“Nggak masalah kan, dulu sebelum hamil bukankah dia juga kerja?”
“Masalahnya siapa yang jaga anak kami, Bu?” “Gampang itu, asalkan ada kemauan pasti ada jalan.” Begitu pulang dari rumah orang tuanya, Ardi menyaksikan Sindy yang sedang menyuapi anak mereka dengan sayur bening tadi. “Kamu cari kerja dong, biar perekonomian kita nggak gini-gini aja ...” tuntut Ardi tanpa rasa bersalah. Sindy menyodorkan suapan terakhir ke mulut sang putri. “Habis minum, kamu main di kamar dulu ya?” “Iya, Bu ...” Ardi dengan tidak sabar menunggu jawaban dari Sindy. “Mau ya, ini demi masa depan kita juga.” Sindy menunggu putrinya masuk kamar dulu, baru berkomentar. “Nafkah itu kewajiban siapa sih, Mas? Suami atau istri?” “Apa salahnya kalau istri bantu-bantu suami, ibu aku juga gitu kok.” “Aku tanya dulu, nafkah itu kewajiban suami atau istri?” “Suami, tapi istri juga nggak berdosa kalau ikut bantu-bantu cari uang.” “Memang nggak berdosa, tapi nggak wajib juga.” “Kamu ini ya, nggak pernah bisa kayak ibuku.” Ardi mengeram kesal. “Lah, aku kan memang bukan ibumu, Mas. Aku Sindy, istri kamu.” “Justru itu, seharusnya kamu bantu suami biar kita bisa nabung buat masa depan!” Sindy menatap tajam Ardi, dia geram sekali karena sampai detik ini suaminya itu belum juga jujur tentang gaji yang selama ini dia terima. “Dengar ya, Mas? Lima ratus ribu seminggu itu mungkin masih bisa aku cukup-cukupkan asal kamu juga nggak banyak nuntut soal menu masakan. Apa selama ini aku pernah ngeluh sejak kamu pindah kerjaan di gudang besi dengan gaji pas-pasan?” Ardi membisu. “Kalau mau ngeluh, aku sudah ngeluh dari dulu. Masalahnya sudah berminggu-minggu ini aku Cuma dapat nafkah sisa, kamu mikir dong!” “Itu bukan sisa, aku membaginya untuk orang tuaku karena penghasilan ayahku juga nggak nentu ...” “Sekarang aku tanya, gaji kamu cukup nggak untuk dua keluarga?” Ardi terpaku sejenak, sedangkan Sindy menunggu jawaban jujur dari suaminya itu. “Cukup nggak cukup, yang namanya membantu orang tua itu wajib!” “Tapi nggak dengan menelantarkan anak istri!” “Jangan fitnah, ya! Buktinya aku masih menafkahi kamu, nggak ingat?” Sindy mengatupkan bibirnya, meladeni Ardi hanya bikin emosi makin membuncah di dada. Baiklah, tekat Sindy dalam hati. Aku akan bekerja, tapi semata-mata demi kelangsungan hidup anakku! “Gimana rasanya, Nes?” Berbekal modal pinjaman dari Nesi, Sindy segera membuat menu ikan bakar andalannya. “Masih sama, sempurna. Hari ini juga aku akan kasih ke bosku, Sin!” “Semoga cocok ya, aku butuh kerjaan.” “Amin, jangan putus asa!” Usai mencicip, Nesi membawa satu porsi ikan bakar baru ke restoran tempatnya bekerja. “Ini menu yang saya ceritakan, Pak!” Seorang pria yang mengenakan pakaian resmi, mencicipi sepotong ikan bakar yang Nesi sajikan. Caranya mengunyah begitu elegan dan tidak menimbulkan suara, sementara Nesi menunggu dengan hati berdebar-debar. “Suruh dia bekerja secepatnya, bisa?” “Bisa Pak, saya akan kasih tahu teman saya!” Pria itu memberi isyarat dengan menggerakkan tangannya, sehingga Nesi langsung menyingkir pergi. Sindy mulai bekerja keesokan harinya, dia membawa sang putri atas persetujuan pemilik resto. “Saya