Alana mendorong tubuh Kevin sekuat tenaga. Berhasil, pria itu terdorong dari tubuhnya. Alana segera bangkit sambil mengusap bibirnya. Ia merasa jijik karena bibir Kevin meluncur bebas di sana. Namun, alih-alih segera pergi dari sana, Alana dikejutkan dengan Kevin yang tertelungkup di lantai. "Mas Kevin?" sapa Alana, "Mas?"Alana membatin. "Apa dia pingsan?" Alana berjongkok untuk memastikan. Sambil menepuk-nepuk pundak Kevin, Alana terus memanggil nama pria itu. Akan tetapi, nihil. Kevin tak kunjung bangun. "Bi? Bi Sumi!" teriak Alana panik. Tidak berselang lama Sumi datang. "Iya, Bu, ada ap --ya Tuhan, Bapak kenapa?" Sumi tak kalah panik. "Gak tau, Bi. Tolong bantu angkat, Bi!"Kini, Kevin sudah terbaring di kasur. Rupanya ia pingsan. Setelah tadi Alana menciumkan wewangian, Kevin sadarkan diri. Alana menghela napas lega. Pantas saja ketika Kevin menindih tubuhnya terasa sangat berat, ternyata Kevin pingsan. Menurutnya pingsan Kevin sangat menyebalkan. Bagaimana bisa bibir Ke
"Bagaimana? Apa bayinya laki-laki?" tanya Yuni kepada Alana dengan binar bahagia. "Maaf, Bu. Bayinya perempuan lagi," jawab Alana. Raut wajah Yuni seketika berubah drastis. Wanita paruh baya itu menatap Alana nyalang. "Katanya kalian program. Mana hasilnya?!"Kevin yang baru saja masuk angkat bicara. "Maaf, Bu. Aku dan Alana sudah berusaha. Apa yang kata dokter anjurkan sudah kami lakukan. Tapi, Tuhan kembali mempercayakan kami memiliki bayi perempuan.""Pokoknya, Ibu tidak mau tau ... setelah Alana pulih, kalian program lagi. Ingat! Bayi laki-laki!""Tapi, Bu, Alana ...," Ucapan Kevin menggantung karena Yuni sudah ke luar dari kamar. Yuni yang sengaja datang tanpa memberi kabar kepada Kevin maupun Alana merasa kecewa. Kevin sudah menduga hal itu. Oleh karenanya ia tidak memberitahu Yuni jenis kelamin anak ketiganya. Ia berniat akan memberi tahu nanti. Alana duduk tertunduk di atas ranjang. Badannya masih lemah karena tiga hari yang lalu Alana sudah melahirkan putri ketiganya. Dari
"Itu tidak akan terjadi, Bu! Aku tidak akan mengkhianati istriku!"Rasa lega berpendar dalam hati Alana. Ia yakin jika Kevin tidak akan melakukan itu. Ia sangat percaya jika Kevin setia seperti komitmennya dari awal menikah."Kamu perlu generasi penerus perusahaan, Kevin!" Suara Yuni meninggi.Alana menarik napas dalam-dalam. Jadi, Yuni ingin cucu laki-laki untuk meneruskan perusahaan? Ah, bukankah di zaman sekarang ini kaum hawa juga memiliki kedudukan yang sama dengan kaum adam? Dimana perempuan juga bisa memimpin sebuah perusahaan, bahkan sebuah negara, pikir Alana. Alana mendengar suara langkah Kevin mendekat. Alana mengatur napas agar emosinya stabil dan berlaga seperti orang yang baru saja datang. "Loh, Mas belum berangkat?" tanya Alana. "Ini mau, Sayang. Ngomong-ngomong, kenapa kamu ke mari, hem?Alana tersenyum sambil mengelus perutnya. "Aku lapar, Mas.""Biar Mas siapain, ya?" Kevin berbalik, tetapi Alana mencegahnya. "Tidak usah, Mas. Jemput anak-anak saja. Kasian, takut
