Tania yang jengkel dengan kelakuan Diaz yang sama sekali tidak memperdulikan dirinya melangkah dengan cepat-cepat untuk menyusul lelaki itu, tetapi sepatu hak tinggi yang dia kenakan jelas membuatnya kesulitan melangkah, mana bisa menyusul Diaz yang pergi dengan langkah terburu-buru. Di lobby gedung, dia bertemu dengan Evita yang memang sengaja memata-matai dan memantau gerakan Diaz dan Tania. Sebenarnya Evita sangat senang Diaz tidak menghiraukan Tania, tetapi mau bagaimana lagi, dia harus mendekati Tania untuk senjata memisahkan Diaz dan Mutia, menurutnya untuk menyingkirkan Tania itu mudah, karena Diaz tidak memiliki perasaan pada gadis itu, tetapi untuk menyingkirkan Mutia yang sudah seperti kanker itu sangatlah sulit. "Mbak Tania, apa kabar Mbak?" Tania mengenal Evita karena mereka sering bertemu di circle pergaulan mereka. Sikap Evita yang sering merendah dan meninggikan Tania membuat gadis itu tidak mempermasalahkan keberadaan Evita disekitarnya. "Evita? aku baik.
"Mas suapi, ya?" ujar lelaki itu yang sudah memegang sendok. Mutia ingin menolak karena dia masih punya tangan yang sehat, tetapi entah kenapa dia benar-benar ingin dimanja kali ini. Ingin merasakan perhatian yang begitu melimpah dari seorang lelaki yang sudah memenuhi relung hatinya. Melihat Mutia mengangguk, Diaz tersenyum lebar dan menyendok nasi dan mengarahkan ke mulut wanita itu. "Kita makan bersama, Mas juga belum makan," ujar Diaz yang juga menyendok nasi ke mulutnya. "Mas belum makan?" "Iya, tidak sempat makan." Mutia membelai wajah lelaki itu, memang wajahnya tampak kelelahan jika diperhatikan dengan seksama. Melihat Diaz makan dari sendok yang sama, begitu juga minum dari sedotan yang sama dengannya, membuat Mutia semakin menghangat hatinya. Seharusnya pasangan memang begitu, tidak merasa jijik dengan bekas pakai pasangannya. Justru semakin suka, bukankah mereka juga sudah sering berbagi Saliva bila ada kesempatan. Diaz sesekali mengelap bibir Mutia yang bele
Pagi-pagi sekali Mutia sudah datang ke rumah sakit diantar oleh Diaz, hari ini dia masih cuti. Sedang Diaz justru banyak-banyaknya pekerjaan, tapi dia masih menyempatkan diri mengantar Mutia. "Nenek sudah siuman, Bu Mutia. Tadi pas subuh, dia sudah siuman," ujar perawat yang menjaga nenek. "Oh ya? saya sudah boleh menjenguknya?" "Iya, silahkan. Nanti sekitar jam delapan dokter akan mengobservasi, jika hasilnya bagus akan langsung di bawa ke ruang perawatan lagi." Mutia dan Diaz bergegas memasuki ruang ICU dengan mengenakan pakaian khusus yang disediakan. Di sana neneknya sudah siuman walaupun belum bisa bergerak. Tatapan wanita tua itu menatap dengan binar ke arah sepasang manusia yang mendatanginya. "Nenek, bagaimana perasaan nenek?" tanya Mutia yang langsung menggenggam tangan neneknya "Nenek hanya tersenyum, wajahnya yang ditutupi oleh masker oksigen membuat ekspresi wajahnya tidak terlihat. "Apa nenek masih sakit?" tanya Diaz yang tatapannya juga kuatir. "Nenek su
