Zayyan ikut berbalik.“Mau apa? Tentu saja aku mau bawa Sisil lagi, kemarin itu aku belum puas main sama dia di rumah. Jangan kamu halangi aku, ya!” kilah Ardi seenaknya. “Sekarang mana Sisil? Apa ada di dalam mobil itu?”Dengan tidak sopan, Ardi menunjuk ke arah mobil milik Zayyan.“Sisil nggak ada di situ,” kata Sindy tegas.“Jangan kamu sembunyikan anakku, Sin. Aku tadi ke rumah orang tua kamu, tapi nggak ada orang yang bukain pintu.”“Ya mungkin orang tuaku sedang tidur, apa pergi ... Entahlah, aku nggak tahu.” “Jangan coba-coba bohong sama aku, Sin!”“Capek ngomong sama kamu, Mas.”Zayyan meneruskan langkahnya menuju mobil yang terparkir, mengisyaratkan kepada Sindy untuk mengikutinya.“Tunggu, mau ke mana kamu Sin?” tanya Ardi sambil menarik tangan mantan istrinya. “Bukan urusan kamu ...”“Hebat, ya? Belum lama cerai dari aku, tapi kamu sudah kegatelan sama laki-laki lain!”“Jaga mulut kamu, Mas!”Tin! Tin!Zayyan sengaja menekan klakson kuat-kuat untuk menghenti
“Kalau Ardi datang ke sini lagi gimana, Yah?” tanya ibu dengan ekspresi was-was. “Langsung telepon ayah, atau bilang sama Ardi suruh izin ayah dulu kalau mau bawa Sisil.”“Masalahnya Ardi itu orangnya ngotot, Yah. Apalagi karena dia merasa sebagai ayah kandung Sisil.”“Buktinya dia lalai menjaga Sisil, sampai keluar rumah sampai ke jalan. Untung ketemunya orang baik macam Pak Zayyan, kalau nggak?”Sindy yang sedang menyuapi Sisil, hanya bisa menyimak obrolan ayah dan ibunya. Sampai detik ini, dia belum menemukan solusi yang ampuh untuk membuat Ardi berhenti menggerecoki Sisil lagi.“Apa sebaiknya aku ajak Sisil untuk kerja lagi ya, Bu?” tanya Sindy bingung setelah ayahnya berangkat kerja.“Bukannya resto sudah mulai ramai? Apa nggak malah merepotkan nanti, Sin?”“Iya sih, Bu. Kalau dulu kan Nesi bisa gantian jaga, kalau sekarang sangat berisiko soalnya dia tunggu kasir.” Sindy menjelaskan dengan hati gamang.“Sudahlah, biar ibu sama Sisil di rumah.”“Nanti kalau Mas Ardi ...
“Halo, Pak!”Zayyan terlonjak kaget ketika suara seorang perempuan bernada centil menyambar telinganya. Dia berbalik dan mendapati sosok yang sedang cengar-cengir di dekat mobilnya.“Kamu siapa?”“Ish, Bapak ini ... Masa nggak ingat aku sih?”Zayyan menggeleng dan tidak memedulikannya karena dia harus pulang untuk mengantar masakan buatan Sindy ke tangan mamanya.“Pak! Pak! Kok buru-buru amat, mau ke mana?” sambar perempuan itu lagi.“Saya itu nggak kenal kamu!”“Ini aku, Pak!”“Aku siapa?”“Akuuuuu! Yang dulu kena hukuman cuci piring gara-gara kakak iparku yang nggak mau bayar tagihan, kenalin—namaku Mita!”Zayyan mengerutkan keningnya, berusaha mengingat-ingat perempuan yang jauh lebih muda darinya ini.“Ya sudah lah ya, masalahnya sudah selesai.”“Iya sih, Pak. Itu artinya sudah ingat aku, kan?” tanya Mita dengan penuh percaya diri.“Tidak,” jawab Zayyan tegas dengan tangan terulur ke pintu mobilnya.“Ihhh, kok nggak ingat sih, Pak?” Mita mengentakkan kakinya ke tanah