Kevin meminta Alana menunggu di kamar untuk menenangkan Alina. Sesekali matanya mengedar ke arah pintu berharap Kevin cepat kembali."Apa yang terjadi?!" tanya Alana saat pintu kamar baru saja terbuka. Tampak Kevin menuntun Liana juga Ilana yang masih sesenggukan. Liana dan Ilana berlari memeluk kaki Alana. "Ada apa?" tanya Alana lagi. Kevin mengembuskan napas kasar. Pria berusia tiga puluh lima tahun itu mengempaskan tubunnya di sofa. Kevin mengatakan jika Yuni memukul bokong dan menjewer telinga Liana dan Ilana karena mereka sudah menumpahkan segelas teh ke ponsel Yuni.Deg! Seketika hati Alana terasa berkedut. Sakit. "Teh?" Alana balik bertanya dengan kening mengkerut dan kedua mata yang berkaca-kaca. "Yah .... Mereka membawakan segelas teh untuk ibu sebagai permintaan maaf."Alana terdiam sesaat. Andai saja tadi ia tidak menyuruh putrinya untuk meminta maaf, maka hal itu tidak akan terjadi. Walaupun demikian, Alana merasa bangga dan terharu atas usaha Liana dan Ilana dengan
Alana sudah sadarkan diri setelah Kevin memanggil seorang dokter. Hanya saja ia tampak murung. Ketika baby Alina menangis, Alana justru ikut menangis. Jangankan menyentuh, menyusui saja Alana tidak mau. Sikap Alana tentu saja membuat Kevin sedih sekaligus bingung. Belum lagi Liana dan Ilana yang tadinya meminta ditemani tidur justru ikut menangis melihat kondisi Alana. Melihat gelagat Alana, Dokter menjelaskan bahwa istri Kevin itu terkena baby blues syndrom. Awalnya Kevin tidak percaya karena Alina bukan anak pertama. Nyatanya, baby blues syndrom tidak hanya menimpa kepada ibu baru saja. Hal ini bisa menimpa kepada ibu yang sudah melahirkan beberapa anak juga, bahkan tidak mengenal usia. Semua dipicu karena banyak hal. Salah satu diantaranya karena perubahan hormon yang signifikan setelah melahirkan, pikiran, lingkungan sekitar yang membuat seorang ibu tertekan dan tidak percaya diri. "Istirahat yang cukup, berpikir positif. Dan yang paling penting adalah dukungan suami dan keluar
Satu minggu sudah berlalu. Setelah kejadian malam itu, Alana memilih untuk menjaga jarak dengan Yunia. Untung saja kamar Alana berada di bawah. Mertua serta adik iparnya berada di lantai dua tepat di samping kamar Liana. Alana merasa bersyukur karena saat itu Kevin lebih percaya kepadanya. Bahkan Kevin melarang Yunia maupun Yuni untuk masuk kamar utama. Lekakinya itu selalu membela ketika Yuni menghujatnya. Kevin selalu ada di sisinya saat ia merasa terpuruk, sedih, dan rasa takut melanda. Perlahan Alana bisa melewati hari-hari yang menurutnya berat itu. Kewarasan harus tetap terjaga karena ada Liana, Ilana dan Alina yang harus diperhatikan. Ia tak peduli lagi yang dikatakan oleh Yuni maupun Yunia. Seperti pagi ini. Pagi saat sarapan ketika mereka bertemu."Kamu harusnya bersyukur, Alana. Ibu sudah merestui kamu untuk menikah dengan Kevin walaupun kamu entah dari keluarga mana," tutur Yuni. "Keluarga gak jelas!" timpal Yunia. "Yunia!" pekik Kevin. Yunia mendelik dan memilih kemba
Prang! Alana terbangun oleh suara yang terdengar seperti kaca yang pecah. Alana melihat ke arah box bayi. Untung saja Alina tidak terganggu sama sekali. Alan bergegas turun mencari di mana arah suara kaca itu. Alangkah terkejutnya ia ternyata bingkai foto yang membingkai foto pernikahannya terjatuh dan pecah. "Ya, Tuhan, pertanda apa ini?" Alana mengusap lengannya karena embusan angin dingin menyapa. Alana menoleh. Rupanya jendela di pojok kamar lupa ia tutup. Alana bergegas menutup jendela itu sambil merutuk diri sendiri kenapa sampai ia lupa menutup jendela. Setelah memastikan jendela tertutup rapat, Alana membersihkan pecahan kaca. Alana mendongak. Jarum jam sudah menunjuk pada angka sebelas malam itu. "Mas Kevin sudah pulang apa belum? Duh, tidurku nyenyak sekali sampai tak sadar." Alana cepat-cepat membereskan kekacauan itu. Ia bergegas ke ruang kerja Kevin. Tidak ada, bahkan ruangan itu lampunya saja padam. Alana kembali mendekat ke ranjang. Diraihnya ponsel y
