Mendengar ucapan Mita, Ardi mengangguk-angguk mengerti. “Benar juga. Mau suami atau istri yang kerja, itu sudah jadi uang kita bersama!”Ratna, ibu Ardi ikut mendukung pernyataan Mita dengan menganggukkan kepalanya.“Yeeeyyy, itu artinya kita akan lebih sering senang-senang lagi!” Mita begitu riang gembira, karena sudah membayangkan jika uang yang dimiliki kakak kandungnya kini akan semakin bertambah banyak dengan gaji yang dimiliki oleh kakak ipar.“Kita bisa mulai menabung juga untuk hari tua,” imbuh Ratna. “Kamu jangan lupa bilang sama Sindy supaya nggak lupa sama kewajibannya membantu kamu, Di.”“Nanti aku akan bilang, Bu.”Ardi sudah tidak sabar menunggu Sindy pulang ke rumah, supaya mereka berdua bisa bebas bicara. Karena istrinya kini sudah memiliki penghasilan sendiri, maka Ardi berniat untuk memberikan gajinya demi kesejahteraan keluarga besarnya.Sementara gaji Sindy bisa dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka bertiga.“Capek, Sin?”Ardi memasang senyum lebar s
“Kakakku kan kerja di sini, jadi kami bebas makan apa saja!”“Tidak begitu konsepnya, Dek! Bukan masalah kakak kamu kerja di sini, tapi kamu bisa bayar tak?”“Mantu saya bisa bayar!” sahut Ratna yakin. “Tadi kakak, sekarang mantu ... Ampun, Gusti!”Sindy terbelalak sampai matanya hampir lepas ketika menyaksikan adu mulut yang terjadi antara rekan kerjanya dengan Ratna dan Mita.“Ibu kok makan di sini sih?” tanya Sindy tanpa basa-basi.“Nah, itu dia mantu saya datang!” tunjuk Ratna dengan penuh percaya diri.“Mbak Sindy, betul mereka keluarga kamu?” tanya rekan yang tadi berdebat.“Keluarga suami sih ...”“Ini tagihan yang harus dibayarkan, Mbak.”Sindy terkaget-kaget. “Kok aku?”“Mereka bilang kalau kamu yang akan bayar semua makanan mereka, Mbak!”Sindy langsung menoleh cepat ke arah keluarga Ardi.“Bu, ini gimana urusannya?”“Tinggal bayar saja kan beres, Sin. Tadi ibu pesan satu porsi nasi goreng, udang goreng tepung, nasi dua piring, capcay kuah, sama cumi asam mani
“Baik, Mas!” Mau tak mau, Sindy mengangguk.“Aku lanjut kerja lagi, ya? Pokoknya kamu harus jelaskan seluruhnya ke Pak Zayyan tanpa ada yang perlu ditutup-tutupi.”“Iya, Nes ...”Dengan jantung berdegup kencang, Sindy melangkahkan kakinya yang seberat batu ke ruangan Zayyan.“Permisi, Pak ...” sapa Sindy ragu-ragu, matanya memindai sekelilingnya dengan wajah waspada.“Masuklah, siapa yang kamu cari?”Sindy menelan ludah ketika Zayyan melontarkan pertanyaan itu.“Tidak, Pak ...” Zayyan lantas mengisyaratkan kepada Sindy untuk duduk di depan mejanya.“Sebelumnya ... saya mau minta maaf tentang kejadian tadi ...”“Jadi betul kalau mereka adalah keluarga kamu?” tanya Zayyan tanpa basa-basi.“Mereka keluarga suami saya, Pak. Bukan saya tidak mau tanggung jawab, tapi saya merasa bahwa tidak seharusnya saya bertanggung jawab terhadap perbuatan yang tidak saya lakukan. Jadi dengan ini saya berlepas tangan dari urusan mereka, silakan jika Bapak ingin melaporkan mereka ke polisi sek
“Sabar, mungkin Mas Ardi terbawa emosi. Kita sebagai istri hendaknya jangan melawan kalau suami lagi bicara.” “Masalahnya dia fitnah saya, Bu.” Sindy membela diri. “Saya tidak mungkin minta maaf atas kesalahan yang tidak saya perbuat ...” “Mbak Sindy yang sabar, ya?” Sindy mengangguk dan sekalian berpamitan karena siapa tahu dirinya tidak akan pernah kembali ke lingkungan ini lagi. Sambil terus menggenggam erat tangan Sisil, Sindy melangkah menyusuri jalan setapak menuju jalan utama, bahkan hingga detik ini pun Ardi sama sekali tidak memiliki niat baik untuk menghalangi kepergiannya. Bekas gambar tangan Ardi di pipinya akan terus Sindy ingat sepanjang hidup .... “Kita nunggu siapa, Bu?” tanya Sisil menyadarkan lamunan Sindy. “Ibu pesan taksi dulu ya, biar nggak capek kita.” Sisil menganggukkan kepalanya. Saat sedang membuka aplikasi yang ada di ponsel, sebuah mobil putih bersih menepi di dekatnya. Tidak berapa lama kemudian kaca mobil itu terbuka dan memperli
