Share

Bab 4

Alana sudah sadarkan diri setelah Kevin memanggil seorang dokter.

Hanya saja ia tampak murung. Ketika baby Alina menangis, Alana justru ikut menangis. Jangankan menyentuh, menyusui saja Alana tidak mau. Sikap Alana tentu saja membuat Kevin sedih sekaligus bingung. Belum lagi Liana dan Ilana yang tadinya meminta ditemani tidur justru ikut menangis melihat kondisi Alana.

Melihat gelagat Alana, Dokter menjelaskan bahwa istri Kevin itu terkena baby blues syndrom. Awalnya Kevin tidak percaya karena Alina bukan anak pertama. Nyatanya, baby blues syndrom tidak hanya menimpa kepada ibu baru saja. Hal ini bisa menimpa kepada ibu yang sudah melahirkan beberapa anak juga, bahkan tidak mengenal usia. Semua dipicu karena banyak hal. Salah satu diantaranya karena perubahan hormon yang signifikan setelah melahirkan, pikiran, lingkungan sekitar yang membuat seorang ibu tertekan dan tidak percaya diri.

"Istirahat yang cukup, berpikir positif. Dan yang paling penting adalah dukungan suami dan keluarga. Harap memahami saja. Emosi ibu setelah melahirkan itu naik-turun," tutur sang dokter.

Kevin mengangguk. "Baik, Dokter, terima kasih."

Dokter itu pun berpamitan pulang.

Kevin memilih menitipkan Liana dan Ilana terlebih dahulu kepada Sumi sebelum akhirnya ia menidurkan Alina dan membujuk Alana.

Untung saja Alina kembali tertidur walaupun tanpa minum ASI. Kevin naik ke atas ranjang dan duduk di samping menghadap Alana. Tangannya meraih kedua tangan Alana, lalu berkata, "Sayang, apa yang kamu rasakan? Katakanlah!"

Alana menghambur ke dalam pelukan Kevin. "Aku takut!"

Kevin membalas pelukan. Pria itu kembali meyakinkan istrinya jika apa yang Yuni pinta tidak akan terkabul.

Kevin menghela napas. Kehadiran Yuni di kediamannya bukan memambah kebahagiaan, tetapi justru menciptakan benang kusut dalam rumah tangganya. Tidak mungkin juga baginya untuk meminta Yuni pergi dari rumahnya. Kevin tidan ingin menjadi anak durhaka.

Alana sudah terlihat tenang bersamaan dengan ponsel Kevin yang berdering. Kevin lekas meraih benda pipih itu di atas nakas dan menerima panggilan.

"Ada apa, Mas?" tanya Alana sesaat Kevin mematikan teleponnya.

"Dari kantor, Sayang."

"Tumben, ada apa?"

"Ada masalah. Dan Mas diminta ke sana."

"Ya, sudah, tunggu apa lagi?"

Kevin menggeleng. "Mas mau temani kamu saja."

"Aku udah ngrasa baikan, kok. Sana, kasian orang-orang nungguin Mas, loh."

"Beneran kamu baik-baik aja?" Kevin memastikan. Ia tidak mau kejadian tadi terulang. Atau kalau-kalau Yuni masuk kamar dan membuat Alana kembali merasa tertekan.

Setelah mendapat jawaban yang pasti dari Alana, Kevin pun pergi. Sebelumnya ia meminta Sumi untuk menemani setelah Liana dan Ilana tidur.

***

Di kantor, kedatangan Kevin disambut oleh manager dan staff marketing yang sedang berkumpul.

"Kenapa bisa terjadi?" tanya Kevin yang seketika memecah kerumunan.

"Begini, Pak ... sebelum kami transfer, kami pastikan terlebih dahulu alamat e-mailnya dan hasilnya sama. Hanya saja di e-mail pertama, supplier tidak mencantumkan nomor rekening. Di e-mail kedua'lah mereka kirim. Kami tidak menaruh curiga sama sekali. Ketika kami kirim data ke pihak bank ternyata nomor rekeningnya berbeda dengan nomor sebelumnya. Kami segera hubungi pihak bank, tapi ternyata sudah terlanjur ditransfer," tutur sang manager.

Kevin memijat keningnya yang seketika terasa berdenyut. Bagaimana tidak? Uang lima milyar yang di dapat dari pinjaman bank dan beberapa investor yang ia gunakan sebagai modal produksi seperti pembelian bahan baku kain dan beberapa unit mesin jahit dalam sekejap hilang.

