Alana sudah sadarkan diri setelah Kevin memanggil seorang dokter.
Hanya saja ia tampak murung. Ketika baby Alina menangis, Alana justru ikut menangis. Jangankan menyentuh, menyusui saja Alana tidak mau. Sikap Alana tentu saja membuat Kevin sedih sekaligus bingung. Belum lagi Liana dan Ilana yang tadinya meminta ditemani tidur justru ikut menangis melihat kondisi Alana. Melihat gelagat Alana, Dokter menjelaskan bahwa istri Kevin itu terkena baby blues syndrom. Awalnya Kevin tidak percaya karena Alina bukan anak pertama. Nyatanya, baby blues syndrom tidak hanya menimpa kepada ibu baru saja. Hal ini bisa menimpa kepada ibu yang sudah melahirkan beberapa anak juga, bahkan tidak mengenal usia. Semua dipicu karena banyak hal. Salah satu diantaranya karena perubahan hormon yang signifikan setelah melahirkan, pikiran, lingkungan sekitar yang membuat seorang ibu tertekan dan tidak percaya diri. "Istirahat yang cukup, berpikir positif. Dan yang paling penting adalah dukungan suami dan keluarga. Harap memahami saja. Emosi ibu setelah melahirkan itu naik-turun," tutur sang dokter. Kevin mengangguk. "Baik, Dokter, terima kasih." Dokter itu pun berpamitan pulang. Kevin memilih menitipkan Liana dan Ilana terlebih dahulu kepada Sumi sebelum akhirnya ia menidurkan Alina dan membujuk Alana. Untung saja Alina kembali tertidur walaupun tanpa minum ASI. Kevin naik ke atas ranjang dan duduk di samping menghadap Alana. Tangannya meraih kedua tangan Alana, lalu berkata, "Sayang, apa yang kamu rasakan? Katakanlah!" Alana menghambur ke dalam pelukan Kevin. "Aku takut!" Kevin membalas pelukan. Pria itu kembali meyakinkan istrinya jika apa yang Yuni pinta tidak akan terkabul. Kevin menghela napas. Kehadiran Yuni di kediamannya bukan memambah kebahagiaan, tetapi justru menciptakan benang kusut dalam rumah tangganya. Tidak mungkin juga baginya untuk meminta Yuni pergi dari rumahnya. Kevin tidan ingin menjadi anak durhaka. Alana sudah terlihat tenang bersamaan dengan ponsel Kevin yang berdering. Kevin lekas meraih benda pipih itu di atas nakas dan menerima panggilan. "Ada apa, Mas?" tanya Alana sesaat Kevin mematikan teleponnya. "Dari kantor, Sayang." "Tumben, ada apa?" "Ada masalah. Dan Mas diminta ke sana." "Ya, sudah, tunggu apa lagi?" Kevin menggeleng. "Mas mau temani kamu saja." "Aku udah ngrasa baikan, kok. Sana, kasian orang-orang nungguin Mas, loh." "Beneran kamu baik-baik aja?" Kevin memastikan. Ia tidak mau kejadian tadi terulang. Atau kalau-kalau Yuni masuk kamar dan membuat Alana kembali merasa tertekan. Setelah mendapat jawaban yang pasti dari Alana, Kevin pun pergi. Sebelumnya ia meminta Sumi untuk menemani setelah Liana dan Ilana tidur. *** Di kantor, kedatangan Kevin disambut oleh manager dan staff marketing yang sedang berkumpul. "Kenapa bisa terjadi?" tanya Kevin yang seketika memecah kerumunan. "Begini, Pak ... sebelum kami transfer, kami pastikan terlebih dahulu alamat e-mailnya dan hasilnya sama. Hanya saja di e-mail pertama, supplier tidak mencantumkan nomor rekening. Di e-mail kedua'lah mereka kirim. Kami tidak menaruh curiga sama sekali. Ketika kami kirim data ke pihak bank ternyata nomor rekeningnya berbeda dengan nomor sebelumnya. Kami segera hubungi pihak bank, tapi ternyata sudah terlanjur ditransfer," tutur sang manager. Kevin memijat keningnya yang seketika terasa berdenyut. Bagaimana tidak? Uang lima milyar yang di dapat dari pinjaman bank dan beberapa investor yang ia gunakan sebagai modal produksi seperti pembelian bahan baku kain dan beberapa unit mesin jahit dalam sekejap hilang. "Kenapa bisa ceroboh, hah?! Bukannya sudah lama bekerja dengan ayahku? Pengalamanmu sudah menuntun sampai posisimu