Diaz dengan cepat membereskan pekerjaannya, dia segera memesan kereta api paling pagi ke jakarta, dari bandung dia lebih memilih naik kereta api karena lebih efesien daripada naik pesawat. Sudah tidak sabar rasanya ingin bertemu dengan Mutia dan menemani wanita itu menunggu neneknya yang tengah operasi. Harusnya dia belum bisa kembali, tetapi pertemuannya dengan klien dipersingkat karena Diaz memang selalu langsung membahas pada intinya tidak suka dengan acara basa-basi.Namun ditengah perjalanan, Diaz mendapat telpon dari ayahnya kalau hari ini adalah acara pengukuhan calon anggota legislatif dari partai yang dia dirikan, sehingga Diaz sebagai penerusnya wajib datang. "Aku tidak akan datang, partai itu kan punya ayah, aku juga tidak mau diwarisi sebuah partai. Aku cukup mengurusi perusahaan saja," ujar Diaz dengan malas."Diaz, ayah sudah menyuruhmu meluangkan waktu hari ini dari jauh-jauh hari, cepat datang! dengan adanya partai ini, maka perusahaan juga akan didukung oleh lembaga
Setelah Tania turun dari panggung, tepuk tangan menggema menyambutnya, Hadi yang menyadari Diaz tidak merespon apa-apa menyenggol anaknya agar bertepuk tangan juga, akhirnya Diaz ikut bertepuk tangan dengan ala kadarnya. "Tania, bakat talenta kamu memang luar biasa. Sebaiknya tahun ini kamu mendaftar menjadi Putri Indonesia, Om yakin kamu akan lolos dan menjadi melaju ke ajang Miss universe," puji Hadi dengan antusias. "Terima kasih, Om. Sepertinya saran Om Hadi akan aku pertimbangkan," jawab Tania sambil tersenyum dan melirik Diaz yang berwajah datar tidak merespon apapun. "Benar, putri pak wali kota ini memang sangat berbakat, seandainya saya memiliki anak perempuan, saya akan mensuport dengan bakat dan talenta seni seperti putri pak wali kota, sayang saya hanya memiliki dua anak laki-laki, yang sulung juga baru masuk kuliah, kalau dia sudah dewasa seperti anak pak Hadi, pasti akan saya kenalkan dengan putri cantik anak pak wali kota ini," ujar pak gubernur pujian pak guber
Tania yang jengkel dengan kelakuan Diaz yang sama sekali tidak memperdulikan dirinya melangkah dengan cepat-cepat untuk menyusul lelaki itu, tetapi sepatu hak tinggi yang dia kenakan jelas membuatnya kesulitan melangkah, mana bisa menyusul Diaz yang pergi dengan langkah terburu-buru. Di lobby gedung, dia bertemu dengan Evita yang memang sengaja memata-matai dan memantau gerakan Diaz dan Tania. Sebenarnya Evita sangat senang Diaz tidak menghiraukan Tania, tetapi mau bagaimana lagi, dia harus mendekati Tania untuk senjata memisahkan Diaz dan Mutia, menurutnya untuk menyingkirkan Tania itu mudah, karena Diaz tidak memiliki perasaan pada gadis itu, tetapi untuk menyingkirkan Mutia yang sudah seperti kanker itu sangatlah sulit. "Mbak Tania, apa kabar Mbak?" Tania mengenal Evita karena mereka sering bertemu di circle pergaulan mereka. Sikap Evita yang sering merendah dan meninggikan Tania membuat gadis itu tidak mempermasalahkan keberadaan Evita disekitarnya. "Evita? aku baik.