“Itu Sindy baru pulang!” tunjuk Ratna yang ternyata sedang bertandang ke rumah mantan besannya.Sindy yang saat itu baru saja turun dari ojeknya, berusaha terlihat biasa begitu tatapan matanya bertemu dengan mantan mertuanya.“Biarkan Sindy mandi dan istirahat sebentar ya, Jeng? Kasihan baru pulang kerja ...”“Iya, nggak apa-apa. Tetap ditunggu kok, ya kan, Di?”“Iya, Bu ...”Sindy tetap mengangguk sopan ke arah Ratna sebagai bentuk sopan santun terhadap orang yang lebih tua.Sementara ayah menemani para tamu, ibu Sindy beranjak masuk ke dalam menyusul sang putri.“Sisil mana, Bu?”“Habis mandi, tidur lagi dia.”Sindy mengangguk lalu duduk di kursi sambil memijat-mijat bahunya.“Ada perlu apa mereka datang ke sini, Bu?”“Tadi sih bilangnya mau memperbaiki masa depan kalian bertiga, Sin.”“Maksud mereka gimana?”Ibu mengisi kursi kosong di depan Sindy lalu menatapnya dengan sangat serius.“Ardi berniat untuk rujuk sama kamu, gimana?”Sindy terbelalak, kemudian geleng-gel
“Yang tadi itu serius, Sin?”“Apanya, Bu?”Ardi dan ibunya sudah beberapa saat yang lalu meninggalkan rumah mereka, sekaligus meninggalkan tanda tanya besar di benak semua orang. “Itu, mantan mertua kamu bilang kalau Nita sama bos kamu lagi pendekatan?” tanya ibu memperjelas.“Katanya sih begitu, aku sempat ketemu sama Mita di restoran dan katanya dia memang lagi pendekatan sama Pak Zayyan.” Ibu mengerutkan keningnya. “Kok kayaknya itu hal yang sulit dipercaya, ya?”Sindy mengangkat bahu. “Aku juga nggak percaya, Bu. Jarak usia mereka saja kelihatan beda jauh, belum tentu juga bos aku seleranya sama yang seumuran Mita.”Ayah memilih menyingkir untuk menemani Sisil, daripada ikut mendengarkan dugaan-dugaan yang sedang diributkan istri dan anaknya.“Tapi kalau mereka berdua ternyata benar-benar berjodoh, siap-siap saja kamu bakal punya bos yang kayak Mita.” Ibu menakut-nakuti Sindy. “Bukannya ibu berprasangka buruk, tapi kan sejauh ini karakter Mita terhadap kamu kayak nggak
“Aku serius, Nes. Ini tuh dari siapa?”“Ardi lah, memangnya ada lagi mantan kamu yang lain?” Nesi masih cengengesan.“Tapi bukan berarti dia mantan terindah, kalau indah ngapain jadi mantan?” tukas Sindy, membuat tawa Nesi semakin meledak.Kira-kira apa ya isinya, batin Sindy sambil membawa plastik hitam itu ke dapur untuk memeriksanya. Ternyata Ardi memberikan bekal untuknya, saat dibuka bekal itu berisi nasi goreng dengan telur berbentuk hati di atasnya. Ya ampun, Sindy menahan diri untuk tersenyum. Segitunya dia mau menarik perhatianku, nggak semudah itu, Mas!Karena bumbu ikan bakarnya mulai menipis, Sindy melanjutkan pekerjaannya dan membiarkan bekal kiriman Ardi teronggok di atas kursi.Saat makan siang tiba dan para pegawai makan bergiliran, Sindy ragu-ragu membuka kotak bekal yang diberikan Ardi melalui Nesi.Aman dimakan nggak, ya? Sindy menatap ragu pada nasi goreng yang sebetulnya cukup menggugah selera.“Kenapa kok dilihatin terus?” tanya Nesi yang gantian makan
“Kue bolu dari mama, katanya sebagai ucapan terima kasih atas masakan kamu kemarin-kemarin.” Zayyan menjelaskan.“Tapi kan Anda sudah bayar saya, Pak.”“Saya juga sudah bilang begitu, tapi mama tetap mau kasih kamu.” Zayyan mengangkat bahu. “Terima kasih, Pak.” Sindy menerima paperbag itu meski agak sungkan. Dari kejauhan, ternyata ada sepasang mata yang mengawasi mereka dengan tangan mengepal.“Bekal pemberianku saja ditolak, giliran laki-laki itu yang ngasih langsung diterima ... Sialan memang Sindy ...”Ardi menggerutu tanpa henti, lalu meninggalkan tempat persembunyiannya dengan hati carut-marut tidak keruan.Setibanya di rumah Ratna, Ardi langsung menemui Mita yang sedang sibuk mengoles masker di wajahnya.“Kamu serius naksir sama bosnya Mbak Sindy?” tanya Ardi tanpa basa-basi. “Serius lah, Kak!”“Kalau begitu prospek kalian sudah sampai mana?”“Belum sampai mana-mana, mulai saja belum.” Mita mengeluh.“Kok bisa sih?”“Gara-gara Mbak Sindy tuh, dia kayak nggak rel
