Tiga hari berlalu. Alana dan keluarga sudah tinggal di rumah baru. Liana dan Ilana merasa sangat senang. Kamar yang mereka tempati jauh lebih luas dari kamar mereka terdahulu. Liana dan Ilana dengan leluasa menyimpan koleksi mainan mereka. Ditambah lagi jarak antara rumah ke sekolah cukup dekat. Pun dengan kantor Kevin. Alana tak lagi curiga kepada Kevin. Dan mengenai wanita hamil yang bertemu dengannya di minimarket yang sempat memasuki gerbang rumahnya ternyata hanya ikut parkir saja. Kondisi jalanan waktu itu memang padat karena ada beberapa mobil yang parkir di bahu jalan. Itu menyulitkannya untuk memutar mobilnya. Ya, wanita itu mengaku jika rumahnya terlewat satu nomor. Setelah diamati memang rumah mereka bentuk bangunannya sama. "Siap?" tanya Alana kepada Liana dan Ilana. "Siap, Mami!" jawab mereka kompak. "Let's go!"Ibu dan anak itu bersama-sama menuruni anak tangga. Mereka akan membeli kue ulang tahun. Ya, tepat hari ini sang kepala rumah tangga berulang tahun. Alina ya
Dengan napas terengah-engah, Kevin masuk dan berkata, "Sayang, Mas bisa jelaskan!""Jadi ...?" tanya Alana dengan suara bergetar menahan amarah menuntut jawaban Kevin. Kevin menunduk. "Maaf!"Tanpa Kevin berkata panjang lebar, Alana sudah tahu maksud Kevin. Tubuh Alana limbung, kue di tangan pun hampir saja terjatuh. Bersamaan dengan itu, Ilana bersorak melompat-lompat karena senang Kevin sudah pulang. "Yeaah! Papi datang!" cicit mulut mungil Ilana, "Mami, ayok, kita nyanyiin lagu ulang tahunnya!"Seketika Alana tersadar dan menatap ketiga putrinya bergantian. Ia berusaha berdiri tegap. Alana yang tidak ingin mereka terlibat dalam situasi itu mencoba mengenyahkan segala rasa yang ada dengan mengukir senyum manis dan turut bersorak. "Yeaaah! Ayok, tiup terompetnya, dong!"Alana menyanyikan lagu ulang tahun diiringi dengan tiupan terompet dari Liana dan Ilana sambil menahan air mata yang sedari tadi menggenang agar tidak menetes. Alana meletakan kue itu di atas meja. Secepat kilat i
Alana menangis meraung di bawah guyuran shower. Ia tidak menyangka di balik sikap baik Kevin dan janji setia yang terus terucap dari bibirnya ternyata diam-diam menusuk hatinya. Ia ingkar dengan ucapannya sendiri. Karena apa? Karena Yuni? Mengingat nama Yuni tangan Alana mengepal. Tak seharusnya ia membenci ibu mertuanya. Akan tetapi, karena wanita itu pernikahannya diambang kehancuran. "Teganya kalian!" Alana memekik. Alana terpejam dengan napas memburu. Sekelebat peristiwa semalam hadir. Ya, semalam Alana dan Kevin memadu kasih. Kata dan perlakuan manis Kevin benar-benar membuatnya melayang tinggi ke atas awan. Namun, kini ia dihempaskan jatuh ke bumi dan sakitnya sampai ke ulu hati, merontokkan semua tulangnya. "Aaaarrrgggh!" Alana ambruk, terduduk di lantai. Alana mendongak dengan mata terpejam. Ia mengusap kasar bibirnya yang Kevin cumbu mesra semalam. Tangannya menggosok leher dan bagian dada. Alana merasa jijik. Ternyata selama ini semua yang ada pada diri Kevin telah diba
