Tubuh Alana menegang. "Apa ini ada hubungannya dengan mimpi Ilana?" Batin Alana. Alana menarik napasnya dalam-dalam. "Tenang, Alana, tenang ...." Batinnya. Sesungguhnya hati dan mata Alana sudah memanas, tetapi ia harus menahan segela rasa dan tanya, karena ada putrinya. "Ini untuk Papi."Suara Ilana membuat Alana terhenyak dan melerai pelukan.Rupanya Ilana memberikan buku gambar tadi. Ilana menjelaskan hal yang sama. Dan pertanyaan yang sama pula terlontar dari Kevin karena Ilana tidak menyebutkan siapa satu gambar lagi. Kevin berjongkok menyeimbangi tinggi badan Ilana. "Ini siapa?""Tante cantik!" jawab Ilana singkat, tetapi terdengar ketus. "Siapa, tuh?"Ilana menjawab hal yang sama. Tak dilebih-lebihkan dan tidak dikurangi. "Tapi aku gak suka sama tante itu! Dia jahat udah dorong Mami sampe jatoh!"Alana mengernyit. Rupanya ada kelanjutan cerita dalam mimpi Ilana itu. Alana memerhatikan Kevin. Kenapa wajahnya terlihat tegang? "Itu hanya mimpi, Sayang," ucap Kevin sambi
Tepat jam enam pagi, menu sarapan sudah terhidang di meja makan. Satu per satu orang terkasih Alana duduk di kursi masing-masing, kecuali baby Alina. Bayi yang menginjak usia tiga belas bulan itu masih tidur pulas. Tinggal menunggu Kevin. "Pagi?" Akhirnya Kevin datang tepat pukul 06:30 WIB. "Pagi, Papi," Liana dan Ilana membalas sapa sang ayah. Alana berdiri menyambut kedatangan suaminya itu. "Mas mau sarapan sama apa?"Kevin memindai satu per satu hidangan yang ada di meja. "Sandwich saja, Sayang."Alana segera menghidangkan, lengkap dengan segelas air mineral yang ia simpan di sebelah kanan Kevin. "Tadi malam aku menerima panggilan telepon," ucap Alana saat menggeser kursi untuk ia duduki.Sambil mengunyah, Kevin menatap Alana. "Dari siapa?""Pak Johan.""Uhuk!"Kevin terbatuk sampai-sampai potongan sandwich terlontar dari mulutnya. Alana yang baru menarik kursi kembali melayani Kevin dengan memberikan air minum. "Makannya pelan-pelan, Mas!"Kevin meraihnya, lalu meminumnya
Sambil menunggu Kevin pulang, Alana memilih ke kamar jikalau saja baby Alina sudah bangun. Dan ternyata belum. Alana kembali ke ruang tamu untuk membereskan balon serta pernak-pernik lainnya. Alana tidak membuangnya, melainkan ia akan simpan di ruangan bermain. Selang beberapa lama, Kevin kembali. Alana yang masih berada di ruang tamu tidak menyambut dan tidak pula bertanya kembali perihal nomor Johan. Alana ingin Kevin'lah yang memulai. "Alina belum bangun, Yang?" tanya Kevin. "Belum," jawab Alana singkat. "Ya sudah, Mas ke ruang kerja dulu, ya?""Hem!"Alana menatap punggung Kevin. Pria itu lupa atau memang menghindar? Alana menghirup udara sebanyak mungkin. Tidak! Ia tidak akan tinggal diam. Dengan Alana tidak bertanya justru bisa saja Kevin bertindak sesukanya. Alana tidak akan membiarkan. Ibu tiga anak itu bergegas ke ruang bermain. Setelah menata balon dan lainnya, Alana segera meninggalkan ruangan tersebut. Baru saja masuk kamar, baby Alina menangis. Alana menghampiri, l