Apa yang diharapkan Ardi nyatanya tidak terjadi, Sindy sudah satu minggu pulang ke rumah orang tuanya dan sampai detik ini belum kembali. Hal itu membuat Ardi harap-harap cemas. Makan tidak selera, kerja apalagi. Rasanya sudah sangat malas mau melakukan apa pun. “Sudah semingguan ini, Sindy sama Sisil belum balik-balik juga, Bu ...” keluh Ardi sambil memijat-mijat pelipisnya. “Masih betah mungkin, Di.” “Minimal telepon kek, kirim pesan kek, eh ini nggak ada sama sekali ...” “Kamu sudah coba telepon?” “Belum sih, harusnya dia duluan kan yang sadar diri terus hubungi aku?” Ratna mengangguk. “Betul juga.” “Kalau Sindy nggak pulang-pulang gimana, Bu?” tanya Ardi lagi. “Masa sih dia nggak pulang? Pasti pulang lah, Di.” Namun, Ardi mulai krisis kepercayaan terhadap ibunya. Apalagi jika dia teringat tamparan yang justru dia hadiahkan kepada Sindy sebelum menyuruhnya pulang ke rumah orang tua. Apa istrinya akan tetap pulang semudah itu? “Galau amat sih, Kak?” tanya Mita
Nesi yang ada di meja kasir sempat mendengar keributan itu, tapi dia pura-pura tidak tahu dan justru menyembunyikan diri karena malas bertemu Ardi.“Nongol juga dia, lambat tapi.” Nesi bergumam sambil menghitung pendapatan hari itu.“Mas, maaf—Mbak Sindy lagi repot di dapur.” Meta memberi tahu dengan sopan.“Suruh keluar sebentar masa nggak bisa? Bilang saja kalau suaminya nyariin!”“Nggak bisa, Mas. Mbak Sindy sedang buat pesanan orang, nanti bos bisa marah kalau diganggu ...”“Saya cuma mau ketemu, bukan mau ganggu!” Ardi berkeras.“Iya, tapi mohon maaf sekali ini masih jam kerja.” Meta menangkup dua tangannya di depan dada sebagai isyarat permohonan maaf.“Kalau begitu mana bos kalian? Saya mau ketemu, sekaligus mau minta izin.”“Waduh!” Meta langsung gelagapan. “Maaf, Mas. Bos kami tidak sembarangan bisa ditemui, apalagi Mas bukan siapa-siapa ... Eh, anu ...”“Bicara apa kamu, nggak sopan! Panggil Sindy, cepat!“Nggak bisa, Mas. Lagian tadi Mbak Sindy bilang suruh telepo
“Mendidik nggak harus dengan menampar kan, Mas? Lagian kamu cuma tahunya membela nama baik ibu dan adik-adik kamu, sedangkan di satu sisi kamu nggak mikir kalau mereka justru mempermalukan aku di tempat kerja.” Sindy mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.“Ya karena aku adalah anak laki-laki di keluarga, mereka mengandalkan aku.” Ardi membela diri. “Seharusnya kamu ngerti, Sin.”“Cukup Mas, kita memang sudah berbeda prinsip dan pandangan. Jadi lebih kita berpisah saja ...”“Kamu jangan egois, pikirkan juga perasaan Sisil kalau kita pisah!” “Memangnya selama ini kamu memikirkan Sisil? Nggak, kan?” Sindy menatap Ardi lurus-lurus. “Saat senang saja, kamu mana ingat sama dia. Bagimu kebahagiaan orang tua dan adik-adik kamu adalah yang utama.”“Wajar, karena mereka yang dukung aku sejak sebelum bertemu kamu.”“Oh, ya sudah. Kamu fokus sama keluarga besarmu saja, biar aku fokus sama masa depanku dan Sisil.” Sindy berbalik dan bersiap masuk ke resto Zayyan, tapi Ardi segera meraih tangann
