Mohon dibaca ulang dari bab 18 atau 19 ke atas ya supaya cerita nyambung. Ada bab yg lupa upload, maaf atas ketidaknyamanannya.
“Maksud ibu tuh begini ... biar Sindy bisa ikut cari Sisil, jadi kemungkinan Sisil ketemu bisa lebih besar!” ralat Ratna buru-buru.“Duh, Ibu ... Usul Ibu itu malah bikin situasi tambah runyam! Iya kalau bener Sisil ternyata pulang ke rumah mantan mertua, kalau nggak? Apa nggak habis aku dicaci maki sama Sindy?”Ardi mengacak-acak rambutnya dan sangat kasar.“Ya terus kita harus gimana, Di? Mas harus diam saja begini ...”Ardi menarik napas panjang, bingung juga dia.“Kita nggak punya pilihan lain kecuali telepon mantan istri kamu itu, siapa tahu Sisil memang belum terbiasa tidur jauh sama ibunya terus dia pulang sendiri gara-gara kamu nggak ada di rumah.” Ratna mengutarakan pendapatnya yang kurang masuk akal, mesti bisa saja kemungkinan itu terjadi. Terkadang kita tidak tahu bagaimana kecerdasan anak-anak itu bekerja.“Masa iya aku harus telepon Sindy, Bu?” “Nggak ada cara lain, Di. Ini sudah cukup malam untuk ukuran anak-anak seusia Sisil, gimana kalau ada apa-apa?”Ratna
Keesokan paginya, seluruh anggota keluarga beraktivitas seperti biasa. Semua sepakat untuk tidak bertanya apa-apa dulu kepada Sisil.“Takutnya ada hal yang bikin dia trauma, kita kan nggak pernah tahu apa yang dialami Sisil sebelum bertemu sama Pak Zayyan.” Ibu menjelaskan kepada Sindy.“Itu juga yang aku pikirkan, Bu. Untung Sisil masih dilindungi, rasanya lemas kalau membayangkan hal yang buruk bisa menimpa anakku kapan saja ...” ratap Sindy, dia selalu lemah jika sudah berkaitan dengan Sisil.“Ibu mengerti perasaan kamu, pokoknya kamu harus tunjukkan wajah ceria.”Sindy mengangguk, dia memang harus mencari tahu kejadian yang sebenarnya dari Zayyan.“Ibu!” Sisil menyapa Sindy dengan ekspresi biasanya, seakan tidak ada yang aneh.“Peluk dulu, ibu kangen sama Sisil!” Sindy melebarkan kedua tangannya, sehingga Sisil langsung menghambur ke pelukan.“Ibu nggak kelja?”“Kerja, ini mau sarapan dulu.”“Cali uang yang banyak ya, Bu?” pinta Sisil.“Memangnya Sisil mau beli apa?“
“Sisil hilang? Kok kamu nggak cerita, Sin?” Nesi langsung melontarkan pertanyaan begitu Sindy menutup teleponnya.“Ceritanya panjang banget, Nes. Yang jelas sekarang aku harus pulang ke rumah, kira-kira Pak Zayyan kasih izin nggak ya?”“Kalau gawat, pasti dikasih izin.”Bertepatan dengan itu, sayang keluar dari ruangannya dan melangkah keluar. “Pak Zayyan!” panggil Sindy buru-buru. “Saya boleh izin, Pak?”“Memangnya ada apa?”“Mantan suami mengamuk di rumah, Pak! Saya harus menyelesaikan masalah ini dulu, tidak apa-apa kalau mau dipotong gaji atau saya harus lembur untuk mengganti jam kerja hari ini. Saya sangat takut kalau Sisil kenapa-napa lagi ...”Zayyan menarik napas.“Oke, selesaikan masalah kamu.”“Terima kasih, Pak!” Sindy bergegas kembali ke dapur untuk mengambil tas miliknya.“Tunggu, Sin!” cegah Zayyan ketika Sindy berjalan terburu-buru melewatinya. “Ada apa, Pak?”“Sekalian saja kamu ikut mobil saya, rumah kita searah kok!”“Saya tidak ingin merepotkan, Pak
