Share

Bab 3

Kevin meminta Alana menunggu di kamar untuk menenangkan Alina. Sesekali matanya mengedar ke arah pintu berharap Kevin cepat kembali.

"Apa yang terjadi?!" tanya Alana saat pintu kamar baru saja terbuka. Tampak Kevin menuntun Liana juga Ilana yang masih sesenggukan.

Liana dan Ilana berlari memeluk kaki Alana.

"Ada apa?" tanya Alana lagi.

Kevin mengembuskan napas kasar. Pria berusia tiga puluh lima tahun itu mengempaskan tubunnya di sofa. Kevin mengatakan jika Yuni memukul bokong dan menjewer telinga Liana dan Ilana karena mereka sudah menumpahkan segelas teh ke ponsel Yuni.

Deg!

Seketika hati Alana terasa berkedut. Sakit.

"Teh?" Alana balik bertanya dengan kening mengkerut dan kedua mata yang berkaca-kaca.

"Yah .... Mereka membawakan segelas teh untuk ibu sebagai permintaan maaf."

Alana terdiam sesaat. Andai saja tadi ia tidak menyuruh putrinya untuk meminta maaf, maka hal itu tidak akan terjadi. Walaupun demikian, Alana merasa bangga dan terharu atas usaha Liana dan Ilana dengan caranya meminta maaf. Memang Alana selalu mengajarkan kepada putrinya agar selalu meminta maaf jika saja mereka berbuat salah atau mungkin ada orang yang tidak nyaman dengan tingkah mereka.

Alana memastikan Alina sudah tertidur lelap. Direbahkannya lagi bayi mungil itu ke tempat tidurnya. Wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu bertekuk lutut menyejajarkan tinggi dengan Liana juga Ilana. Diciumnya pipi keduanya bergantian, lalu dipeluk. Tanpa kedua putrinya tahu, Alana mengusap air matanya.

"Maafin Mami, ya, Sayang?" ucap Alana pelan.

Alana melerai pelukan. Bibirnya melengkungkan senyum dengan memperlihatkan barisan giginya.

"Mami enggak marah?" tanya Liana.

Alana menggeleng. "Mami tidak marah. Hanya saja, lain kali hati-hati. Oke?" Alana mencolek hidung Liana dan Ilana.

"Senyum, dong!" Alana menggelitik Liana dan Ilana bergantian. Alana mencoba menghibur kedua putrinya.

Tawa pun menggema. Kini, tak ada lagi raut sedih dari wajah Liana dan Ilana.

Oeek!

Baby Alina terusik.

"Eh!" Alana menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan seolah-olah kaget. Sikap Alana tentu saja membuat Liana dan Ilana terkekeh-kekeh sambil turut menutup mulut.

"Baby Lina mau ikutan, Mi," celetuk Ilana sambil terkekeh-kekeh.

Alana menganggukan kepalanya cepat.

"Kalian mau main sama Mami?" tanya Alana.

"Aku mau main sama Kak Ana aja di kamar," kata Ilana berbisik karena takut adik bayinya kembali terbangun.

"Iya, ayok!" Liana menuntun adiknya meninggalkan kamar dengan tawa yang terdengar renyah.

Alana mengembuskan napas kasar, lalu berdiri mematung sambil memegang box bayi. Kevin yang memerhatikan dari jauh segera menghampiri. Pria itu memeluk Alana dari belakang.

"Sayang ...."

"Ibumu keterlaluan, Mas," ucap Alana yang terkesan dingin. "Ana dan Ila pasti tidak sengaja melakukannya."

Kevin mengeratkan pelukannya. "Mas tau. Maaf, ya? Mas janji, itu tidak akan terulang lagi."

Alana tidak ingin bicara lagi. Ia memilih merebahkan diri di kasur.

Tak terasa jam makan siang tiba. Alana yang kemarin menikmati makanan siang di kamar, siang itu memilih di ruang makan. Selain untuk menghargai Yuni, ia harus mengawasi Liana dan Ilana karena khawatir mereka kembali membuat Yuni marah.

Suasana ruang makan siang itu sangat berbeda. Tak terdengar celoteh Liana maupun Ilana. Piring pun sudah terisi nasi lengkap dengan lauk-pauk favorit masing-masing. Kevin'lah yang meminta kepada Sumi agar disiapkan terlebih dahulu. Bukan tak beralasan, Kevin tidak ingin Alana melayani semua orang dengan keadaannya yang belum pulih.

"Vin? Gantiin ponsel Ibu!" ucap Yuni di tengah makan siang. "Ibu mau Falcon Supernova iPhone 6 Pink Diamond itu loh!"

Alana yang sedang mengunyah seketika terdiam, lalu menatap Kevin. Yang ditatap hanya tersenyum yang berhasil menoreh tanya dalam benak Alana. Tidak salah?

"Iya, Bu," ucap Kevin.

Alana terhenyak. Nasi yang sudah dikunyah lembut pun terasa sulit ditelan. Apa ia tidak salah dengar?

"Yeeeaah!" Yuni bersorak. "Makasih, Sa--"

"Tapi, aku jual dulu perusahaan peninggalan ayah," ucap Kevin cepat dan santai.

Alana mengulum bibirnya, menahan tawa melihat mimik Yuni yang sudah dipastikan kecewa. Jelas saja suaminya berkata demikian, karena harga benda itu mencapai $48,5 juta. Selain desainnya yang mewah, bahannya pun terbuat dari emas, dihiasi berlian dan dilapisi platinum.

"Kamu ini, Vin. Udah angkat Ibu tinggi-tinggi, lalu kamu banting. Sakit, Vin!" seloroh Yuni dengan jengkel.

"Maaf, Bu. Untuk saat ini aku belum bisa belikan. Ibu tau sendiri kalo perusahaan kita merintis lagi dari awal."

"Kalau keinginan ini tidak bisa kamu kabulkan, paling tidak cu-"

"Itu tidak bisa juga, Bu!" potong Kevin tegas. Pria itu tahu ke mana arah Yuni bicara.

Alana menghirup udara banyak-banyak. Sungguh obrolan yang akan berujung perdebatan panjang atau mungkin malah akan terus berseteru.

"Sayang? Makannya udah?" tanya Alana kepada Liana dan Ilana.

Keduanya mengangguk dan menjawab kompak. "Sudah, Mi."

"Ya, sudah, sana ke kamar tidur siang ya?"

Liana dan Ilana mengangguk patuh, lalu pergi.

Sepeninggal Liana dan Ilana, Alana merasakan suhu ruang makan terasa panas. Padahal, ada air conditoner di sana. Tampak Kevin masih anteng mengunyah nasi yang tinggal beberapa suap lagi. Alana melirik ke arah Yuni. Wanita berusia enam puluh satu tahun itu tengah menatap tajam putranya. Alana menunduk kembali menyuap nasi yang tinggal satu sendok lagi.

"Alana?" panggil Yuni ramah.

Alana lantas menoleh. "Iya, Bu."

Kedua mata mereka bertemu sampai akhirnya Yuni menggeser kursi yang diduduki dan beranjak menghampiri sambil tersenyum. Senyum yang sudah lama tidak Alana dapatkan.

Yuni mengusap pundak Alana. Seketika hati sang empu pundak merasa menghangat.

"Kalau tidak mampu beri Ibu cucu laki-laki, katakan sekarang. Biar Ibu yang carikan calon rahim yang siap dibuahi suamimu!"

Yuni pun pergi meninggalkan Alanan yang diam mematung. Tak lama tubuhnya lunglai, matanya berkunang dan ...

Bruk!

Alana jatuh pingsan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status