Share

Bab 2

"Itu tidak akan terjadi, Bu! Aku tidak akan mengkhianati istriku!"

Rasa lega berpendar dalam hati Alana. Ia yakin jika Kevin tidak akan melakukan itu. Ia sangat percaya jika Kevin setia seperti komitmennya dari awal menikah.

"Kamu perlu generasi penerus perusahaan, Kevin!" Suara Yuni meninggi.

Alana menarik napas dalam-dalam. Jadi, Yuni ingin cucu laki-laki untuk meneruskan perusahaan? Ah, bukankah di zaman sekarang ini kaum hawa juga memiliki kedudukan yang sama dengan kaum adam? Dimana perempuan juga bisa memimpin sebuah perusahaan, bahkan sebuah negara, pikir Alana.

Alana mendengar suara langkah Kevin mendekat. Alana mengatur napas agar emosinya stabil dan berlaga seperti orang yang baru saja datang.

"Loh, Mas belum berangkat?" tanya Alana.

"Ini mau, Sayang. Ngomong-ngomong, kenapa kamu ke mari, hem?

Alana tersenyum sambil mengelus perutnya. "Aku lapar, Mas."

"Biar Mas siapain, ya?" Kevin berbalik, tetapi Alana mencegahnya.

"Tidak usah, Mas. Jemput anak-anak saja. Kasian, takutnya mereka sudah menunggu."

Kevin pun pergi setelah mencubit gemas kedua pipi Alana yang terlihat cuby. Jika saja belum saatnya menjemput putrinya pulang sekolah, sudah pasti Kevin yang menyiapkan. Walaupun jarak rumah dan sekolah cukup dekat, baik Kevin maupun Alana tidak ingin jika anak-anaknya sampai menunggu. Apalagi di zaman sekarang banyak kejadian penculikan anak. Mereka tidak akan membiarkan Liana dan Ilana pulang jalan kaki.

Alana mengembuskan napas kasar. Ia melangkah pelan menuju ruang makan. Rupanya Yuni tengah menatap Alana. Keduanya beradu pandang sekilas sampai akhirnya Yuni berpaling muka.

"Ibu sudah makan?" tanya Alana ramah.

"Belum! Gimana, sih, kamu ini? Ada mertua datang itu disambut. Bikin masakan yang enak, kek!"

Alana mencoba tersenyum meski terasa sulit. "Maaf, Bu. Perutku masih terasa sakit. Belum kuat untuk angkat yang berat dan gerak saja masih sulit."

Yuni melotot. "Makanya, lahiran itu lewat jalan lahir! Lagipula Ibu hanya nyuruh kamu masak, bukan angkat besi!"

Yuni beranjak meninggalkan Alana yang tengah berdiri mematung.

Di hati yang terdalam, Alana merasakan sakit. Namun, ia hanya bisa mengelus dada. Alana harus bersabar, tidak boleh stres karena akan berpengaruh pada ASI-nya. Untuk putri ketiganya ini, Alana ingin menyusui sampai tuntas juga.

Alana bergegas membuka tudung saji. Di sana ada beberapa lembar roti tawar saja. Tidak ada menu lain, karena Kevin meminta berganti menu setiap waktunya. Jadi, setiap memasak hanya secukupnya untuk keluarga, asisten rumah tangga, sopir, juga tukang kebun saja. Bukan pelit, tetapi Kevin sangat marah jika ada makanan sisa.

"Mau Bibi siapin, Bu?" tanya Sumi yang baru saja datang dari berbelanja. "Atau mau Bibi masakin? Ibu mau apa?"

Alana tersenyum. "Tidak usah, Bi. Bibi masak saja untuk makan siang nanti. Bibi tau, kan, masakan favorit Bu Yuni?"

Sumi mengangguk, lalu menyebutkan beberapa menu favorit Yuni. Setelah dibenarkan oleh Alana, Sumi bersiap memasak.

Alana mengambil dua lembar roti, lalu meninggalkan ruang makan dan menolak untuk Sumi papah.

Terdengar suara deru mesin mobil Kevin di luar. Alana yang hendak masuk kamar mengurungkan niatnya.

Daun pintu terbuka lebar dan tampaklah Liana dan Ilana. Liana yang memasuki usia delapan tahun dan Ilana enam tahun berjalan saling bergandengan. Mereka seperti kembar.

