Hari demi hari Alana lalui dengan penuh rasa bahagia seperti dahulu. Tak ada lagi Yuni yang selalu membebaninya dengan meminta cucu laki-laki. Kabarnya, Yuni kembali tinggal di Singapura. Ia menolak keras untuk tinggal kembali bersama Kevin. Meskipun demikian, Alana tetap berusaha mendekatkan diri kepada Yuni dengan bertanya kabar melalui telepon, bahkan berkunjung ke sana walaupun kehadiran Alana dan anak-anaknya tidak dianggap. Sudah satu tahun semenjak investor baru masuk, perusahaan Kevin maju pesat. Hampir setiap hari Alana mendapatkan hadiah, baik berupa bunga, perhiasan, bahkan sebuah mobil mewah Kevin berikan kemarin. Ketiga putrinya pun dimanjakan. Bahkan Liana dan Ilana pindah ke sekolah favorit di kota. Kevin juga menepati janjinya. Berangkat lebih awal ke kantor, pulang selalu tepat waktu, yakni jam lima sore. "Hari ini pulang dijam biasa, kan?" tanya Alana. "Memangnya kenapa?""Emang Mas lupa hari ini hari apa?"Laki-laki bergelar suami itu mengerutkan dahi, mencoba me
"Mi?"Alana terhenyak karena Ilana menggoyang tangannya. "Ah, iya, Sayang.""Gambar Ila bagus, kan, Mi?""I-iya, bagus, Sayang. Ya, udah, kita pulang, yuk!"Ilana mengangguk cepat. Alana memasukan buku gambar itu ke dalam tas Ilana, lalu memasangkan sabuk pengaman Ilana yang kebetulan duduk di jok depan. Setelah memastikan Liana dan Alina duduk nyaman dan aman di jok belakang, Alana memacu mobilnya meninggalkan sekolah. *Setibanya di rumah, Liana dan Ilana masuk ke kamarnya masing-masing untuk berganti pakaian. Sedangkan Alana, menidurkan Alina yang mulai rewel. Alina sudah pulas. Saatnya berkutat di dapur. Alana tak lekas ke dapur, ia ke kamar kedua putrinya. "Apa yang terjadi, Sayang?" tanya Alana karena mendapati Ilana ada di kamar Liana. "Ini, Mi, anting Ila nyangkut di seragam," jawab Ilana. Alana yang berdiri di bibir pintu pun memilih masuk. "Sekarang gimana? Udah lepas?""Udah, Mi, baru aja," jawab Liana. Alana tersenyum dan meminta Ilana segera berganti pakaian. "O
Tubuh Alana menegang. "Apa ini ada hubungannya dengan mimpi Ilana?" Batin Alana. Alana menarik napasnya dalam-dalam. "Tenang, Alana, tenang ...." Batinnya. Sesungguhnya hati dan mata Alana sudah memanas, tetapi ia harus menahan segela rasa dan tanya, karena ada putrinya. "Ini untuk Papi."Suara Ilana membuat Alana terhenyak dan melerai pelukan.Rupanya Ilana memberikan buku gambar tadi. Ilana menjelaskan hal yang sama. Dan pertanyaan yang sama pula terlontar dari Kevin karena Ilana tidak menyebutkan siapa satu gambar lagi. Kevin berjongkok menyeimbangi tinggi badan Ilana. "Ini siapa?""Tante cantik!" jawab Ilana singkat, tetapi terdengar ketus. "Siapa, tuh?"Ilana menjawab hal yang sama. Tak dilebih-lebihkan dan tidak dikurangi. "Tapi aku gak suka sama tante itu! Dia jahat udah dorong Mami sampe jatoh!"Alana mengernyit. Rupanya ada kelanjutan cerita dalam mimpi Ilana itu. Alana memerhatikan Kevin. Kenapa wajahnya terlihat tegang? "Itu hanya mimpi, Sayang," ucap Kevin sambi