"Mbak? Mari mulai transaksinya," ucap kasir minimarket. Alana terhenyak. "Ma-maaf!" Alana memberikan keranjang yang ia pegang kepada sang kasir. Di saat hati tak menentu, wanita tadi ternyata sama-sama berada dekat kasir. Ia mengambil sebatang cokelat yang berada di samping kanan bawah Alana. Dada Alana naik-turun mengatur napas yang terasa kian sesak. Bagaimana tidak? Aroma parfum yang ia cium di kemeja Kevin sama persis dengan aroma tubuh wanita itu. Ya, tidak salah lagi. "Semuanya seratus lima puluh ribu, Mbak," ucap kasir. Namun, Alana tidak merespon. "Mbak?" sang kasir kembali menyapa. Puk! Wanita tadi menepuk pundak Alana. "Bengong mulu! Cepet bayar!"Alana terhenyak, kaget. "Maaf, berapa?""Seratus lima puluh ribu."Alana mengeluarkan dua lembar uang kertas berwarna merah. Setelah menerima kembalian, Alana menatap sinis wanita tadi, lalu pergi. Sebelum naik mobil, Alana mengatur napasnya mencoba menetralisir segala rasa yang ada. Jikalau saja tidak ada Alina, tak seg
Tiga hari berlalu. Alana dan keluarga sudah tinggal di rumah baru. Liana dan Ilana merasa sangat senang. Kamar yang mereka tempati jauh lebih luas dari kamar mereka terdahulu. Liana dan Ilana dengan leluasa menyimpan koleksi mainan mereka. Ditambah lagi jarak antara rumah ke sekolah cukup dekat. Pun dengan kantor Kevin. Alana tak lagi curiga kepada Kevin. Dan mengenai wanita hamil yang bertemu dengannya di minimarket yang sempat memasuki gerbang rumahnya ternyata hanya ikut parkir saja. Kondisi jalanan waktu itu memang padat karena ada beberapa mobil yang parkir di bahu jalan. Itu menyulitkannya untuk memutar mobilnya. Ya, wanita itu mengaku jika rumahnya terlewat satu nomor. Setelah diamati memang rumah mereka bentuk bangunannya sama. "Siap?" tanya Alana kepada Liana dan Ilana. "Siap, Mami!" jawab mereka kompak. "Let's go!"Ibu dan anak itu bersama-sama menuruni anak tangga. Mereka akan membeli kue ulang tahun. Ya, tepat hari ini sang kepala rumah tangga berulang tahun. Alina ya
Dengan napas terengah-engah, Kevin masuk dan berkata, "Sayang, Mas bisa jelaskan!""Jadi ...?" tanya Alana dengan suara bergetar menahan amarah menuntut jawaban Kevin. Kevin menunduk. "Maaf!"Tanpa Kevin berkata panjang lebar, Alana sudah tahu maksud Kevin. Tubuh Alana limbung, kue di tangan pun hampir saja terjatuh. Bersamaan dengan itu, Ilana bersorak melompat-lompat karena senang Kevin sudah pulang. "Yeaah! Papi datang!" cicit mulut mungil Ilana, "Mami, ayok, kita nyanyiin lagu ulang tahunnya!"Seketika Alana tersadar dan menatap ketiga putrinya bergantian. Ia berusaha berdiri tegap. Alana yang tidak ingin mereka terlibat dalam situasi itu mencoba mengenyahkan segala rasa yang ada dengan mengukir senyum manis dan turut bersorak. "Yeaaah! Ayok, tiup terompetnya, dong!"Alana menyanyikan lagu ulang tahun diiringi dengan tiupan terompet dari Liana dan Ilana sambil menahan air mata yang sedari tadi menggenang agar tidak menetes. Alana meletakan kue itu di atas meja. Secepat kilat i
Alana menangis meraung di bawah guyuran shower. Ia tidak menyangka di balik sikap baik Kevin dan janji setia yang terus terucap dari bibirnya ternyata diam-diam menusuk hatinya. Ia ingkar dengan ucapannya sendiri. Karena apa? Karena Yuni? Mengingat nama Yuni tangan Alana mengepal. Tak seharusnya ia membenci ibu mertuanya. Akan tetapi, karena wanita itu pernikahannya diambang kehancuran. "Teganya kalian!" Alana memekik. Alana terpejam dengan napas memburu. Sekelebat peristiwa semalam hadir. Ya, semalam Alana dan Kevin memadu kasih. Kata dan perlakuan manis Kevin benar-benar membuatnya melayang tinggi ke atas awan. Namun, kini ia dihempaskan jatuh ke bumi dan sakitnya sampai ke ulu hati, merontokkan semua tulangnya. "Aaaarrrgggh!" Alana ambruk, terduduk di lantai. Alana mendongak dengan mata terpejam. Ia mengusap kasar bibirnya yang Kevin cumbu mesra semalam. Tangannya menggosok leher dan bagian dada. Alana merasa jijik. Ternyata selama ini semua yang ada pada diri Kevin telah diba