“Mas Roni, bisa nggak ngatasin ulet keriting satu itu?” bisik Nesi saat Roni muncul di belakangnya. “Ulet keriting?” Roni tidak paham, lalu tatapannya tertumbuk pada Mita yang sedang duduk di salah satu kursi dengan satu kaki dinaikkan. “Siapa sih itu?” “Calon bos, katanya ...” “Masa?” Nesi mengangkat bahu dan mulai bersih-bersih. “Mit, kami di sini harus kerja. Tolong kamu pulang dulu,” suruh Sindy, masih dengan mode sabar. “Apa sih, Mbak? Berisik terus kamu dari tadi.” “Kedatangan kamu mengganggu kami, Mit. Nanti kalau ada pelanggan datang dan resto belum bersih, bisa-bisa nilai kami turun ...” Mita tampak berpikir sejenak. “Terus aku harus nunggu di mana?” “Ya terserah kamu.” “Masa calon nyonya bos harus nunggu di luar, panas-panasan begini ...” Sindy memutar bola matanya malas, heran dengan tingkah songong mantan adik iparnya ini. Bisa-bisanya dia berkhayal akan menjadi nyonya bos di restoran milik Zayyan. “Sin, gimana tuh?” Nesi menjawil bahu
Meta refleks melirik melirik ke arah Sindy yang wajahnya merah padam karena ditatap hampir semua orang yang ada di ruangan.“Ini makanan dan minumannya, sesuai pesanan ya!” ucap Sindy buru-buru, setelah itu dia berjalan mendahului Meta yang masih sibuk meletakkan gelas-gelas di atas meja.Kok aku nggak baca nama pelanggan di catatan kemarin ya, sama Pak Zayyan ditulis nggak sih? Sindy kembali ke dapur sambil uring-uringan dalam hati.“Mas Roni, catatan yang kemarin ditinggal nggak?” tanya Sindy.“Kalau nggak salah dipegang Nesi buat dibikin nota tagihan, Mbak.”Sindy mengangguk dan berbalik arah menuju kasir, tempat Nesi berjaga.“Sudah semua, Sin?”Sindy mengangguk. “Di catatan kemarin itu ada nama pelanggan yang pesan nggak sih?”“Memangnya kenapa? Aku nggak perhatikan ...”Sindy menghela napas panjang, lalu menceritakan tentang Ardi yang ikut hadir di acara event pesanan pelanggan.“Serius? Jadi ini acara kantornya Ardi?” Nesi terbelalak kaget.“Mungkin,” angguk Sindy. “
Sindy buru-buru menggeleng.“Janganlah, Pak!’“Kalau begitu ikut mobil saya saja, tidak usah lama-lama!”Sindy akhirnya menurut.“Maaf merepotkan,” katanya saat dia duduk di kursi belakang.“Saya kok berasa jadi sopir kamu ya, Sin?”“Tidak enak sama pegawai lain kalau saya duduk di depan, Pak.” Sindy menjelaskan. “Takutnya ada yang berpikiran macam-macam terhadap Anda.”Zayyan tidak menjawab dan memilih untuk segera melajukan mobilnya.“Nanti saya turun di gang sana saja, Pak. Selanjutnya saya bisa jalan kaki ke resto,” ucap Sindy lagi.Namun, Zayyan masih tidak menjawab. Sindy pun menyerah, tidak lagi berusaha untuk menyambung obrolan. Dari respons Zayyan saja, dia sudah bisa menebak jika sang bos tidak terlalu suka basa-basi.“Sesuai permintaan kamu,” kata Zayyan ketika mobilnya tiba di gang yang dimaksud Sindy. “Jangan lupa isi paket datanya.”“Terima kasih, Pak.” Dengan sedikit menahan malu, Sindy turun dari mobil Zayyan dan berlari menuju restoran.“Apa harus dia lari