Kevin membantu Alana untuk berdiri. Akan tetapi, Alana menolaknya dengan tegas."Lepas!" ucapnya pelan, tetapi penuh penekanan. Perlahan Kevin menarik tangannya. Alana menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, lalu berdiri dan menyimpan sendok nasi di atas piring kosong. "Sayang ...." Kevin sangat khawatir melihat kondisi Alana. Namun, Kevin tidak menduga jika Alana bisa bersikap biasa saja di depan kedua putrinya. Alana menyiapkan mereka makan dengan senyum yang terus terukir di bibir ranumnya. Alana sudah duduk manis dekat Liana. Sambil mengunyah dan tanpa melihat ke arah lawan bicaranya, Alana berkata, "Tak sepatutnya hal seperti ini dibicarakan di depan anak-anak!"Yuni yang jelas mendengar tentu saja tersenyum sarkas. "Mau tidak mau mereka harus menerima ini, Alana. Termasuk kamu!""Mereka akan mempunyai adik dan ibu baru tentunya!" lanjut Yuni. "Cukup, Bu!" timpal Kevin. Suasana sedikit menegang. Alana yang mencium gelagat tak wajar dan tak bagus untuk anaknya dengar memilih me
Tengah malam Alana terbangun karena tenggorokannya terasa kering. Alana mengedarkan pandangannya. Tak ada Kevin di sana. Selimut dan bantal pun masih tertata rapi. Itu artinya Kevin tidak tidur di kamar itu. Alana tersenyum kecut. Tidur dengan Melani? Ah, mengingat namanya saja sudah membuat Alana muak. Setelah menyimpan bantal guling di sisi kiri-kanan Alina, perlahan Alana turun dari ranjang sambil mengucek matanya yang terasa perih karena tak hentinya ia menangis.Satu kaki Alana sudah menapaki anak tangga. Namun, ia urungkan melanjutkan langkah saat mendengar suara yang ia yakini adalah Melani. Pintu kamar yang berhadapan langsung dengan tangga itu terbuka sedikit. "Kandunganku udah masuk lima bulan, loh, Mas. Jadi, kita udah bisa bercinta lagi, deh! Aku kangen tidur sama Mas!"Alana tersenyum kecut dan seketika mendadak mual mendengar rengekan manja Melani. Alana ingin segera pergi dari sana, akan tetapi kepalanya justru menoleh. Pantas saja dirinya bisa mendengar dengan jelas,
Alana sedang mematut di depan cermin. Wajah cantiknya ia bubuhi dengan bedak tabur dan bibirnya dipoles dengan perona bibir berwarna peach. Pakaian yang membalut tubuh pun hanya t-shirt v-neck berwarna merah yang dipadankan dengan celana jeans berwarna navy. Tubuh Alana yang ramping, usia yang tergolong masih muda membuat dirinya terlihat seperti anak baru gede. "Terima kasih udah bantu Mas jelasin sama anak-anak," ucap Kevin setengah berbisik karena takut terdengar oleh Liana dan Ilana yang sedang bermain di kamar. Ya, tadi Alana yang menjawab tanya dari Liana. Alana berkata jika Kevin akan melakukan foto shoot untuk cover sebuah majalah terkenal. "Harus Mas catat, aku melakukan itu bukan karena membelamu!""Iya, Mas tau.""Kalau begitu cepatlah pergi. ""Kamu usir Mas?"Alana menatap Kevin melalui cermin. Seketika kedua mata mereka bertemu. "Lalu, apakah kalau aku katakan Mas jangan menikahi wanita itu, apa Mas akan melakukannya?"Kevin menatap ke sembarang arah. "Dia hamil darah
Tiga jam lalu acara selesai. Semua sudah kembali ke sekolah. Alana menepati janjinya kepada Ilana. Mereka menikmati es krim di sebuah kedai langganan putrinya itu, lalu pergi ke playground di sebuah mall. Liana dan Ilana sangat menikmati permainan. Mereka tertawa lepas. Melihat mereka seperti itu membuat Alana teringat akan masa kecilnya dahulu. Sang kakek selalu menemaninya bermain dan selalu memanjakan dengan membelikan segala apa yang Alana mau. Kasih sayang seorang ayah dan ibu ia dapatkan dari sang kakek. Tanpa sadar Alana tersenyum. Ia rindu dengan sosoknya. Alana menghela napas. Bisa! Alana yakin bisa menjadi sosok seperti kakeknya untuk Liana, Ilana dan Alina jika saja perceraian itu terjadi. Tanpa dikomando bulir bening menetes begitu saja. Jika saja dahulu ia mendengarkan apa kata sang kakek, yakni menikah dengan pria pilihnya, mungkin saja rumah tangganya tidak akan seperti sekarang. "Maafin Lana, Kek." Alana mengusap air matanya. Alana melihat jam yang melingkar di le
