“Baik, Mas!” Mau tak mau, Sindy mengangguk.“Aku lanjut kerja lagi, ya? Pokoknya kamu harus jelaskan seluruhnya ke Pak Zayyan tanpa ada yang perlu ditutup-tutupi.”“Iya, Nes ...”Dengan jantung berdegup kencang, Sindy melangkahkan kakinya yang seberat batu ke ruangan Zayyan.“Permisi, Pak ...” sapa Sindy ragu-ragu, matanya memindai sekelilingnya dengan wajah waspada.“Masuklah, siapa yang kamu cari?”Sindy menelan ludah ketika Zayyan melontarkan pertanyaan itu.“Tidak, Pak ...” Zayyan lantas mengisyaratkan kepada Sindy untuk duduk di depan mejanya.“Sebelumnya ... saya mau minta maaf tentang kejadian tadi ...”“Jadi betul kalau mereka adalah keluarga kamu?” tanya Zayyan tanpa basa-basi.“Mereka keluarga suami saya, Pak. Bukan saya tidak mau tanggung jawab, tapi saya merasa bahwa tidak seharusnya saya bertanggung jawab terhadap perbuatan yang tidak saya lakukan. Jadi dengan ini saya berlepas tangan dari urusan mereka, silakan jika Bapak ingin melaporkan mereka ke polisi sek
“Sabar, mungkin Mas Ardi terbawa emosi. Kita sebagai istri hendaknya jangan melawan kalau suami lagi bicara.” “Masalahnya dia fitnah saya, Bu.” Sindy membela diri. “Saya tidak mungkin minta maaf atas kesalahan yang tidak saya perbuat ...” “Mbak Sindy yang sabar, ya?” Sindy mengangguk dan sekalian berpamitan karena siapa tahu dirinya tidak akan pernah kembali ke lingkungan ini lagi. Sambil terus menggenggam erat tangan Sisil, Sindy melangkah menyusuri jalan setapak menuju jalan utama, bahkan hingga detik ini pun Ardi sama sekali tidak memiliki niat baik untuk menghalangi kepergiannya. Bekas gambar tangan Ardi di pipinya akan terus Sindy ingat sepanjang hidup .... “Kita nunggu siapa, Bu?” tanya Sisil menyadarkan lamunan Sindy. “Ibu pesan taksi dulu ya, biar nggak capek kita.” Sisil menganggukkan kepalanya. Saat sedang membuka aplikasi yang ada di ponsel, sebuah mobil putih bersih menepi di dekatnya. Tidak berapa lama kemudian kaca mobil itu terbuka dan memperli
Apa yang diharapkan Ardi nyatanya tidak terjadi, Sindy sudah satu minggu pulang ke rumah orang tuanya dan sampai detik ini belum kembali. Hal itu membuat Ardi harap-harap cemas. Makan tidak selera, kerja apalagi. Rasanya sudah sangat malas mau melakukan apa pun. “Sudah semingguan ini, Sindy sama Sisil belum balik-balik juga, Bu ...” keluh Ardi sambil memijat-mijat pelipisnya. “Masih betah mungkin, Di.” “Minimal telepon kek, kirim pesan kek, eh ini nggak ada sama sekali ...” “Kamu sudah coba telepon?” “Belum sih, harusnya dia duluan kan yang sadar diri terus hubungi aku?” Ratna mengangguk. “Betul juga.” “Kalau Sindy nggak pulang-pulang gimana, Bu?” tanya Ardi lagi. “Masa sih dia nggak pulang? Pasti pulang lah, Di.” Namun, Ardi mulai krisis kepercayaan terhadap ibunya. Apalagi jika dia teringat tamparan yang justru dia hadiahkan kepada Sindy sebelum menyuruhnya pulang ke rumah orang tua. Apa istrinya akan tetap pulang semudah itu? “Galau amat sih, Kak?” tanya Mita
Nesi yang ada di meja kasir sempat mendengar keributan itu, tapi dia pura-pura tidak tahu dan justru menyembunyikan diri karena malas bertemu Ardi.“Nongol juga dia, lambat tapi.” Nesi bergumam sambil menghitung pendapatan hari itu.“Mas, maaf—Mbak Sindy lagi repot di dapur.” Meta memberi tahu dengan sopan.“Suruh keluar sebentar masa nggak bisa? Bilang saja kalau suaminya nyariin!”“Nggak bisa, Mas. Mbak Sindy sedang buat pesanan orang, nanti bos bisa marah kalau diganggu ...”“Saya cuma mau ketemu, bukan mau ganggu!” Ardi berkeras.“Iya, tapi mohon maaf sekali ini masih jam kerja.” Meta menangkup dua tangannya di depan dada sebagai isyarat permohonan maaf.“Kalau begitu mana bos kalian? Saya mau ketemu, sekaligus mau minta izin.”“Waduh!” Meta langsung gelagapan. “Maaf, Mas. Bos kami tidak sembarangan bisa ditemui, apalagi Mas bukan siapa-siapa ... Eh, anu ...”“Bicara apa kamu, nggak sopan! Panggil Sindy, cepat!“Nggak bisa, Mas. Lagian tadi Mbak Sindy bilang suruh telepo