Ardi terenyak mendapatkan pertanyaan tajam itu dari bibir Sindy.“Setidaknya aku masih bertanggung jawab dengan kasih kamu nafkah, walau nggak banyak.”Sindy hanya memasang wajah datar, dia sudah tahu jika Ardi akan berkilah sedemikian rupa. Karena itu dia tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini.“Ayolah, Sin.”“Tidak, Mas. Aku nyaman dengan hidup aku yang sekarang,” tegas Sindy dengan nada suara yang hanya Ardi sendiri yang mendengarnya.“Mentang-mentang kamu sudah banyak uang sekarang?”Sindy tidak menjawab.“Ternyata benar ya, istri itu akan merasa tinggi kalau bisa cari uang sendiri.” Ardi melanjutkan.“Aku rasa kamu belum hilang ingatan, Mas. Aku sudah bukan istri kamu lagi, jadi kamu nggak punya hak untuk berkomentar apa pun tentang hidup aku.”Ardi menyerahkan kantong plastik yang tadi dibawanya ke tangan Sindy.“Ini apa?”“Itu barang-barang kebutuhan wanita, buat kamu.” “Aku nggak ...”“Itu sebagai wujud kepedulian aku buat kamu, Sin.” Ardi tetap memaksa.Sind
“Jadi Tante mau memaafkan aku?” Mata Clara berbinar-binar.“Tante bisa apa? Menyimpan dendam itu sejatinya tidak baik,” sahut Keke, gaya bicaranya lugas dan elegan. Berbeda sekali ketika dia mengobrol dengan Zayyan dan adiknya.“Terima kasih, Tante. Kalau begitu aku tinggal membujuk Mas Zayyan ...”“Membujuk buat apa?”“Untuk memperbaiki semuanya, Tante.” Clara begitu percaya diri karena merasa sudah mendapatkan dukungan dari Keke.“Tidak perlu sampai seperti itu, Cla. Bagi Zayyan, hubungan terbaik kalian ya dengan tetap seperti ini.”“Maksud Tante?”Keke menatap Clara lurus-lurus.“Kamu seharusnya paham kalau ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan apa adanya, jadi jangan dipaksakan untuk menjadi baik-baik saja. Apa kamu paham?”Clara tertegun mendengar penuturan Keke.“Apa itu artinya aku tidak boleh memperbaiki hubunganku dengan Mas Zayyan? Aku cuma tidak ingin terkesan bermusuhan seperti ini, Tante ...”Keke menarik napas. “Tidak ada satu orang pun yang menganggap kamu
Ini kenapa semua keluarga mantan suami pada error sih, batin Sindy. Dia merasa tidak perlu membalas pesan mantan adik iparnya itu.Malam harinya saat Sindy merebahkan diri di tempat tidur, lagi-lagi ponselnya berbunyi singkat.Ternyata ada pesan baru lagi.[Sin, kapan main ke rumah? Jangan memutuskan ikatan kekeluargaan di antara kita, mainlah ke sini sama Sisil]Sindy membaca pesan yang dikirim dari kontak mantan ibu mertuanya yang masih tersimpan.[Maaf Bu, saya belum bisa ambil cuti. Restoran ramai]Sejujurnya Sindy juga enggan membalas, tapi di terpaksa demi mempertahankan sopan santun terhadap orang tua.[Ibu senang karena kamu pintar cari uang, Ardi pasti bangga sama kamu, Sin]“Astaga, apa urusannya sama Mas Ardi sih?” Sindy geleng-geleng kepala membaca pesan balasan dari Ratna.[Terima kasih, Bu. Aku pamit tidur duluan, besok kerja]Sindy bergegas melempar ponselnya ke arah berlawanan, lalu cepat-cepat memejamkan mata.Situasi restoran terasa lebih tegang daripada b
Zayyan berputar menghadap mamanya.“Kadang Mama agak sok tahu ...”“Mama memang tahu kamu sejak orok, Zay! Nggak usah diragukan lagi,” sahut Keke seraya duduk di salah satu kursi. “Sekarang cerita sama mama, apa yang sebetulnya terjadi di restoran kamu tadi?”“Aku kan sudah cerita, Ma.” Zayyan kembali melanjutkan pekerjaannya menyeduh kopi.“Masa cuma karena Sindy melayani pelanggan, kamu jadi semarah ini?”“Itu karena menurut aku, koki nggak boleh meninggalkan dapur kecuali keadaan darurat. Kalau misalnya pesanan ikan bakar antre, terus Sindy malah sibuk melayani pelanggan di depan, bisa-bisa restoranku terancam gulung tikar lagi ...”“Hust, omongan itu bisa jadi doa. Jangan sembarangan,” tegur Keke. “Memangnya pesanan ikan bakar di resto keteteran ditinggal Sindy?”“Kebetulan enggak sih ...”“Nah, itu artinya Sindy cukup tahu situasi! Sudahlah, jangan ditanggapi berlebihan. Kadang pelanggan memang macam-macam permintaannya, Zay.”“Tapi seumur-umur aku buka restoran, baru ka