"Nenek ingin tinggal di desa setelah sembuh, sepertimu suasana desa yang tenang membuat nenek bisa lekas sembuh," permintaan nenek ketika sudah dipindah ke ruang perawatan. "Iya, nanti kalau nenek sudah boleh pulang oleh pihak rumah sakit, ya?" jawab Mutia dengan sabar. Nenek Rosida berasal dari daerah puncak Bogor sebelum menikah dengan kakek dan dibawa ke jakarta. Nenek adalah anak tunggal, sehingga semua harta peninggalan orang tuanya pasti diwariskan pada nenek. Di desa itu, masih ada rumah peninggalan orang tuanya, mungkin sudah tua dan usang, tetapi pada zaman nenek muda dulu, rumah orang tuanya adalah rumah terbesar dan terbagus di desa itu. Sekarang rumah itu sering dibersihkan oleh keponakannya yang rumahnya dekat dengan rumah nenek. Seminggu setelah nenek dioperasi, Mutia mendapat panggilan sidang perceraiannya, sidang akan diadakan dua hari lagi, tepatnya di hari Senin. Sebenarnya akhir pekan ini Tasya mengajaknya untuk ikut mendampinginya saat lamaran Fadil ke Surab
Dengan berbekal map yang diberikan oleh Fadil, akhirnya mereka sampai di rumah yang cukup besar, memang benar ternyata Tasya ini anak orang berada di kota ini. Keluarga besar Tasya juga sudah berkumpul di sini, acara lamaran malah ternyata begitu ramai, sementara dari pihak Fadil hanya didampingi oleh kedua orang tua mereka. Ketika mereka datang, Fadil sudah berada di ruang tamu yang cukup besar, mereka duduk di bawah beralaskan permadani tebal, dia didampingi oleh kedua orang tuanya. Sementara Tasya duduk diapit juga dengan kedua orang tuanya, di sekeliling mereka berkumpul lebih dari dua puluh orang yang merupakan keluarga besar Tasya. "Diaz, sini!" panggil Fadil yang melihat Diaz dan Mutia berjalan masuk ke rumah. Diaz datang dengan tersenyum sambil menggandeng Mutia, ketika melihat Mutia Tasya juga melambaikan tangan ke arahnya. "Aku mendampingi Tasya ya, Mas." Diaz mengangguk dan melepaskan tangan kekasihnya, dia menuju ke arah Fadil. Disalami tangan kedua orang tua Fadil
"Baiklah kita mulai," ujar penghulu. Ayah Tasya melihat kertas yang ditulis calon menantunya dengan mata yang memicing, kaca mata plus yang bertengger di atas hidungnya sebentar-sebentar dia perbaiki, dia takut salah melihat tulisan yang ada di tangannya. "Ini benar-benar jumlah maharnya?" tanya pak Yunus sekali lagi "Benar, Pak," jawab Fadil dengan percaya diri. Ayah Tasya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, di merasa tidak yakin dengan yang dibaca di kertas tersebut. "Ini terlalu banyak, m-banking juga gak bisa mentransfer uang sebanyak ini, sebaiknya pakai uang cash yang dimiliki oleh Nak Fadil saja," ujar Ayah Tasya. "Ah, iya. Sebaiknya begitu, ini Ibu beri kalung, gelang dan cincin ibu buat mas kawin kamu, Fadil. Dan ini ada uang cash satu juta juga," ujar ibu Fadil yang sudah melepas perhiasan yang melekat ditubuhnya. "Iya, ayah tambahi uang dua juta, ambillah," ujar ayah Fadil yang sudah mengeluarkan uang dari dompetnya. "Iya, Fadil. Aku juga ada uang cash l
"Kalau kita menikah, mau mahar apa?" Diaz dengan sabar menanyakan hal itu kembali. "Em, apa ya? aku tidak bisa berkata-kata," jawab Mutia yang memang tidak tahu harus menjawab apa. "Apa jika kuberi hal yang sama dengan Tasya, kamu tidak keberatan?" tanya Diaz kembali, kini lelaki itu menatap Mutia dengan tatapan yang menelisik. "Oh, uang satu miliyar, ya? Sepertinya itu tidak perlu! Kemarin waktu aku menikah dengan Tommy juga maharnya satu miliyar," jawab Mutia dengan tatapan menerawang, mengingat kejadian setahun setengah yang lalu. "Apa? ternyata ....." Diaz terperangah mendengar jawaban dari Mutia, tidak menyangka saja kalau Tommy memberi mahar sebesar itu. "Kamu dinikahi dengan mahar satu miliyar, tetapi Tommy menganggukkan kamu begitu saja, apa tidak merasa rugi? bodoh banget Tommy itu," ujar Diaz sambil terkekeh menertawakan kebodohan Tommy. Setelah puas tertawa, Diaz kembali menatap Mutia dengan tatapan heran, lagi-lagi menelisik wajah wanita itu dengan lebih teliti
