Ingin sekali Alana menerima panggilan itu. Akan tetapi, ia tidak ingin ikut campur dengan urusan kantor atau mungkin jika ia menjawab panggilan, takut jika Kevin mengatainya lancang. Akhirnya, Alana membangunkan Kevin. "Mas, bangun!"Hanya mengguncang bahu saja Kevin terbangun. Perlahan Kevin membuka matanya. "Ada apa, Sayang?""Ada telepon.""Kenapa gak kamu angkat saja," ucap Kevin dengan nada malas karena rasa kantuk masih melanda. "Ini dari nomor yang tertulis di kertas semalam itu.""Apa?!" Kevin terlihat kaget, lalu menyambar ponselnya cepat. Sikap Kevin tentu saja membuat Alana terkejut dan curiga. Ponsel sudah di tangan Kevin seiring dengan matinya panggilan tersebut. "Siapa, sih, Mas? Kenapa sampe segitunya? Mau bahas bisnis di jam segini? Pengusaha, apa wanita yang berusaha menggoda?!"Pertanyaan Alana berhasil membuat jantung Kevin hampir copot. Karena pasalnya, pemilik nomor itu memang seorang wanita. Hanya saja, Kevin merasa sulit untuk menjelaskan karena wanita itu
Alana menenangkan hati. Ia tidak ingin berprasangka buruk kepada Kevin. Percaya. Satu kata itu yang harus tetap tertanam dalam hati. Alana memulai bergelut dengan perabot dapur dan aneka sayur serta lainnya dibantu oleh Sumi. Bisa saja Alana tidak menggunakan jasa Sumi. Hanya saja, Kevin yang selalu cerewet tidak ingin Alana kelelahan. Belum lagi mengurus tiga putrinya. Padahal, Alana tidak keberatan dan senang melakukannya. Keputusan Kevin paling tidak bisa Alana bantah. Oleh karena itu, hadirlah Sumi sejak tujuh tahun lalu. Satu jam berlalu. Semua menu sarapan sudah tertata di piring. Sisanya ia serahkan kepada Sumi. Saatnya membangunkan Liana dan Ilana.Liana dan Ilana sudah tampil bersih dan wangi saat Alana masuk ke kamar mereka. Alana sangat bersyukur, karena mereka cepat memahami apa yang Alana ajarkan. "Kalau begitu, Mami tunggu di meja makan, ya?"Liana dan Ilana mengangguk."Tapi, Mi ...," Liana menggantung ucapannya. Alana yang hendak pergi menoleh. "Apa, Sayang?"Denga
"Ingat rumah, Mas?"Alana yang tahu Kevin beru saja pulang menyambutnya dekat pintu dan dengan sengaja menyalakan lampu saat Kevin memasuki kamar. Matanya menangkap jika Kevin terperanjat, kaget. "Ya, ampun, Sayang ... bikin jantung Mas copot aja, deh!" ucap Kevin, sambil mengelus dadanya. Alana memerhatikan Kevin dari ujung kepala hingga ujung kaki, walau tertutup kaos kaki. Ada yang berbeda? Tentu saja. Akan tetapi, Alana tidak akan membahasnya sekarang. Alana menatap Kevin sambil menggeleng pelan, lalu ke luar kamar melewati Kevin begitu saja. "Sayang, tunggu!" Kevin mengejar Alana dan berhasil memegang pergelangan tangannya. "Sayang, Maaf, Mas lembur gak ngasih kabar kamu. Mas lagi sibuk, sampe ketiduran di kantor. Ja--"Alana menarik lengannya. "Cukup, Mas! Aku tidak butuh penjelasan yang aku sendiri bingung harus percaya yang mana. Sekarang Mas bilang lembur ketiduran di kantor. Tapi semalam Mas balas pesan, Mas lagi butuh hiburan. Jangan-jangan ketiduran di club juga!"Al