Meta mendeskripsikan ciri-ciri orang yang memaksa untuk meminta Sindy melayaninya.“... yang satu cewek, masih muda, dulu pernah disuruh cuci piring di belakang.”Sindy mengangguk paham, dia kenal betul siapa orang yang dimaksud Meta.“Mau pesan apa, Bapak? Adek?” Ardi menoleh saat Sindy muncul sambil membawa daftar menu.“Sin ...” Mata Ardi semakin terpana melihat penampilan Sindy yang sekarang, khususnya bagian wajah yang terlihat makin bersinar.“Lama banget,” celetuk Mita yang tidak sabaran. “Aku mau pesan nih, lapar!”“Tapi bisa bayar, kan?” tanya Sindy dengan senyum ramah.“Kamu jangan menghina ya, Mbak?” Suara Mita sedikit meninggi, sampai-sampai membuat beberapa pengunjung menoleh ke arah mereka.“Tidak perlu berteriak, Bu.”“Kamu ...”“Mit, jangan bikin keributan atau kamu bayar sendiri makanan kamu!” desis Ardi mengancam.“Ihhh, menyebalkan ...” Mita memajukan bibirnya.“Jadi mau pesan apa, Pak?” tanya Sindy sambil menunjukkan profesionalitasnya. “Biar bisa seg
“... kita bisa kok, Mas. Asalkan kamu mau menerima ...”“Tidak ada yang perlu menerima atau diterima, Cla. Jadi tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan.”“Mas, jangan begitu ...”Sindy berusaha menulikan kedua telinganya dari obrolan Zayyan dengan wanita itu, tangannya sibuk menaruh beberapa kantong plastik berisi sampah dapur.“Sudah ya, Cla. Aku sibuk ...”“Aku belum selesai bicara, Mas!”Zayyan menoleh ke sekeliling dan tatapannya tertumbuk pada Sindy.“Sin, kamu ikut saya beli bahan baku!”Mendengar namanya disebut, Sindy segera menoleh ke arah Zayyan. “Saya, Pak?”“Kamulah, siapa lagi yang saya panggil selain kamu?”Sindy hanya mengangguk dengan tampang cengo, terlebih saat wanita yang menjadi lawan bicara Zayyan menatapnya dengan mata menyipit.“Nggak bisa begitu dong, Mas. Kamu mau ajak dia ... nggak salah?” “Clara, tolong ya? Apa yang aku lakukan di sini bukanlah urusan kamu, jadi kamu tidak perlu mengomentari hal-hal seperti ini.” Zayyan mengingatkan. “Ayo, Sin.
Zayyan tidak menjawab.“Ayolah, Mas ...” bujuk Clara. “Sudah lama juga kita nggak ketemu.”“Aku sibuk,” tolak Zayyan. “Kamu tahu sendiri kalau restoran aku ini hampir gulung tikar, jadi aku tidak mau buang-buang waktu untuk hal yang kurang penting lagi.”“Sebentar saja kok, Mas ...”“Kamu paham bahasa manusia atau tidak?” tukas Zayyan yang kesabarannya setipis tisu. “Aku tidak ada waktu, butuh usaha dan perjuangan keras untuk mencapai titik ini dan akan jauh lebih sulit lagi untuk mempertahankannya.”Clara terpaku, lama tidak bertemu ternyata sudah mengubah Zayyan menjadi sekeras itu.“Y—ya sudah, kapan-kapan aku akan datang lagi ...”“Tidak perlu, karena aku selalu sibuk memperbaiki ekonomi.”Tanpa menunggu jawaban dari Clara sedikitpun, Zayyan berlalu masuk ke mobilnya sendiri. Sambil melaju perlahan, dia menghubungi Beni melalui ponselnya.“Halo, Pak Bos?”“Kamu sudah selesai cuci motornya?”“Ini masih lap-lap biar makin kinclong, ada apa, Pak?”“Kalau sudah selesai, co