izinkan kamu bawa anak, Nesi yang akan asuh sementara kamu memasak menu. Kalau respons pelanggan bagus dan resto ini kembali ramai secara bertahap, kamu saya angkat jadi pegawai tetap di sini.” Sindy mengangguk saat pria berkaca mata itu memberi penegasan di hari pertamanya bekerja. “Baik, Pak.” Nesi mengusap bahu Sindy setelah sang bos berlalu. “Pak Zayyan memang gitu, tegas. Tapi aku yakin kok kalau kamu mampu, Sin.” “Aku akan berusaha, Nes. Titip anakku, ya?” Nesi mengangguk, dia hanya akan menjaga anak sindy selama proses memasak berlangsung. Hari pertama, sampel ikan bakar buatan Sindy mendapatkan respons yang lumayan positif. Beberapa pelanggan bahkan memesan untuk dimakan di rumah. “Bu, aku ngantuk ...” rengek Sisil sambil mengucek-ucek matanya. “Sebentar ya, Sayang! Aduh, gimana ini, Nes?” “Nggak apa-apa, biar aku atasi. Di belakang ada tempat untuk rehat kok!” Sindy mengangguk dan fokus untuk memasak ikan bakar pesanan para pelanggan. “Mbak Sindy hebat ya, para pelanggan suka ikan bakar ini!” puji salah satu karyawan yang bantu menyajikan menu buatan sindy. “Syukurlah, Mbak. Saya ikut senang ini, semoga resto makin ramai.” “Amin, biar Pak Zayyan tidak jadi menutup resto ini, Mbak. Saya butuh kerjaan soalnya ...” “Kalau begitu kita harus melayani pelanggan dengan baik.” “Setuju, Mbak!” Sindy melakukan tugasnya dengan penuh semangat, bayangan masa depan yang lebih cerah untuk Sisil membuatnya bertekad untuk tidak lagi menyerah dengan keadaan. “Terima kasih ya, Nes?” Sindy meraih Sisil yang baru bangun tidur ke pelukannya. “Berkat kamu, aku bisa diterima kerja.” “Santai, Sisil juga hebat karena nggak rewel. Besok ikut ibu kerja lagi, ya?” “Iya, Tante ... Sisil boleh bawa mainan?” Sontak sindy dan Nesi saling pandang. “Nanti biar aku yang bicara sama Pak Zayyan, kamu tenang saja. Aku rasa apa pun akan dia lakukan untuk kemajuan resto,” bisik Nesi. “Atur saja, pokoknya aku akan berinovasi dengan menu-menu lainnya selain ikan bakar.” Nesi mengangkat jempolnya, lalu bersiap-siap kerja. Setibanya di rumah, Sindy langsung merebahkan diri di depan televisi karena letih. Meskipun demikian, hatinya luar biasa lega karena impitan di dadanya mulai terangkat sedikit demi sedikit. “Sisil nonton tivi dulu, ya. Ibu mau tidur sebentar.” Sisil mengangguk patuh, matanya fokus pada tayangan kartun di televisi. “Ampun, ampun ... Ini Sisil kok dibiarkan main sendiri, ibunya tidur?” Mata Sindy terasa berat ketika terbangun dari tidurnya karena suara ibu mertua. “Sudah mandi belum, Sil?” “Belum, Nek.” “Ya ampun ... Sindy, itu anakmu kok nggak diurus? Sebentar lagi Ardi pulang kerja, meja makan masih belum beres ... Nggak masak kamu?” Sindy menggeliat sebentar sebelum terbangun sepenuhnya. “Nanti, Bu. Capek ...” “Kamu kan cuma di rumah dan nggak ngapa-ngapain, capek dari mana?” Sindy hanya menutup kuap dengan telapak tangan. “Rumah dan cucian kan nggak ujug-ujug bersih sendiri, Bu.” “Ya iya, tapi tetap saja anak harus sudah mandi kalau suami kamu pulang. Sama sediakan cemilan dan kopi panas, saya dulu juga gitu. Makanya rumah tangga saya dan bapak mertua kamu langgeng-langgeng saja dan jarang ribut.” Sindy