Prang! Alana terbangun oleh suara yang terdengar seperti kaca yang pecah. Alana melihat ke arah box bayi. Untung saja Alina tidak terganggu sama sekali. Alan bergegas turun mencari di mana arah suara kaca itu. Alangkah terkejutnya ia ternyata bingkai foto yang membingkai foto pernikahannya terjatuh dan pecah. "Ya, Tuhan, pertanda apa ini?" Alana mengusap lengannya karena embusan angin dingin menyapa. Alana menoleh. Rupanya jendela di pojok kamar lupa ia tutup. Alana bergegas menutup jendela itu sambil merutuk diri sendiri kenapa sampai ia lupa menutup jendela. Setelah memastikan jendela tertutup rapat, Alana membersihkan pecahan kaca. Alana mendongak. Jarum jam sudah menunjuk pada angka sebelas malam itu. "Mas Kevin sudah pulang apa belum? Duh, tidurku nyenyak sekali sampai tak sadar." Alana cepat-cepat membereskan kekacauan itu. Ia bergegas ke ruang kerja Kevin. Tidak ada, bahkan ruangan itu lampunya saja padam. Alana kembali mendekat ke ranjang. Diraihnya ponsel y
Ingin sekali Alana menerima panggilan itu. Akan tetapi, ia tidak ingin ikut campur dengan urusan kantor atau mungkin jika ia menjawab panggilan, takut jika Kevin mengatainya lancang. Akhirnya, Alana membangunkan Kevin. "Mas, bangun!"Hanya mengguncang bahu saja Kevin terbangun. Perlahan Kevin membuka matanya. "Ada apa, Sayang?""Ada telepon.""Kenapa gak kamu angkat saja," ucap Kevin dengan nada malas karena rasa kantuk masih melanda. "Ini dari nomor yang tertulis di kertas semalam itu.""Apa?!" Kevin terlihat kaget, lalu menyambar ponselnya cepat. Sikap Kevin tentu saja membuat Alana terkejut dan curiga. Ponsel sudah di tangan Kevin seiring dengan matinya panggilan tersebut. "Siapa, sih, Mas? Kenapa sampe segitunya? Mau bahas bisnis di jam segini? Pengusaha, apa wanita yang berusaha menggoda?!"Pertanyaan Alana berhasil membuat jantung Kevin hampir copot. Karena pasalnya, pemilik nomor itu memang seorang wanita. Hanya saja, Kevin merasa sulit untuk menjelaskan karena wanita itu
Alana menenangkan hati. Ia tidak ingin berprasangka buruk kepada Kevin. Percaya. Satu kata itu yang harus tetap tertanam dalam hati. Alana memulai bergelut dengan perabot dapur dan aneka sayur serta lainnya dibantu oleh Sumi. Bisa saja Alana tidak menggunakan jasa Sumi. Hanya saja, Kevin yang selalu cerewet tidak ingin Alana kelelahan. Belum lagi mengurus tiga putrinya. Padahal, Alana tidak keberatan dan senang melakukannya. Keputusan Kevin paling tidak bisa Alana bantah. Oleh karena itu, hadirlah Sumi sejak tujuh tahun lalu. Satu jam berlalu. Semua menu sarapan sudah tertata di piring. Sisanya ia serahkan kepada Sumi. Saatnya membangunkan Liana dan Ilana.Liana dan Ilana sudah tampil bersih dan wangi saat Alana masuk ke kamar mereka. Alana sangat bersyukur, karena mereka cepat memahami apa yang Alana ajarkan. "Kalau begitu, Mami tunggu di meja makan, ya?"Liana dan Ilana mengangguk."Tapi, Mi ...," Liana menggantung ucapannya. Alana yang hendak pergi menoleh. "Apa, Sayang?"Denga
"Ingat rumah, Mas?"Alana yang tahu Kevin beru saja pulang menyambutnya dekat pintu dan dengan sengaja menyalakan lampu saat Kevin memasuki kamar. Matanya menangkap jika Kevin terperanjat, kaget. "Ya, ampun, Sayang ... bikin jantung Mas copot aja, deh!" ucap Kevin, sambil mengelus dadanya. Alana memerhatikan Kevin dari ujung kepala hingga ujung kaki, walau tertutup kaos kaki. Ada yang berbeda? Tentu saja. Akan tetapi, Alana tidak akan membahasnya sekarang. Alana menatap Kevin sambil menggeleng pelan, lalu ke luar kamar melewati Kevin begitu saja. "Sayang, tunggu!" Kevin mengejar Alana dan berhasil memegang pergelangan tangannya. "Sayang, Maaf, Mas lembur gak ngasih kabar kamu. Mas lagi sibuk, sampe ketiduran di kantor. Ja--"Alana menarik lengannya. "Cukup, Mas! Aku tidak butuh penjelasan yang aku sendiri bingung harus percaya yang mana. Sekarang Mas bilang lembur ketiduran di kantor. Tapi semalam Mas balas pesan, Mas lagi butuh hiburan. Jangan-jangan ketiduran di club juga!"Al