Alana tersenyum melihatnya. Namun, seketika senyum itu pudar saat menyaksikan interaksi putrinya dengan Yuni.

"Itu Nenek, kan, Pi?" tanya Liana kepada Kevin.

Kevin mengangguk sambil tersenyum.

"Nenek?!" seru Liana dan Ilana, lalu memeluk Yuni yang sedang bermain ponsel di ruang tamu. Gadis kecil polos itu senang sang nenek datang, karena selama ini mereka tahu sosok Yuni hanya sebatas foto dan video call saja.

"Aduuuuh, apa, sih? Badan kalian bau, ganti baju dulu, sana!" Yuni melepas pelukan keduanya.

Liana dan Ilana menarik diri dengan bibir cemberut. Sambil menunduk, keduanya meminta maaf dan pergi kemudian.

Hati Alana memanas. Bisakah sikap Yuni biasa saja jika di depan anak-anak? Jika benci dirinya, cukuplah tunjukkan pada dirinya saja. Ah, Alana lupa, jika Yuni tak menginginkan mereka yang berjenis kelamin perempuan.

"Maafkan tingkah mereka, Bu. Mereka lakukan itu karena kangen sama neneknya," ucap Kevin.

Yuni hanya mengangkat kedua pundaknya saja, lalu kembali fokus pada ponselnya. Kevin menghela napas, lalu melangkah cepat menyusul kedua putrinya.

Bruk!

Ilana terjatuh, lalu menangis.

Alana menghampiri putrinya itu yang sedang dibangunkan oleh Kevin.

"Makanya, punya anak itu laki-laki! Gak cengeng!" seru Yuni.

Alana hanya bisa menggeleng pelan.

Alana meminta Kevin untuk menggendong Ilana ke kamar utama. Sedang dirinya menuntun Liana.

Di kamar, Kevin mendudukan Liana dan Ilana di tepi ranjang. Alana pun bertekuk lutut tepat di hadapan mereka.

"Jangan nangis!" Alanan mengusap air mata yang menetes di pipi gembul Ilana. "Masih sakit?"

Ilana mengangguk sebagai jawaban. Gadis kecil itu merasa sakit hati karena bentakan Yuni ditambah lagi terjatuh. Selama ini, Alana maupun Kevin tidak pernah membentak.

"Maafin nenek, ya? Nenek baru saja dateng. Jadi masih capek," tutur Alana pelan dan berharap kedua putrinya mengerti.

Liana maupun Ilana mengangguk sebagai jawaban.

Alana meminta kedua putrinya untuk berganti pakaian di kamar mereka. Sebelumnya Alana meminta agar Liana juga Ilana meminta maaf kepada Yuni.

Kepergian Liana dan Ilana dari kamar menyisakan Alana yang duduk termenung sambil menatap baby Alina. Tak ada lagi rasa lapar. Dua lembar roti yang ia bawa tadi disimpannya di atas piring bekas camilan di atas nakas.

"Maafkan Ibu, ya?" Kevin merangkul Alana dan membawa kepala sang istri agar bersandar padanya. Kevin tahu betul bagaimana perasaan istrinya itu.

Alana diam membisu. Dalam hatinya meracau. Belum satu hari saja suasana rumah tidak ramah untuk anak-anaknya, bagaimana kedepannya?

Alana mendongak. Ia bertanya memastikan perihal permintaan Yuni agar Kevin mencari wanita lain yang bisa melahirkan anak laki-laki.

Kevin memeluk erat Alana. Dikecupnya pucuk kepala sang istri dengan sayang. "Tidak, Sayang, tidak! Itu tidak akan pernah terjadi. Mas janji! Mas akan coba bicara sama ibu. Mas yakin ibu akan mengerti dan memang harus mengerti. Dan Ibu harus menerima takdir Tuhan."

Suasana hening.

Tiba-tiba saja ...

"Kevin!" teriak Yuni yang terdengar menggelegar sampai-sampai baby Alina terbangun dan menangis. Bukan hanya tangisan Alina, tetapi tangisan Liana juga Ilana menggema.

Alana terperanjat dengan kedua mata terbelalak. "Apa yang terjadi?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status