Ingin sekali Alana menerima panggilan itu. Akan tetapi, ia tidak ingin ikut campur dengan urusan kantor atau mungkin jika ia menjawab panggilan, takut jika Kevin mengatainya lancang. Akhirnya, Alana membangunkan Kevin. "Mas, bangun!"Hanya mengguncang bahu saja Kevin terbangun. Perlahan Kevin membuka matanya. "Ada apa, Sayang?""Ada telepon.""Kenapa gak kamu angkat saja," ucap Kevin dengan nada malas karena rasa kantuk masih melanda. "Ini dari nomor yang tertulis di kertas semalam itu.""Apa?!" Kevin terlihat kaget, lalu menyambar ponselnya cepat. Sikap Kevin tentu saja membuat Alana terkejut dan curiga. Ponsel sudah di tangan Kevin seiring dengan matinya panggilan tersebut. "Siapa, sih, Mas? Kenapa sampe segitunya? Mau bahas bisnis di jam segini? Pengusaha, apa wanita yang berusaha menggoda?!"Pertanyaan Alana berhasil membuat jantung Kevin hampir copot. Karena pasalnya, pemilik nomor itu memang seorang wanita. Hanya saja, Kevin merasa sulit untuk menjelaskan karena wanita itu
Alana mendorong tubuh Kevin sekuat tenaga. Berhasil, pria itu terdorong dari tubuhnya. Alana segera bangkit sambil mengusap bibirnya. Ia merasa jijik karena bibir Kevin meluncur bebas di sana. Namun, alih-alih segera pergi dari sana, Alana dikejutkan dengan Kevin yang tertelungkup di lantai. "Mas Kevin?" sapa Alana, "Mas?"Alana membatin. "Apa dia pingsan?" Alana berjongkok untuk memastikan. Sambil menepuk-nepuk pundak Kevin, Alana terus memanggil nama pria itu. Akan tetapi, nihil. Kevin tak kunjung bangun. "Bi? Bi Sumi!" teriak Alana panik. Tidak berselang lama Sumi datang. "Iya, Bu, ada ap --ya Tuhan, Bapak kenapa?" Sumi tak kalah panik. "Gak tau, Bi. Tolong bantu angkat, Bi!"Kini, Kevin sudah terbaring di kasur. Rupanya ia pingsan. Setelah tadi Alana menciumkan wewangian, Kevin sadarkan diri. Alana menghela napas lega. Pantas saja ketika Kevin menindih tubuhnya terasa sangat berat, ternyata Kevin pingsan. Menurutnya pingsan Kevin sangat menyebalkan. Bagaimana bisa bibir Ke
Dua hari setelah Alana tahu sebuah kebenaran tentang Melani, akhirnya pagi ini ia akan mengambil keputusan. Alana meminta Fadli untuk datang. Apalagi kalau bukan untuk merepotkan dokter itu lagi. "Ada apa?" tanya Fadli saat duduk di teras. "Kapan ada waktu senggang?""Kebetulan hari ini. Ada apa?""Tolong antar Mas Kevin ke Jakarta.""Jadi, sudah mengambil keputusan?"Alana mengangguk. Hatinya sudah yakin jika berpisah dengan Kevin adalah jalan terbaik. Ia tidak mau Liana terus-menerus bersikap dingin terhadapnya. Niat hati datang ke desa untuk memperbaiki mental putrinya. Akan tetapi, karena ulah Alana sendiri yang merawat Kevin justru memperburuk keadaan. "Apa kamu bersedia aku bikin repot lagi?""Tentu saja. Selama aku mampu, aku akan membantumu. Apa pun itu!"Alana tersenyum, lalu memberikan secarik kertas bertuliskan alamat rumah Kevin yang sudah ia siapkan sedari malam. "Tapi, tolong ... jangan katakan kepada siapapun, baik itu mertuaku atau Melani kalau aku yang menolong M
