“Sabar, mungkin Mas Ardi terbawa emosi. Kita sebagai istri hendaknya jangan melawan kalau suami lagi bicara.” “Masalahnya dia fitnah saya, Bu.” Sindy membela diri. “Saya tidak mungkin minta maaf atas kesalahan yang tidak saya perbuat ...” “Mbak Sindy yang sabar, ya?” Sindy mengangguk dan sekalian berpamitan karena siapa tahu dirinya tidak akan pernah kembali ke lingkungan ini lagi. Sambil terus menggenggam erat tangan Sisil, Sindy melangkah menyusuri jalan setapak menuju jalan utama, bahkan hingga detik ini pun Ardi sama sekali tidak memiliki niat baik untuk menghalangi kepergiannya. Bekas gambar tangan Ardi di pipinya akan terus Sindy ingat sepanjang hidup .... “Kita nunggu siapa, Bu?” tanya Sisil menyadarkan lamunan Sindy. “Ibu pesan taksi dulu ya, biar nggak capek kita.” Sisil menganggukkan kepalanya. Saat sedang membuka aplikasi yang ada di ponsel, sebuah mobil putih bersih menepi di dekatnya. Tidak berapa lama kemudian kaca mobil itu terbuka dan memperli
Apa yang diharapkan Ardi nyatanya tidak terjadi, Sindy sudah satu minggu pulang ke rumah orang tuanya dan sampai detik ini belum kembali. Hal itu membuat Ardi harap-harap cemas. Makan tidak selera, kerja apalagi. Rasanya sudah sangat malas mau melakukan apa pun. “Sudah semingguan ini, Sindy sama Sisil belum balik-balik juga, Bu ...” keluh Ardi sambil memijat-mijat pelipisnya. “Masih betah mungkin, Di.” “Minimal telepon kek, kirim pesan kek, eh ini nggak ada sama sekali ...” “Kamu sudah coba telepon?” “Belum sih, harusnya dia duluan kan yang sadar diri terus hubungi aku?” Ratna mengangguk. “Betul juga.” “Kalau Sindy nggak pulang-pulang gimana, Bu?” tanya Ardi lagi. “Masa sih dia nggak pulang? Pasti pulang lah, Di.” Namun, Ardi mulai krisis kepercayaan terhadap ibunya. Apalagi jika dia teringat tamparan yang justru dia hadiahkan kepada Sindy sebelum menyuruhnya pulang ke rumah orang tua. Apa istrinya akan tetap pulang semudah itu? “Galau amat sih, Kak?” tanya Mita
Nesi yang ada di meja kasir sempat mendengar keributan itu, tapi dia pura-pura tidak tahu dan justru menyembunyikan diri karena malas bertemu Ardi.“Nongol juga dia, lambat tapi.” Nesi bergumam sambil menghitung pendapatan hari itu.“Mas, maaf—Mbak Sindy lagi repot di dapur.” Meta memberi tahu dengan sopan.“Suruh keluar sebentar masa nggak bisa? Bilang saja kalau suaminya nyariin!”“Nggak bisa, Mas. Mbak Sindy sedang buat pesanan orang, nanti bos bisa marah kalau diganggu ...”“Saya cuma mau ketemu, bukan mau ganggu!” Ardi berkeras.“Iya, tapi mohon maaf sekali ini masih jam kerja.” Meta menangkup dua tangannya di depan dada sebagai isyarat permohonan maaf.“Kalau begitu mana bos kalian? Saya mau ketemu, sekaligus mau minta izin.”“Waduh!” Meta langsung gelagapan. “Maaf, Mas. Bos kami tidak sembarangan bisa ditemui, apalagi Mas bukan siapa-siapa ... Eh, anu ...”“Bicara apa kamu, nggak sopan! Panggil Sindy, cepat!“Nggak bisa, Mas. Lagian tadi Mbak Sindy bilang suruh telepo