Alana menyudahi mandinya. Setelah memastikan matanya tidak bengkak, ia bergegas ke luar. "Kenapa masih di sini? Bukankah malam ini adalah malam pertama kalian?" Alana bertanya kepada Kevin yang ternyata pria itu malah tidur sambil memeluk guling. Alana tahu jika Kevin tidak benar-benar tidur. Kevin membuka matanya. "Kamu cemburu?"Alana mengerutkan kening, lalu melihat ke sisi samping kiri-kanannya seolah-olah mencari seseorang, kemudian menunjuk dirinya sendiri, sambil balik bertanya, "Siapa? Aku?" Rahang Kevin mengetat. Ia merasa kesal karena Alana malah menganggapnya bercanda. "Iya, kamu!""Ooh, hahahahaha ...." Tawa Alana menggema seiring dengan kedua tangannya yang saling menepuk. Namun, seketika Alana terdiam dengan mimik serius. "Coba sebentar, aku tanya dulu hatiku!"Kevin terbelalak karena melihat Alana bertingkah konyol. Bagaimana tidak? Istri pertamanya itu mengetuk-ngetuk dadanya dan bicara sendiri. Alana benar-benar menjadikan pertanyaannya sebuah lelucon. "Ah, katany
Alana mendorong tubuh Kevin sekuat tenaga. Berhasil, pria itu terdorong dari tubuhnya. Alana segera bangkit sambil mengusap bibirnya. Ia merasa jijik karena bibir Kevin meluncur bebas di sana. Namun, alih-alih segera pergi dari sana, Alana dikejutkan dengan Kevin yang tertelungkup di lantai. "Mas Kevin?" sapa Alana, "Mas?"Alana membatin. "Apa dia pingsan?" Alana berjongkok untuk memastikan. Sambil menepuk-nepuk pundak Kevin, Alana terus memanggil nama pria itu. Akan tetapi, nihil. Kevin tak kunjung bangun. "Bi? Bi Sumi!" teriak Alana panik. Tidak berselang lama Sumi datang. "Iya, Bu, ada ap --ya Tuhan, Bapak kenapa?" Sumi tak kalah panik. "Gak tau, Bi. Tolong bantu angkat, Bi!"Kini, Kevin sudah terbaring di kasur. Rupanya ia pingsan. Setelah tadi Alana menciumkan wewangian, Kevin sadarkan diri. Alana menghela napas lega. Pantas saja ketika Kevin menindih tubuhnya terasa sangat berat, ternyata Kevin pingsan. Menurutnya pingsan Kevin sangat menyebalkan. Bagaimana bisa bibir Ke
Dua hari setelah Alana tahu sebuah kebenaran tentang Melani, akhirnya pagi ini ia akan mengambil keputusan. Alana meminta Fadli untuk datang. Apalagi kalau bukan untuk merepotkan dokter itu lagi. "Ada apa?" tanya Fadli saat duduk di teras. "Kapan ada waktu senggang?""Kebetulan hari ini. Ada apa?""Tolong antar Mas Kevin ke Jakarta.""Jadi, sudah mengambil keputusan?"Alana mengangguk. Hatinya sudah yakin jika berpisah dengan Kevin adalah jalan terbaik. Ia tidak mau Liana terus-menerus bersikap dingin terhadapnya. Niat hati datang ke desa untuk memperbaiki mental putrinya. Akan tetapi, karena ulah Alana sendiri yang merawat Kevin justru memperburuk keadaan. "Apa kamu bersedia aku bikin repot lagi?""Tentu saja. Selama aku mampu, aku akan membantumu. Apa pun itu!"Alana tersenyum, lalu memberikan secarik kertas bertuliskan alamat rumah Kevin yang sudah ia siapkan sedari malam. "Tapi, tolong ... jangan katakan kepada siapapun, baik itu mertuaku atau Melani kalau aku yang menolong M