Alana pun bercerita kepada Fadli jika dokter kandungannya menceritakan hal yang sama. Bahkan Melani berkonsultasi kepada hampir semua dokter kandungan yang ada di Jakarta dan hasilnya sama. Ia mandul. Alana berdecak lidah. "Ya, aku baru ingat! Bahkan ruangan dokterku waktu itu sangat berantakan dan dokumen atas nama Melani berceceran di lantai.""Dan kita semua mendapat perlakuan sama dari si Melani itu," tutur Fadli. "Tapi, sepertinya aku yang lebih apes. Kena lemparan vas bunga. Untung hanya lebam saja. Kalau sampai keningku robek, aku seret dia ke kantor polisi," lanjutnya dengan kesal mengingat itu. Alana terkekeh-kekeh. "Kenapa Melani yang kita temui menyebalkan, ya?"Fadli terkekeh-kekeh. "He'em. Wanita itu sangat frustasi.""Kabarnya, dia mau hamil biar bisa menikah sama mantannya. Mau nebus kesalahannya di masa lalu gitu, deh, pokoknya," lanjut Fadli. Deg! Alana terdiam, membatin. Ceritanya sama persis dengan Melani, si mantan pacar Kevin. Ah, ataubhanya kebetulan saja?L
Sudah hampir satu bulan Kevin berada di desa. Secara fisik sudah terlihat bugar. Hanya saja, ingatannya belumlah pulih. Kini, pria itu tinggal serumah bersama Alana dengan kamar yang berbeda. Hampir setiap hari pula Fadli datang melihat kondisi pria itu. Seperti pagi ini, Fadli sudah siap mengantar Kevin untuk melakukan chek-up ke rumah sakit. "Sudah siap?" tanya Fadli. "Siap, Om Dokter!" jawab Liana dan Ilana kompak. Dua gadis kecil itu ikut bersama sekalian berangkat sekolah. Mobil pun melaju meninggalkan kediaman Alana. Tiba di sekolah, Liana dan Ilana segera turun setelah berpamitan kepada ibu dan sang pemilik mobil. Tak lupa, kecupan hangat dari Ilana untuk Kevin. Hanya Ilana saja, sedangkan Liana langsung bergegas turun. Ya, gadis itu tak hanya bersikap dingin kepada Kevin saja, tetapi kepada Alana karena sudah membawa Kevin tinggal bersama. Ia merasa keberatan. Perjalanan dilanjutkan, sampai akhirnya tiba di rumah sakit. Tak perlu menunggu lama, karena Fadli sudah membua
Malam itu Kevin sudah dipindahkan ke Puskesmas. Untungnya ada satu ruangan kosong sehingga tidak mengganggu aktivitas Puskesmas setiap harinya. "Sudah malam. Kalian pulanglah!" titah Fadli kepada Alana. "Kasian anak-anak.""Baiklah. Kami pulang dulu."Fadli mengangguk, lalu mengantar mereka sampai teras. "Dadah, Om!" Liana melambaikan tangan. Fadli membalas lambaian tangan Liana. "Dadah, Kakak!""Besok ketemu lagi, ya, Om?" timpal Ilana. "Iya, Ila cantik!"Fadli menutup pintu belakang setelah ia memasangkan sabuk pengaman pada kursi bayi Alina dan mobil pun melaju meninggalkan Puskesmas. Fadli bergegas ke dalam, menemui Kevin. "Anda mengenal istri saya, Pak Dokter?" tanya Kevin. Sambil memasang cairan infus baru Fadli menjawab, "Kami teman semasa SMA.""Apa Anda tau tentang kehidupan rumah tangga kami?"Fadli yang sedang mengatur aliran cairan infus seketika menoleh, lalu melanjutkan kembali aktivitasnya. "Kenapa Anda diam, Dokter? Istriku tadi mengatakan kami sedang proses ce
Alana sedikit membentak Liana yang membuat gadis itu marah dan meninggalkan kamar begitu saja. Fadli. Dokter tampan itu langsung mengikuti Liana yang ternyata sedang duduk di teras. "Anak cantik gak boleh marah. Nanti cantiknya ilang, loh!" goda Fadli. Liana yang cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada seketika menoleh. "Bukan urusan Om!"Fadli tersenyum. Ya, memang bukan urusannya. Ia memang terlalu kepo urusan orang. Ah, bukan ... Fadli tidak menganggap Alana orang lain sehingga apa pun yang terjadi dengannya ia selalu ingin tahu. Fadli ingin membalas kebaikan Alana tempo dulu. Kali ini saatnya, pikirnya. "Jadi, gak mau cerita sama Om, nih?" Fadli mencolek dagu Liana. "Jangan colek-colek aku, ya, Om?! Emangnya aku gadis apaan?"Fadli melongo, lalu tertawa terbahak-bahak sampai terpingkal-pingkal. "Hahahahah ... ya ampun ... ya ampun ...." Tawa Fadli mulai berhenti. "Kamu itu persis Mami kamu ternyata, ya?"Fadli mengembuskan napas kasar, lalu berdiri. "Ya udah kalo gak
