Alana menangis meraung di bawah guyuran shower. Ia tidak menyangka di balik sikap baik Kevin dan janji setia yang terus terucap dari bibirnya ternyata diam-diam menusuk hatinya. Ia ingkar dengan ucapannya sendiri. Karena apa? Karena Yuni? Mengingat nama Yuni tangan Alana mengepal. Tak seharusnya ia membenci ibu mertuanya. Akan tetapi, karena wanita itu pernikahannya diambang kehancuran. "Teganya kalian!" Alana memekik. Alana terpejam dengan napas memburu. Sekelebat peristiwa semalam hadir. Ya, semalam Alana dan Kevin memadu kasih. Kata dan perlakuan manis Kevin benar-benar membuatnya melayang tinggi ke atas awan. Namun, kini ia dihempaskan jatuh ke bumi dan sakitnya sampai ke ulu hati, merontokkan semua tulangnya. "Aaaarrrgggh!" Alana ambruk, terduduk di lantai. Alana mendongak dengan mata terpejam. Ia mengusap kasar bibirnya yang Kevin cumbu mesra semalam. Tangannya menggosok leher dan bagian dada. Alana merasa jijik. Ternyata selama ini semua yang ada pada diri Kevin telah diba
Kevin membantu Alana untuk berdiri. Akan tetapi, Alana menolaknya dengan tegas."Lepas!" ucapnya pelan, tetapi penuh penekanan. Perlahan Kevin menarik tangannya. Alana menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, lalu berdiri dan menyimpan sendok nasi di atas piring kosong. "Sayang ...." Kevin sangat khawatir melihat kondisi Alana. Namun, Kevin tidak menduga jika Alana bisa bersikap biasa saja di depan kedua putrinya. Alana menyiapkan mereka makan dengan senyum yang terus terukir di bibir ranumnya. Alana sudah duduk manis dekat Liana. Sambil mengunyah dan tanpa melihat ke arah lawan bicaranya, Alana berkata, "Tak sepatutnya hal seperti ini dibicarakan di depan anak-anak!"Yuni yang jelas mendengar tentu saja tersenyum sarkas. "Mau tidak mau mereka harus menerima ini, Alana. Termasuk kamu!""Mereka akan mempunyai adik dan ibu baru tentunya!" lanjut Yuni. "Cukup, Bu!" timpal Kevin. Suasana sedikit menegang. Alana yang mencium gelagat tak wajar dan tak bagus untuk anaknya dengar memilih me
Tengah malam Alana terbangun karena tenggorokannya terasa kering. Alana mengedarkan pandangannya. Tak ada Kevin di sana. Selimut dan bantal pun masih tertata rapi. Itu artinya Kevin tidak tidur di kamar itu. Alana tersenyum kecut. Tidur dengan Melani? Ah, mengingat namanya saja sudah membuat Alana muak. Setelah menyimpan bantal guling di sisi kiri-kanan Alina, perlahan Alana turun dari ranjang sambil mengucek matanya yang terasa perih karena tak hentinya ia menangis.Satu kaki Alana sudah menapaki anak tangga. Namun, ia urungkan melanjutkan langkah saat mendengar suara yang ia yakini adalah Melani. Pintu kamar yang berhadapan langsung dengan tangga itu terbuka sedikit. "Kandunganku udah masuk lima bulan, loh, Mas. Jadi, kita udah bisa bercinta lagi, deh! Aku kangen tidur sama Mas!"Alana tersenyum kecut dan seketika mendadak mual mendengar rengekan manja Melani. Alana ingin segera pergi dari sana, akan tetapi kepalanya justru menoleh. Pantas saja dirinya bisa mendengar dengan jelas,