“Mendidik nggak harus dengan menampar kan, Mas? Lagian kamu cuma tahunya membela nama baik ibu dan adik-adik kamu, sedangkan di satu sisi kamu nggak mikir kalau mereka justru mempermalukan aku di tempat kerja.” Sindy mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.“Ya karena aku adalah anak laki-laki di keluarga, mereka mengandalkan aku.” Ardi membela diri. “Seharusnya kamu ngerti, Sin.”“Cukup Mas, kita memang sudah berbeda prinsip dan pandangan. Jadi lebih kita berpisah saja ...”“Kamu jangan egois, pikirkan juga perasaan Sisil kalau kita pisah!” “Memangnya selama ini kamu memikirkan Sisil? Nggak, kan?” Sindy menatap Ardi lurus-lurus. “Saat senang saja, kamu mana ingat sama dia. Bagimu kebahagiaan orang tua dan adik-adik kamu adalah yang utama.”“Wajar, karena mereka yang dukung aku sejak sebelum bertemu kamu.”“Oh, ya sudah. Kamu fokus sama keluarga besarmu saja, biar aku fokus sama masa depanku dan Sisil.” Sindy berbalik dan bersiap masuk ke resto Zayyan, tapi Ardi segera meraih tangann
“Aku yakin kalau kamu Cuma sedang terbawa emosi, makanya nggak bisa berpikir jernih.” Ardi melanjutkan. “Kamu pulang dulu ke rumah, besok kita jemput Sisil sama-sama.”“Kamu tuh nyadar nggak sih kalau kamu habis melakukan kekerasan fisik sama aku?” tukas Sindy. “Pernah nggak kamu kepikiran sedikit saja buat minta maaf?”Ardi menarik napas, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa letih seakan menghadapi istri yang hanya bisa menuntut tanpa solusi.“Sin, kalau setiap suami yang berusaha mendidik istrinya harus minta maaf, buat apa perempuan itu dinikahi?”Sindy tidak menjawab.“Kita pulang, yuk?”“Aku mau pulang ke rumah orang tuaku, Mas. Bukankah kamu sudah terang-terangan ngusir aku?”“Jangan fitnah, aku nggak pernah usir kamu ...”“Kamu suruh aku pulang ke rumah orang tua aku, itu sama saja artinya dengan kamu ngusir aku.” Sindy menjelaskan. “Bahkan kalau kamu mengucapkannya dengan niat cerai, bisa diartikan sudah jatuh talak buat aku.”“Jangan mengada-ada, Sin! Aku bahkan nggak
Ardi hanya bisa meneguk saliva dengan kasar, pupus sudah harapannya untuk bisa sarapan gratis bersama Sindy. “Tega banget kamu, Sin. Aku cuma dikasih teh hangat saja ...” Ardi menggerutu sepanjang jalan pulang menuju rumah. “Itu juga perasaan aku saat kamu lebih mementingkan keluarga kamu sendiri, Mas.” Sindy menanggapi dengan santai. “Lagian kamu nggak kasih aku nafkah juga kan, jadi apa yang mau kamu harapkan dari aku?” Ardi mengembuskan napas keras, rasanya tidak punya tenaga lagi untuk banyak protes. “Apa pun yang bikin kamu bahagia, asalkan kita jangan cerai ya?” Sindy tidak menjawab pertanyaan Ardi, keputusannya untuk berpisah semakin kuat setelah telinganya mendengar sendiri percakapan antara Ardi dan Ratna. Kalau dipikir-pikir, tidak ada lagi yang perlu dipertahankan dari pernikahan mereka. Termasuk Sisil, putri mereka yang hampir tidak pernah memiliki kedekatan emosional dengan ayahnya sendiri. “Sin?” “Apa sih, Mas?” Sindy risi sekali ketika Ardi meraih tangann
Sindy terperanjat ketika Ardi mencelanya dengan teramat jelas. “Memangnya kenapa kalau aku jadi babu orang?” sahut Sindy sembari memendam rasa sakit hati yang teramat dalam. “Yang penting halal, daripada aku jadi istri kamu tapi nggak dinafkahi dengan layak?” “Sindy!” “Kenapa, tersinggung? Aku cuma membalikkan kata-kata kamu saja, tapi lihat? Kamu sudah sebegini marahnya,” tukas Sindy tenang. Tidak berapa lama menunggu, ojek pesanannya datang dan Sindy tidak ingin membuang waktu