Kevin mengerang kesakitan sambil memegang pinggang seiring dengan jantung yang berdetak kencang disertai keringat dingin mengucur di dahi. Perlahan kedua matanya terbuka lebar dan menyisir sekitar memastikan dirinya berada di mana. Sejenak ia terdiam, mengingat apa yang sudah terjadi. Setelah mandi tadi ia berbaring, lalu terlelap.Embusan napas kasar lolos begitu saja dari mulutnya. "Ya, Tuhan ... rupanya mimpi." Mimpi yang menurutnya buruk. Bagaimana tidak? Dalam mimpi saja diamnya Alana membuat dirinya takut. Takut Alana pergi dari hidupnya. Bagaimana kalau nyatanya Alana tahu? Tidak! Kevin menggeleng cepat. Perlahan Kevin bangkit. Dorongan Alana dalam mimpi rupanya membuat Kevin terjatuh dari kasur. Kevin tersenyum sarkas sambil menggeleng. Mata Kevin tertuju pada box bayi. Ia mengamati sambil menghampiri. Kosong. Alina ke mana? Batinnya. Kevin bergegas membuka lemari pakaian Alina, mencari tas bayi. Nihil. Tidak ada tas Alina di sana. Kevin segera meninggalkan kamar. Ia berl
Kevin mengambil kesempatan. Ia menarik tangan Alana, mengajaknya duduk di lorong yang cukup sepi. Alana hanya diam. Ia ingin tahu apa yang akan Kevin katakan. Alana menatap ke sembarang arah, Kevin duduk di sebalah mana Alana menatap. Alana menunduk, Kevin bertekuk lutut. "Sayang, Mas mohon tataplah mata Mas," ucap Kevin. Alana mengikuti perintah. Alana menatap Kevin, sangat dalam. Lantas Kevin meminta maaf. Kata maaf Kevin terdengar sangat tulus. Kevin mengaku jika dirinya terlalu senang karena perusahaannya telah bekerjasama dengan dua perusahaan lain. Semalam ia merayakan atas keberhasilan itu. "Maaf, Mas tidak fokus membaca chat kamu semalam. Mas pikir kamu hanya meminta Mas pulang saja, bukan karena anak-anak sakit," dusta Kevin. Dalam hati, Alana menertawakan dirinya sendiri. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwasanya istrinya tak lagi penting bagi Kevin? "Tidur di mana?" tanya Alana ketus. "Tentu saja di kamar, Sayang."Alana tersenyum sinis. "Hotel, apartemen, kantor,
Kevin mendengkus seolah-olah panggilan itu penting tidak penting. Ia menggerutu seakan-akan panggilan itu mengganggu kebersamaannya dengan Alana. "Maaf, Bu, bisa tidak menghubungi saya di saat jam kerja? Mengenai informasi Pak Handoko, tolong kirim melalui e-mail atau chat saja, bisa?""Emm ... ah, iya, iya, baiklah. Maaf, sudah mengganggu," kata lawan bicara Kevin yang tak lain adalah Melani. Kevin memutuskan sambungan telepon. Plong! Hatinya merasa lega karena Melani sangat peka dan memahami maksudnya. "Aku'kan udah bilang, minta nomor Pak Handoko langsung," kata Alana. "Sudah, Sayang. Tapi, Pak Handoko bilang cukup lewat dia saja. Mas, sih, nebak emang dia sekretarisnya.""Lah, itu, Mas bisa ngobrol langsung sama orangnya. Lewat apa?""E-mail, Sayang. Mas juga merasa aneh, kenapa dia tidak memberikan nomor ponsel saja. Masa iya rahasia? Kan, tidak mungkin.""Tapi ...,""Sudah, mending sekarang kamu tidur. Mumpung Alina juga lelap." Kevin mengatur bantal untuk Alana. Alana yan
Hari demi hari Alana lalui dengan penuh rasa bahagia seperti dahulu. Tak ada lagi Yuni yang selalu membebaninya dengan meminta cucu laki-laki. Kabarnya, Yuni kembali tinggal di Singapura. Ia menolak keras untuk tinggal kembali bersama Kevin. Meskipun demikian, Alana tetap berusaha mendekatkan diri kepada Yuni dengan bertanya kabar melalui telepon, bahkan berkunjung ke sana walaupun kehadiran Alana dan anak-anaknya tidak dianggap. Sudah satu tahun semenjak investor baru masuk, perusahaan Kevin maju pesat. Hampir setiap hari Alana mendapatkan hadiah, baik berupa bunga, perhiasan, bahkan sebuah mobil mewah Kevin berikan kemarin. Ketiga putrinya pun dimanjakan. Bahkan Liana dan Ilana pindah ke sekolah favorit di kota. Kevin juga menepati janjinya. Berangkat lebih awal ke kantor, pulang selalu tepat waktu, yakni jam lima sore. "Hari ini pulang dijam biasa, kan?" tanya Alana. "Memangnya kenapa?""Emang Mas lupa hari ini hari apa?"Laki-laki bergelar suami itu mengerutkan dahi, mencoba me