mendengarkan cerita ibu mertua sambil terkantuk-kantuk. “Itu karena saya nggak pernah melawan kehendak suami dan juga bantu-bantu cari uang, selain itu melayani kebutuhan suami dengan sepenuh hati.” Ibu mertua meneruskan. “Makanya saya agak prihatin lihat rumah tangga kamu dan Ardi sering cekcok cuma karena masalah uang, sedangkan uang itu kan bisa dicari ...” Sindy masih mencoba mendengarkan. “Uang memang penting, tapi ridho suami juga nggak kalah penting.” “Kalau kemampuan Mas Ardi baru segitu, aku sih masih sabar, Bu. Tapi ini aku cuma dikasih uang nafkah sisa, gimana nggak cekcok?”“Ini nafkah buat kamu, Sin.”Sindy menatap tiga lembar uang warna merah yang diletakkan Ardi di atas meja, dahinya berkerut karena jumlah nafkah yang diberikan kepadanya semakin berkurang dari minggu ke minggu.“Kok cuma segini, Mas?”“Segitu masa nggak cukup? Hemat sedikit lah, kapan kita bisa nabung kalau kamu nggak bisa atur uang belanja?”Sindy menghela napas. Mau protes, tapi dia juga tahu kalau akhir-akhir ini pekerjaan Ardi sebagai tenaga borongan di gudang besi sedang sepi, sehingga mempengaruhi penghasilan yang diterima suaminya.“Ya sudah, disyukuri saja ...”“Nah, itu tahu! Jadi istri memang harus pintar-pintar bersyukur, Sin.”“Kalau begitu hari ini aku masak tumis kangkung sama goreng tempe buat kamu ya, Mas?”Ardi mengernyitkan keningnya mendengar deretan menu yang disebut Sindy.“Tempe goreng lagi? Baru dua hari yang lalu kamu masak oseng tempe, sekarang goreng tempe ... Heran, apa kamu nggak bisa bikin menu yang lebih enak lagi selain olahan tempe?”Sindy men
“Cukup, cukup, Di! Wah, kalau kayak begini gaji kamu, ibu yakin nih bisa nabung buat masa depan!”Sindy membeku di tempatnya berdiri. Tangan yang semula akan mengetuk pintu rumah mertuanya, kini menggantung di tengah udara.Mas Ardi gajian? Bukankah belum waktunya? Atau dia punya kerja sampingan, tapi kenapa aku nggak dikasih tahu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berjubelan di dalam pikiran Sindy.“Ya sudah, Bu. Aku pergi dulu, ya?”“Hati-hati, Di. Yang semangat kerjanya, biar dapat banyak uang!”Ardi tersenyum lebar seraya keluar dari balik pintu, tapi seketika senyum itu memudar ketika melihat keberadaan Sindy tepat di depannya.“Sin? Sejak kapan kamu di situ?” Ardi tergagap, begitupun ibunya yang berdiri di belakang sang putra.“Baru saja kok, ini ngantar soto buat ibu.”“Wah, kamu masak soto, Sin?”“Iya, Bu.”“Nah, gitu dong! Jangan tahu tempe terus, bisa bosen Ardi kalau menu masakan kamu itu-itu saja tiap hari!” komentar ibu mertua, yang ditanggapi dengan senyuman geti
“Tapi, Mas ...” “Kak Ardi, aku boleh ambil tas itu nggak?” Tiba-tiba Sindy mendengar ada suara yang menyela. “Boleh dong, ambil saja yang kamu suka!” “Kak, aku mau sepatu yang itu ...” “Ambil sana, kakak yang bayar!” Sindy mengepalkan sebelah tangan, dia sangat mengenali suara-suara itu. Adik-adik iparnya. “Wah, Kak Ardi lagi banyak uang nih kayaknya!” “Jelas, makanya kita bisa puas jalan-jalan hari ini!” Dengan tubuh lunglai, Sindy duduk terpekur di kursinya sementara ponsel masih menyala di dekat telinganya. Kemungkinan Ardi lupa mematikan sambungan mereka sampai Sindy bisa mendengar percakapan mereka. “Habis ini kita mau makan apa, adik-adikku yang cantik?” Suara Ardi begitu penyayang saat bertanya kepada adik ipar Sindy. “Aku mau ayam goreng tepung, Kak!” “Oke, kalau Mita mau apa?” “Burger sama minuman soda, Kak!” “Ayok, belanjanya dibayar dulu. Habis itu kita makan sama-sama!” “Siap, jangan lupa bungkus juga buat ibu sama ayah di rumah, Kak!” “Be