Alana pun bercerita kepada Fadli jika dokter kandungannya menceritakan hal yang sama. Bahkan Melani berkonsultasi kepada hampir semua dokter kandungan yang ada di Jakarta dan hasilnya sama. Ia mandul. Alana berdecak lidah. "Ya, aku baru ingat! Bahkan ruangan dokterku waktu itu sangat berantakan dan dokumen atas nama Melani berceceran di lantai.""Dan kita semua mendapat perlakuan sama dari si Melani itu," tutur Fadli. "Tapi, sepertinya aku yang lebih apes. Kena lemparan vas bunga. Untung hanya lebam saja. Kalau sampai keningku robek, aku seret dia ke kantor polisi," lanjutnya dengan kesal mengingat itu. Alana terkekeh-kekeh. "Kenapa Melani yang kita temui menyebalkan, ya?"Fadli terkekeh-kekeh. "He'em. Wanita itu sangat frustasi.""Kabarnya, dia mau hamil biar bisa menikah sama mantannya. Mau nebus kesalahannya di masa lalu gitu, deh, pokoknya," lanjut Fadli. Deg! Alana terdiam, membatin. Ceritanya sama persis dengan Melani, si mantan pacar Kevin. Ah, ataubhanya kebetulan saja?L
Sudah hampir satu bulan Kevin berada di desa. Secara fisik sudah terlihat bugar. Hanya saja, ingatannya belumlah pulih. Kini, pria itu tinggal serumah bersama Alana dengan kamar yang berbeda. Hampir setiap hari pula Fadli datang melihat kondisi pria itu. Seperti pagi ini, Fadli sudah siap mengantar Kevin untuk melakukan chek-up ke rumah sakit. "Sudah siap?" tanya Fadli. "Siap, Om Dokter!" jawab Liana dan Ilana kompak. Dua gadis kecil itu ikut bersama sekalian berangkat sekolah. Mobil pun melaju meninggalkan kediaman Alana. Tiba di sekolah, Liana dan Ilana segera turun setelah berpamitan kepada ibu dan sang pemilik mobil. Tak lupa, kecupan hangat dari Ilana untuk Kevin. Hanya Ilana saja, sedangkan Liana langsung bergegas turun. Ya, gadis itu tak hanya bersikap dingin kepada Kevin saja, tetapi kepada Alana karena sudah membawa Kevin tinggal bersama. Ia merasa keberatan. Perjalanan dilanjutkan, sampai akhirnya tiba di rumah sakit. Tak perlu menunggu lama, karena Fadli sudah membua
Malam itu Kevin sudah dipindahkan ke Puskesmas. Untungnya ada satu ruangan kosong sehingga tidak mengganggu aktivitas Puskesmas setiap harinya. "Sudah malam. Kalian pulanglah!" titah Fadli kepada Alana. "Kasian anak-anak.""Baiklah. Kami pulang dulu."Fadli mengangguk, lalu mengantar mereka sampai teras. "Dadah, Om!" Liana melambaikan tangan. Fadli membalas lambaian tangan Liana. "Dadah, Kakak!""Besok ketemu lagi, ya, Om?" timpal Ilana. "Iya, Ila cantik!"Fadli menutup pintu belakang setelah ia memasangkan sabuk pengaman pada kursi bayi Alina dan mobil pun melaju meninggalkan Puskesmas. Fadli bergegas ke dalam, menemui Kevin. "Anda mengenal istri saya, Pak Dokter?" tanya Kevin. Sambil memasang cairan infus baru Fadli menjawab, "Kami teman semasa SMA.""Apa Anda tau tentang kehidupan rumah tangga kami?"Fadli yang sedang mengatur aliran cairan infus seketika menoleh, lalu melanjutkan kembali aktivitasnya. "Kenapa Anda diam, Dokter? Istriku tadi mengatakan kami sedang proses ce
Alana sedikit membentak Liana yang membuat gadis itu marah dan meninggalkan kamar begitu saja. Fadli. Dokter tampan itu langsung mengikuti Liana yang ternyata sedang duduk di teras. "Anak cantik gak boleh marah. Nanti cantiknya ilang, loh!" goda Fadli. Liana yang cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada seketika menoleh. "Bukan urusan Om!"Fadli tersenyum. Ya, memang bukan urusannya. Ia memang terlalu kepo urusan orang. Ah, bukan ... Fadli tidak menganggap Alana orang lain sehingga apa pun yang terjadi dengannya ia selalu ingin tahu. Fadli ingin membalas kebaikan Alana tempo dulu. Kali ini saatnya, pikirnya. "Jadi, gak mau cerita sama Om, nih?" Fadli mencolek dagu Liana. "Jangan colek-colek aku, ya, Om?! Emangnya aku gadis apaan?"Fadli melongo, lalu tertawa terbahak-bahak sampai terpingkal-pingkal. "Hahahahah ... ya ampun ... ya ampun ...." Tawa Fadli mulai berhenti. "Kamu itu persis Mami kamu ternyata, ya?"Fadli mengembuskan napas kasar, lalu berdiri. "Ya udah kalo gak