Hari berlalu, saat ini adalah sidang terakhir perceraian Mutia. Tentu saja Mutia harus datang, karena akan ada pembacaan talak dari Tommy. Ketika sampai di gedung pengadilan, di depan ruang sidang sudah ada Tommy, Siska dan juga Diana.. Ketika melihat Mutia, Diana langsung menyongsongnya, mata wanita itu berkaca-kaca melihat calon bekas menantunya ini. Biar bagaimanapun, mereka pernah tinggal bersama dan pernah berhubungan baik sebagai mertua dan menantu. "Apa kabar, Mutia?" tanya Diana. Mutia tersenyum menanggapi sapaan dari Diana, Mutia tidak pernah menyimpan dendam buat wanita paruh baya ini, walaupun demi mendapatkan cucu, wanita ini tidak lagi mendukung Mutia pada akhirnya. "Baik, Bu. Ibu Diana apa kabar juga?" Diana terperangah mendengar Mutia memanggilnya seperti itu. Dahulu Mutia akan memanggilnya dengan Mama, tetapi saat ini sepertinya wanita itu sudah siap untuk menganggapnya bukan siapa-siapa. "Walaupun nanti kamu bukan lagi menjadi istri Tommy, maukah kamu tet
Diaz menghela napas berat, mana bisa dia memberi ijin seperti itu, sudah jelas-jelas terlihat di mata lelaki bernama Setiaji itu sangat tertarik dengan istrinya. Itu namanya bunuh diri Tetapi melihat tatapan memohon Mutia membuatnya luluh, memang tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang anak kecil, jika punya anak nanti, dia juga tidak ingin anaknya sedih. "Baiklah, nanti setelah dua Minggu aku akan menjemputmu. Aku juga akan menjenguk mu kapan saja aku mau, sekarang aku akan menginap di sini, ya? aku sudah sangat rindu denganmu." "Tentu saja." "Mulai sekarang, jika kamu punya masalah apapun cerita sama Mas. Jadi mas tidak salah paham, coba kalau kau cerita kalau nenek meninggal, tentu aku tidak akan salah paham begini. Di manapun aku berada, cerita! tidak ada yang lebih penting selain dirimu, soal kerjaan itu hanyalah Rizki saja, kalau memang masih rezeki tidak akan kemana." "Iya, Mas. aku juga minta maaf. Niat hati aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi malah just
"Untuk apa mas mencari ku? bukankah mas Diaz sudah menceraikan aku? Buat apa, Mas?" tanya Mutia dengan napas yang mulai tersengal, ternyata dia tidak sekuat itu, cairan bening tetap jebol dari mata indahnya. "Tidak semudah itu bercerai, pernikahan kita sudah didaftarkan di KUA, mana bisa kita bercerai hanya dengan kata talak. harus menyelesaikan prosedur perceraian lewat pengadilan." "Apa? jadi mas Diaz datang ke sini mau menyelesaikan prosedur perceraian di pengadilan agama? apa mas datang untuk membawa surat panggilan sidang?" Mutia yang memang pernah bercerai tentu tahu betul bagaimana prosedur perceraian resmi di pengadilan, dia tidak perlu menanyakan hal ini dan itu, jika memang sudah mendaftarkan perceraian, tinggal menunggu panggilan sidang. "Apa kau begitu ingin kita bercerai agar kau terus dipanggil bunda oleh anak kecil itu? kita belum bercerai secara resmi tapi kau sudah bersama lelaki dengan seorang anak?" "Apa? Mas menuduhku kembali?" Diaz tercekat dengan uc