"Mi?"Alana terhenyak karena Ilana menggoyang tangannya. "Ah, iya, Sayang.""Gambar Ila bagus, kan, Mi?""I-iya, bagus, Sayang. Ya, udah, kita pulang, yuk!"Ilana mengangguk cepat. Alana memasukan buku gambar itu ke dalam tas Ilana, lalu memasangkan sabuk pengaman Ilana yang kebetulan duduk di jok depan. Setelah memastikan Liana dan Alina duduk nyaman dan aman di jok belakang, Alana memacu mobilnya meninggalkan sekolah. *Setibanya di rumah, Liana dan Ilana masuk ke kamarnya masing-masing untuk berganti pakaian. Sedangkan Alana, menidurkan Alina yang mulai rewel. Alina sudah pulas. Saatnya berkutat di dapur. Alana tak lekas ke dapur, ia ke kamar kedua putrinya. "Apa yang terjadi, Sayang?" tanya Alana karena mendapati Ilana ada di kamar Liana. "Ini, Mi, anting Ila nyangkut di seragam," jawab Ilana. Alana yang berdiri di bibir pintu pun memilih masuk. "Sekarang gimana? Udah lepas?""Udah, Mi, baru aja," jawab Liana. Alana tersenyum dan meminta Ilana segera berganti pakaian. "O
Alana menatap wajah Kevin dengan tatapan kosong, bahkan air matanya mengalir cukup deras. Ia benar-benar tidak menikmati aktivitas Kevin di atas tubuhnya karena pria itu mengambil haknya dengan kasar. Ya, tadi Kevin memeluknya dari belakang dan berhasil mengunci pergerakan Alana. Alana berontak saat Kevin hendak menciumnya. Kevin tidak mau tahu dengan kondisi hati Alana. Yang terpenting baginya, Alana masih istrinya. Ia berhak atas tubuh Alana. Kevin berdalih jika ia tidak memaksa, hal ini tidak akan pernah terjadi. Ya, benar! Rasa yang sudah mati untuk Kevin tak takkan sudi lagi bagi Alana untuk sekadar berciuman apalagi sampai memadu kasih. Air mata yang terjatuh tidak hanya menahan sakit di area intimnya, tetapi di dasar hati juga. Alana membayangkan dan merasa jijik bagaimana Kevin bercinta dengan Melani. Tak ada balasan dari Alana membuat Kevin menyudahi aktivitasnya. Biasanya ia akan berkali-kali melakukan pelepasan. Namun, kali ini Alana seperti gedebok pisang yang membuat ha
Alana sudah di rumah. Ia bergegas menidurkan Alina yang ternyata pulas, lalu ke luar lagi karena Kevin sedang menunggunya di ruang tamu. "Siapa pria tadi?""Emm ... siapa, ya?" Alana mengerutkan keningnya dengan jari telunjuk yang ia tempelkan di dagu seolah-olah sedang berpikir. "Kamu punya pria idaman lain?" Alana tersenyum lebar. "Tentu saja! Mas mencari kenyamanan di luaran, sampai-sampai punya bayi. Akupun sama! Aku akan lakukan seperti yang Mas contohkan!"Rahang Kevin mengetat. "Jangan membalikkan ucapanku! Dan jangan macam-macam!""Kenapa? Aku juga berhak bahagia!""Kamu tidak bahagia bersama Mas?"Sejenak Alana melongo, lalu tertawa. "Hahahaahaha ...." Tawa yang terdengar begitu renyah, padahal terasa hambar karena karena banyak luka di sana. Alana seketika terdiam dan memasang wajah datar. "Menurut Mas?!"Tanpa memberi Kevin waktu untuk menjawab, Alana kembali berkata, "Akkhh, pria tak punya hati seperti Mas pasti akan merasa istrinya selalu bahagia! Padahal ...,""Mas ga