Alana sedang mematut di depan cermin. Wajah cantiknya ia bubuhi dengan bedak tabur dan bibirnya dipoles dengan perona bibir berwarna peach. Pakaian yang membalut tubuh pun hanya t-shirt v-neck berwarna merah yang dipadankan dengan celana jeans berwarna navy. Tubuh Alana yang ramping, usia yang tergolong masih muda membuat dirinya terlihat seperti anak baru gede. "Terima kasih udah bantu Mas jelasin sama anak-anak," ucap Kevin setengah berbisik karena takut terdengar oleh Liana dan Ilana yang sedang bermain di kamar. Ya, tadi Alana yang menjawab tanya dari Liana. Alana berkata jika Kevin akan melakukan foto shoot untuk cover sebuah majalah terkenal. "Harus Mas catat, aku melakukan itu bukan karena membelamu!""Iya, Mas tau.""Kalau begitu cepatlah pergi. ""Kamu usir Mas?"Alana menatap Kevin melalui cermin. Seketika kedua mata mereka bertemu. "Lalu, apakah kalau aku katakan Mas jangan menikahi wanita itu, apa Mas akan melakukannya?"Kevin menatap ke sembarang arah. "Dia hamil darah
Tiga jam lalu acara selesai. Semua sudah kembali ke sekolah. Alana menepati janjinya kepada Ilana. Mereka menikmati es krim di sebuah kedai langganan putrinya itu, lalu pergi ke playground di sebuah mall. Liana dan Ilana sangat menikmati permainan. Mereka tertawa lepas. Melihat mereka seperti itu membuat Alana teringat akan masa kecilnya dahulu. Sang kakek selalu menemaninya bermain dan selalu memanjakan dengan membelikan segala apa yang Alana mau. Kasih sayang seorang ayah dan ibu ia dapatkan dari sang kakek. Tanpa sadar Alana tersenyum. Ia rindu dengan sosoknya. Alana menghela napas. Bisa! Alana yakin bisa menjadi sosok seperti kakeknya untuk Liana, Ilana dan Alina jika saja perceraian itu terjadi. Tanpa dikomando bulir bening menetes begitu saja. Jika saja dahulu ia mendengarkan apa kata sang kakek, yakni menikah dengan pria pilihnya, mungkin saja rumah tangganya tidak akan seperti sekarang. "Maafin Lana, Kek." Alana mengusap air matanya. Alana melihat jam yang melingkar di le
Alana menyudahi mandinya. Setelah memastikan matanya tidak bengkak, ia bergegas ke luar. "Kenapa masih di sini? Bukankah malam ini adalah malam pertama kalian?" Alana bertanya kepada Kevin yang ternyata pria itu malah tidur sambil memeluk guling. Alana tahu jika Kevin tidak benar-benar tidur. Kevin membuka matanya. "Kamu cemburu?"Alana mengerutkan kening, lalu melihat ke sisi samping kiri-kanannya seolah-olah mencari seseorang, kemudian menunjuk dirinya sendiri, sambil balik bertanya, "Siapa? Aku?" Rahang Kevin mengetat. Ia merasa kesal karena Alana malah menganggapnya bercanda. "Iya, kamu!""Ooh, hahahahaha ...." Tawa Alana menggema seiring dengan kedua tangannya yang saling menepuk. Namun, seketika Alana terdiam dengan mimik serius. "Coba sebentar, aku tanya dulu hatiku!"Kevin terbelalak karena melihat Alana bertingkah konyol. Bagaimana tidak? Istri pertamanya itu mengetuk-ngetuk dadanya dan bicara sendiri. Alana benar-benar menjadikan pertanyaannya sebuah lelucon. "Ah, katany
Jam sebelas malam, Alana disibukkan dengan bersih-bersih kamar dan memindahkan barang-barang miliknya ke kamar yang ada di lantai bawah. Lebih cepat lebih baik, pikirnya. Tak hanya barang miliknya saja, tetapi barang-barang Liana, Ilana, dan Alina juga turut. Ya, Alana memutuskan agar satu kamar dengan putrinya. Ia tidak mau mereka bersinggungan dengan Melani dan Yuni. Apalagi, ia paham betul bagaimana sifat kedua orang dewasa tersebut. Hal yang tak kalah penting adalah Alana tidak mau jika anak-anak tahu jika Kevin tidur satu kamar dengan Melani.Kamar yang terbilang cukup luas, memudahkan Alana untuk menata. Hanya saja tidak ada ruangan khusus untuk menyimpan baju dan aksesoris lainnya yang cukup banyak. Tidak masalah, karena masih ada wardrobe. Alana akan meminimalisir pemakaian barangnya. "Selesai!" seru Alana dengan perasaan lega. "Makasih, ya, Bi , Pak?" Alana menatap satu per satu orang yang menurutnya berjasa malam itu. Ya, Alana tidak sendirian, ada Sumi, sopir, dan satu pe