“Aku yakin kalau kamu Cuma sedang terbawa emosi, makanya nggak bisa berpikir jernih.” Ardi melanjutkan. “Kamu pulang dulu ke rumah, besok kita jemput Sisil sama-sama.”“Kamu tuh nyadar nggak sih kalau kamu habis melakukan kekerasan fisik sama aku?” tukas Sindy. “Pernah nggak kamu kepikiran sedikit saja buat minta maaf?”Ardi menarik napas, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa letih seakan menghadapi istri yang hanya bisa menuntut tanpa solusi.“Sin, kalau setiap suami yang berusaha mendidik istrinya harus minta maaf, buat apa perempuan itu dinikahi?”Sindy tidak menjawab.“Kita pulang, yuk?”“Aku mau pulang ke rumah orang tuaku, Mas. Bukankah kamu sudah terang-terangan ngusir aku?”“Jangan fitnah, aku nggak pernah usir kamu ...”“Kamu suruh aku pulang ke rumah orang tua aku, itu sama saja artinya dengan kamu ngusir aku.” Sindy menjelaskan. “Bahkan kalau kamu mengucapkannya dengan niat cerai, bisa diartikan sudah jatuh talak buat aku.”“Jangan mengada-ada, Sin! Aku bahkan nggak
Ardi terenyak mendapatkan pertanyaan tajam itu dari bibir Sindy.“Setidaknya aku masih bertanggung jawab dengan kasih kamu nafkah, walau nggak banyak.”Sindy hanya memasang wajah datar, dia sudah tahu jika Ardi akan berkilah sedemikian rupa. Karena itu dia tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini.“Ayolah, Sin.”“Tidak, Mas. Aku nyaman dengan hidup aku yang sekarang,” tegas Sindy dengan nada suara yang hanya Ardi sendiri yang mendengarnya.“Mentang-mentang kamu sudah banyak uang sekarang?”Sindy tidak menjawab.“Ternyata benar ya, istri itu akan merasa tinggi kalau bisa cari uang sendiri.” Ardi melanjutkan.“Aku rasa kamu belum hilang ingatan, Mas. Aku sudah bukan istri kamu lagi, jadi kamu nggak punya hak untuk berkomentar apa pun tentang hidup aku.”Ardi menyerahkan kantong plastik yang tadi dibawanya ke tangan Sindy.“Ini apa?”“Itu barang-barang kebutuhan wanita, buat kamu.” “Aku nggak ...”“Itu sebagai wujud kepedulian aku buat kamu, Sin.” Ardi tetap memaksa.Sind
“Jadi Tante mau memaafkan aku?” Mata Clara berbinar-binar.“Tante bisa apa? Menyimpan dendam itu sejatinya tidak baik,” sahut Keke, gaya bicaranya lugas dan elegan. Berbeda sekali ketika dia mengobrol dengan Zayyan dan adiknya.“Terima kasih, Tante. Kalau begitu aku tinggal membujuk Mas Zayyan ...”“Membujuk buat apa?”“Untuk memperbaiki semuanya, Tante.” Clara begitu percaya diri karena merasa sudah mendapatkan dukungan dari Keke.“Tidak perlu sampai seperti itu, Cla. Bagi Zayyan, hubungan terbaik kalian ya dengan tetap seperti ini.”“Maksud Tante?”Keke menatap Clara lurus-lurus.“Kamu seharusnya paham kalau ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan apa adanya, jadi jangan dipaksakan untuk menjadi baik-baik saja. Apa kamu paham?”Clara tertegun mendengar penuturan Keke.“Apa itu artinya aku tidak boleh memperbaiki hubunganku dengan Mas Zayyan? Aku cuma tidak ingin terkesan bermusuhan seperti ini, Tante ...”Keke menarik napas. “Tidak ada satu orang pun yang menganggap kamu