“Mendidik nggak harus dengan menampar kan, Mas? Lagian kamu cuma tahunya membela nama baik ibu dan adik-adik kamu, sedangkan di satu sisi kamu nggak mikir kalau mereka justru mempermalukan aku di tempat kerja.” Sindy mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.“Ya karena aku adalah anak laki-laki di keluarga, mereka mengandalkan aku.” Ardi membela diri. “Seharusnya kamu ngerti, Sin.”“Cukup Mas, kita memang sudah berbeda prinsip dan pandangan. Jadi lebih kita berpisah saja ...”“Kamu jangan egois, pikirkan juga perasaan Sisil kalau kita pisah!” “Memangnya selama ini kamu memikirkan Sisil? Nggak, kan?” Sindy menatap Ardi lurus-lurus. “Saat senang saja, kamu mana ingat sama dia. Bagimu kebahagiaan orang tua dan adik-adik kamu adalah yang utama.”“Wajar, karena mereka yang dukung aku sejak sebelum bertemu kamu.”“Oh, ya sudah. Kamu fokus sama keluarga besarmu saja, biar aku fokus sama masa depanku dan Sisil.” Sindy berbalik dan bersiap masuk ke resto Zayyan, tapi Ardi segera meraih tangann
“Aku yakin kalau kamu Cuma sedang terbawa emosi, makanya nggak bisa berpikir jernih.” Ardi melanjutkan. “Kamu pulang dulu ke rumah, besok kita jemput Sisil sama-sama.”“Kamu tuh nyadar nggak sih kalau kamu habis melakukan kekerasan fisik sama aku?” tukas Sindy. “Pernah nggak kamu kepikiran sedikit saja buat minta maaf?”Ardi menarik napas, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa letih seakan menghadapi istri yang hanya bisa menuntut tanpa solusi.“Sin, kalau setiap suami yang berusaha mendidik istrinya harus minta maaf, buat apa perempuan itu dinikahi?”Sindy tidak menjawab.“Kita pulang, yuk?”“Aku mau pulang ke rumah orang tuaku, Mas. Bukankah kamu sudah terang-terangan ngusir aku?”“Jangan fitnah, aku nggak pernah usir kamu ...”“Kamu suruh aku pulang ke rumah orang tua aku, itu sama saja artinya dengan kamu ngusir aku.” Sindy menjelaskan. “Bahkan kalau kamu mengucapkannya dengan niat cerai, bisa diartikan sudah jatuh talak buat aku.”“Jangan mengada-ada, Sin! Aku bahkan nggak
Ardi hanya bisa meneguk saliva dengan kasar, pupus sudah harapannya untuk bisa sarapan gratis bersama Sindy. “Tega banget kamu, Sin. Aku cuma dikasih teh hangat saja ...” Ardi menggerutu sepanjang jalan pulang menuju rumah. “Itu juga perasaan aku saat kamu lebih mementingkan keluarga kamu sendiri, Mas.” Sindy menanggapi dengan santai. “Lagian kamu nggak kasih aku nafkah juga kan, jadi apa yang mau kamu harapkan dari aku?” Ardi mengembuskan napas keras, rasanya tidak punya tenaga lagi untuk banyak protes. “Apa pun yang bikin kamu bahagia, asalkan kita jangan cerai ya?” Sindy tidak menjawab pertanyaan Ardi, keputusannya untuk berpisah semakin kuat setelah telinganya mendengar sendiri percakapan antara Ardi dan Ratna. Kalau dipikir-pikir, tidak ada lagi yang perlu dipertahankan dari pernikahan mereka. Termasuk Sisil, putri mereka yang hampir tidak pernah memiliki kedekatan emosional dengan ayahnya sendiri. “Sin?” “Apa sih, Mas?” Sindy risi sekali ketika Ardi meraih tangann