Sindy dan ibunya kompak menggelengkan kepala, mereka benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran lelaki di hadapan mereka itu.“Percuma bicara sama kamu, Mas.” Sindy menggeleng lemah. “Sejak aku masih jadi istri kamu, aku memang nggak pernah didengar sekalipun benar.”Sindy berbalik, kemudian melangkah masuk rumah diikuti oleh sang ibu.“Sin, tunggu! Kasih aku masuk, aku mau bertemu Sisil!” Ardi menggedor-gedor pintu rumah yang telanjur tertutup. “Kamu nggak berhak menghalangi aku, Sin! Aku ini ayah kandungnya Sisil!”Sindy saling pandang dengan ibunya.“Mantan suami kamu itu benar-benar manusia paling antik yang pernah ibu temui, Sin. Kalau ayahmu ada di rumah, bisa habis dia tadi.”“Untung Ibu nggak telepon ayah.”“Sebenarnya ibu jauh lebih aman kalau ada ayahmu, tapi ibu khawatir juga kalau nanti dia nggak bisa menahan emosinya.”Sindy duduk di kursi dapur, kemudian memijat-mijat pelipisnya.“Tapi kita harus tetap cerita sama ayah, Bu.”“Tentu saja, ibu yakin kalau
“Sin, ada tamu.”Sindy yang sedang menemani Sisil menonton televisi, seketika menoleh.“Siapa, Bu?”“Pak Zayyan sama ibunya.”Mata Sindy membulat. “Mereka nyari aku, Bu? Ada apa, ya?”“Ibu nggak bisa menjelaskan, kelihatannya mereka sedang buru-buru. Ayo cepat temui mereka dulu!” Sindy mengangguk dan bergegas mengikuti langkah ibunya ke depan.“Maaf Pak, ada apa ya? Ibu ...” Tidak lupa, Sindy juga menjabat tangan wanita yang berada di samping Zayyan.Wanita itu tersenyum ramah, tapi tidak mengeluarkan sepatah kata pun.“Resto saya kalang kabut, Nesi tadi telepon saya. Apa kamu tidak bisa kembali ke sana sekarang?” tanya Zayyan tanpa basa-basi.“Aduh ... bagaimana ya, Pak?” Sindy memasang wajah tidak enak. “Posisi saya sekarang juga masih nunggu ayah saya pulang kerja, saya khawatir kalau nanti mantan suami saya datang lagi ...”Mama Zayyan langsung teralihkan fokusnya.“Bagaimana kalau anak kamu dibawa saja? Nanti saya ajak dia ke rumah,” usulnya.“Saya tidak ingin merep
Zayyan ikut berbalik.“Mau apa? Tentu saja aku mau bawa Sisil lagi, kemarin itu aku belum puas main sama dia di rumah. Jangan kamu halangi aku, ya!” kilah Ardi seenaknya. “Sekarang mana Sisil? Apa ada di dalam mobil itu?”Dengan tidak sopan, Ardi menunjuk ke arah mobil milik Zayyan.“Sisil nggak ada di situ,” kata Sindy tegas.“Jangan kamu sembunyikan anakku, Sin. Aku tadi ke rumah orang tua kamu, tapi nggak ada orang yang bukain pintu.”“Ya mungkin orang tuaku sedang tidur, apa pergi ... Entahlah, aku nggak tahu.” “Jangan coba-coba bohong sama aku, Sin!”“Capek ngomong sama kamu, Mas.”Zayyan meneruskan langkahnya menuju mobil yang terparkir, mengisyaratkan kepada Sindy untuk mengikutinya.“Tunggu, mau ke mana kamu Sin?” tanya Ardi sambil menarik tangan mantan istrinya. “Bukan urusan kamu ...”“Hebat, ya? Belum lama cerai dari aku, tapi kamu sudah kegatelan sama laki-laki lain!”“Jaga mulut kamu, Mas!”Tin! Tin!Zayyan sengaja menekan klakson kuat-kuat untuk menghenti
“Kalau Ardi datang ke sini lagi gimana, Yah?” tanya ibu dengan ekspresi was-was. “Langsung telepon ayah, atau bilang sama Ardi suruh izin ayah dulu kalau mau bawa Sisil.”“Masalahnya Ardi itu orangnya ngotot, Yah. Apalagi karena dia merasa sebagai ayah kandung Sisil.”“Buktinya dia lalai menjaga Sisil, sampai keluar rumah sampai ke jalan. Untung ketemunya orang baik macam Pak Zayyan, kalau nggak?”Sindy yang sedang menyuapi Sisil, hanya bisa menyimak obrolan ayah dan ibunya. Sampai detik ini, dia belum menemukan solusi yang ampuh untuk membuat Ardi berhenti menggerecoki Sisil lagi.“Apa sebaiknya aku ajak Sisil untuk kerja lagi ya, Bu?” tanya Sindy bingung setelah ayahnya berangkat kerja.“Bukannya resto sudah mulai ramai? Apa nggak malah merepotkan nanti, Sin?”“Iya sih, Bu. Kalau dulu kan Nesi bisa gantian jaga, kalau sekarang sangat berisiko soalnya dia tunggu kasir.” Sindy menjelaskan dengan hati gamang.“Sudahlah, biar ibu sama Sisil di rumah.”“Nanti kalau Mas Ardi ...