“Lho, memangnya kenapa kalau Ardi memanjakan saudara-saudaranya? Itu juga pakai uang Ardi kan, kamu iri? Nggak boleh begitu, Sin. Jadi istri jangan banyak nuntut dan protes terhadap apa yang dilakukan suami.” Ibu mertua kembali ceramah. “Gimana aku nggak iri, Bu? Kemarin itu Sisil sakit, tapi Mas Ardi perhitungan banget cuma kasih uang lima puluh ribu. Itupun akhirnya minta dikembalikan karena Sisil nggak jadi periksa ke dokter,” ungkap Sindy agar ibu mertua tahu bagaimana kelakuan ajaib putra kebanggaannya itu. “Salahnya Ardi di mana ya, kan Sisil juga nggak jadi periksa? Daripada uangnya kamu buat foya-foya, lebih baik diambil sama Ardi buat ditabung.” Merasa disudutkan, Sindy kembali melontarkan protes kepada Ibu mertuanya. “Foya-foya dari mana, Bu? Uang lima puluh ribu bisa dapat apa sih?” “Sudah, sudah, kamu ini kalau dikasih tahu selalu saja membantah. Heran, makin ke sini makin membangkang kamu ya? Hati-hati kualat sama suami sendiri, Sin ...” “Nggak kebalik,
“Nggak masalah kan, dulu sebelum hamil bukankah dia juga kerja?”“Masalahnya siapa yang jaga anak kami, Bu?”“Gampang itu, asalkan ada kemauan pasti ada jalan.”Begitu pulang dari rumah orang tuanya, Ardi menyaksikan Sindy yang sedang menyuapi anak mereka dengan sayur bening tadi.“Kamu cari kerja dong, biar perekonomian kita nggak gini-gini aja ...” tuntut Ardi tanpa rasa bersalah.Sindy menyodorkan suapan terakhir ke mulut sang putri.“Habis minum, kamu main di kamar dulu ya?” “Iya, Bu ...”Ardi dengan tidak sabar menunggu jawaban dari Sindy.“Mau ya, ini demi masa depan kita juga.”Sindy menunggu putrinya masuk kamar dulu, baru berkomentar.“Nafkah itu kewajiban siapa sih, Mas? Suami atau istri?”“Apa salahnya kalau istri bantu-bantu suami, ibu aku juga gitu kok.”“Aku tanya dulu, nafkah itu kewajiban suami atau istri?”“Suami, tapi istri juga nggak berdosa kalau ikut bantu-bantu cari uang.”“Memang nggak berdosa, tapi nggak wajib juga.”“Kamu ini ya, nggak pernah
“Lho, memangnya kenapa kalau Ardi memanjakan saudara-saudaranya? Itu juga pakai uang Ardi kan, kamu iri? Nggak boleh begitu, Sin. Jadi istri jangan banyak nuntut dan protes terhadap apa yang dilakukan suami.” Ibu mertua kembali ceramah. “Gimana aku nggak iri, Bu? Kemarin itu Sisil sakit, tapi Mas Ardi perhitungan banget cuma kasih uang lima puluh ribu. Itupun akhirnya minta dikembalikan karena Sisil nggak jadi periksa ke dokter,” ungkap Sindy agar ibu mertua tahu bagaimana kelakuan ajaib putra kebanggaannya itu. “Salahnya Ardi di mana ya, kan Sisil juga nggak jadi periksa? Daripada uangnya kamu buat foya-foya, lebih baik diambil sama Ardi buat ditabung.” Merasa disudutkan, Sindy kembali melontarkan protes kepada Ibu mertuanya. “Foya-foya dari mana, Bu? Uang lima puluh ribu bisa dapat apa sih?” “Sudah, sudah, kamu ini kalau dikasih tahu selalu saja membantah. Heran, makin ke sini makin membangkang kamu ya? Hati-hati kualat sama suami sendiri, Sin ...” “Nggak kebalik,