Sindy terperanjat ketika Ardi mencelanya dengan teramat jelas. “Memangnya kenapa kalau aku jadi babu orang?” sahut Sindy sembari memendam rasa sakit hati yang teramat dalam. “Yang penting halal, daripada aku jadi istri kamu tapi nggak dinafkahi dengan layak?” “Sindy!” “Kenapa, tersinggung? Aku cuma membalikkan kata-kata kamu saja, tapi lihat? Kamu sudah sebegini marahnya,” tukas Sindy tenang. Tidak berapa lama menunggu, ojek pesanannya datang dan Sindy tidak ingin membuang waktu lagi. Dia segera naik dan meninggalkan Ardi yang sibuk mengumpat seorang diri. Namun, ternyata sudah ada Zayyan yang mengurungkan niatnya pulang dan berdiri di balik tembok karena mendengar pertengkaran mereka. “Kenapa kok wajahmu begitu, Di?” tanya Ratna yang bertandang ke rumah Ardi karena dilanda penasaran. “Sindy mana, nggak mau pulang dia?” Ardi menggeleng. “Nggak mau, Bu. Dia kekeh mau tetap cerai, mungkin karena merasa sudah bisa cari duit sendiri.” “Benar-benar ... terbukti kan omongan i
"Saya ikut Anda saja, Pak. Kalau memang mau diteruskan ke pihak berwajib, saya akan berusaha keras untuk mencari bukti-bukti lainnya agar kalau dia mengelak, kita bisa langsung tutup celah itu." "Lakukan, bergerak lah dalam diam. Untuk sementara aku juga akan bersikap sudah melupakan kecelakaan itu, ada untungnya juga pihak berwajib bertele-tele dalam mengusutnya." Boby tiba-tiba menjentikkan jarinya. "Kalau saya berpikiran begini, Pak. Siapa tahu dia tidak bergerak sendirian, tapi ada orang dalam yang membuatnya aman-aman saja sampai detik ini?" Zayyan terdiam mendengar penuturan Boby. "Aku rasa kamu ada benarnya juga, dia bahkan masih berani menampakkan batang hidungnya seolah tidak terjadi apa-apa ..." "Wah, hebat sekali dia!" "Hebat atau memang tidak ada otak, di antara dua kemungkinan itu." Boby mengangguk karena sependapat, lalu meraih cangkir kopinya. "Saran saya, Anda tetap harus berhati-hati. Dia sudah terbukti nekat, takutnya dia akan mengulanginya lagi karena yang
Pasti karena sudah punya pacar, jadi cuma ada kamu sama si dia. Yang lainnya numpang lewat saja."Tanpa sadar Sindy malah melamun, mengingat kembali hal-hal apa saja yang membuatnya tidak terlalu terkenang dengan masa putih abu-abu.Sadar dengan perubahan ekspresi di wajah istrinya, Zayyan meletakkan foto itu di atas meja dan mendatanginya."Kok jadi sedih begitu?"Sindy terperanjat, lalu menggeleng perlahan."Cuma lagi mengingat-ingat sesuatu ...""Ada yang kamu ingat tentang aku?" tanya Zayyan dengan mata berbinar."Tidak ada," sahut Sindy sambil nyengir minta maaf. "Masa-masa SMA itu benar-benar menguras tenaga dan pikiran, jadi aku tidak terlalu ingat siapa saja teman aku."Zayyan menatap Sindy, seolah tidak percaya dengan kata-katanya.Namun, sebelum dia sempat berkomentar, tiba-tiba ponsel yang tergeletak di atas meja samping tempat tidur berdering nyaring."Halo?" "Pak, saya sudah mulai dapatkan titik terang mengenai kecelakaan mobil yang Anda alami!" Sahut boby dengan nada be
"Betul, Kak. Uangnya buat masa depan sendiri saja," imbuh Mita supaya Ardi tak lagi ragu. "Sini uang yang jatah aku, mau aku pakai buat perawatan ...""Kamu kerja dong, Mit! Kayak Sani kek, biarpun seringnya rebahan, tapi dia sambil jualan online. Jadi dia nggak melulu mengharapkan uang dari aku," ujar Ardi.Nasehatnya sebagai kakak sebetulnya baik, hanya saja baik Ratna ataupun Mita tidak sebaik itu mampu menerima."Kamu apaan sih, Kak? Biasanya juga ngasih aku tanpa syarat, kenapa ini tiba-tiba nyuruh aku kerja?" sewot Mita dengan bibir maju."Iya nih, Di. Mita ini kan anak anak perempuan pertama, jadi dia duluan yang akan dipinang jodohnya. Lebih baik dia fokus merawat diri biar calon suaminya nanti nggak kecewa," imbuh Ratna membela."Ya iya deh, aku doakan semoga kamu dapat jodoh sultan yang cuma peduli sama kecantikan semata." Ardi mencibir. Padahal di matanya, istri itu setidaknya harus pandai merawat diri, membersihkan rumah, memasak, mengurus anak, dan mencari uang tambahan.