Tepat jam enam pagi, menu sarapan sudah terhidang di meja makan. Satu per satu orang terkasih Alana duduk di kursi masing-masing, kecuali baby Alina. Bayi yang menginjak usia tiga belas bulan itu masih tidur pulas. Tinggal menunggu Kevin. "Pagi?" Akhirnya Kevin datang tepat pukul 06:30 WIB. "Pagi, Papi," Liana dan Ilana membalas sapa sang ayah. Alana berdiri menyambut kedatangan suaminya itu. "Mas mau sarapan sama apa?"Kevin memindai satu per satu hidangan yang ada di meja. "Sandwich saja, Sayang."Alana segera menghidangkan, lengkap dengan segelas air mineral yang ia simpan di sebelah kanan Kevin. "Tadi malam aku menerima panggilan telepon," ucap Alana saat menggeser kursi untuk ia duduki.Sambil mengunyah, Kevin menatap Alana. "Dari siapa?""Pak Johan.""Uhuk!"Kevin terbatuk sampai-sampai potongan sandwich terlontar dari mulutnya. Alana yang baru menarik kursi kembali melayani Kevin dengan memberikan air minum. "Makannya pelan-pelan, Mas!"Kevin meraihnya, lalu meminumnya
Sambil menunggu Kevin pulang, Alana memilih ke kamar jikalau saja baby Alina sudah bangun. Dan ternyata belum. Alana kembali ke ruang tamu untuk membereskan balon serta pernak-pernik lainnya. Alana tidak membuangnya, melainkan ia akan simpan di ruangan bermain. Selang beberapa lama, Kevin kembali. Alana yang masih berada di ruang tamu tidak menyambut dan tidak pula bertanya kembali perihal nomor Johan. Alana ingin Kevin'lah yang memulai. "Alina belum bangun, Yang?" tanya Kevin. "Belum," jawab Alana singkat. "Ya sudah, Mas ke ruang kerja dulu, ya?""Hem!"Alana menatap punggung Kevin. Pria itu lupa atau memang menghindar? Alana menghirup udara sebanyak mungkin. Tidak! Ia tidak akan tinggal diam. Dengan Alana tidak bertanya justru bisa saja Kevin bertindak sesukanya. Alana tidak akan membiarkan. Ibu tiga anak itu bergegas ke ruang bermain. Setelah menata balon dan lainnya, Alana segera meninggalkan ruangan tersebut. Baru saja masuk kamar, baby Alina menangis. Alana menghampiri, l
"Mbak? Mari mulai transaksinya," ucap kasir minimarket. Alana terhenyak. "Ma-maaf!" Alana memberikan keranjang yang ia pegang kepada sang kasir. Di saat hati tak menentu, wanita tadi ternyata sama-sama berada dekat kasir. Ia mengambil sebatang cokelat yang berada di samping kanan bawah Alana. Dada Alana naik-turun mengatur napas yang terasa kian sesak. Bagaimana tidak? Aroma parfum yang ia cium di kemeja Kevin sama persis dengan aroma tubuh wanita itu. Ya, tidak salah lagi. "Semuanya seratus lima puluh ribu, Mbak," ucap kasir. Namun, Alana tidak merespon. "Mbak?" sang kasir kembali menyapa. Puk! Wanita tadi menepuk pundak Alana. "Bengong mulu! Cepet bayar!"Alana terhenyak, kaget. "Maaf, berapa?""Seratus lima puluh ribu."Alana mengeluarkan dua lembar uang kertas berwarna merah. Setelah menerima kembalian, Alana menatap sinis wanita tadi, lalu pergi. Sebelum naik mobil, Alana mengatur napasnya mencoba menetralisir segala rasa yang ada. Jikalau saja tidak ada Alina, tak seg
Tiga hari berlalu. Alana dan keluarga sudah tinggal di rumah baru. Liana dan Ilana merasa sangat senang. Kamar yang mereka tempati jauh lebih luas dari kamar mereka terdahulu. Liana dan Ilana dengan leluasa menyimpan koleksi mainan mereka. Ditambah lagi jarak antara rumah ke sekolah cukup dekat. Pun dengan kantor Kevin. Alana tak lagi curiga kepada Kevin. Dan mengenai wanita hamil yang bertemu dengannya di minimarket yang sempat memasuki gerbang rumahnya ternyata hanya ikut parkir saja. Kondisi jalanan waktu itu memang padat karena ada beberapa mobil yang parkir di bahu jalan. Itu menyulitkannya untuk memutar mobilnya. Ya, wanita itu mengaku jika rumahnya terlewat satu nomor. Setelah diamati memang rumah mereka bentuk bangunannya sama. "Siap?" tanya Alana kepada Liana dan Ilana. "Siap, Mami!" jawab mereka kompak. "Let's go!"Ibu dan anak itu bersama-sama menuruni anak tangga. Mereka akan membeli kue ulang tahun. Ya, tepat hari ini sang kepala rumah tangga berulang tahun. Alina ya