lagi. Dia segera naik dan meninggalkan Ardi yang sibuk mengumpat seorang diri. Namun, ternyata sudah ada Zayyan yang mengurungkan niatnya pulang dan berdiri di balik tembok karena mendengar pertengkaran mereka. “Kenapa kok wajahmu begitu, Di?” tanya Ratna yang bertandang ke rumah Ardi karena dilanda penasaran. “Sindy mana, nggak mau pulang dia?” Ardi menggeleng. “Nggak mau, Bu. Dia kekeh mau tetap cerai, mungkin karena merasa sudah bisa cari duit sendiri.” “Benar-benar ... terbukti kan omongan i
Ardi mengangguk penuh percaya diri. “Apalagi statusnya kan aku ini suami kamu, jadi sudah sepantasnya kalau kamu harus mendahulukan aku daripada orang tua kamu. Intinya sih aku harus diutamakan, Sin.” Mendengar ocehan Ardi, Sinta hanya bisa mengurut dada. “Kamu kok terkesan pilih kasih ya, Mas?” “Pilih kasih gimana?” Sindy mengembuskan napas keras. “Saat kamu yang gajian saja, boro-boro aku sama Sisil yang kamu utamakan, tapi kamu malah lebih dulu menyenangkan hati orang tua dan adik-adik kamu. Sekarang saat aku gajian dan ingin membahagiakan orang tuaku sendiri, kamu malah protes?” Mulut Ardi terbuka, tapi kata-katanya seperti tertelan di tenggorokan. “Bukan begitu maksud aku, Sin ... Tapi kan memang suami harus selalu diutamakan daripada orang tua, kalau nggak salah itu kata ustad di pengajian. Jadi lain kali, seharusnya uang baju kamu diatur dulu sama aku. Kebetulan habis ini ada uang kuliah adik aku yang harus dibayar, jadi utamakan yang itu dulu.” “Kamu bilang apa,
Namun, dia tidak ingin Zayyan berpikir macam-macam tentangnya.Memang ada yang salah kalau Aftar dekat dengan Mita?“Kamu kenapa gelisah begitu?” tanya Zayyan seolah mengerti dengan gelagat istrinya. “Mungkin Aftar dan adiknya Ardi cuma teman biasa.”“Kamu yakin, Mas?”“Ya namanya juga pergaulan, kita tidak bisa ikut menyeleksi siapa-siapa saja yang berinteraksi sama adik-adikku. Kecuali terbukti ada yang membawa pengaruh buruk bagi mereka, baru di saat itulah aku akan bertindak.” Zayyan menjelaskan.“Semoga ini cuma prasangka buruk aku saja, mau gimana lagi ... Mita itu kan dulunya gencar sekali ngejar-ngejar kamu, aku curiga dia ...”Zayyan menunggu Sindy menyelesaikan ucapannya.“Takutnya Mita dekat-dekat Aftar cuma buat modus,” sambung Sindy dengan wajah muram.“Dia mau ngapain kek, yang penting aku tidak akan menanggapi. Jadi kamu tidak perlu khawatir, oke?”Sindy tidak menjawab.“Kok malah diam?”“Tidak apa-apa ...”“Jangan dipikirkan selama adiknya Ardi tidak mengus
Usai Affan pergi, Roni menoleh ke arah Sindy."Itu nggak apa-apa adiknya Pak Bos disuruh-suruh, Mbak?""Nggak apa-apa lagi, Mas. Mereka kan memang ngisi waktu libur di sini, sama Pak Bos juga digaji kok.""Wah, salut aku.""Kenapa, Mas?""Sejak muda sudah dididik cari uang, nggak semua begitu soalnya.""Iya, mungkin karena perbedaan prinsip atau latar belakang."Mereka berdua tidak lagi mengobrol, melainkan kembali fokus dengan pekerjaan masing-masing."Kak!"Sindy menoleh dan melihat salah satu si kembar muncul di dapur."Sebentar lagi matang, Fan!""Aku Aftar, Kak.""Oh, kamu ada pesanan?"Aftar menggeleng ragu. "Aku tadi pesan minum sama Mbak Nesi, tapi katanya tinggal bikin saja di dapur.""Memang iya, khusus pegawai nggak usah bayar di kasir." Sindy menjelaskan sambil menghias piring saji untuk ikan bakarnya. "Kamu bisa bikin kopi atau teh di sini, Tar."Sebelum Aftar menjawab, tiba-tiba muncul saudara kembarnya."Ngapain kamu, ada pesanan?" Tanya Affan.Sebelum Aftar menjawab, S
