Keesokan paginya, seluruh anggota keluarga beraktivitas seperti biasa. Semua sepakat untuk tidak bertanya apa-apa dulu kepada Sisil.“Takutnya ada hal yang bikin dia trauma, kita kan nggak pernah tahu apa yang dialami Sisil sebelum bertemu sama Pak Zayyan.” Ibu menjelaskan kepada Sindy.“Itu juga yang aku pikirkan, Bu. Untung Sisil masih dilindungi, rasanya lemas kalau membayangkan hal yang buruk bisa menimpa anakku kapan saja ...” ratap Sindy, dia selalu lemah jika sudah berkaitan dengan Sisil.“Ibu mengerti perasaan kamu, pokoknya kamu harus tunjukkan wajah ceria.”Sindy mengangguk, dia memang harus mencari tahu kejadian yang sebenarnya dari Zayyan.“Ibu!” Sisil menyapa Sindy dengan ekspresi biasanya, seakan tidak ada yang aneh.“Peluk dulu, ibu kangen sama Sisil!” Sindy melebarkan kedua tangannya, sehingga Sisil langsung menghambur ke pelukan.“Ibu nggak kelja?”“Kerja, ini mau sarapan dulu.”“Cali uang yang banyak ya, Bu?” pinta Sisil.“Memangnya Sisil mau beli apa?“
“Sisil hilang? Kok kamu nggak cerita, Sin?” Nesi langsung melontarkan pertanyaan begitu Sindy menutup teleponnya.“Ceritanya panjang banget, Nes. Yang jelas sekarang aku harus pulang ke rumah, kira-kira Pak Zayyan kasih izin nggak ya?”“Kalau gawat, pasti dikasih izin.”Bertepatan dengan itu, sayang keluar dari ruangannya dan melangkah keluar. “Pak Zayyan!” panggil Sindy buru-buru. “Saya boleh izin, Pak?”“Memangnya ada apa?”“Mantan suami mengamuk di rumah, Pak! Saya harus menyelesaikan masalah ini dulu, tidak apa-apa kalau mau dipotong gaji atau saya harus lembur untuk mengganti jam kerja hari ini. Saya sangat takut kalau Sisil kenapa-napa lagi ...”Zayyan menarik napas.“Oke, selesaikan masalah kamu.”“Terima kasih, Pak!” Sindy bergegas kembali ke dapur untuk mengambil tas miliknya.“Tunggu, Sin!” cegah Zayyan ketika Sindy berjalan terburu-buru melewatinya. “Ada apa, Pak?”“Sekalian saja kamu ikut mobil saya, rumah kita searah kok!”“Saya tidak ingin merepotkan, Pak
Sindy dan ibunya kompak menggelengkan kepala, mereka benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran lelaki di hadapan mereka itu.“Percuma bicara sama kamu, Mas.” Sindy menggeleng lemah. “Sejak aku masih jadi istri kamu, aku memang nggak pernah didengar sekalipun benar.”Sindy berbalik, kemudian melangkah masuk rumah diikuti oleh sang ibu.“Sin, tunggu! Kasih aku masuk, aku mau bertemu Sisil!” Ardi menggedor-gedor pintu rumah yang telanjur tertutup. “Kamu nggak berhak menghalangi aku, Sin! Aku ini ayah kandungnya Sisil!”Sindy saling pandang dengan ibunya.“Mantan suami kamu itu benar-benar manusia paling antik yang pernah ibu temui, Sin. Kalau ayahmu ada di rumah, bisa habis dia tadi.”“Untung Ibu nggak telepon ayah.”“Sebenarnya ibu jauh lebih aman kalau ada ayahmu, tapi ibu khawatir juga kalau nanti dia nggak bisa menahan emosinya.”Sindy duduk di kursi dapur, kemudian memijat-mijat pelipisnya.“Tapi kita harus tetap cerita sama ayah, Bu.”“Tentu saja, ibu yakin kalau