“Halo, Pak!”Zayyan terlonjak kaget ketika suara seorang perempuan bernada centil menyambar telinganya. Dia berbalik dan mendapati sosok yang sedang cengar-cengir di dekat mobilnya.“Kamu siapa?”“Ish, Bapak ini ... Masa nggak ingat aku sih?”Zayyan menggeleng dan tidak memedulikannya karena dia harus pulang untuk mengantar masakan buatan Sindy ke tangan mamanya.“Pak! Pak! Kok buru-buru amat, mau ke mana?” sambar perempuan itu lagi.“Saya itu nggak kenal kamu!”“Ini aku, Pak!”“Aku siapa?”“Akuuuuu! Yang dulu kena hukuman cuci piring gara-gara kakak iparku yang nggak mau bayar tagihan, kenalin—namaku Mita!”Zayyan mengerutkan keningnya, berusaha mengingat-ingat perempuan yang jauh lebih muda darinya ini.“Ya sudah lah ya, masalahnya sudah selesai.”“Iya sih, Pak. Itu artinya sudah ingat aku, kan?” tanya Mita dengan penuh percaya diri.“Tidak,” jawab Zayyan tegas dengan tangan terulur ke pintu mobilnya.“Ihhh, kok nggak ingat sih, Pak?” Mita mengentakkan kakinya ke tanah
"Saya ikut Anda saja, Pak. Kalau memang mau diteruskan ke pihak berwajib, saya akan berusaha keras untuk mencari bukti-bukti lainnya agar kalau dia mengelak, kita bisa langsung tutup celah itu." "Lakukan, bergerak lah dalam diam. Untuk sementara aku juga akan bersikap sudah melupakan kecelakaan itu, ada untungnya juga pihak berwajib bertele-tele dalam mengusutnya." Boby tiba-tiba menjentikkan jarinya. "Kalau saya berpikiran begini, Pak. Siapa tahu dia tidak bergerak sendirian, tapi ada orang dalam yang membuatnya aman-aman saja sampai detik ini?" Zayyan terdiam mendengar penuturan Boby. "Aku rasa kamu ada benarnya juga, dia bahkan masih berani menampakkan batang hidungnya seolah tidak terjadi apa-apa ..." "Wah, hebat sekali dia!" "Hebat atau memang tidak ada otak, di antara dua kemungkinan itu." Boby mengangguk karena sependapat, lalu meraih cangkir kopinya. "Saran saya, Anda tetap harus berhati-hati. Dia sudah terbukti nekat, takutnya dia akan mengulanginya lagi karena yang
Pasti karena sudah punya pacar, jadi cuma ada kamu sama si dia. Yang lainnya numpang lewat saja."Tanpa sadar Sindy malah melamun, mengingat kembali hal-hal apa saja yang membuatnya tidak terlalu terkenang dengan masa putih abu-abu.Sadar dengan perubahan ekspresi di wajah istrinya, Zayyan meletakkan foto itu di atas meja dan mendatanginya."Kok jadi sedih begitu?"Sindy terperanjat, lalu menggeleng perlahan."Cuma lagi mengingat-ingat sesuatu ...""Ada yang kamu ingat tentang aku?" tanya Zayyan dengan mata berbinar."Tidak ada," sahut Sindy sambil nyengir minta maaf. "Masa-masa SMA itu benar-benar menguras tenaga dan pikiran, jadi aku tidak terlalu ingat siapa saja teman aku."Zayyan menatap Sindy, seolah tidak percaya dengan kata-katanya.Namun, sebelum dia sempat berkomentar, tiba-tiba ponsel yang tergeletak di atas meja samping tempat tidur berdering nyaring."Halo?" "Pak, saya sudah mulai dapatkan titik terang mengenai kecelakaan mobil yang Anda alami!" Sahut boby dengan nada be