Ini kenapa semua keluarga mantan suami pada error sih, batin Sindy. Dia merasa tidak perlu membalas pesan mantan adik iparnya itu.Malam harinya saat Sindy merebahkan diri di tempat tidur, lagi-lagi ponselnya berbunyi singkat.Ternyata ada pesan baru lagi.[Sin, kapan main ke rumah? Jangan memutuskan ikatan kekeluargaan di antara kita, mainlah ke sini sama Sisil]Sindy membaca pesan yang dikirim dari kontak mantan ibu mertuanya yang masih tersimpan.[Maaf Bu, saya belum bisa ambil cuti. Restoran ramai]Sejujurnya Sindy juga enggan membalas, tapi di terpaksa demi mempertahankan sopan santun terhadap orang tua.[Ibu senang karena kamu pintar cari uang, Ardi pasti bangga sama kamu, Sin]“Astaga, apa urusannya sama Mas Ardi sih?” Sindy geleng-geleng kepala membaca pesan balasan dari Ratna.[Terima kasih, Bu. Aku pamit tidur duluan, besok kerja]Sindy bergegas melempar ponselnya ke arah berlawanan, lalu cepat-cepat memejamkan mata.Situasi restoran terasa lebih tegang daripada b
Zayyan berputar menghadap mamanya.“Kadang Mama agak sok tahu ...”“Mama memang tahu kamu sejak orok, Zay! Nggak usah diragukan lagi,” sahut Keke seraya duduk di salah satu kursi. “Sekarang cerita sama mama, apa yang sebetulnya terjadi di restoran kamu tadi?”“Aku kan sudah cerita, Ma.” Zayyan kembali melanjutkan pekerjaannya menyeduh kopi.“Masa cuma karena Sindy melayani pelanggan, kamu jadi semarah ini?”“Itu karena menurut aku, koki nggak boleh meninggalkan dapur kecuali keadaan darurat. Kalau misalnya pesanan ikan bakar antre, terus Sindy malah sibuk melayani pelanggan di depan, bisa-bisa restoranku terancam gulung tikar lagi ...”“Hust, omongan itu bisa jadi doa. Jangan sembarangan,” tegur Keke. “Memangnya pesanan ikan bakar di resto keteteran ditinggal Sindy?”“Kebetulan enggak sih ...”“Nah, itu artinya Sindy cukup tahu situasi! Sudahlah, jangan ditanggapi berlebihan. Kadang pelanggan memang macam-macam permintaannya, Zay.”“Tapi seumur-umur aku buka restoran, baru ka
Meta mendeskripsikan ciri-ciri orang yang memaksa untuk meminta Sindy melayaninya.“... yang satu cewek, masih muda, dulu pernah disuruh cuci piring di belakang.”Sindy mengangguk paham, dia kenal betul siapa orang yang dimaksud Meta.“Mau pesan apa, Bapak? Adek?” Ardi menoleh saat Sindy muncul sambil membawa daftar menu.“Sin ...” Mata Ardi semakin terpana melihat penampilan Sindy yang sekarang, khususnya bagian wajah yang terlihat makin bersinar.“Lama banget,” celetuk Mita yang tidak sabaran. “Aku mau pesan nih, lapar!”“Tapi bisa bayar, kan?” tanya Sindy dengan senyum ramah.“Kamu jangan menghina ya, Mbak?” Suara Mita sedikit meninggi, sampai-sampai membuat beberapa pengunjung menoleh ke arah mereka.“Tidak perlu berteriak, Bu.”“Kamu ...”“Mit, jangan bikin keributan atau kamu bayar sendiri makanan kamu!” desis Ardi mengancam.“Ihhh, menyebalkan ...” Mita memajukan bibirnya.“Jadi mau pesan apa, Pak?” tanya Sindy sambil menunjukkan profesionalitasnya. “Biar bisa seg
“... kita bisa kok, Mas. Asalkan kamu mau menerima ...”“Tidak ada yang perlu menerima atau diterima, Cla. Jadi tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan.”“Mas, jangan begitu ...”Sindy berusaha menulikan kedua telinganya dari obrolan Zayyan dengan wanita itu, tangannya sibuk menaruh beberapa kantong plastik berisi sampah dapur.“Sudah ya, Cla. Aku sibuk ...”“Aku belum selesai bicara, Mas!”Zayyan menoleh ke sekeliling dan tatapannya tertumbuk pada Sindy.“Sin, kamu ikut saya beli bahan baku!”Mendengar namanya disebut, Sindy segera menoleh ke arah Zayyan. “Saya, Pak?”“Kamulah, siapa lagi yang saya panggil selain kamu?”Sindy hanya mengangguk dengan tampang cengo, terlebih saat wanita yang menjadi lawan bicara Zayyan menatapnya dengan mata menyipit.“Nggak bisa begitu dong, Mas. Kamu mau ajak dia ... nggak salah?” “Clara, tolong ya? Apa yang aku lakukan di sini bukanlah urusan kamu, jadi kamu tidak perlu mengomentari hal-hal seperti ini.” Zayyan mengingatkan. “Ayo, Sin.