“Sin, ada tamu.”Sindy yang sedang menemani Sisil menonton televisi, seketika menoleh.“Siapa, Bu?”“Pak Zayyan sama ibunya.”Mata Sindy membulat. “Mereka nyari aku, Bu? Ada apa, ya?”“Ibu nggak bisa menjelaskan, kelihatannya mereka sedang buru-buru. Ayo cepat temui mereka dulu!” Sindy mengangguk dan bergegas mengikuti langkah ibunya ke depan.“Maaf Pak, ada apa ya? Ibu ...” Tidak lupa, Sindy juga menjabat tangan wanita yang berada di samping Zayyan.Wanita itu tersenyum ramah, tapi tidak mengeluarkan sepatah kata pun.“Resto saya kalang kabut, Nesi tadi telepon saya. Apa kamu tidak bisa kembali ke sana sekarang?” tanya Zayyan tanpa basa-basi.“Aduh ... bagaimana ya, Pak?” Sindy memasang wajah tidak enak. “Posisi saya sekarang juga masih nunggu ayah saya pulang kerja, saya khawatir kalau nanti mantan suami saya datang lagi ...”Mama Zayyan langsung teralihkan fokusnya.“Bagaimana kalau anak kamu dibawa saja? Nanti saya ajak dia ke rumah,” usulnya.“Saya tidak ingin merep
Zayyan ikut berbalik.“Mau apa? Tentu saja aku mau bawa Sisil lagi, kemarin itu aku belum puas main sama dia di rumah. Jangan kamu halangi aku, ya!” kilah Ardi seenaknya. “Sekarang mana Sisil? Apa ada di dalam mobil itu?”Dengan tidak sopan, Ardi menunjuk ke arah mobil milik Zayyan.“Sisil nggak ada di situ,” kata Sindy tegas.“Jangan kamu sembunyikan anakku, Sin. Aku tadi ke rumah orang tua kamu, tapi nggak ada orang yang bukain pintu.”“Ya mungkin orang tuaku sedang tidur, apa pergi ... Entahlah, aku nggak tahu.” “Jangan coba-coba bohong sama aku, Sin!”“Capek ngomong sama kamu, Mas.”Zayyan meneruskan langkahnya menuju mobil yang terparkir, mengisyaratkan kepada Sindy untuk mengikutinya.“Tunggu, mau ke mana kamu Sin?” tanya Ardi sambil menarik tangan mantan istrinya. “Bukan urusan kamu ...”“Hebat, ya? Belum lama cerai dari aku, tapi kamu sudah kegatelan sama laki-laki lain!”“Jaga mulut kamu, Mas!”Tin! Tin!Zayyan sengaja menekan klakson kuat-kuat untuk menghenti
“Kalau Ardi datang ke sini lagi gimana, Yah?” tanya ibu dengan ekspresi was-was. “Langsung telepon ayah, atau bilang sama Ardi suruh izin ayah dulu kalau mau bawa Sisil.”“Masalahnya Ardi itu orangnya ngotot, Yah. Apalagi karena dia merasa sebagai ayah kandung Sisil.”“Buktinya dia lalai menjaga Sisil, sampai keluar rumah sampai ke jalan. Untung ketemunya orang baik macam Pak Zayyan, kalau nggak?”Sindy yang sedang menyuapi Sisil, hanya bisa menyimak obrolan ayah dan ibunya. Sampai detik ini, dia belum menemukan solusi yang ampuh untuk membuat Ardi berhenti menggerecoki Sisil lagi.“Apa sebaiknya aku ajak Sisil untuk kerja lagi ya, Bu?” tanya Sindy bingung setelah ayahnya berangkat kerja.“Bukannya resto sudah mulai ramai? Apa nggak malah merepotkan nanti, Sin?”“Iya sih, Bu. Kalau dulu kan Nesi bisa gantian jaga, kalau sekarang sangat berisiko soalnya dia tunggu kasir.” Sindy menjelaskan dengan hati gamang.“Sudahlah, biar ibu sama Sisil di rumah.”“Nanti kalau Mas Ardi ...