Kevin mengerang kesakitan sambil memegang pinggang seiring dengan jantung yang berdetak kencang disertai keringat dingin mengucur di dahi. Perlahan kedua matanya terbuka lebar dan menyisir sekitar memastikan dirinya berada di mana. Sejenak ia terdiam, mengingat apa yang sudah terjadi. Setelah mandi tadi ia berbaring, lalu terlelap.Embusan napas kasar lolos begitu saja dari mulutnya. "Ya, Tuhan ... rupanya mimpi." Mimpi yang menurutnya buruk. Bagaimana tidak? Dalam mimpi saja diamnya Alana membuat dirinya takut. Takut Alana pergi dari hidupnya. Bagaimana kalau nyatanya Alana tahu? Tidak! Kevin menggeleng cepat. Perlahan Kevin bangkit. Dorongan Alana dalam mimpi rupanya membuat Kevin terjatuh dari kasur. Kevin tersenyum sarkas sambil menggeleng. Mata Kevin tertuju pada box bayi. Ia mengamati sambil menghampiri. Kosong. Alina ke mana? Batinnya. Kevin bergegas membuka lemari pakaian Alina, mencari tas bayi. Nihil. Tidak ada tas Alina di sana. Kevin segera meninggalkan kamar. Ia berl
Kevin mengambil kesempatan. Ia menarik tangan Alana, mengajaknya duduk di lorong yang cukup sepi. Alana hanya diam. Ia ingin tahu apa yang akan Kevin katakan. Alana menatap ke sembarang arah, Kevin duduk di sebalah mana Alana menatap. Alana menunduk, Kevin bertekuk lutut. "Sayang, Mas mohon tataplah mata Mas," ucap Kevin. Alana mengikuti perintah. Alana menatap Kevin, sangat dalam. Lantas Kevin meminta maaf. Kata maaf Kevin terdengar sangat tulus. Kevin mengaku jika dirinya terlalu senang karena perusahaannya telah bekerjasama dengan dua perusahaan lain. Semalam ia merayakan atas keberhasilan itu. "Maaf, Mas tidak fokus membaca chat kamu semalam. Mas pikir kamu hanya meminta Mas pulang saja, bukan karena anak-anak sakit," dusta Kevin. Dalam hati, Alana menertawakan dirinya sendiri. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwasanya istrinya tak lagi penting bagi Kevin? "Tidur di mana?" tanya Alana ketus. "Tentu saja di kamar, Sayang."Alana tersenyum sinis. "Hotel, apartemen, kantor,
Kevin mendengkus seolah-olah panggilan itu penting tidak penting. Ia menggerutu seakan-akan panggilan itu mengganggu kebersamaannya dengan Alana. "Maaf, Bu, bisa tidak menghubungi saya di saat jam kerja? Mengenai informasi Pak Handoko, tolong kirim melalui e-mail atau chat saja, bisa?""Emm ... ah, iya, iya, baiklah. Maaf, sudah mengganggu," kata lawan bicara Kevin yang tak lain adalah Melani. Kevin memutuskan sambungan telepon. Plong! Hatinya merasa lega karena Melani sangat peka dan memahami maksudnya. "Aku'kan udah bilang, minta nomor Pak Handoko langsung," kata Alana. "Sudah, Sayang. Tapi, Pak Handoko bilang cukup lewat dia saja. Mas, sih, nebak emang dia sekretarisnya.""Lah, itu, Mas bisa ngobrol langsung sama orangnya. Lewat apa?""E-mail, Sayang. Mas juga merasa aneh, kenapa dia tidak memberikan nomor ponsel saja. Masa iya rahasia? Kan, tidak mungkin.""Tapi ...,""Sudah, mending sekarang kamu tidur. Mumpung Alina juga lelap." Kevin mengatur bantal untuk Alana. Alana yan
Hari demi hari Alana lalui dengan penuh rasa bahagia seperti dahulu. Tak ada lagi Yuni yang selalu membebaninya dengan meminta cucu laki-laki. Kabarnya, Yuni kembali tinggal di Singapura. Ia menolak keras untuk tinggal kembali bersama Kevin. Meskipun demikian, Alana tetap berusaha mendekatkan diri kepada Yuni dengan bertanya kabar melalui telepon, bahkan berkunjung ke sana walaupun kehadiran Alana dan anak-anaknya tidak dianggap. Sudah satu tahun semenjak investor baru masuk, perusahaan Kevin maju pesat. Hampir setiap hari Alana mendapatkan hadiah, baik berupa bunga, perhiasan, bahkan sebuah mobil mewah Kevin berikan kemarin. Ketiga putrinya pun dimanjakan. Bahkan Liana dan Ilana pindah ke sekolah favorit di kota. Kevin juga menepati janjinya. Berangkat lebih awal ke kantor, pulang selalu tepat waktu, yakni jam lima sore. "Hari ini pulang dijam biasa, kan?" tanya Alana. "Memangnya kenapa?""Emang Mas lupa hari ini hari apa?"Laki-laki bergelar suami itu mengerutkan dahi, mencoba me