Zayyan tidak menjawab.“Ayolah, Mas ...” bujuk Clara. “Sudah lama juga kita nggak ketemu.”“Aku sibuk,” tolak Zayyan. “Kamu tahu sendiri kalau restoran aku ini hampir gulung tikar, jadi aku tidak mau buang-buang waktu untuk hal yang kurang penting lagi.”“Sebentar saja kok, Mas ...”“Kamu paham bahasa manusia atau tidak?” tukas Zayyan yang kesabarannya setipis tisu. “Aku tidak ada waktu, butuh usaha dan perjuangan keras untuk mencapai titik ini dan akan jauh lebih sulit lagi untuk mempertahankannya.”Clara terpaku, lama tidak bertemu ternyata sudah mengubah Zayyan menjadi sekeras itu.“Y—ya sudah, kapan-kapan aku akan datang lagi ...”“Tidak perlu, karena aku selalu sibuk memperbaiki ekonomi.”Tanpa menunggu jawaban dari Clara sedikitpun, Zayyan berlalu masuk ke mobilnya sendiri. Sambil melaju perlahan, dia menghubungi Beni melalui ponselnya.“Halo, Pak Bos?”“Kamu sudah selesai cuci motornya?”“Ini masih lap-lap biar makin kinclong, ada apa, Pak?”“Kalau sudah selesai, co
Zayyan mengemudikan mobilnya dengan hati-hati karena jalanan begitu padat merayap. Meski penglihatannya terlihat fokus menatap ke arah lalu lintas yang ada di depan, tapi pikirannya justru terngiang-ngiang oleh ucapkan Sindy beberapa waktu yang lalu.‘Kalau memang suatu saat nanti Anda akan menikah dengan Mita dan menjadikannya sebagai bos kami, saya terpaksa mengundurkan diri.’Pada awalnya Zayyan mengira jika ucapan Sindy itu menyiratkan sesuatu hal, tapi ternyata justru karena Sindy pernah bersaudara ipar dengan Mita yang kemungkinan besar memiliki perangai buruk.Mungkin aku saja yang berpikir terlalu jauh, batin Zayyan dalam hati. Namun, jelas tidak tidak berminat sedikit pun untuk menjadikan Mita sebagai pendamping hidupnya. Perempuan seusia adiknya itu sama sekali bukanlah tipe wanita yang diinginkan Zayyan.“Sudah kamu sampaikan Sindy?” tanya Keke ketika putranya itu tiba di rumah. “Sudah dari kemarin, Ma.”“Sindy bilang apa?”“Terima kasih, katanya.”Keke mencebikkan
Sindy mematung sebentar gara-gara pertanyaan yang Zayyan lontarkan, otaknya buru-buru berpikir untuk mencari jawaban logis supaya Zayyan tidak mengira jika dirinya iri.“Saya ... punya pengalaman buruk saat masih menjadi kakak ipar Mita,” jawab Sindy lambat-lambat. “Saya tidak ingin lagi berhubungan sama dia, karena itu saya memilih mengundurkan diri seandainya dia jadi bos di sini ...”Zayyan terdiam untuk beberapa saat lamanya. Ada rasa ingin tertawa, tapi dia berusaha keras menahannya.“Pemikiran kamu sudah terlalu jauh ternyata,” komentar Zayyan. “Memang seharusnya begitu kan, Pak? Karena perjalanan hidup ini tidaklah singkat, sebab itu saya tidak ingin terjebak dalam situasi yang sulit lagi. Cukup kemarin-kemarin saja dijadikan pelajaran saja, jadi kalau Anda memang akan menikah sama Mita, itu hak Anda. Maaf, tapi saya memilih mundur karena tidak ingin punya bos seperti Mita.” Sindy terpaksa mengutarakan rencananya meski terdengar sedikit berlebihan.Lagipula memangnya Zayy