Alana memeluk Liana dan Ilana. Rupanya mereka menangis saat mendengar teriakan Kevin, ditambah lagi Alana yang membanting pintu. Mereka ketakutan. Alana tak hentinya meminta maaf. Dirinya menjelaskan jika terjadi kesalahpahaman antara dirinya dan Kevin layaknya seorang teman jika bermain. "Seperti Kak Ana dan Ila. Kadang kalian juga berantem sedikit, lalu baikan lagi, kan?"Liana dan Ilana mengangguk mengerti. Alana meminta mereka untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum makan malam tiba. Sementara Liana dan Ilana mandi, Alana menyusui Alina. Makan malam tiba. Alana meminta Sumi untuk membawakan jatahnya dan anak-anak di kamar. Alana malas jika tiba-tiba Kevin atau Yuni datang lagi dan memaksanya untuk menyusui bayi Melani. Malam ini bisa lolos, tetapi besok dan besoknya lagi? Alana dibuat pusing memikirkannya. *Di rumah sakit, ada Melani yang merasa stress karena bayinya terus menangis. Ia mencoba memberinya ASI, tetapi sang bayi belum pandai menyedot puting. "Yang s
Siang itu Alana datang ke rumah sakit dengan membawa kado bersama ketiga putrinya. Semula, tak ada niatan sama sekali untuk datang. Hanya saja, ketika Ilana melakukan panggilan vidio dengan Kevin, Yuni memintanya untuk datang. Berdasarkan arahan dari Kevin, akhirnya mereka tiba di salah satu kamar ibu dan anak. Kevin menyambut kedatangan mereka. Liana dan Ilana yang sedari tadi mengekor, kini berada di samping kiri-kanan Alana. Keduanya kompak memegang baju Alana. Tampak di dekat ranjang bayi ada Yuni yang tak hentinya memandangi penuh kagum cucunya itu. "Selamat, ya Mbak," ucap Alana sambil menyimpan kado itu di lantai. Melani tersenyum lebar. "Terima kasih!"Alana mengangguk dan terdiam. Entah apa yang harus ia katakan dan lakukan lagi. "Kenapa diem di situ?" tanya Yuni, "liatlah cucu kesayangan, Ibu! Tampan, loh!"Alana tersenyum samar. Rupanya sang mertua hanya ingin pamer atau memanas-manasi? Alana mendekat dan memandangi wajah bayi itu. Seketika hatinya berkedut kembali m
Hari-hari Alana lalui dengan perasaan campur aduk. Kadang senang, kadang sedih. Senang ketika dirinya mengerjai Melani dan sedih saat melihat kenyataan jika dirinya berada dalam situasi memprihatinkan. Ya, sekarang usia kandungan Melani sudah masuk sembilan bulan. Perhatian Yuni dan Kevin tercurah kepadanya. Liana dan Ilana pun merasa sedih karena Kevin tak lagi mengajaknya bermain. Keadaan mereka tak ubah seperti orang-orang yang numpang hidup di rumah itu. Miris. Ya, Kevin mengabarkan bahwa rumah mewah itu kembali dikembalikan kepada Melani --orang yang seharusnya menerima hadiah itu. Alina. Bayi itu kini berusia tujuh belas bulan. Sudah pintar berjalan dan mulai berbicara dengan kosakata yang mulai bisa dimengerti. Sudah hampir empat bulan ini pula Kevin jarang menyapa dan menggendongnya. Sehingga, besar kemungkinan Alina tidak akan terlalu akrab. Malam ini jam dua belas malam. Alana yang tak bisa tidur memilih membuat secangkir teh cokelat panas di dapur. Pantulan cahaya rembula
Alana sudah berada di rumah. Rasa lelah yang semula mendera, kini perlahan hilang tergantikan rasa kesal. Sejenak Alana terdiam. Ia harus mencari cara agar perceraian itu terjadi. "Ah, Ibu!" serunya, ketika menemukan sebuah ide. Ya, Alana yakin jika Yuni akan senang dan mendukungnya. Dengan demikian mertuanya itu akan mendesak Kevin untuk berpisah dengannya. Alana memastikan jika ketiga putrinya tertidur lelap, lalu ke luar kamar untuk menemui Yuni. "Bi, liat Ibu, gak?" tanya Alana yang berpapasan dengan Sumi. "Ada di kamar atas, Bu. Bantu Bu Melani pindahan kamar."Alana mengangguk. "Makasih, ya, Bi." Alana bergegas menaiki anak tangga. Tiba di sana, rupanya ada beberapa tukang yang sedang merombak kamar tersebut. Alana memastikan tidak ada Kevin di sana. "Bu? Boleh bicara sebentar?" tanya Alana saat melihat Yuni di dekat pintu. Yuni menoleh. Keningnya mengerut lalu balik bertanya, "Apa penting?""Sangat, Bu!"Alana mengajak Yuni sedikit menjauh dari kamar."Bu, tolong bujuk