Sore harinya, setelah Alana meminta paksa pulang Kevin, ia menemui rukun tetangga setempat yang tak jauh dari rumah. Ia menanyakan tentang keberadaan pelayanan kesehatan di desa tempatnya tinggal. Pasalnya, Alana akan menggunakan jasanya untuk merawat Kevin. "Ada dokter, Bu. Tapi hanya dokter kandungan. Itu pun baru praktek di sini beberapa bulan yang lalu.""Oh, begitu ya, Pak. Sebetulnya tidak masalah. Saya hanya perlu bantuan beliau untuk memasang dan lepas infus saja.""Loh, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit saja, Bu?"Alana tersenyum canggung. "Sempat dirawat, Pak. Tapi, selain rumah sakit yang cukup jauh, saya juga punya tiga putri. Jadi, tidak mungkin untuk bulak-balik rumah sakit," dalih Alana. "Kalau boleh tau puskesmasnya di mana, ya, Pak?" lanjut Alana. Pria itu menjawab jika Puskesmas berada di ujung jalan pesawahan. Alana pun bergegas pulang dan akan ke sana menggunakan mobil agar menghemat waktu. "Mami mau ke mana lagi?" tanya Ilana saat melihat Alana menyambar kunc
Dua minggu sudah berlalu. Kemarin, dokter mengabarkan bahwa Kevin sudah sadarkan diri. Pagi ini, Alana tengah bersiap menjenguknya. Tak hanya bersiap dengan penampilannya saja, tetapi ia menyiapkan hatinya. Ya, setelah mendengar pengakuan dari Toni, ketulusan hati Alana untuk merawat Kevin seketika runtuh. "Bi, titip anak-anak, ya?" kata Alana. "Iya, Bu. Titip salam untuk Bapak."Alana tersenyum. "Iya, Bi."Alana sengaja tidak berpamitan kepada anak-anaknya, karena sudah pasti mereka merajuk ingin ikut. Tidak mungkin juga jika dirinya mengatakan akan pergi ke rumah sakit, karena ujungnya mereka akan bertanya siapa yang sakit. Alana tidak ingin membohongi putirnya. Daripada berbohong, lebih baik tidak diberitahu sekalian.Dengan memakai T-shirt berwarna merah yang dipadankan celana jeans berwarna hitam, serta rambut yang diikat bak ekor kuda, Alana bergegas meninggalkan kediamannya menggunakan mobil sedan kesayangannya.*Minggu siang ini jalanan di kota padat merayap membuat Alana
Alana segera turun. Pikiran yang tidak fokus membuatnya tak menyadari jika ada anak kecil yang tiba-tiba saja menyebrang. "Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Alana panik sambil berjongkok. "Tidak, Tante. Maaf, ya, aku nyebrang gak liat-liat dulu.""Untung saja Anda rem tepat pada waktunya!" ucap seorang warga berjenis kelamin laki-laki. "Anak ini memang sering begini. Mencari perhatian dari siapa saja!"Alana mengusap pipi anak itu. Usianya mungkin tak jauh dengan Liana. Akhirnya, Alana menuntun anak itu ke tepian, sementara dirinya memindahkan mobil ke sisi kiri agar tidak terjadi kemacetan. "Namamu siapa?""Aura.""Apa benar apa yang dikatakan Bapak tadi?"Anak itu terdiam dengan kepala menunduk. "Habisnya Ibu sama Ayah gak pernah perhatiin aku, Tante.""Orang tuamu kerja?"Aura menggeleng. "Lalu?""Ayah sibuk sama ponselnya dan Ibu sibuk sama pacarnya."Alana terbelalak saking kagetnya. "Apa?!" Alana mengesah panjang. Anak sekecil ini harus menanggung derita akibat ulah orang tu