sekrang. Jadi, seharusnya kamu bisa mengendus hal ini sedari awal, Pak Toni!" "Ma-maaf, Pak." "Adakan meeting sekarang!" lanjut Kevin, lalu pergi ke ruangannya. Di ruangan, Kevin membuka brankas. Di sana ada beberapa dokumen penting perusahaan dan tiga buku tabungan milik putri-putrinya yang sengaja ia buat untuk masa depan sang putri. Kevin akan menggunakannya untuk menutupi hutang kepada supplier. Setelah Toni memberitahu jika rapat siap dilaksanakan, Kevin bergegas ke sana. Dalam meetingnya, Toni mengungkap jika data pihak supplier ada yang meretas. Oleh karenanya, Kevin meminta kepada Toni agar pihak tersebut memberinya keringanan dengan membayar hutang dengan cara mencicil. "Pastikan mereka mengerti posisi kita dan menyetujui. Untuk mesin, minta kepada mereka untuk merubah sistem dari beli menjadi sewa!" "Baik, Pak. Saya akan usahakan," kata Toni. Kevin mengalihkan pandangannya kepada tim payroll. "Semua gaji sudah turun?" "Sudah, Pak." "Kalau begitu, babat habis karyawan kontrak. Kecuali kalau mereka mau bekerja sebagai harian lepas, silakan. Mengerti?" Namun, keputusan Kevin mengenai karyawan menuai protes. Perdebatan pun terjadi. *** Malam menjelang. Alana baru saja menyusui Alina. Liana dan Ilana pun sudah terlelap di kamarnya masing-masing. Kini, Alana bolak-balik melatih diri untuk berjalan, melatih ketahanan tubuhnya pasca operasi sambil sesekali melihat jam yang menempel di dinding. Sudah jam sembilan malam, tetapi Kevin belum menunjukkan batang hidungnya. Ceklek! Pintu kamar terbuka. Alana menoleh. Rupanya Yunia --adik Kevin, yang datang. "Eh, Dek, kapan datang? Katanya liburan. Apa enggak jadi?" "Minta duit!" cicit Yunia tanpa menanggapi Alana dengan sebelah tangan terulur meminta dan sebelah tangan lagi bertolak di pinggang. Alana tersenyum samar. Sudah nyelonong masuk, tidak menjawab pertanyaannya, tidak sopan pula. "Uang untuk apa?" "Gak usah banyak nanya, ih!" "Maaf, Dek, Kakak harus tahu dulu uangnya untuk apa." "Yang jelas buat gue pakek! Gak usah bawel, deh! Duit lu duit kakak gue juga. Mana!" Alana melongo. Kenapa sikap Yunia jadi seperti ini? Tanya itu bergelayut dalam hati Alana. "Berapa, Dek?" "Lima puluh juta!" "Sebanyak itu?!" Alana terhenyak, kaget. "Maaf, tidak ada, Dek!" Alana melangkah mundur seiring Yunia yang maju mendekat dengan tatapan nyalang. Yunia menjambak Alana. "Cepet! Gue lagi butuh duit!" "Aaaa, sakit, Dek, lepas!" Terdengar suara langkah mendekat. Cengkeraman Yunia pun seketika terlepas. "Ada apa ribut-ribut?" tanya Kevin, yang ternyata masuk bersama Yuni. Yunia berlari ke arah Kevin dan memeluk. Sambil memegang pipi dan menangis, Yunia berkata, "Kak Alana menamparku, Kak!" Kedua bola mata Alana membulat sempurna. Ia menggeleng cepat. Yuni. Wanita itu menatap nyalang Alana. "Kamu liat, Kevin? Selain istrimu tidak bisa membuat Ibu bahagia, dia sudah berani menyiksa adikmu!" Yuni menarik Yunia, memaksanya ke luar kamar menyisakan Alana dan Kevin yang saling menatap. Alana menitikkan air mata. Dalam hati, Alana bertanya-tanya. Akankah Kevin mempercayainya?Satu minggu sudah berlalu. Setelah kejadian malam itu, Alana memilih untuk menjaga jarak dengan Yunia. Untung saja kamar Alana berada di bawah. Mertua serta adik iparnya berada di lantai dua tepat di samping kamar Liana. Alana merasa bersyukur karena saat itu Kevin lebih percaya kepadanya. Bahkan Kevin melarang Yunia maupun Yuni untuk masuk kamar utama. Lekakinya itu selalu membela ketika Yuni menghujatnya. Kevin selalu ada di sisinya saat ia merasa terpuruk, sedih, dan rasa takut melanda. Perlahan Alana bisa melewati hari-hari yang menurutnya berat itu. Kewarasan harus tetap terjaga karena ada Liana, Ilana dan Alina yang harus diperhatikan. Ia tak peduli lagi yang dikatakan oleh Yuni maupun Yunia. Seperti pagi ini. Pagi saat sarapan ketika mereka bertemu."Kamu harusnya bersyukur, Alana. Ibu sudah merestui kamu untuk menikah dengan Kevin walaupun kamu entah dari keluarga mana," tutur Yuni. "Keluarga gak jelas!" timpal Yunia. "Yunia!" pekik Kevin. Yunia mendelik dan memilih kemba