Lima hari sudah berlalu. Tepat pagi itu Kevin dan Melani tiba di rumah. Ya, semula yang hanya tiga hari ternyata bertambah dua hari karena Melani merengek ingin lebih lama di Bali.Lima hari tidak masuk kantor, tentu saja membuat pekerjaan menunggu Kevin di kantor. Setelah berganti pakaian, ia bergegas pergi. "Loh, Vin, baru saja nyampe, kok, pergi lagi?" protes Yuni. Kevin yang hendak masuk ke dalam mobil pun menoleh. "Banyak dokumen penting yang harus selesai hari ini, Bu.""Ah, baiklah! Hati-hati di jalan!"Kevin mengangguk, lalu segera pergi. ***Tiba di kantor, Kevin dihadang oleh seorang resepsionis sebelum ia memasuki ruangan. "Maaf, Pak. Ada surat untuk Anda."Sambil menerimanya, Kevin bertanya. "Dari siapa?""Maaf, saya tidak tahu, Pak. Kemarin orang pos yang mengantar.""Oke, terima kasih." Kevin bergegas masuk ke ruangannya. Kevin menyimpan amplop itu di dalam laci. Ia memilih untuk mengecek dokumen terlebih dahulu. Tak terasa jarum jam menunjuk pada angka dua belas
"Alana?! Bisa jaga anak, tidak?" Yuni tiba-tiba masuk kamar.Alana yang sedang merapikan mainan terhenyak dan panik melihat Ilana menangis. Ia melangkah cepat menghampiri. "Ada apa, Bu?""Kevin sama Melani mau ke Bali, mau baby moon. Anakmu merengek mau ikut!"Alana merangkul kedua putrinya. "Maaf, Bu. Yang penting, kan, mereka gak ikut, Bu!"Yuni mendelik. Wanita yang sudah memiliki keriput di wajahnya itu malah menghardik. "Memang tidak ikut. Dengan nangisnya anakmu, di sana Kevin pasti kepikiran. Bukannya senang-senang sama Melani malah banyak ngelamun!" Yuni membuang mukanya seraya pergi. Alana menghela napas. Kedua putrinya ia peluk, lalu melerainya. "Siapa yang mau ikut sama Mami jalan-jalan?!" tanya Alana penuh semangat. "Mau!" jawab Liana cepat. Ilana yang masih menangis pun turut bicara. "Ke mana, Mi?""Terserah! Yang jelas jangan ke luar negeri. Ke kebun binatang? Ke pantai? Ke villa? Pokoknya terserah Ila dan Kak Ana, deh!"Ilana mengusap air matanya seiring dengan ta
Melani meninju kasur. Ia merasa kesal karena ternyata Kevin memilih mengejar Alana. "Sayang, tunggu!" Dengan cepat Kevin menuruni anak tangga. "Tunggu!" katanya lagi sambil mencekal lengan Alana. Alana menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh ia berkata, "Maaf tidak bermaksud mengganggu. Aku pikir pintunya terbuka tidak ada orang. Aku hanya ingin mengambil sisa bajuku saja."Alana menarik tangannya. "Silakan lanjutkan saja!" Ia bergegas pergi. Masuk kamar, Alana segera mengunci pintu. Ia berlari ke kamar mandi. Sambil berdiri di depan cermin, akhirnya rasa sesak di dada terlampiaskan. Alana menangis. Ternyata, melihat sendiri mereka bercinta lebih menyakitkan daripada mendengar pengakuan Kevin. Alana terisak. "Tidak! Aku tidak boleh seperti ini! Air mataku terlalu mahal untuk menangisi pengkhianatan Mas Kevin!" Alana mengusap air matanya dan bergegas membasuhnya dengan air. Alana terus membasuh wajahnya sampai kiranya hidung tak terlihat merah dan matanya bengkak.Alana menarik nap