Kevin membantu Alana untuk berdiri. Akan tetapi, Alana menolaknya dengan tegas."Lepas!" ucapnya pelan, tetapi penuh penekanan. Perlahan Kevin menarik tangannya. Alana menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, lalu berdiri dan menyimpan sendok nasi di atas piring kosong. "Sayang ...." Kevin sangat khawatir melihat kondisi Alana. Namun, Kevin tidak menduga jika Alana bisa bersikap biasa saja di depan kedua putrinya. Alana menyiapkan mereka makan dengan senyum yang terus terukir di bibir ranumnya. Alana sudah duduk manis dekat Liana. Sambil mengunyah dan tanpa melihat ke arah lawan bicaranya, Alana berkata, "Tak sepatutnya hal seperti ini dibicarakan di depan anak-anak!"Yuni yang jelas mendengar tentu saja tersenyum sarkas. "Mau tidak mau mereka harus menerima ini, Alana. Termasuk kamu!""Mereka akan mempunyai adik dan ibu baru tentunya!" lanjut Yuni. "Cukup, Bu!" timpal Kevin. Suasana sedikit menegang. Alana yang mencium gelagat tak wajar dan tak bagus untuk anaknya dengar memilih me
Tiga hari sudah berlalu setelah Melani melahirkan. Sekarang wanita itu sudah berada di rumah. Sedari pagi Alana dan Sumi disibukkan di dapur karena Yuni mengundang teman arisannya. Ya, bisa dibilang pesta kecil menyambut kedatangan Melani dan bayinya. Tak menampik jika ada rasa iri di hati Alana. Lebih sakit lagi ketika Yuni melarang kedua putrinya untuk bergabung. Keduanya hanya melihat Kevin dari kejauhan. Kevin yang sedari tadi menimang bayinya tentu saja membuat mereka merasa cemburu. "Silakan!" Alana menyajikan aneka minuman berwarna tepat di hadapan para tamu. "Ya ampun, Nak Alana ini hebat, loh. Kalau saya, mana mau dimadu. Apalagi sampai satu atap sama si madu," ucap salah seorang dari mereka yang kemudian terkekeh-kekeh. "Ya mau, dong, Jeng. Soalnya kalo dia cerai dari Kevin, pasti jadi gembel," timpal tamu lainnya. "Risiko gak bisa ngasih keturunan impian mertua, ya, begini ini," kata Yuni."Lumayanlah, itung-itung Sumi ada temannya," sambung Yuni. Alana hanya tersenyum
Alana menatap wajah Kevin dengan tatapan kosong, bahkan air matanya mengalir cukup deras. Ia benar-benar tidak menikmati aktivitas Kevin di atas tubuhnya karena pria itu mengambil haknya dengan kasar. Ya, tadi Kevin memeluknya dari belakang dan berhasil mengunci pergerakan Alana. Alana berontak saat Kevin hendak menciumnya. Kevin tidak mau tahu dengan kondisi hati Alana. Yang terpenting baginya, Alana masih istrinya. Ia berhak atas tubuh Alana. Kevin berdalih jika ia tidak memaksa, hal ini tidak akan pernah terjadi. Ya, benar! Rasa yang sudah mati untuk Kevin tak takkan sudi lagi bagi Alana untuk sekadar berciuman apalagi sampai memadu kasih. Air mata yang terjatuh tidak hanya menahan sakit di area intimnya, tetapi di dasar hati juga. Alana membayangkan dan merasa jijik bagaimana Kevin bercinta dengan Melani. Tak ada balasan dari Alana membuat Kevin menyudahi aktivitasnya. Biasanya ia akan berkali-kali melakukan pelepasan. Namun, kali ini Alana seperti gedebok pisang yang membuat ha