“Halo, Pak!”Zayyan terlonjak kaget ketika suara seorang perempuan bernada centil menyambar telinganya. Dia berbalik dan mendapati sosok yang sedang cengar-cengir di dekat mobilnya.“Kamu siapa?”“Ish, Bapak ini ... Masa nggak ingat aku sih?”Zayyan menggeleng dan tidak memedulikannya karena dia harus pulang untuk mengantar masakan buatan Sindy ke tangan mamanya.“Pak! Pak! Kok buru-buru amat, mau ke mana?” sambar perempuan itu lagi.“Saya itu nggak kenal kamu!”“Ini aku, Pak!”“Aku siapa?”“Akuuuuu! Yang dulu kena hukuman cuci piring gara-gara kakak iparku yang nggak mau bayar tagihan, kenalin—namaku Mita!”Zayyan mengerutkan keningnya, berusaha mengingat-ingat perempuan yang jauh lebih muda darinya ini.“Ya sudah lah ya, masalahnya sudah selesai.”“Iya sih, Pak. Itu artinya sudah ingat aku, kan?” tanya Mita dengan penuh percaya diri.“Tidak,” jawab Zayyan tegas dengan tangan terulur ke pintu mobilnya.“Ihhh, kok nggak ingat sih, Pak?” Mita mengentakkan kakinya ke tanah
“Itu Sindy baru pulang!” tunjuk Ratna yang ternyata sedang bertandang ke rumah mantan besannya.Sindy yang saat itu baru saja turun dari ojeknya, berusaha terlihat biasa begitu tatapan matanya bertemu dengan mantan mertuanya.“Biarkan Sindy mandi dan istirahat sebentar ya, Jeng? Kasihan baru pulang kerja ...”“Iya, nggak apa-apa. Tetap ditunggu kok, ya kan, Di?”“Iya, Bu ...”Sindy tetap mengangguk sopan ke arah Ratna sebagai bentuk sopan santun terhadap orang yang lebih tua.Sementara ayah menemani para tamu, ibu Sindy beranjak masuk ke dalam menyusul sang putri.“Sisil mana, Bu?”“Habis mandi, tidur lagi dia.”Sindy mengangguk lalu duduk di kursi sambil memijat-mijat bahunya.“Ada perlu apa mereka datang ke sini, Bu?”“Tadi sih bilangnya mau memperbaiki masa depan kalian bertiga, Sin.”“Maksud mereka gimana?”Ibu mengisi kursi kosong di depan Sindy lalu menatapnya dengan sangat serius.“Ardi berniat untuk rujuk sama kamu, gimana?”Sindy terbelalak, kemudian geleng-gel
Namun, dia tidak ingin Zayyan berpikir macam-macam tentangnya.Memang ada yang salah kalau Aftar dekat dengan Mita?“Kamu kenapa gelisah begitu?” tanya Zayyan seolah mengerti dengan gelagat istrinya. “Mungkin Aftar dan adiknya Ardi cuma teman biasa.”“Kamu yakin, Mas?”“Ya namanya juga pergaulan, kita tidak bisa ikut menyeleksi siapa-siapa saja yang berinteraksi sama adik-adikku. Kecuali terbukti ada yang membawa pengaruh buruk bagi mereka, baru di saat itulah aku akan bertindak.” Zayyan menjelaskan.“Semoga ini cuma prasangka buruk aku saja, mau gimana lagi ... Mita itu kan dulunya gencar sekali ngejar-ngejar kamu, aku curiga dia ...”Zayyan menunggu Sindy menyelesaikan ucapannya.“Takutnya Mita dekat-dekat Aftar cuma buat modus,” sambung Sindy dengan wajah muram.“Dia mau ngapain kek, yang penting aku tidak akan menanggapi. Jadi kamu tidak perlu khawatir, oke?”Sindy tidak menjawab.“Kok malah diam?”“Tidak apa-apa ...”“Jangan dipikirkan selama adiknya Ardi tidak mengus
Usai Affan pergi, Roni menoleh ke arah Sindy."Itu nggak apa-apa adiknya Pak Bos disuruh-suruh, Mbak?""Nggak apa-apa lagi, Mas. Mereka kan memang ngisi waktu libur di sini, sama Pak Bos juga digaji kok.""Wah, salut aku.""Kenapa, Mas?""Sejak muda sudah dididik cari uang, nggak semua begitu soalnya.""Iya, mungkin karena perbedaan prinsip atau latar belakang."Mereka berdua tidak lagi mengobrol, melainkan kembali fokus dengan pekerjaan masing-masing."Kak!"Sindy menoleh dan melihat salah satu si kembar muncul di dapur."Sebentar lagi matang, Fan!""Aku Aftar, Kak.""Oh, kamu ada pesanan?"Aftar menggeleng ragu. "Aku tadi pesan minum sama Mbak Nesi, tapi katanya tinggal bikin saja di dapur.""Memang iya, khusus pegawai nggak usah bayar di kasir." Sindy menjelaskan sambil menghias piring saji untuk ikan bakarnya. "Kamu bisa bikin kopi atau teh di sini, Tar."Sebelum Aftar menjawab, tiba-tiba muncul saudara kembarnya."Ngapain kamu, ada pesanan?" Tanya Affan.Sebelum Aftar menjawab, S