Sindy menatap Zayyan. "Namanya juga anak muda, Mas. Mungkin Aftar mau kumpul-kumpul selagi masih liburan di sini ...""Tapi biasanya anak itu lebih suka di rumah sama Affan, setahu aku libur mereka juga tidak terlalu lama. Ini sudah lebih dari dua mingguan kan?"Tidak berselang lama, terdengar deru suara motor yang melaju pergi meninggalkan rumah."Laki-laki mana ada yang anak rumahan, jarang." Sindy berkomentar."Mungkin, ya sudahlah. Kita lanjutkan, sampai mana tadi?""Belum sampai mana-mana ...""Kelamaan kan ini," kata Zayyan tidak sabar."Sabar ..." Sindy sedikit berdebar karena malam itu Zayyan menginginkan pengaman di antara mereka tidak perlu digunakan lagi. Ada rasa was-was jika penyatuan mereka langsung membuahkan hasil, jujur saja sindy belum merasa siap lahir batin.Keesokan harinya, dapur sudah ramai seperti biasa saat Sindy dan Zayyan turun untuk sarapan."Kemarin kamu pulang jam berapa?" Tanya Keke kepada Aftar, sementara satu tangannya terulur meraih tangan Sisil. "Cuc
"Cukup ya, aku sudah tahan-tahan sejak tadi. Tapi kamu semakin berburuk sangka sama sindy," tegas Zayyan habis sabar. Kalau bukan karena ada Sisil di dekatnya, dia pasti sudah membuat perhitungan dengan Ardi sedari tadi."Aku bicara kenyataan, sindy pasti sudah berhasil memengaruhi Sisil supaya nggak mau ikut aku menginap ...""Cukup, silakan pulang. Aku selalu rutin ajak Sisil jalan-jalan ke taman setiap sore, jadi tolong pengertiannya." Wajah Ardi semakin masam ketika Zayyan terang-terangan mengusirnya di depan Sisil dan Mita.**"Kalau Ardi tetap menggugat hak asuh Sisil melalui meja hijau bagaimana, Mas?"Sejak Zayyan memberi tahu tentang niat Ardi tentang perebutan hak asuh, hati Sindy semakin tidak tenang dari hari ke hari."Aku tidak bermaksud meremehkan ayahnya Sisil, tapi memangnya dia mampu?" "Begitulah, Mas ...""Kalau dia mampu secara keuangan, kenapa tidak memikirkan nafkah Sisil saja? Apa karena dia merasa bahwa semua kebutuhan Sisil sudah tercukupi sama kamu?" "Aku j
Sindy membelalakkan matanya mendengar permintaan Ardi.Lebih tepatnya tuntutan."Hak asuh Sisil? Beraninya kamu ...""Apa salahnya? Sisil anak kandung aku."Sindy melirik Zayyan, seolah meminta izin untuk mengamuk detik itu juga."Sebentar, ini tadi rencananya kan cuma mau bertemu Sisil. Kenapa jadi bahas masalah hak asuh anak?" Tanya Zayyan tidak senang."Sekalian saja mumpung kalian ada di sini, aku nggak mau kalau sampai Sisil melupakan aku sebagai ayah kandungnya atau lebih dekat sama orang lain yang bukan siapa-siapa."Sorot mata Ardi menyala-nyala ketika mengucapkan hal itu, seakan selama ini dia telah dipisahkan dengan sangat sadis oleh sindy."Sebaiknya kamu bawa Sisil kayak dulu," pinta Zayyan kepada Sindy."Iya, mas ...""Tunggu, mau dibawa ke mana anakku? Aku belum puas bertemu sama dia," protes Ardi keras."Kita tidak bisa membicarakan hal-hal seperti ini di depan Sisil," kata Zayyan tenang. "Jadi biarkan dia sama sindy di dalam dulu.""Tapi urusanku cuma sama sindy ...""