"Apa Rani sudah memilih pakaian yang akan dibeli?" tanya Setiaji ketika dua wanita beda usia menuju ke arahnya dengan membawa tentengan masing-masing. "Sudah, Ayah. Bunda Mutia memilih baju cantik-cantik sekali buat Rani, Rani suka. Ini juga ada sepatu dan juga sandal buat Rani," seru gadis itu dengan suara gembira. "Apakah Bu Mutia ingin memilih barang? biar saya yang membayar," tawar Setiaji. "Tidak usah, Pak. Saya belum membutuhkan barang apapun." Setiaji sudah menduga jawaban Mutia akan seperti itu, melihat dari gestur wanita itu jelas bukan wanita yang matre dan mau-mau saja dibelikan ini dan itu. "kalau begitu kita bayar, sudah itu kita pulang dan mengantar ibu guru Mutia ke rumahnya, ya?" ujar Setiaji pada putrinya. "Namanya bunda Mutia, kenapa ayah memanggilnya ibu guru? panggil bunda, Ayah." Setiaji hanya tersenyum canggung dan mengelus putrinya sambil mengangguk, sudit matanya melirik ke arah Mutiara dengan perasaan yang tidak enak. Setelah membayar semua barang
"Gaji dan bonus ibu sudah saya kirim ke rekening," ujar Setiaji ketika salam perjalanan menuju mall. "Loh, Pak? ini kan baru dua Minggu, kenapa sudah gajian?" "Saya baru saja menerima bonus dari proyek yang saya kerjakan." Mutia memang memberikan nomor rekeningnya seminggu yang lalu mana kala Setiaji menelponnya untuk mengirim biaya hidup Rani. Tidak disangka sekarang dia sudah menerima gaji, dengan cekatan Mutia memeriksa mobile banking nya dan melihat mutasi rekening terbarunya. "Ha? kok sepuluh juta? ini tidak kebanyakan, Pak?" protes Mutia tidak percaya dengan transaksi di M-banking nya "Itu gaji ibu lima juta, buat biaya Rani sehari-hari dua juta dan sisanya bonus menemani Rani hari ini." "Hanya menemani ke mall dapat bonus tiga juta? yang benar saja, Pak?" "Itu hanya uang bonus, siapa tahu nanti di mall ibu ingin membeli sesuatu." Mutia tidak lagi protes, karena sepanjang jalan Rani selalu mengajaknya berbicara dengan menanyakan setiap apa saja yang dia lihat, sement
"Ya, saya terserah ibu mana baiknya." "Kok, terserah saya? anda orang tuanya." "Anda kan gurunya?" Mutia tidak bisa berkata-kata lagi, dia menatap lelaki itu dengan canggung, sementara lelaki itu juga menatapnya bergeming. selama beberapa detik tidak ada yang bersuara diantara mereka, hingga lelaki itu bersuara, "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang perhatian terhadap putri saya. Saya selalu berangkat pagi dan pulang malam, ini sudah menjadi resiko pekerjaan." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya seorang teknik sipil yang sekarang tengah mengerjakan pengerjaan jalan di luar kota, memang tidak terlalu jauh dari kota Surabaya, tetapi memang jarak tempuhnya lumayan tiga jam. Bisakah saya menitipkan Rani pada ibu ketika saya pergi?" Mutia kembali terperangah mendengar perkataan lelaki itu, bagaimana dia bisa? "Saya akan membayar untuk jasa-jasa itu, saya tidak percaya pada pengasuh. Dulu saya memiliki pengasuh, tetapi setiap hari Rani dicekoki obat tidur
Mutia juga mencari data-data Rina siapa tahu ada nomor telepon orang tuanya, tetapi tidak ada. Bagaimana ini guru yang menerima pendaftaran murid, kenapa tidak dimintai data-data lengkap? Mutia hanya menghela napas berat. Setelah jam lima sore, terpaksa Mutia membawa Rina pulang, dia juga sempatkan mampir di toko baju untuk membelikan baju harian anak yang murah saja karena uangnya juga sedikit. Rina hanya mengikuti Mutia tanpa protes, tentu saja Mutia sangat mengkuatirkan keadaan anak ini, dia tentu saja jengkel. Dia juga mengadu pada rekan kerja dan kepala sekolah di telpon, mengirim pesan di wa grup kelas, meminta orang tua dari Rina untuk menjemput anaknya di rumahnya dan berpesan pada satpam yayasan untuk memberitahu orang tua Rina kalau mencarinya. Mutia sesekali mengintip grup kelas ada orang tua Rina yang merespon dan menanggapi keberadaan Rina, tetapi di grup hanya ada tanggapan orang tua murid lain yang juga terheran-heran kenapa ada anak yang belum dijemput se sore ini