Sore harinya, setelah Alana meminta paksa pulang Kevin, ia menemui rukun tetangga setempat yang tak jauh dari rumah. Ia menanyakan tentang keberadaan pelayanan kesehatan di desa tempatnya tinggal. Pasalnya, Alana akan menggunakan jasanya untuk merawat Kevin. "Ada dokter, Bu. Tapi hanya dokter kandungan. Itu pun baru praktek di sini beberapa bulan yang lalu.""Oh, begitu ya, Pak. Sebetulnya tidak masalah. Saya hanya perlu bantuan beliau untuk memasang dan lepas infus saja.""Loh, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit saja, Bu?"Alana tersenyum canggung. "Sempat dirawat, Pak. Tapi, selain rumah sakit yang cukup jauh, saya juga punya tiga putri. Jadi, tidak mungkin untuk bulak-balik rumah sakit," dalih Alana. "Kalau boleh tau puskesmasnya di mana, ya, Pak?" lanjut Alana. Pria itu menjawab jika Puskesmas berada di ujung jalan pesawahan. Alana pun bergegas pulang dan akan ke sana menggunakan mobil agar menghemat waktu. "Mami mau ke mana lagi?" tanya Ilana saat melihat Alana menyambar kunc
Dua minggu sudah berlalu. Kemarin, dokter mengabarkan bahwa Kevin sudah sadarkan diri. Pagi ini, Alana tengah bersiap menjenguknya. Tak hanya bersiap dengan penampilannya saja, tetapi ia menyiapkan hatinya. Ya, setelah mendengar pengakuan dari Toni, ketulusan hati Alana untuk merawat Kevin seketika runtuh. "Bi, titip anak-anak, ya?" kata Alana. "Iya, Bu. Titip salam untuk Bapak."Alana tersenyum. "Iya, Bi."Alana sengaja tidak berpamitan kepada anak-anaknya, karena sudah pasti mereka merajuk ingin ikut. Tidak mungkin juga jika dirinya mengatakan akan pergi ke rumah sakit, karena ujungnya mereka akan bertanya siapa yang sakit. Alana tidak ingin membohongi putirnya. Daripada berbohong, lebih baik tidak diberitahu sekalian.Dengan memakai T-shirt berwarna merah yang dipadankan celana jeans berwarna hitam, serta rambut yang diikat bak ekor kuda, Alana bergegas meninggalkan kediamannya menggunakan mobil sedan kesayangannya.*Minggu siang ini jalanan di kota padat merayap membuat Alana
Alana segera turun. Pikiran yang tidak fokus membuatnya tak menyadari jika ada anak kecil yang tiba-tiba saja menyebrang. "Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Alana panik sambil berjongkok. "Tidak, Tante. Maaf, ya, aku nyebrang gak liat-liat dulu.""Untung saja Anda rem tepat pada waktunya!" ucap seorang warga berjenis kelamin laki-laki. "Anak ini memang sering begini. Mencari perhatian dari siapa saja!"Alana mengusap pipi anak itu. Usianya mungkin tak jauh dengan Liana. Akhirnya, Alana menuntun anak itu ke tepian, sementara dirinya memindahkan mobil ke sisi kiri agar tidak terjadi kemacetan. "Namamu siapa?""Aura.""Apa benar apa yang dikatakan Bapak tadi?"Anak itu terdiam dengan kepala menunduk. "Habisnya Ibu sama Ayah gak pernah perhatiin aku, Tante.""Orang tuamu kerja?"Aura menggeleng. "Lalu?""Ayah sibuk sama ponselnya dan Ibu sibuk sama pacarnya."Alana terbelalak saking kagetnya. "Apa?!" Alana mengesah panjang. Anak sekecil ini harus menanggung derita akibat ulah orang tu