“Boleh minta, Nek?” Celetuk Sisil, perhatiannya terpecah saat menyaksikan Mita ngemil.“Tentu saja, Sisil ambil yang disuka.”“Terima kasih, nek.”“Sama-sama, Sayang.”Hati Ardi terasa aneh ketika melihat interaksi yang cukup akrab antara Sisil dan nenek barunya, padahal selama ini dia jarang sekali melihat Ratna bisa sedekat itu dengan sang cucu semata wayang.“Ayah, minum!” Kata Sisil ceria.“Iya, Sil ...” Meski canggung karena seolah Keke mengawasi, Ardi meneguk es sirup yang dihidangkan.Tidak berapa lama kemudian, mobil Zayyan menepi di depan halaman rumah. Begitu mesin mobil berhenti, sindy dan Zayyan langsung turun.“Itu Ibu sama papa Yayan!” Tunjuk Sisil, fokusnya kini teralihkan sepenuhnya kepada mereka berdua.Membuat Ardi kesal saja.“Jadi gimana, Sil? Mau ya ikut sama ayah menginap di rumah nenek Ratna?” Tanya Ardi tanpa bosan sementara Mita lebih memilih untuk melanjutkan ngemilnya.“Gak, Yah ...”“Kok nggak mau sih?”Kali ini Keke diam saja karena sindy dan
“aku akan telepon mama dan memintanya untuk tidak meninggalkan Sisil sendirian, kamu tenang ya?” Bujuk Zayyan, dia sangat mengerti dengan kegelisahan yang dirasakan sindy.“Cepat, Mas! Atau kamu bisa pulang duluan, aku benar-benar tidak tenang ini ...”Zayyan menyentuh lengan sindy sebagai isyarat untuk diam sejenak karena sambungan dengan Keke mulai terhubung.“Halo, Zay?”“Ma, ayah kandung Sisil mau datang ke rumah. Aku minta tolong jangan pernah tinggalkan Sisil sama dia, ini sindy sudah ketakutan setengah mati soalnya.”“Memangnya ada apa, Zay? Ayahnya Sisil Cuma datang buat bertemu, kan?”“Ceritanya panjang, ma. Pokoknya aku minta tolong jangan biarkan Sisil sendirian, tolong ya, Ma?”“Oke, kamu tenang saja. Mama akan jaga Sisil,” sahut Keke buru-buru.Usai pembicaraan dengan ibunya berakhir, Zayyan menoleh memandang Sindy.“Mama sudah aku kasih tahu soal Ardi, jadi kamu tenang saja.”Sindy hanya bisa mengangguk, meski dalam hati rasanya ingin cepat pulang ke rumah.“K
Sindy mengangguk, dia percaya jika Zayyan yang bicara.**Hari yang direncanakan tiba, Ardi harus menekan ego-nya sampai ke dasar demi bisa menemui putri semata wayangnya.Ditemani Mita, dia meluncur pergi ke restoran Zayyan sepulang kerja untuk meminta alamat rumah mereka."Resto sudah tutup belum ya jam segini, Mit?""Masih buka biasanya, kita kan cuma minta alamat rumah kakak bos. Malah lebih nyaman kalau kita bisa menemui Sisil tanpa kehadiran mereka kan, Kak?"Ardi mengangguk setuju. "Betul juga kamu, Mit.""Ayo kita berangkat sekarang, keburu pulang mereka nanti!"Ardi segera menyalakan motornya dan melaju kencang bersama menuju ke restoran Zayyan."Nes, panggil bos kamu sekarang." Ardi memerintah ketika dia tiba di resto dan langsung menemui Nesi di meja kasir."Ada urusan apa kalau boleh tahu?" Tanya Nesi formal."Ada deh, ini urusan aku sama bos kamu. Cepat panggil," perintah Ardi lagi, membuat wajah Nesi seketika masam. Meski begitu, dia langsung meraih gagang telepon dan me
Selama beberapa saat mereka berdua terdiam dan sibuk dengan isi pikiran masing-masing."Apa kita harus membutuhkan pengakuan langsung darinya kalau ingin meneruskan kasus itu?" Tanya Zayyan masih penasaran."Memang tidak harus, asalkan ada bukti yang kuat. Masalahnya adalah kita baru menyelidiki sendiri karena ternyata pihak berwajib kurang gesit dalam menangani kasus Anda, dalam kurun waktu tersebut saya yakin sudah banyak bukti yang entah tercecer, entah tersamarkan." Boby menjawab dengan raut wajah serius."Wah, wah, dia benar-benar bermain cantik dan rapi.""Lebih tepatnya karena didukung situasi juga, Pak. Anda yang saat itu kecelakaan cukup parah, kemudian lanjut terapi, sehingga Nyonya Keke hanya fokus terhadap kesembuhan Anda, dan dia datang sebagai malaikat penolong di saat yang benar-benar tepat."Zayyan mengangguk setuju. "Jadi dia memiliki alibi untuk berkelit kalau kita mendesaknya sekarang?""Saya pikir begitu, terpaksa kita harus bersabar dan tetap memantau pergerakan