Sudah seminggu lamanya Diaz menyewa jasa detektif swasta tetapi sama sekali belum membuahkan hasil. Kata Rais mereka adalah detektif swasta terbaik, tetapi mana hasilnya? Diaz benar-benar tidak sabaran. Akhirnya Diaz memutuskan untuk pergi ke Austria dan mencari keberadaan Fahri. Diaz tidak tahu di mana alamat tempat tinggal lelaki itu, tetapi tahu tempat kerjanya di kedutaan. Siang itu Diaz menemui Fahri di kantor konsulat tersebut dan membuat Fahri terkejut menerima kedatangannya. ."Pak Diaz? apa yang membuat pak Diaz jauh-jauh menemui saya?" Diaz hanya menghela napas berat, dia sesap kopi panas yang terhidang di hadapannya. "Pak Fahri, saya mencari istri saya Mutiara. Sejak tiga bulan yang lalu, dia pergi dan saya tidak menemukan dia dimanapun. Saya yakin pak Fahri tahu keberadaannya." Fahri memicing heran, sebenarnya Fahri ingin memaki Diaz yang benar-benar sudah menelantarkan Mutia yang kini sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, tetapi Fahri hanya bisa menahan dir
Diaz tercengang mendengar kata-kata Fadil, benarkah situasinya seperti itu? tetapi mereka terlihat begitu akrab, tatapan Mutia ke arah Fahri bahkan seperti wanita yang sangat merindukan lelaki itu. "Harusnya kamu berterima kasih pada Fahri, lelaki itu datang tepat waktu. dia membantu Mutia mengurus jenazah nenek, dia bahkan rela disibukkan oleh Mutia yang seharusnya kamu yang melakukannya. Mereka berinteraksi di depan banyak orang, aku yang mengantar nenek sampai kuburan bahkan melihat lelaki itu sampai turun ke liang kubur membantu perkuburan. Kenapa kau tidak tanya dulu dibalik cerita foto itu?" "Melihatnya aku langsung terbakar cemburu." "Aish, cemburu memang bisa mengumpulkan otak orang secerdas apapun. Kamu tahu, bahkan Mutia cerita sama Tasya kalau Fahri sudah dianggap kakak oleh Mutia. bahkan lelaki itu sekarang sudah pergi ke Austria, pindah berkerja di sana. Emang dasar bego kamu ini, ya!" kesal Fadil sambil melempar sendok ke arah Diaz. Diaz yang terkena lemparan di
"Sejak kapan kamu pulang dari Dubai?" "Sudah semingguan lah." "Jadi, waktu nenek Mutia meninggal dunia kamu sempat hadir, dong ya?" "APA? KAMU BILANG APA?!" Fadil yang mengangkat cangkir kopi dan akan menyeruputnya sampai terkejut mendengar teriakan Diaz, bahkan air kopi itu sebagian tumpah ke meja dan sedikit ke celananya. "Apa sih? teriak-teriak, kaget tahu!" gerutu lelaki itu sambil meraih tissue dan menyeka celananya. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Diaz dengan nada suara yang sudah diturunkan. "Bilang apa? aku cuma nanya kapan kamu balik ke Indonesia, itu aja." "Bukan yang itu, kamu bilang nenek Mutia meninggal dunia?" Fadil yang kembali akan menyeruput kopi, tangannya jadi bertahan di udara, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. "Kamu sudah seminggu balik ke Indonesia jangan bilang kamu nggak datang ke makam nenek," ujar lelaki itu dengan tatapan menelisik. "Apalagi sampai kamu nggak tahu kalau nenek Rosida meninggal dunia," tambah Fadil sambil me