Sindy menatap Zayyan. "Namanya juga anak muda, Mas. Mungkin Aftar mau kumpul-kumpul selagi masih liburan di sini ...""Tapi biasanya anak itu lebih suka di rumah sama Affan, setahu aku libur mereka juga tidak terlalu lama. Ini sudah lebih dari dua mingguan kan?"Tidak berselang lama, terdengar deru suara motor yang melaju pergi meninggalkan rumah."Laki-laki mana ada yang anak rumahan, jarang." Sindy berkomentar."Mungkin, ya sudahlah. Kita lanjutkan, sampai mana tadi?""Belum sampai mana-mana ...""Kelamaan kan ini," kata Zayyan tidak sabar."Sabar ..." Sindy sedikit berdebar karena malam itu Zayyan menginginkan pengaman di antara mereka tidak perlu digunakan lagi. Ada rasa was-was jika penyatuan mereka langsung membuahkan hasil, jujur saja sindy belum merasa siap lahir batin.Keesokan harinya, dapur sudah ramai seperti biasa saat Sindy dan Zayyan turun untuk sarapan."Kemarin kamu pulang jam berapa?" Tanya Keke kepada Aftar, sementara satu tangannya terulur meraih tangan Sisil. "Cuc
"Cukup ya, aku sudah tahan-tahan sejak tadi. Tapi kamu semakin berburuk sangka sama sindy," tegas Zayyan habis sabar. Kalau bukan karena ada Sisil di dekatnya, dia pasti sudah membuat perhitungan dengan Ardi sedari tadi."Aku bicara kenyataan, sindy pasti sudah berhasil memengaruhi Sisil supaya nggak mau ikut aku menginap ...""Cukup, silakan pulang. Aku selalu rutin ajak Sisil jalan-jalan ke taman setiap sore, jadi tolong pengertiannya." Wajah Ardi semakin masam ketika Zayyan terang-terangan mengusirnya di depan Sisil dan Mita.**"Kalau Ardi tetap menggugat hak asuh Sisil melalui meja hijau bagaimana, Mas?"Sejak Zayyan memberi tahu tentang niat Ardi tentang perebutan hak asuh, hati Sindy semakin tidak tenang dari hari ke hari."Aku tidak bermaksud meremehkan ayahnya Sisil, tapi memangnya dia mampu?" "Begitulah, Mas ...""Kalau dia mampu secara keuangan, kenapa tidak memikirkan nafkah Sisil saja? Apa karena dia merasa bahwa semua kebutuhan Sisil sudah tercukupi sama kamu?" "Aku j
Sindy membelalakkan matanya mendengar permintaan Ardi.Lebih tepatnya tuntutan."Hak asuh Sisil? Beraninya kamu ...""Apa salahnya? Sisil anak kandung aku."Sindy melirik Zayyan, seolah meminta izin untuk mengamuk detik itu juga."Sebentar, ini tadi rencananya kan cuma mau bertemu Sisil. Kenapa jadi bahas masalah hak asuh anak?" Tanya Zayyan tidak senang."Sekalian saja mumpung kalian ada di sini, aku nggak mau kalau sampai Sisil melupakan aku sebagai ayah kandungnya atau lebih dekat sama orang lain yang bukan siapa-siapa."Sorot mata Ardi menyala-nyala ketika mengucapkan hal itu, seakan selama ini dia telah dipisahkan dengan sangat sadis oleh sindy."Sebaiknya kamu bawa Sisil kayak dulu," pinta Zayyan kepada Sindy."Iya, mas ...""Tunggu, mau dibawa ke mana anakku? Aku belum puas bertemu sama dia," protes Ardi keras."Kita tidak bisa membicarakan hal-hal seperti ini di depan Sisil," kata Zayyan tenang. "Jadi biarkan dia sama sindy di dalam dulu.""Tapi urusanku cuma sama sindy ...""