Mita mengangguk-angguk mengerti dengan ucapan kakaknya itu."Kalau begitu bagi duit dong, Kak!""Buat apa lagi sih?""Aku kan harus sering-sering ke restoran buat mantau!"Ardi garuk-garuk rambutnya yang tidak gatal."Nanti dulu lah, sibuk ini ...""Jangan pelit-pelit begitu, Kak.""Diam dulu, Mit!" Kali ini Ratna yang menegur. "Itu kakakmu lagi fokus hitung gajinya, jangan dulu kamu ganggu.""Kayak biasa ini buat ibu, Sani sama Mita ..." Ardi yang sudah membagi-bagi uang itu menjadi tiga kelompok menyerahkannya kepada Ratna. "Sisanya aku yang pegang buat kebutuhan pribadi."Ratna manggut-manggut dan meraih uang bagiannya dan juga Sani. Dalam hati dia berpikir jika nantinya harus berbagi lagi dengan istri baru Ardi, itupun kalau anak lelakinya ingin kembali meniti rumah tangga dengan orang baru."Kamu nggak usah buru-buru nikah deh, Di.""Lho, memangnya kenapa, Bu? Masa iya aku jadi duda selamanya sementara Sindy sudah menikah lagi?"Mita ikut memandang ibunya dengan kening berkerut.
Ekor apa dulu, Ma?" Zayyan yang menyahut."Ekor ikan, tentu saja calon bayi lah!""Doakan saja menantu Mama ini bersedia tanpa kebanyakan alasan buat bikin ...""Aku tidak banyak alasan, tapi memang ada alasan logis." Sindy membantah dengan segera."Ya itu kan tetap saja namanya alasan, Sin."Keke geleng-geleng kepala menyaksikan perdebatan anak dan menantunya."Terserah kalian berdua prosesnya mau gimana, pokoknya mama terima beres saja." Dia menengahi.Saat hari keberangkatan, Keke melepas kepergian Zayyan dan istrinya di pagi buta."Nanti mama bilang Sisil kalau kalian ada urusan, sana berangkat.""Terima kasih ya Ma, sudah mau jaga Sisil ..." "Sama-sama, ada om kembarnya juga, sudah sana."Sindy tersenyum saat Keke mendorongnya masuk mobil. Perjalanan menuju lokasi berlangsung mulus karena hari masih pagi, sehingga belum banyak kendaraan yang beradu di jalanan.Zayyan ternyata sudah menyewa penginapan khusus untuknya dan Sindy dalam rangka suasana pengantin baru.Di sana, mereka
Zayyan menarik napas panjang, kedua matanya tetap fokus memperhatikan arah jalan yang ada di depannya. "Pokoknya kita jadi pergi bulan madu, mumpung ada waktu." "Tidak enak sama pegawai kamu, Mas." "Ya ampun, apa hubungannya sama pegawai aku coba?" "Takutnya ... nanti ada yang berpikiran kalau aku nikah sama kamu karena kamu pengusaha kaya ..." "Amin!" sambar Zayyan. "Insha Allah aku akan tetap rendah hati meskipun aku sudah kaya tujuh turunan. Masalahnya adalah, untuk apa juga kamu harus cerita sama mereka kalau kita mau bulan madu?" Sindy meringis. “Terserah kamu saja,” katanya. “Mau ke hotel bintang lima juga tidak apa-apa, asal kamu mau pasang badan kalau orang-orang berpikir bahwa aku cuma menghabiskan uang kamu atau apa.” “Pasang nyawa juga akan aku lakukan demi kamu,” sahut Zayyan tenang. "Bicara apa sih, Mas?" "Kan betul, kamu sudah jadi tanggung jawab aku sekarang. Termasuk Sisil," tegas Zayyan. "Sebentar lagi sampai rumah, biar aku yang bilang sama Mama." Sindy