"Betul, Kak. Uangnya buat masa depan sendiri saja," imbuh Mita supaya Ardi tak lagi ragu. "Sini uang yang jatah aku, mau aku pakai buat perawatan ...""Kamu kerja dong, Mit! Kayak Sani kek, biarpun seringnya rebahan, tapi dia sambil jualan online. Jadi dia nggak melulu mengharapkan uang dari aku," ujar Ardi.Nasehatnya sebagai kakak sebetulnya baik, hanya saja baik Ratna ataupun Mita tidak sebaik itu mampu menerima."Kamu apaan sih, Kak? Biasanya juga ngasih aku tanpa syarat, kenapa ini tiba-tiba nyuruh aku kerja?" sewot Mita dengan bibir maju."Iya nih, Di. Mita ini kan anak anak perempuan pertama, jadi dia duluan yang akan dipinang jodohnya. Lebih baik dia fokus merawat diri biar calon suaminya nanti nggak kecewa," imbuh Ratna membela."Ya iya deh, aku doakan semoga kamu dapat jodoh sultan yang cuma peduli sama kecantikan semata." Ardi mencibir. Padahal di matanya, istri itu setidaknya harus pandai merawat diri, membersihkan rumah, memasak, mengurus anak, dan mencari uang tambahan.
Mita mengangguk-angguk mengerti dengan ucapan kakaknya itu."Kalau begitu bagi duit dong, Kak!""Buat apa lagi sih?""Aku kan harus sering-sering ke restoran buat mantau!"Ardi garuk-garuk rambutnya yang tidak gatal."Nanti dulu lah, sibuk ini ...""Jangan pelit-pelit begitu, Kak.""Diam dulu, Mit!" Kali ini Ratna yang menegur. "Itu kakakmu lagi fokus hitung gajinya, jangan dulu kamu ganggu.""Kayak biasa ini buat ibu, Sani sama Mita ..." Ardi yang sudah membagi-bagi uang itu menjadi tiga kelompok menyerahkannya kepada Ratna. "Sisanya aku yang pegang buat kebutuhan pribadi."Ratna manggut-manggut dan meraih uang bagiannya dan juga Sani. Dalam hati dia berpikir jika nantinya harus berbagi lagi dengan istri baru Ardi, itupun kalau anak lelakinya ingin kembali meniti rumah tangga dengan orang baru."Kamu nggak usah buru-buru nikah deh, Di.""Lho, memangnya kenapa, Bu? Masa iya aku jadi duda selamanya sementara Sindy sudah menikah lagi?"Mita ikut memandang ibunya dengan kening berkerut.
Ekor apa dulu, Ma?" Zayyan yang menyahut."Ekor ikan, tentu saja calon bayi lah!""Doakan saja menantu Mama ini bersedia tanpa kebanyakan alasan buat bikin ...""Aku tidak banyak alasan, tapi memang ada alasan logis." Sindy membantah dengan segera."Ya itu kan tetap saja namanya alasan, Sin."Keke geleng-geleng kepala menyaksikan perdebatan anak dan menantunya."Terserah kalian berdua prosesnya mau gimana, pokoknya mama terima beres saja." Dia menengahi.Saat hari keberangkatan, Keke melepas kepergian Zayyan dan istrinya di pagi buta."Nanti mama bilang Sisil kalau kalian ada urusan, sana berangkat.""Terima kasih ya Ma, sudah mau jaga Sisil ..." "Sama-sama, ada om kembarnya juga, sudah sana."Sindy tersenyum saat Keke mendorongnya masuk mobil. Perjalanan menuju lokasi berlangsung mulus karena hari masih pagi, sehingga belum banyak kendaraan yang beradu di jalanan.Zayyan ternyata sudah menyewa penginapan khusus untuknya dan Sindy dalam rangka suasana pengantin baru.Di sana, mereka
Zayyan menarik napas panjang, kedua matanya tetap fokus memperhatikan arah jalan yang ada di depannya. "Pokoknya kita jadi pergi bulan madu, mumpung ada waktu." "Tidak enak sama pegawai kamu, Mas." "Ya ampun, apa hubungannya sama pegawai aku coba?" "Takutnya ... nanti ada yang berpikiran kalau aku nikah sama kamu karena kamu pengusaha kaya ..." "Amin!" sambar Zayyan. "Insha Allah aku akan tetap rendah hati meskipun aku sudah kaya tujuh turunan. Masalahnya adalah, untuk apa juga kamu harus cerita sama mereka kalau kita mau bulan madu?" Sindy meringis. “Terserah kamu saja,” katanya. “Mau ke hotel bintang lima juga tidak apa-apa, asal kamu mau pasang badan kalau orang-orang berpikir bahwa aku cuma menghabiskan uang kamu atau apa.” “Pasang nyawa juga akan aku lakukan demi kamu,” sahut Zayyan tenang. "Bicara apa sih, Mas?" "Kan betul, kamu sudah jadi tanggung jawab aku sekarang. Termasuk Sisil," tegas Zayyan. "Sebentar lagi sampai rumah, biar aku yang bilang sama Mama." Sindy