Alana sudah di rumah. Ia bergegas menidurkan Alina yang ternyata pulas, lalu ke luar lagi karena Kevin sedang menunggunya di ruang tamu. "Siapa pria tadi?""Emm ... siapa, ya?" Alana mengerutkan keningnya dengan jari telunjuk yang ia tempelkan di dagu seolah-olah sedang berpikir. "Kamu punya pria idaman lain?" Alana tersenyum lebar. "Tentu saja! Mas mencari kenyamanan di luaran, sampai-sampai punya bayi. Akupun sama! Aku akan lakukan seperti yang Mas contohkan!"Rahang Kevin mengetat. "Jangan membalikkan ucapanku! Dan jangan macam-macam!""Kenapa? Aku juga berhak bahagia!""Kamu tidak bahagia bersama Mas?"Sejenak Alana melongo, lalu tertawa. "Hahahaahaha ...." Tawa yang terdengar begitu renyah, padahal terasa hambar karena karena banyak luka di sana. Alana seketika terdiam dan memasang wajah datar. "Menurut Mas?!"Tanpa memberi Kevin waktu untuk menjawab, Alana kembali berkata, "Akkhh, pria tak punya hati seperti Mas pasti akan merasa istrinya selalu bahagia! Padahal ...,""Mas ga
Alana memeluk Liana dan Ilana. Rupanya mereka menangis saat mendengar teriakan Kevin, ditambah lagi Alana yang membanting pintu. Mereka ketakutan. Alana tak hentinya meminta maaf. Dirinya menjelaskan jika terjadi kesalahpahaman antara dirinya dan Kevin layaknya seorang teman jika bermain. "Seperti Kak Ana dan Ila. Kadang kalian juga berantem sedikit, lalu baikan lagi, kan?"Liana dan Ilana mengangguk mengerti. Alana meminta mereka untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum makan malam tiba. Sementara Liana dan Ilana mandi, Alana menyusui Alina. Makan malam tiba. Alana meminta Sumi untuk membawakan jatahnya dan anak-anak di kamar. Alana malas jika tiba-tiba Kevin atau Yuni datang lagi dan memaksanya untuk menyusui bayi Melani. Malam ini bisa lolos, tetapi besok dan besoknya lagi? Alana dibuat pusing memikirkannya. *Di rumah sakit, ada Melani yang merasa stress karena bayinya terus menangis. Ia mencoba memberinya ASI, tetapi sang bayi belum pandai menyedot puting. "Yang s
Siang itu Alana datang ke rumah sakit dengan membawa kado bersama ketiga putrinya. Semula, tak ada niatan sama sekali untuk datang. Hanya saja, ketika Ilana melakukan panggilan vidio dengan Kevin, Yuni memintanya untuk datang. Berdasarkan arahan dari Kevin, akhirnya mereka tiba di salah satu kamar ibu dan anak. Kevin menyambut kedatangan mereka. Liana dan Ilana yang sedari tadi mengekor, kini berada di samping kiri-kanan Alana. Keduanya kompak memegang baju Alana. Tampak di dekat ranjang bayi ada Yuni yang tak hentinya memandangi penuh kagum cucunya itu. "Selamat, ya Mbak," ucap Alana sambil menyimpan kado itu di lantai. Melani tersenyum lebar. "Terima kasih!"Alana mengangguk dan terdiam. Entah apa yang harus ia katakan dan lakukan lagi. "Kenapa diem di situ?" tanya Yuni, "liatlah cucu kesayangan, Ibu! Tampan, loh!"Alana tersenyum samar. Rupanya sang mertua hanya ingin pamer atau memanas-manasi? Alana mendekat dan memandangi wajah bayi itu. Seketika hatinya berkedut kembali m
Hari-hari Alana lalui dengan perasaan campur aduk. Kadang senang, kadang sedih. Senang ketika dirinya mengerjai Melani dan sedih saat melihat kenyataan jika dirinya berada dalam situasi memprihatinkan. Ya, sekarang usia kandungan Melani sudah masuk sembilan bulan. Perhatian Yuni dan Kevin tercurah kepadanya. Liana dan Ilana pun merasa sedih karena Kevin tak lagi mengajaknya bermain. Keadaan mereka tak ubah seperti orang-orang yang numpang hidup di rumah itu. Miris. Ya, Kevin mengabarkan bahwa rumah mewah itu kembali dikembalikan kepada Melani --orang yang seharusnya menerima hadiah itu. Alina. Bayi itu kini berusia tujuh belas bulan. Sudah pintar berjalan dan mulai berbicara dengan kosakata yang mulai bisa dimengerti. Sudah hampir empat bulan ini pula Kevin jarang menyapa dan menggendongnya. Sehingga, besar kemungkinan Alina tidak akan terlalu akrab. Malam ini jam dua belas malam. Alana yang tak bisa tidur memilih membuat secangkir teh cokelat panas di dapur. Pantulan cahaya rembula