Prang! Alana terbangun oleh suara yang terdengar seperti kaca yang pecah. Alana melihat ke arah box bayi. Untung saja Alina tidak terganggu sama sekali. Alan bergegas turun mencari di mana arah suara kaca itu. Alangkah terkejutnya ia ternyata bingkai foto yang membingkai foto pernikahannya terjatuh dan pecah. "Ya, Tuhan, pertanda apa ini?" Alana mengusap lengannya karena embusan angin dingin menyapa. Alana menoleh. Rupanya jendela di pojok kamar lupa ia tutup. Alana bergegas menutup jendela itu sambil merutuk diri sendiri kenapa sampai ia lupa menutup jendela. Setelah memastikan jendela tertutup rapat, Alana membersihkan pecahan kaca. Alana mendongak. Jarum jam sudah menunjuk pada angka sebelas malam itu. "Mas Kevin sudah pulang apa belum? Duh, tidurku nyenyak sekali sampai tak sadar." Alana cepat-cepat membereskan kekacauan itu. Ia bergegas ke ruang kerja Kevin. Tidak ada, bahkan ruangan itu lampunya saja padam. Alana kembali mendekat ke ranjang. Diraihnya ponsel y
Ingin sekali Alana menerima panggilan itu. Akan tetapi, ia tidak ingin ikut campur dengan urusan kantor atau mungkin jika ia menjawab panggilan, takut jika Kevin mengatainya lancang. Akhirnya, Alana membangunkan Kevin. "Mas, bangun!"Hanya mengguncang bahu saja Kevin terbangun. Perlahan Kevin membuka matanya. "Ada apa, Sayang?""Ada telepon.""Kenapa gak kamu angkat saja," ucap Kevin dengan nada malas karena rasa kantuk masih melanda. "Ini dari nomor yang tertulis di kertas semalam itu.""Apa?!" Kevin terlihat kaget, lalu menyambar ponselnya cepat. Sikap Kevin tentu saja membuat Alana terkejut dan curiga. Ponsel sudah di tangan Kevin seiring dengan matinya panggilan tersebut. "Siapa, sih, Mas? Kenapa sampe segitunya? Mau bahas bisnis di jam segini? Pengusaha, apa wanita yang berusaha menggoda?!"Pertanyaan Alana berhasil membuat jantung Kevin hampir copot. Karena pasalnya, pemilik nomor itu memang seorang wanita. Hanya saja, Kevin merasa sulit untuk menjelaskan karena wanita itu
Alana menenangkan hati. Ia tidak ingin berprasangka buruk kepada Kevin. Percaya. Satu kata itu yang harus tetap tertanam dalam hati. Alana memulai bergelut dengan perabot dapur dan aneka sayur serta lainnya dibantu oleh Sumi. Bisa saja Alana tidak menggunakan jasa Sumi. Hanya saja, Kevin yang selalu cerewet tidak ingin Alana kelelahan. Belum lagi mengurus tiga putrinya. Padahal, Alana tidak keberatan dan senang melakukannya. Keputusan Kevin paling tidak bisa Alana bantah. Oleh karena itu, hadirlah Sumi sejak tujuh tahun lalu. Satu jam berlalu. Semua menu sarapan sudah tertata di piring. Sisanya ia serahkan kepada Sumi. Saatnya membangunkan Liana dan Ilana.Liana dan Ilana sudah tampil bersih dan wangi saat Alana masuk ke kamar mereka. Alana sangat bersyukur, karena mereka cepat memahami apa yang Alana ajarkan. "Kalau begitu, Mami tunggu di meja makan, ya?"Liana dan Ilana mengangguk."Tapi, Mi ...," Liana menggantung ucapannya. Alana yang hendak pergi menoleh. "Apa, Sayang?"Denga