Ardi memutar bola matanya malas."Gimana mau nabung, kan sebagian besar uang aku dipegang sama Ibu." Dia mengingatkan."Masa sih? Terus yang dipegang sama Sindy apa, masa dia nggak bisa menyisihkan sedikit buat ditabung?" Ratna masih saja menyangkal."Sindy saja selalu bilang kalau uangnya kurang, kan dia memang dapatnya sisa gaji karena Ibu yang pertama kali ambil gajiku.""Oh, ya wajar kan? Keluarga kamu yang utama, istri sudah seharusnya menerima berapa pun yang dikasih suaminya."Ardi hanya bertopang dagu, selalu itu-itu saja yang Ratna tekankan kepadanya sejak awal meniti rumah tangga dengan Sindy. Dan polosnya, prinsip itu dia telan mentah-mentah tanpa disaring terlebih dahulu.Tidak heran jika rumah tangga Ardi jauh dari kata harmonis.**“Akhir pekan ini kamu mau kita bulan madu ke vila puncak atau pantai?” tanya Zayyan ketika mobil yang dikemudikannya mulai melaju dengan kecepatan sedang. Mereka dalam perjalanan pulang dari restoran menuju rumah usai jam kerja berakhir.“K
"kamu masih menyimpan foto ini, itu artinya kenangan itu sangat penting buat kamu kan?" Tanya Sindy lagi."Memang penting, tadi kan sudah aku jelaskan sama kamu."Sindy menarik napas, tentu saja itu bukan jawaban yang dia harapkan. Tadinya dia pikir Zayyan akan minta maaf dan berjanji untuk membuang benda masa lalu itu sesegera mungkin, tapi ternyata tidak demikian."Ada lagi yang mau kamu tanyakan?" cetus Zayyan ketika melihat Sindy hanya terdiam bisu."Tidak ada ...""Ngambek?""Tidaklah, buat apa ngambek. Kamu mandi saja, ini bajunya." Sindy buru-buru mengulurkan satu setel baju ke tangan Zayyan.Selama Zayyan mandi, sindy lebih memilih untuk berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Dia punya firasat jika suaminya masih terikat kuat dengan foto yang ditemukannya itu, terus apa gunanya mereka menikah jika masih kepikiran dengan masa lalu?Tujuan sindy menikah adalah untuk bisa memulai segalanya dari awal, dan foto itu merupakan bukti jika Zayyan memiliki prinsip yang berseberan
Zayyan hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah adik kembarnya. Mereka meneruskan obrolan, hingga keduanya memutuskan untuk pergi dari restoran Zayyan karena ingin kembali ke rumah.Mita ternyata masih berada di resto bersama teman-temannya dan ketika si kembar muncul, tatapan matanya tidak bergeser satu senti pun dari mereka berdua.Saat itu Mita terlalu bingung untuk menjatuhkan pilihannya kepada siapa. Dua-duanya punya kharisma dan wajah yang begitu mirip.Andai di negara ini poliandri dilegalkan, pikir Mita mulai ngelantur. "Mit, kamu nggak apa-apa?" tanya salah satu teman ketika melihat kebisuan Mita. "Kesambet mungkin dia ...""Ngaco! Siang-siang begini mana ada kesambet.""Setan mana ada pilih-pilih waktu, sih?"Mita tidak menghiraukan ucapan teman-temannya, dia justru fokus kepada dua laki-laki muda itu sampai mereka masuk mobil dan melaju pergi."Aku jadi bingung pilih mana," ucap Mita saat tiba di rumah, dia menjatuhkan diri di tempat dan berbaring telungkup. "Kakak Bos