“Tapi, Mas ...” “Kak Ardi, aku boleh ambil tas itu nggak?” Tiba-tiba Sindy mendengar ada suara yang menyela. “Boleh dong, ambil saja yang kamu suka!” “Kak, aku mau sepatu yang itu ...” “Ambil sana, kakak yang bayar!” Sindy mengepalkan sebelah tangan, dia sangat mengenali suara-suara itu. Adik-adik iparnya. “Wah, Kak Ardi lagi banyak uang nih kayaknya!” “Jelas, makanya kita bisa puas jalan-jalan hari ini!” Dengan tubuh lunglai, Sindy duduk terpekur di kursinya sementara ponsel masih menyala di dekat telinganya. Kemungkinan Ardi lupa mematikan sambungan mereka sampai Sindy bisa mendengar percakapan mereka. “Habis ini kita mau makan apa, adik-adikku yang cantik?” Suara Ardi begitu penyayang saat bertanya kepada adik ipar Sindy. “Aku mau ayam goreng tepung, Kak!” “Oke, kalau Mita mau apa?” “Burger sama minuman soda, Kak!” “Ayok, belanjanya dibayar dulu. Habis itu kita makan sama-sama!” “Siap, jangan lupa bungkus juga buat ibu sama ayah di rumah, Kak!” “Be
“Cukup, cukup, Di! Wah, kalau kayak begini gaji kamu, ibu yakin nih bisa nabung buat masa depan!”Sindy membeku di tempatnya berdiri. Tangan yang semula akan mengetuk pintu rumah mertuanya, kini menggantung di tengah udara.Mas Ardi gajian? Bukankah belum waktunya? Atau dia punya kerja sampingan, tapi kenapa aku nggak dikasih tahu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berjubelan di dalam pikiran Sindy.“Ya sudah, Bu. Aku pergi dulu, ya?”“Hati-hati, Di. Yang semangat kerjanya, biar dapat banyak uang!”Ardi tersenyum lebar seraya keluar dari balik pintu, tapi seketika senyum itu memudar ketika melihat keberadaan Sindy tepat di depannya.“Sin? Sejak kapan kamu di situ?” Ardi tergagap, begitupun ibunya yang berdiri di belakang sang putra.“Baru saja kok, ini ngantar soto buat ibu.”“Wah, kamu masak soto, Sin?”“Iya, Bu.”“Nah, gitu dong! Jangan tahu tempe terus, bisa bosen Ardi kalau menu masakan kamu itu-itu saja tiap hari!” komentar ibu mertua, yang ditanggapi dengan senyuman geti
“Ini nafkah buat kamu, Sin.”Sindy menatap tiga lembar uang warna merah yang diletakkan Ardi di atas meja, dahinya berkerut karena jumlah nafkah yang diberikan kepadanya semakin berkurang dari minggu ke minggu.“Kok cuma segini, Mas?”“Segitu masa nggak cukup? Hemat sedikit lah, kapan kita bisa nabung kalau kamu nggak bisa atur uang belanja?”Sindy menghela napas. Mau protes, tapi dia juga tahu kalau akhir-akhir ini pekerjaan Ardi sebagai tenaga borongan di gudang besi sedang sepi, sehingga mempengaruhi penghasilan yang diterima suaminya.“Ya sudah, disyukuri saja ...”“Nah, itu tahu! Jadi istri memang harus pintar-pintar bersyukur, Sin.”“Kalau begitu hari ini aku masak tumis kangkung sama goreng tempe buat kamu ya, Mas?”Ardi mengernyitkan keningnya mendengar deretan menu yang disebut Sindy.“Tempe goreng lagi? Baru dua hari yang lalu kamu masak oseng tempe, sekarang goreng tempe ... Heran, apa kamu nggak bisa bikin menu yang lebih enak lagi selain olahan tempe?”Sindy men