"Ingat rumah, Mas?"Alana yang tahu Kevin beru saja pulang menyambutnya dekat pintu dan dengan sengaja menyalakan lampu saat Kevin memasuki kamar. Matanya menangkap jika Kevin terperanjat, kaget. "Ya, ampun, Sayang ... bikin jantung Mas copot aja, deh!" ucap Kevin, sambil mengelus dadanya. Alana memerhatikan Kevin dari ujung kepala hingga ujung kaki, walau tertutup kaos kaki. Ada yang berbeda? Tentu saja. Akan tetapi, Alana tidak akan membahasnya sekarang. Alana menatap Kevin sambil menggeleng pelan, lalu ke luar kamar melewati Kevin begitu saja. "Sayang, tunggu!" Kevin mengejar Alana dan berhasil memegang pergelangan tangannya. "Sayang, Maaf, Mas lembur gak ngasih kabar kamu. Mas lagi sibuk, sampe ketiduran di kantor. Ja--"Alana menarik lengannya. "Cukup, Mas! Aku tidak butuh penjelasan yang aku sendiri bingung harus percaya yang mana. Sekarang Mas bilang lembur ketiduran di kantor. Tapi semalam Mas balas pesan, Mas lagi butuh hiburan. Jangan-jangan ketiduran di club juga!"Al
Kevin mengerang kesakitan sambil memegang pinggang seiring dengan jantung yang berdetak kencang disertai keringat dingin mengucur di dahi. Perlahan kedua matanya terbuka lebar dan menyisir sekitar memastikan dirinya berada di mana. Sejenak ia terdiam, mengingat apa yang sudah terjadi. Setelah mandi tadi ia berbaring, lalu terlelap.Embusan napas kasar lolos begitu saja dari mulutnya. "Ya, Tuhan ... rupanya mimpi." Mimpi yang menurutnya buruk. Bagaimana tidak? Dalam mimpi saja diamnya Alana membuat dirinya takut. Takut Alana pergi dari hidupnya. Bagaimana kalau nyatanya Alana tahu? Tidak! Kevin menggeleng cepat. Perlahan Kevin bangkit. Dorongan Alana dalam mimpi rupanya membuat Kevin terjatuh dari kasur. Kevin tersenyum sarkas sambil menggeleng. Mata Kevin tertuju pada box bayi. Ia mengamati sambil menghampiri. Kosong. Alina ke mana? Batinnya. Kevin bergegas membuka lemari pakaian Alina, mencari tas bayi. Nihil. Tidak ada tas Alina di sana. Kevin segera meninggalkan kamar. Ia berl
Kevin mengambil kesempatan. Ia menarik tangan Alana, mengajaknya duduk di lorong yang cukup sepi. Alana hanya diam. Ia ingin tahu apa yang akan Kevin katakan. Alana menatap ke sembarang arah, Kevin duduk di sebalah mana Alana menatap. Alana menunduk, Kevin bertekuk lutut. "Sayang, Mas mohon tataplah mata Mas," ucap Kevin. Alana mengikuti perintah. Alana menatap Kevin, sangat dalam. Lantas Kevin meminta maaf. Kata maaf Kevin terdengar sangat tulus. Kevin mengaku jika dirinya terlalu senang karena perusahaannya telah bekerjasama dengan dua perusahaan lain. Semalam ia merayakan atas keberhasilan itu. "Maaf, Mas tidak fokus membaca chat kamu semalam. Mas pikir kamu hanya meminta Mas pulang saja, bukan karena anak-anak sakit," dusta Kevin. Dalam hati, Alana menertawakan dirinya sendiri. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwasanya istrinya tak lagi penting bagi Kevin? "Tidur di mana?" tanya Alana ketus. "Tentu saja di kamar, Sayang."Alana tersenyum sinis. "Hotel, apartemen, kantor,
Kevin mendengkus seolah-olah panggilan itu penting tidak penting. Ia menggerutu seakan-akan panggilan itu mengganggu kebersamaannya dengan Alana. "Maaf, Bu, bisa tidak menghubungi saya di saat jam kerja? Mengenai informasi Pak Handoko, tolong kirim melalui e-mail atau chat saja, bisa?""Emm ... ah, iya, iya, baiklah. Maaf, sudah mengganggu," kata lawan bicara Kevin yang tak lain adalah Melani. Kevin memutuskan sambungan telepon. Plong! Hatinya merasa lega karena Melani sangat peka dan memahami maksudnya. "Aku'kan udah bilang, minta nomor Pak Handoko langsung," kata Alana. "Sudah, Sayang. Tapi, Pak Handoko bilang cukup lewat dia saja. Mas, sih, nebak emang dia sekretarisnya.""Lah, itu, Mas bisa ngobrol langsung sama orangnya. Lewat apa?""E-mail, Sayang. Mas juga merasa aneh, kenapa dia tidak memberikan nomor ponsel saja. Masa iya rahasia? Kan, tidak mungkin.""Tapi ...,""Sudah, mending sekarang kamu tidur. Mumpung Alina juga lelap." Kevin mengatur bantal untuk Alana. Alana yan