“Boleh minta, Nek?” Celetuk Sisil, perhatiannya terpecah saat menyaksikan Mita ngemil.“Tentu saja, Sisil ambil yang disuka.”“Terima kasih, nek.”“Sama-sama, Sayang.”Hati Ardi terasa aneh ketika melihat interaksi yang cukup akrab antara Sisil dan nenek barunya, padahal selama ini dia jarang sekali melihat Ratna bisa sedekat itu dengan sang cucu semata wayang.“Ayah, minum!” Kata Sisil ceria.“Iya, Sil ...” Meski canggung karena seolah Keke mengawasi, Ardi meneguk es sirup yang dihidangkan.Tidak berapa lama kemudian, mobil Zayyan menepi di depan halaman rumah. Begitu mesin mobil berhenti, sindy dan Zayyan langsung turun.“Itu Ibu sama papa Yayan!” Tunjuk Sisil, fokusnya kini teralihkan sepenuhnya kepada mereka berdua.Membuat Ardi kesal saja.“Jadi gimana, Sil? Mau ya ikut sama ayah menginap di rumah nenek Ratna?” Tanya Ardi tanpa bosan sementara Mita lebih memilih untuk melanjutkan ngemilnya.“Gak, Yah ...”“Kok nggak mau sih?”Kali ini Keke diam saja karena sindy dan
“aku akan telepon mama dan memintanya untuk tidak meninggalkan Sisil sendirian, kamu tenang ya?” Bujuk Zayyan, dia sangat mengerti dengan kegelisahan yang dirasakan sindy.“Cepat, Mas! Atau kamu bisa pulang duluan, aku benar-benar tidak tenang ini ...”Zayyan menyentuh lengan sindy sebagai isyarat untuk diam sejenak karena sambungan dengan Keke mulai terhubung.“Halo, Zay?”“Ma, ayah kandung Sisil mau datang ke rumah. Aku minta tolong jangan pernah tinggalkan Sisil sama dia, ini sindy sudah ketakutan setengah mati soalnya.”“Memangnya ada apa, Zay? Ayahnya Sisil Cuma datang buat bertemu, kan?”“Ceritanya panjang, ma. Pokoknya aku minta tolong jangan biarkan Sisil sendirian, tolong ya, Ma?”“Oke, kamu tenang saja. Mama akan jaga Sisil,” sahut Keke buru-buru.Usai pembicaraan dengan ibunya berakhir, Zayyan menoleh memandang Sindy.“Mama sudah aku kasih tahu soal Ardi, jadi kamu tenang saja.”Sindy hanya bisa mengangguk, meski dalam hati rasanya ingin cepat pulang ke rumah.“K
Sindy mengangguk, dia percaya jika Zayyan yang bicara.**Hari yang direncanakan tiba, Ardi harus menekan ego-nya sampai ke dasar demi bisa menemui putri semata wayangnya.Ditemani Mita, dia meluncur pergi ke restoran Zayyan sepulang kerja untuk meminta alamat rumah mereka."Resto sudah tutup belum ya jam segini, Mit?""Masih buka biasanya, kita kan cuma minta alamat rumah kakak bos. Malah lebih nyaman kalau kita bisa menemui Sisil tanpa kehadiran mereka kan, Kak?"Ardi mengangguk setuju. "Betul juga kamu, Mit.""Ayo kita berangkat sekarang, keburu pulang mereka nanti!"Ardi segera menyalakan motornya dan melaju kencang bersama menuju ke restoran Zayyan."Nes, panggil bos kamu sekarang." Ardi memerintah ketika dia tiba di resto dan langsung menemui Nesi di meja kasir."Ada urusan apa kalau boleh tahu?" Tanya Nesi formal."Ada deh, ini urusan aku sama bos kamu. Cepat panggil," perintah Ardi lagi, membuat wajah Nesi seketika masam. Meski begitu, dia langsung meraih gagang telepon dan me
Selama beberapa saat mereka berdua terdiam dan sibuk dengan isi pikiran masing-masing."Apa kita harus membutuhkan pengakuan langsung darinya kalau ingin meneruskan kasus itu?" Tanya Zayyan masih penasaran."Memang tidak harus, asalkan ada bukti yang kuat. Masalahnya adalah kita baru menyelidiki sendiri karena ternyata pihak berwajib kurang gesit dalam menangani kasus Anda, dalam kurun waktu tersebut saya yakin sudah banyak bukti yang entah tercecer, entah tersamarkan." Boby menjawab dengan raut wajah serius."Wah, wah, dia benar-benar bermain cantik dan rapi.""Lebih tepatnya karena didukung situasi juga, Pak. Anda yang saat itu kecelakaan cukup parah, kemudian lanjut terapi, sehingga Nyonya Keke hanya fokus terhadap kesembuhan Anda, dan dia datang sebagai malaikat penolong di saat yang benar-benar tepat."Zayyan mengangguk setuju. "Jadi dia memiliki alibi untuk berkelit kalau kita mendesaknya sekarang?""Saya pikir begitu, terpaksa kita harus bersabar dan tetap memantau pergerakan