Dengan napas terengah-engah, Kevin masuk dan berkata, "Sayang, Mas bisa jelaskan!""Jadi ...?" tanya Alana dengan suara bergetar menahan amarah menuntut jawaban Kevin. Kevin menunduk. "Maaf!"Tanpa Kevin berkata panjang lebar, Alana sudah tahu maksud Kevin. Tubuh Alana limbung, kue di tangan pun hampir saja terjatuh. Bersamaan dengan itu, Ilana bersorak melompat-lompat karena senang Kevin sudah pulang. "Yeaah! Papi datang!" cicit mulut mungil Ilana, "Mami, ayok, kita nyanyiin lagu ulang tahunnya!"Seketika Alana tersadar dan menatap ketiga putrinya bergantian. Ia berusaha berdiri tegap. Alana yang tidak ingin mereka terlibat dalam situasi itu mencoba mengenyahkan segala rasa yang ada dengan mengukir senyum manis dan turut bersorak. "Yeaaah! Ayok, tiup terompetnya, dong!"Alana menyanyikan lagu ulang tahun diiringi dengan tiupan terompet dari Liana dan Ilana sambil menahan air mata yang sedari tadi menggenang agar tidak menetes. Alana meletakan kue itu di atas meja. Secepat kilat i
Alana mendorong tubuh Kevin sekuat tenaga. Berhasil, pria itu terdorong dari tubuhnya. Alana segera bangkit sambil mengusap bibirnya. Ia merasa jijik karena bibir Kevin meluncur bebas di sana. Namun, alih-alih segera pergi dari sana, Alana dikejutkan dengan Kevin yang tertelungkup di lantai. "Mas Kevin?" sapa Alana, "Mas?"Alana membatin. "Apa dia pingsan?" Alana berjongkok untuk memastikan. Sambil menepuk-nepuk pundak Kevin, Alana terus memanggil nama pria itu. Akan tetapi, nihil. Kevin tak kunjung bangun. "Bi? Bi Sumi!" teriak Alana panik. Tidak berselang lama Sumi datang. "Iya, Bu, ada ap --ya Tuhan, Bapak kenapa?" Sumi tak kalah panik. "Gak tau, Bi. Tolong bantu angkat, Bi!"Kini, Kevin sudah terbaring di kasur. Rupanya ia pingsan. Setelah tadi Alana menciumkan wewangian, Kevin sadarkan diri. Alana menghela napas lega. Pantas saja ketika Kevin menindih tubuhnya terasa sangat berat, ternyata Kevin pingsan. Menurutnya pingsan Kevin sangat menyebalkan. Bagaimana bisa bibir Ke
Dua hari setelah Alana tahu sebuah kebenaran tentang Melani, akhirnya pagi ini ia akan mengambil keputusan. Alana meminta Fadli untuk datang. Apalagi kalau bukan untuk merepotkan dokter itu lagi. "Ada apa?" tanya Fadli saat duduk di teras. "Kapan ada waktu senggang?""Kebetulan hari ini. Ada apa?""Tolong antar Mas Kevin ke Jakarta.""Jadi, sudah mengambil keputusan?"Alana mengangguk. Hatinya sudah yakin jika berpisah dengan Kevin adalah jalan terbaik. Ia tidak mau Liana terus-menerus bersikap dingin terhadapnya. Niat hati datang ke desa untuk memperbaiki mental putrinya. Akan tetapi, karena ulah Alana sendiri yang merawat Kevin justru memperburuk keadaan. "Apa kamu bersedia aku bikin repot lagi?""Tentu saja. Selama aku mampu, aku akan membantumu. Apa pun itu!"Alana tersenyum, lalu memberikan secarik kertas bertuliskan alamat rumah Kevin yang sudah ia siapkan sedari malam. "Tapi, tolong ... jangan katakan kepada siapapun, baik itu mertuaku atau Melani kalau aku yang menolong M
