudahlah, jangan ditanggapi berlebihan. Kadang pelanggan memang macam-macam permintaannya, Zay.”“Tapi seumur-umur aku buka restoran, baru ka

  • Istri yang Tak Dinafkahi    43 Zayyan Sedang Sensitif

    Meta mendeskripsikan ciri-ciri orang yang memaksa untuk meminta Sindy melayaninya.“... yang satu cewek, masih muda, dulu pernah disuruh cuci piring di belakang.”Sindy mengangguk paham, dia kenal betul siapa orang yang dimaksud Meta.“Mau pesan apa, Bapak? Adek?” Ardi menoleh saat Sindy muncul sambil membawa daftar menu.“Sin ...” Mata Ardi semakin terpana melihat penampilan Sindy yang sekarang, khususnya bagian wajah yang terlihat makin bersinar.“Lama banget,” celetuk Mita yang tidak sabaran. “Aku mau pesan nih, lapar!”“Tapi bisa bayar, kan?” tanya Sindy dengan senyum ramah.“Kamu jangan menghina ya, Mbak?” Suara Mita sedikit meninggi, sampai-sampai membuat beberapa pengunjung menoleh ke arah mereka.“Tidak perlu berteriak, Bu.”“Kamu ...”“Mit, jangan bikin keributan atau kamu bayar sendiri makanan kamu!” desis Ardi mengancam.“Ihhh, menyebalkan ...” Mita memajukan bibirnya.“Jadi mau pesan apa, Pak?” tanya Sindy sambil menunjukkan profesionalitasnya. “Biar bisa seg

  • Istri yang Tak Dinafkahi    42 Tangan Mereka Bersentuhan

    “... kita bisa kok, Mas. Asalkan kamu mau menerima ...”“Tidak ada yang perlu menerima atau diterima, Cla. Jadi tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan.”“Mas, jangan begitu ...”Sindy berusaha menulikan kedua telinganya dari obrolan Zayyan dengan wanita itu, tangannya sibuk menaruh beberapa kantong plastik berisi sampah dapur.“Sudah ya, Cla. Aku sibuk ...”“Aku belum selesai bicara, Mas!”Zayyan menoleh ke sekeliling dan tatapannya tertumbuk pada Sindy.“Sin, kamu ikut saya beli bahan baku!”Mendengar namanya disebut, Sindy segera menoleh ke arah Zayyan. “Saya, Pak?”“Kamulah, siapa lagi yang saya panggil selain kamu?”Sindy hanya mengangguk dengan tampang cengo, terlebih saat wanita yang menjadi lawan bicara Zayyan menatapnya dengan mata menyipit.“Nggak bisa begitu dong, Mas. Kamu mau ajak dia ... nggak salah?” “Clara, tolong ya? Apa yang aku lakukan di sini bukanlah urusan kamu, jadi kamu tidak perlu mengomentari hal-hal seperti ini.” Zayyan mengingatkan. “Ayo, Sin.

  • Istri yang Tak Dinafkahi    41 Zayyan Menjadi Sekeras Itu

    Zayyan tidak menjawab.“Ayolah, Mas ...” bujuk Clara. “Sudah lama juga kita nggak ketemu.”“Aku sibuk,” tolak Zayyan. “Kamu tahu sendiri kalau restoran aku ini hampir gulung tikar, jadi aku tidak mau buang-buang waktu untuk hal yang kurang penting lagi.”“Sebentar saja kok, Mas ...”“Kamu paham bahasa manusia atau tidak?” tukas Zayyan yang kesabarannya setipis tisu. “Aku tidak ada waktu, butuh usaha dan perjuangan keras untuk mencapai titik ini dan akan jauh lebih sulit lagi untuk mempertahankannya.”Clara terpaku, lama tidak bertemu ternyata sudah mengubah Zayyan menjadi sekeras itu.“Y—ya sudah, kapan-kapan aku akan datang lagi ...”“Tidak perlu, karena aku selalu sibuk memperbaiki ekonomi.”Tanpa menunggu jawaban dari Clara sedikitpun, Zayyan berlalu masuk ke mobilnya sendiri. Sambil melaju perlahan, dia menghubungi Beni melalui ponselnya.“Halo, Pak Bos?”“Kamu sudah selesai cuci motornya?”“Ini masih lap-lap biar makin kinclong, ada apa, Pak?”“Kalau sudah selesai, co

DMCA.com Protection Status