Ardi memutar bola matanya malas."Gimana mau nabung, kan sebagian besar uang aku dipegang sama Ibu." Dia mengingatkan."Masa sih? Terus yang dipegang sama Sindy apa, masa dia nggak bisa menyisihkan sedikit buat ditabung?" Ratna masih saja menyangkal."Sindy saja selalu bilang kalau uangnya kurang, kan dia memang dapatnya sisa gaji karena Ibu yang pertama kali ambil gajiku.""Oh, ya wajar kan? Keluarga kamu yang utama, istri sudah seharusnya menerima berapa pun yang dikasih suaminya."Ardi hanya bertopang dagu, selalu itu-itu saja yang Ratna tekankan kepadanya sejak awal meniti rumah tangga dengan Sindy. Dan polosnya, prinsip itu dia telan mentah-mentah tanpa disaring terlebih dahulu.Tidak heran jika rumah tangga Ardi jauh dari kata harmonis.**“Akhir pekan ini kamu mau kita bulan madu ke vila puncak atau pantai?” tanya Zayyan ketika mobil yang dikemudikannya mulai melaju dengan kecepatan sedang. Mereka dalam perjalanan pulang dari restoran menuju rumah usai jam kerja berakhir.“K
"kamu masih menyimpan foto ini, itu artinya kenangan itu sangat penting buat kamu kan?" Tanya Sindy lagi."Memang penting, tadi kan sudah aku jelaskan sama kamu."Sindy menarik napas, tentu saja itu bukan jawaban yang dia harapkan. Tadinya dia pikir Zayyan akan minta maaf dan berjanji untuk membuang benda masa lalu itu sesegera mungkin, tapi ternyata tidak demikian."Ada lagi yang mau kamu tanyakan?" cetus Zayyan ketika melihat Sindy hanya terdiam bisu."Tidak ada ...""Ngambek?""Tidaklah, buat apa ngambek. Kamu mandi saja, ini bajunya." Sindy buru-buru mengulurkan satu setel baju ke tangan Zayyan.Selama Zayyan mandi, sindy lebih memilih untuk berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Dia punya firasat jika suaminya masih terikat kuat dengan foto yang ditemukannya itu, terus apa gunanya mereka menikah jika masih kepikiran dengan masa lalu?Tujuan sindy menikah adalah untuk bisa memulai segalanya dari awal, dan foto itu merupakan bukti jika Zayyan memiliki prinsip yang berseberan
Zayyan hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah adik kembarnya. Mereka meneruskan obrolan, hingga keduanya memutuskan untuk pergi dari restoran Zayyan karena ingin kembali ke rumah.Mita ternyata masih berada di resto bersama teman-temannya dan ketika si kembar muncul, tatapan matanya tidak bergeser satu senti pun dari mereka berdua.Saat itu Mita terlalu bingung untuk menjatuhkan pilihannya kepada siapa. Dua-duanya punya kharisma dan wajah yang begitu mirip.Andai di negara ini poliandri dilegalkan, pikir Mita mulai ngelantur. "Mit, kamu nggak apa-apa?" tanya salah satu teman ketika melihat kebisuan Mita. "Kesambet mungkin dia ...""Ngaco! Siang-siang begini mana ada kesambet.""Setan mana ada pilih-pilih waktu, sih?"Mita tidak menghiraukan ucapan teman-temannya, dia justru fokus kepada dua laki-laki muda itu sampai mereka masuk mobil dan melaju pergi."Aku jadi bingung pilih mana," ucap Mita saat tiba di rumah, dia menjatuhkan diri di tempat dan berbaring telungkup. "Kakak Bos