Alana pun bercerita kepada Fadli jika dokter kandungannya menceritakan hal yang sama. Bahkan Melani berkonsultasi kepada hampir semua dokter kandungan yang ada di Jakarta dan hasilnya sama. Ia mandul. Alana berdecak lidah. "Ya, aku baru ingat! Bahkan ruangan dokterku waktu itu sangat berantakan dan dokumen atas nama Melani berceceran di lantai.""Dan kita semua mendapat perlakuan sama dari si Melani itu," tutur Fadli. "Tapi, sepertinya aku yang lebih apes. Kena lemparan vas bunga. Untung hanya lebam saja. Kalau sampai keningku robek, aku seret dia ke kantor polisi," lanjutnya dengan kesal mengingat itu. Alana terkekeh-kekeh. "Kenapa Melani yang kita temui menyebalkan, ya?"Fadli terkekeh-kekeh. "He'em. Wanita itu sangat frustasi.""Kabarnya, dia mau hamil biar bisa menikah sama mantannya. Mau nebus kesalahannya di masa lalu gitu, deh, pokoknya," lanjut Fadli. Deg! Alana terdiam, membatin. Ceritanya sama persis dengan Melani, si mantan pacar Kevin. Ah, ataubhanya kebetulan saja?L
Sudah hampir satu bulan Kevin berada di desa. Secara fisik sudah terlihat bugar. Hanya saja, ingatannya belumlah pulih. Kini, pria itu tinggal serumah bersama Alana dengan kamar yang berbeda. Hampir setiap hari pula Fadli datang melihat kondisi pria itu. Seperti pagi ini, Fadli sudah siap mengantar Kevin untuk melakukan chek-up ke rumah sakit. "Sudah siap?" tanya Fadli. "Siap, Om Dokter!" jawab Liana dan Ilana kompak. Dua gadis kecil itu ikut bersama sekalian berangkat sekolah. Mobil pun melaju meninggalkan kediaman Alana. Tiba di sekolah, Liana dan Ilana segera turun setelah berpamitan kepada ibu dan sang pemilik mobil. Tak lupa, kecupan hangat dari Ilana untuk Kevin. Hanya Ilana saja, sedangkan Liana langsung bergegas turun. Ya, gadis itu tak hanya bersikap dingin kepada Kevin saja, tetapi kepada Alana karena sudah membawa Kevin tinggal bersama. Ia merasa keberatan. Perjalanan dilanjutkan, sampai akhirnya tiba di rumah sakit. Tak perlu menunggu lama, karena Fadli sudah membua
Malam itu Kevin sudah dipindahkan ke Puskesmas. Untungnya ada satu ruangan kosong sehingga tidak mengganggu aktivitas Puskesmas setiap harinya. "Sudah malam. Kalian pulanglah!" titah Fadli kepada Alana. "Kasian anak-anak.""Baiklah. Kami pulang dulu."Fadli mengangguk, lalu mengantar mereka sampai teras. "Dadah, Om!" Liana melambaikan tangan. Fadli membalas lambaian tangan Liana. "Dadah, Kakak!""Besok ketemu lagi, ya, Om?" timpal Ilana. "Iya, Ila cantik!"Fadli menutup pintu belakang setelah ia memasangkan sabuk pengaman pada kursi bayi Alina dan mobil pun melaju meninggalkan Puskesmas. Fadli bergegas ke dalam, menemui Kevin. "Anda mengenal istri saya, Pak Dokter?" tanya Kevin. Sambil memasang cairan infus baru Fadli menjawab, "Kami teman semasa SMA.""Apa Anda tau tentang kehidupan rumah tangga kami?"Fadli yang sedang mengatur aliran cairan infus seketika menoleh, lalu melanjutkan kembali aktivitasnya. "Kenapa Anda diam, Dokter? Istriku tadi mengatakan kami sedang proses ce
Alana sedikit membentak Liana yang membuat gadis itu marah dan meninggalkan kamar begitu saja. Fadli. Dokter tampan itu langsung mengikuti Liana yang ternyata sedang duduk di teras. "Anak cantik gak boleh marah. Nanti cantiknya ilang, loh!" goda Fadli. Liana yang cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada seketika menoleh. "Bukan urusan Om!"Fadli tersenyum. Ya, memang bukan urusannya. Ia memang terlalu kepo urusan orang. Ah, bukan ... Fadli tidak menganggap Alana orang lain sehingga apa pun yang terjadi dengannya ia selalu ingin tahu. Fadli ingin membalas kebaikan Alana tempo dulu. Kali ini saatnya, pikirnya. "Jadi, gak mau cerita sama Om, nih?" Fadli mencolek dagu Liana. "Jangan colek-colek aku, ya, Om?! Emangnya aku gadis apaan?"Fadli melongo, lalu tertawa terbahak-bahak sampai terpingkal-pingkal. "Hahahahah ... ya ampun ... ya ampun ...." Tawa Fadli mulai berhenti. "Kamu itu persis Mami kamu ternyata, ya?"Fadli mengembuskan napas kasar, lalu berdiri. "Ya udah kalo gak