"Tidak, Bu. Wanita ini sudah berbohong!" sanggah Alana cepat sambil merangkul Liana. "Iya, kan, Dek?!" Alana meminta pembelaan kepada Yunia. Yunia tersenyum sinis. "Apa yang dikatakan Mbak Melani benar, Bu!"Alana menggeleng cepat, lalu kembali menatap Yuni. "Aku tidak bohong, Bu!""Halaaaah ... mana ada maling ngaku! Penjara bisa penuh!" nyinyir Yunia. Yuni yang merasa kesal mencubit lengan Liana dan Ilana dengan napas memburu penuh amarah dan berhasil membuat keduanya berteriak dan menangis kesakitan. Alina yang semula anteng dalam gendongan Alana pun turut menangis. Alana yang tidak terima dan syok melihat perlakuan Yuni pun berteriak, "Bu, tolong hentikan! Mereka tidak bersalah!"Kevin yang mendengar keributan segera berlari menuruni anak tangga. "Ada apa ini?!"Yuni melepaskan cubitannya. "Anak-anakmu sudah memukul perut Melani. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada bayimu, Kevin?!"Liana dan Ilana sesenggukan sambil memeluk pinggang Alana. "Bohong! Tidak seperti itu, Mas!"
Setelah mengantar ke sekolah, Alana lekas ke bengkel. Di sana, ia meminta kepada pemilik bengkel agar mereparasi mobilnya. "Kira-kira selesai berapa lama?""Bisa satu bulan bahkan lebih, Bu. Apalagi untuk jok dan karpetnya custom.""Duh, tidak bisa dipercepat, Pak? Masalahnya mobil ini saya pakai untuk antar-jemput anak sekolah."Setelah berdiskusi secara alot, akhirnya sang pemilik bengkel menyewakan mobilnya kepada Alana setengah harga dari biasanya. Alana pun setuju dan sangat berterimakasih kepada sang pemilik bengkel. Setelah transfer sejumlah untuk reparasi dan uang sewa, Alana meninggalkan bengkel. Tak lupa ia meminta nomor sang pemilik bengkel. Ada waktu dua jam lagi sebelum menjemput putrinya. Alana pun memilih pergi ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan dan camilan yang sudah habis. *Mobil berwarna hitam yang Alana sewa sudah teronggok di area parkir sebuah supermarket. Lekas ia melepas sabuk pengaman, lalu turun dan membuka pintu belakang dimana ada Alina di s
"Apa-apaan, sih, Mas?!" Alana meradang. Bagaimana tidak? Kevin merampas ponselnya, lalu dilempar sekencang-kencangnya dan berakhir hancur menjadi beberapa bagian. "Jangan harap kamu bisa lepas dari Mas, Alana!" ucap Kevin tegas. "Perceraian itu tidak akan pernah terjadi!"Napas Alana memburu. Ia merutuki kebodohannya dalam hati. Kenapa ia tidak melihat situasi sekitar tadi? Jika saja ada Kevin, ia akan bergegas kembali ke kamar. Bukan tak beralasan Alana memilih di teras. Ia takut jika Liana atau Ilana ternyata terbangun dan mendengar pembicaraannya dengan Dita. Namun, nyatanya di teras semuanya jadi kacau-balau. "Mas egois! Sangat egois!" desis Alana. Kevin tersenyum penuh kemenangan. "Belajarlah menerima nasib, Sayang."Alana hanya diam, tetapi matanya menatap Kevin tajam, lalu memilih pergi.Masuk kamar, Alana lekas mengunci pintu dan memilih merebahkan diri di samping Alina. Amarah yang tadi sudah sampai di ubun-ubun perlahan sirna saat melihat wajah tenang Alina, Liana dan Il