"Mas suapi, ya?" ujar lelaki itu yang sudah memegang sendok. Mutia ingin menolak karena dia masih punya tangan yang sehat, tetapi entah kenapa dia benar-benar ingin dimanja kali ini. Ingin merasakan perhatian yang begitu melimpah dari seorang lelaki yang sudah memenuhi relung hatinya. Melihat Mutia mengangguk, Diaz tersenyum lebar dan menyendok nasi dan mengarahkan ke mulut wanita itu. "Kita makan bersama, Mas juga belum makan," ujar Diaz yang juga menyendok nasi ke mulutnya. "Mas belum makan?" "Iya, tidak sempat makan." Mutia membelai wajah lelaki itu, memang wajahnya tampak kelelahan jika diperhatikan dengan seksama. Melihat Diaz makan dari sendok yang sama, begitu juga minum dari sedotan yang sama dengannya, membuat Mutia semakin menghangat hatinya. Seharusnya pasangan memang begitu, tidak merasa jijik dengan bekas pakai pasangannya. Justru semakin suka, bukankah mereka juga sudah sering berbagi Saliva bila ada kesempatan. Diaz sesekali mengelap bibir Mutia yang bele
Pagi-pagi sekali Mutia sudah datang ke rumah sakit diantar oleh Diaz, hari ini dia masih cuti. Sedang Diaz justru banyak-banyaknya pekerjaan, tapi dia masih menyempatkan diri mengantar Mutia. "Nenek sudah siuman, Bu Mutia. Tadi pas subuh, dia sudah siuman," ujar perawat yang menjaga nenek. "Oh ya? saya sudah boleh menjenguknya?" "Iya, silahkan. Nanti sekitar jam delapan dokter akan mengobservasi, jika hasilnya bagus akan langsung di bawa ke ruang perawatan lagi." Mutia dan Diaz bergegas memasuki ruang ICU dengan mengenakan pakaian khusus yang disediakan. Di sana neneknya sudah siuman walaupun belum bisa bergerak. Tatapan wanita tua itu menatap dengan binar ke arah sepasang manusia yang mendatanginya. "Nenek, bagaimana perasaan nenek?" tanya Mutia yang langsung menggenggam tangan neneknya "Nenek hanya tersenyum, wajahnya yang ditutupi oleh masker oksigen membuat ekspresi wajahnya tidak terlihat. "Apa nenek masih sakit?" tanya Diaz yang tatapannya juga kuatir. "Nenek su
"Nenek ingin tinggal di desa setelah sembuh, sepertimu suasana desa yang tenang membuat nenek bisa lekas sembuh," permintaan nenek ketika sudah dipindah ke ruang perawatan. "Iya, nanti kalau nenek sudah boleh pulang oleh pihak rumah sakit, ya?" jawab Mutia dengan sabar. Nenek Rosida berasal dari daerah puncak Bogor sebelum menikah dengan kakek dan dibawa ke jakarta. Nenek adalah anak tunggal, sehingga semua harta peninggalan orang tuanya pasti diwariskan pada nenek. Di desa itu, masih ada rumah peninggalan orang tuanya, mungkin sudah tua dan usang, tetapi pada zaman nenek muda dulu, rumah orang tuanya adalah rumah terbesar dan terbagus di desa itu. Sekarang rumah itu sering dibersihkan oleh keponakannya yang rumahnya dekat dengan rumah nenek. Seminggu setelah nenek dioperasi, Mutia mendapat panggilan sidang perceraiannya, sidang akan diadakan dua hari lagi, tepatnya di hari Senin. Sebenarnya akhir pekan ini Tasya mengajaknya untuk ikut mendampinginya saat lamaran Fadil ke Surab
Dengan berbekal map yang diberikan oleh Fadil, akhirnya mereka sampai di rumah yang cukup besar, memang benar ternyata Tasya ini anak orang berada di kota ini. Keluarga besar Tasya juga sudah berkumpul di sini, acara lamaran malah ternyata begitu ramai, sementara dari pihak Fadil hanya didampingi oleh kedua orang tua mereka. Ketika mereka datang, Fadil sudah berada di ruang tamu yang cukup besar, mereka duduk di bawah beralaskan permadani tebal, dia didampingi oleh kedua orang tuanya. Sementara Tasya duduk diapit juga dengan kedua orang tuanya, di sekeliling mereka berkumpul lebih dari dua puluh orang yang merupakan keluarga besar Tasya. "Diaz, sini!" panggil Fadil yang melihat Diaz dan Mutia berjalan masuk ke rumah. Diaz datang dengan tersenyum sambil menggandeng Mutia, ketika melihat Mutia Tasya juga melambaikan tangan ke arahnya. "Aku mendampingi Tasya ya, Mas." Diaz mengangguk dan melepaskan tangan kekasihnya, dia menuju ke arah Fadil. Disalami tangan kedua orang tua Fadil
"Baiklah kita mulai," ujar penghulu. Ayah Tasya melihat kertas yang ditulis calon menantunya dengan mata yang memicing, kaca mata plus yang bertengger di atas hidungnya sebentar-sebentar dia perbaiki, dia takut salah melihat tulisan yang ada di tangannya. "Ini benar-benar jumlah maharnya?" tanya pak Yunus sekali lagi "Benar, Pak," jawab Fadil dengan percaya diri. Ayah Tasya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, di merasa tidak yakin dengan yang dibaca di kertas tersebut. "Ini terlalu banyak, m-banking juga gak bisa mentransfer uang sebanyak ini, sebaiknya pakai uang cash yang dimiliki oleh Nak Fadil saja," ujar Ayah Tasya. "Ah, iya. Sebaiknya begitu, ini Ibu beri kalung, gelang dan cincin ibu buat mas kawin kamu, Fadil. Dan ini ada uang cash satu juta juga," ujar ibu Fadil yang sudah melepas perhiasan yang melekat ditubuhnya. "Iya, ayah tambahi uang dua juta, ambillah," ujar ayah Fadil yang sudah mengeluarkan uang dari dompetnya. "Iya, Fadil. Aku juga ada uang cash l