Sore harinya, setelah Alana meminta paksa pulang Kevin, ia menemui rukun tetangga setempat yang tak jauh dari rumah. Ia menanyakan tentang keberadaan pelayanan kesehatan di desa tempatnya tinggal. Pasalnya, Alana akan menggunakan jasanya untuk merawat Kevin. "Ada dokter, Bu. Tapi hanya dokter kandungan. Itu pun baru praktek di sini beberapa bulan yang lalu.""Oh, begitu ya, Pak. Sebetulnya tidak masalah. Saya hanya perlu bantuan beliau untuk memasang dan lepas infus saja.""Loh, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit saja, Bu?"Alana tersenyum canggung. "Sempat dirawat, Pak. Tapi, selain rumah sakit yang cukup jauh, saya juga punya tiga putri. Jadi, tidak mungkin untuk bulak-balik rumah sakit," dalih Alana. "Kalau boleh tau puskesmasnya di mana, ya, Pak?" lanjut Alana. Pria itu menjawab jika Puskesmas berada di ujung jalan pesawahan. Alana pun bergegas pulang dan akan ke sana menggunakan mobil agar menghemat waktu. "Mami mau ke mana lagi?" tanya Ilana saat melihat Alana menyambar kunc
Dua minggu sudah berlalu. Kemarin, dokter mengabarkan bahwa Kevin sudah sadarkan diri. Pagi ini, Alana tengah bersiap menjenguknya. Tak hanya bersiap dengan penampilannya saja, tetapi ia menyiapkan hatinya. Ya, setelah mendengar pengakuan dari Toni, ketulusan hati Alana untuk merawat Kevin seketika runtuh. "Bi, titip anak-anak, ya?" kata Alana. "Iya, Bu. Titip salam untuk Bapak."Alana tersenyum. "Iya, Bi."Alana sengaja tidak berpamitan kepada anak-anaknya, karena sudah pasti mereka merajuk ingin ikut. Tidak mungkin juga jika dirinya mengatakan akan pergi ke rumah sakit, karena ujungnya mereka akan bertanya siapa yang sakit. Alana tidak ingin membohongi putirnya. Daripada berbohong, lebih baik tidak diberitahu sekalian.Dengan memakai T-shirt berwarna merah yang dipadankan celana jeans berwarna hitam, serta rambut yang diikat bak ekor kuda, Alana bergegas meninggalkan kediamannya menggunakan mobil sedan kesayangannya.*Minggu siang ini jalanan di kota padat merayap membuat Alana
Alana segera turun. Pikiran yang tidak fokus membuatnya tak menyadari jika ada anak kecil yang tiba-tiba saja menyebrang. "Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Alana panik sambil berjongkok. "Tidak, Tante. Maaf, ya, aku nyebrang gak liat-liat dulu.""Untung saja Anda rem tepat pada waktunya!" ucap seorang warga berjenis kelamin laki-laki. "Anak ini memang sering begini. Mencari perhatian dari siapa saja!"Alana mengusap pipi anak itu. Usianya mungkin tak jauh dengan Liana. Akhirnya, Alana menuntun anak itu ke tepian, sementara dirinya memindahkan mobil ke sisi kiri agar tidak terjadi kemacetan. "Namamu siapa?""Aura.""Apa benar apa yang dikatakan Bapak tadi?"Anak itu terdiam dengan kepala menunduk. "Habisnya Ibu sama Ayah gak pernah perhatiin aku, Tante.""Orang tuamu kerja?"Aura menggeleng. "Lalu?""Ayah sibuk sama ponselnya dan Ibu sibuk sama pacarnya."Alana terbelalak saking kagetnya. "Apa?!" Alana mengesah panjang. Anak sekecil ini harus menanggung derita akibat ulah orang tu