Langit yang semula biru seketika dihiasi semburat jingga dan akhirnya berubah gelap. Malam itu jarum jam tepat menunjuk di angka delapan. Setelah selesai makan malam, ternyata keluarga Kevin memilih masuk ke kamar masing-masing. Namun, suasana yang seketika hening tiba-tiba saja menjadi ramai karena tangis bayi. Di kamar, Melani terus menimang bayinya. Bayi berusia empat hari yang diberi nama Rajendra Putra Chandra itu menolak untuk meminum ASI. "Duh, kamu kenapa, sih?!" Melani mulai kesal. "Mas? Mas Kevin?!" Melani berteriak-teriak memanggil suaminya itu, tetapi tak kunjung datang. Wanita itu bergegas ke ruang kerja Kevin. Nihil. Ia tidak menemukan Kevin di sana. Melani keluar dan mengetuk pintu kamar Yuni. "Bu? Boleh aku masuk?""Cup, cup, cup!" Melani menunggu Yuni membukakan pintu sambil menimang. "Bu?" Yuni tak kunjung keluar. "Ini juga ... pada ke mana, sih?" gerutu Melani. Melani memberanikan diri menerobos masuk kamar Yuni yang tenyata tidak dikunci. Di dalam, Melani
Tiga hari sudah berlalu setelah Melani melahirkan. Sekarang wanita itu sudah berada di rumah. Sedari pagi Alana dan Sumi disibukkan di dapur karena Yuni mengundang teman arisannya. Ya, bisa dibilang pesta kecil menyambut kedatangan Melani dan bayinya. Tak menampik jika ada rasa iri di hati Alana. Lebih sakit lagi ketika Yuni melarang kedua putrinya untuk bergabung. Keduanya hanya melihat Kevin dari kejauhan. Kevin yang sedari tadi menimang bayinya tentu saja membuat mereka merasa cemburu. "Silakan!" Alana menyajikan aneka minuman berwarna tepat di hadapan para tamu. "Ya ampun, Nak Alana ini hebat, loh. Kalau saya, mana mau dimadu. Apalagi sampai satu atap sama si madu," ucap salah seorang dari mereka yang kemudian terkekeh-kekeh. "Ya mau, dong, Jeng. Soalnya kalo dia cerai dari Kevin, pasti jadi gembel," timpal tamu lainnya. "Risiko gak bisa ngasih keturunan impian mertua, ya, begini ini," kata Yuni."Lumayanlah, itung-itung Sumi ada temannya," sambung Yuni. Alana hanya tersenyum
Alana menatap wajah Kevin dengan tatapan kosong, bahkan air matanya mengalir cukup deras. Ia benar-benar tidak menikmati aktivitas Kevin di atas tubuhnya karena pria itu mengambil haknya dengan kasar. Ya, tadi Kevin memeluknya dari belakang dan berhasil mengunci pergerakan Alana. Alana berontak saat Kevin hendak menciumnya. Kevin tidak mau tahu dengan kondisi hati Alana. Yang terpenting baginya, Alana masih istrinya. Ia berhak atas tubuh Alana. Kevin berdalih jika ia tidak memaksa, hal ini tidak akan pernah terjadi. Ya, benar! Rasa yang sudah mati untuk Kevin tak takkan sudi lagi bagi Alana untuk sekadar berciuman apalagi sampai memadu kasih. Air mata yang terjatuh tidak hanya menahan sakit di area intimnya, tetapi di dasar hati juga. Alana membayangkan dan merasa jijik bagaimana Kevin bercinta dengan Melani. Tak ada balasan dari Alana membuat Kevin menyudahi aktivitasnya. Biasanya ia akan berkali-kali melakukan pelepasan. Namun, kali ini Alana seperti gedebok pisang yang membuat ha
Alana sudah di rumah. Ia bergegas menidurkan Alina yang ternyata pulas, lalu ke luar lagi karena Kevin sedang menunggunya di ruang tamu. "Siapa pria tadi?""Emm ... siapa, ya?" Alana mengerutkan keningnya dengan jari telunjuk yang ia tempelkan di dagu seolah-olah sedang berpikir. "Kamu punya pria idaman lain?" Alana tersenyum lebar. "Tentu saja! Mas mencari kenyamanan di luaran, sampai-sampai punya bayi. Akupun sama! Aku akan lakukan seperti yang Mas contohkan!"Rahang Kevin mengetat. "Jangan membalikkan ucapanku! Dan jangan macam-macam!""Kenapa? Aku juga berhak bahagia!""Kamu tidak bahagia bersama Mas?"Sejenak Alana melongo, lalu tertawa. "Hahahaahaha ...." Tawa yang terdengar begitu renyah, padahal terasa hambar karena karena banyak luka di sana. Alana seketika terdiam dan memasang wajah datar. "Menurut Mas?!"Tanpa memberi Kevin waktu untuk menjawab, Alana kembali berkata, "Akkhh, pria tak punya hati seperti Mas pasti akan merasa istrinya selalu bahagia! Padahal ...,""Mas ga