Alana sudah berada di rumah. Rasa lelah yang semula mendera, kini perlahan hilang tergantikan rasa kesal. Sejenak Alana terdiam. Ia harus mencari cara agar perceraian itu terjadi. "Ah, Ibu!" serunya, ketika menemukan sebuah ide. Ya, Alana yakin jika Yuni akan senang dan mendukungnya. Dengan demikian mertuanya itu akan mendesak Kevin untuk berpisah dengannya. Alana memastikan jika ketiga putrinya tertidur lelap, lalu ke luar kamar untuk menemui Yuni. "Bi, liat Ibu, gak?" tanya Alana yang berpapasan dengan Sumi. "Ada di kamar atas, Bu. Bantu Bu Melani pindahan kamar."Alana mengangguk. "Makasih, ya, Bi." Alana bergegas menaiki anak tangga. Tiba di sana, rupanya ada beberapa tukang yang sedang merombak kamar tersebut. Alana memastikan tidak ada Kevin di sana. "Bu? Boleh bicara sebentar?" tanya Alana saat melihat Yuni di dekat pintu. Yuni menoleh. Keningnya mengerut lalu balik bertanya, "Apa penting?""Sangat, Bu!"Alana mengajak Yuni sedikit menjauh dari kamar."Bu, tolong bujuk
Lima hari sudah berlalu. Tepat pagi itu Kevin dan Melani tiba di rumah. Ya, semula yang hanya tiga hari ternyata bertambah dua hari karena Melani merengek ingin lebih lama di Bali.Lima hari tidak masuk kantor, tentu saja membuat pekerjaan menunggu Kevin di kantor. Setelah berganti pakaian, ia bergegas pergi. "Loh, Vin, baru saja nyampe, kok, pergi lagi?" protes Yuni. Kevin yang hendak masuk ke dalam mobil pun menoleh. "Banyak dokumen penting yang harus selesai hari ini, Bu.""Ah, baiklah! Hati-hati di jalan!"Kevin mengangguk, lalu segera pergi. ***Tiba di kantor, Kevin dihadang oleh seorang resepsionis sebelum ia memasuki ruangan. "Maaf, Pak. Ada surat untuk Anda."Sambil menerimanya, Kevin bertanya. "Dari siapa?""Maaf, saya tidak tahu, Pak. Kemarin orang pos yang mengantar.""Oke, terima kasih." Kevin bergegas masuk ke ruangannya. Kevin menyimpan amplop itu di dalam laci. Ia memilih untuk mengecek dokumen terlebih dahulu. Tak terasa jarum jam menunjuk pada angka dua belas
"Alana?! Bisa jaga anak, tidak?" Yuni tiba-tiba masuk kamar.Alana yang sedang merapikan mainan terhenyak dan panik melihat Ilana menangis. Ia melangkah cepat menghampiri. "Ada apa, Bu?""Kevin sama Melani mau ke Bali, mau baby moon. Anakmu merengek mau ikut!"Alana merangkul kedua putrinya. "Maaf, Bu. Yang penting, kan, mereka gak ikut, Bu!"Yuni mendelik. Wanita yang sudah memiliki keriput di wajahnya itu malah menghardik. "Memang tidak ikut. Dengan nangisnya anakmu, di sana Kevin pasti kepikiran. Bukannya senang-senang sama Melani malah banyak ngelamun!" Yuni membuang mukanya seraya pergi. Alana menghela napas. Kedua putrinya ia peluk, lalu melerainya. "Siapa yang mau ikut sama Mami jalan-jalan?!" tanya Alana penuh semangat. "Mau!" jawab Liana cepat. Ilana yang masih menangis pun turut bicara. "Ke mana, Mi?""Terserah! Yang jelas jangan ke luar negeri. Ke kebun binatang? Ke pantai? Ke villa? Pokoknya terserah Ila dan Kak Ana, deh!"Ilana mengusap air matanya seiring dengan ta