"Kenapa bisa ceroboh, hah?! Bukannya sudah lama bekerja dengan ayahku? Pengalamanmu sudah menuntun sampai posisimu sekrang. Jadi, seharusnya kamu bisa mengendus hal ini sedari awal, Pak Toni!"

"Ma-maaf, Pak."

"Adakan meeting sekarang!" lanjut Kevin, lalu pergi ke ruangannya.

Di ruangan, Kevin membuka brankas. Di sana ada beberapa dokumen penting perusahaan dan tiga buku tabungan milik putri-putrinya yang sengaja ia buat untuk masa depan sang putri. Kevin akan menggunakannya untuk menutupi hutang kepada supplier.

Setelah Toni memberitahu jika rapat siap dilaksanakan, Kevin bergegas ke sana.

Dalam meetingnya, Toni mengungkap jika data pihak supplier ada yang meretas. Oleh karenanya, Kevin meminta kepada Toni agar pihak tersebut memberinya keringanan dengan membayar hutang dengan cara mencicil.

"Pastikan mereka mengerti posisi kita dan menyetujui. Untuk mesin, minta kepada mereka untuk merubah sistem dari beli menjadi sewa!"

"Baik, Pak. Saya akan usahakan," kata Toni.

Kevin mengalihkan pandangannya kepada tim payroll. "Semua gaji sudah turun?"

"Sudah, Pak."

"Kalau begitu, babat habis karyawan kontrak. Kecuali kalau mereka mau bekerja sebagai harian lepas, silakan.

Mengerti?"

Namun, keputusan Kevin mengenai karyawan menuai protes. Perdebatan pun terjadi.

***

Malam menjelang.

Alana baru saja menyusui Alina. Liana dan Ilana pun sudah terlelap di kamarnya masing-masing.

Kini, Alana bolak-balik melatih diri untuk berjalan, melatih ketahanan tubuhnya pasca operasi sambil sesekali melihat jam yang menempel di dinding.

Sudah jam sembilan malam, tetapi Kevin belum menunjukkan batang hidungnya.

Ceklek!

Pintu kamar terbuka. Alana menoleh.

Rupanya Yunia --adik Kevin, yang datang.

"Eh, Dek, kapan datang? Katanya liburan. Apa enggak jadi?"

"Minta duit!" cicit Yunia tanpa menanggapi Alana dengan sebelah tangan terulur meminta dan sebelah tangan lagi bertolak di pinggang.

Alana tersenyum samar. Sudah nyelonong masuk, tidak menjawab pertanyaannya, tidak sopan pula.

"Uang untuk apa?"

"Gak usah banyak nanya, ih!"

"Maaf, Dek, Kakak harus tahu dulu uangnya untuk apa."

"Yang jelas buat gue pakek! Gak usah bawel, deh! Duit lu duit kakak gue juga. Mana!"

Alana melongo. Kenapa sikap Yunia jadi seperti ini? Tanya itu bergelayut dalam hati Alana.

"Berapa, Dek?"

"Lima puluh juta!"

"Sebanyak itu?!" Alana terhenyak, kaget. "Maaf, tidak ada, Dek!"

Alana melangkah mundur seiring Yunia yang maju mendekat dengan tatapan nyalang.

Yunia menjambak Alana. "Cepet! Gue lagi butuh duit!"

"Aaaa, sakit, Dek, lepas!"

Terdengar suara langkah mendekat. Cengkeraman Yunia pun seketika terlepas.

"Ada apa ribut-ribut?" tanya Kevin, yang ternyata masuk bersama Yuni.

Yunia berlari ke arah Kevin dan memeluk. Sambil memegang pipi dan menangis, Yunia berkata, "Kak Alana menamparku, Kak!"

Kedua bola mata Alana membulat sempurna. Ia menggeleng cepat.

Yuni. Wanita itu menatap nyalang Alana. "Kamu liat, Kevin? Selain istrimu tidak bisa membuat Ibu bahagia, dia sudah berani menyiksa adikmu!"

Yuni menarik Yunia, memaksanya ke luar kamar menyisakan Alana dan Kevin yang saling menatap.

Alana menitikkan air mata. Dalam hati, Alana bertanya-tanya. Akankah Kevin mempercayainya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status