Alana memeluk Liana dan Ilana. Rupanya mereka menangis saat mendengar teriakan Kevin, ditambah lagi Alana yang membanting pintu. Mereka ketakutan. Alana tak hentinya meminta maaf. Dirinya menjelaskan jika terjadi kesalahpahaman antara dirinya dan Kevin layaknya seorang teman jika bermain. "Seperti Kak Ana dan Ila. Kadang kalian juga berantem sedikit, lalu baikan lagi, kan?"Liana dan Ilana mengangguk mengerti. Alana meminta mereka untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum makan malam tiba. Sementara Liana dan Ilana mandi, Alana menyusui Alina. Makan malam tiba. Alana meminta Sumi untuk membawakan jatahnya dan anak-anak di kamar. Alana malas jika tiba-tiba Kevin atau Yuni datang lagi dan memaksanya untuk menyusui bayi Melani. Malam ini bisa lolos, tetapi besok dan besoknya lagi? Alana dibuat pusing memikirkannya. *Di rumah sakit, ada Melani yang merasa stress karena bayinya terus menangis. Ia mencoba memberinya ASI, tetapi sang bayi belum pandai menyedot puting. "Yang s
Siang itu Alana datang ke rumah sakit dengan membawa kado bersama ketiga putrinya. Semula, tak ada niatan sama sekali untuk datang. Hanya saja, ketika Ilana melakukan panggilan vidio dengan Kevin, Yuni memintanya untuk datang. Berdasarkan arahan dari Kevin, akhirnya mereka tiba di salah satu kamar ibu dan anak. Kevin menyambut kedatangan mereka. Liana dan Ilana yang sedari tadi mengekor, kini berada di samping kiri-kanan Alana. Keduanya kompak memegang baju Alana. Tampak di dekat ranjang bayi ada Yuni yang tak hentinya memandangi penuh kagum cucunya itu. "Selamat, ya Mbak," ucap Alana sambil menyimpan kado itu di lantai. Melani tersenyum lebar. "Terima kasih!"Alana mengangguk dan terdiam. Entah apa yang harus ia katakan dan lakukan lagi. "Kenapa diem di situ?" tanya Yuni, "liatlah cucu kesayangan, Ibu! Tampan, loh!"Alana tersenyum samar. Rupanya sang mertua hanya ingin pamer atau memanas-manasi? Alana mendekat dan memandangi wajah bayi itu. Seketika hatinya berkedut kembali m
Hari-hari Alana lalui dengan perasaan campur aduk. Kadang senang, kadang sedih. Senang ketika dirinya mengerjai Melani dan sedih saat melihat kenyataan jika dirinya berada dalam situasi memprihatinkan. Ya, sekarang usia kandungan Melani sudah masuk sembilan bulan. Perhatian Yuni dan Kevin tercurah kepadanya. Liana dan Ilana pun merasa sedih karena Kevin tak lagi mengajaknya bermain. Keadaan mereka tak ubah seperti orang-orang yang numpang hidup di rumah itu. Miris. Ya, Kevin mengabarkan bahwa rumah mewah itu kembali dikembalikan kepada Melani --orang yang seharusnya menerima hadiah itu. Alina. Bayi itu kini berusia tujuh belas bulan. Sudah pintar berjalan dan mulai berbicara dengan kosakata yang mulai bisa dimengerti. Sudah hampir empat bulan ini pula Kevin jarang menyapa dan menggendongnya. Sehingga, besar kemungkinan Alina tidak akan terlalu akrab. Malam ini jam dua belas malam. Alana yang tak bisa tidur memilih membuat secangkir teh cokelat panas di dapur. Pantulan cahaya rembula