"Mas suapi, ya?" ujar lelaki itu yang sudah memegang sendok. Mutia ingin menolak karena dia masih punya tangan yang sehat, tetapi entah kenapa dia benar-benar ingin dimanja kali ini. Ingin merasakan perhatian yang begitu melimpah dari seorang lelaki yang sudah memenuhi relung hatinya. Melihat Mutia mengangguk, Diaz tersenyum lebar dan menyendok nasi dan mengarahkan ke mulut wanita itu. "Kita makan bersama, Mas juga belum makan," ujar Diaz yang juga menyendok nasi ke mulutnya. "Mas belum makan?" "Iya, tidak sempat makan." Mutia membelai wajah lelaki itu, memang wajahnya tampak kelelahan jika diperhatikan dengan seksama. Melihat Diaz makan dari sendok yang sama, begitu juga minum dari sedotan yang sama dengannya, membuat Mutia semakin menghangat hatinya. Seharusnya pasangan memang begitu, tidak merasa jijik dengan bekas pakai pasangannya. Justru semakin suka, bukankah mereka juga sudah sering berbagi Saliva bila ada kesempatan. Diaz sesekali mengelap bibir Mutia yang bele
Pagi-pagi sekali Mutia sudah datang ke rumah sakit diantar oleh Diaz, hari ini dia masih cuti. Sedang Diaz justru banyak-banyaknya pekerjaan, tapi dia masih menyempatkan diri mengantar Mutia. "Nenek sudah siuman, Bu Mutia. Tadi pas subuh, dia sudah siuman," ujar perawat yang menjaga nenek. "Oh ya? saya sudah boleh menjenguknya?" "Iya, silahkan. Nanti sekitar jam delapan dokter akan mengobservasi, jika hasilnya bagus akan langsung di bawa ke ruang perawatan lagi." Mutia dan Diaz bergegas memasuki ruang ICU dengan mengenakan pakaian khusus yang disediakan. Di sana neneknya sudah siuman walaupun belum bisa bergerak. Tatapan wanita tua itu menatap dengan binar ke arah sepasang manusia yang mendatanginya. "Nenek, bagaimana perasaan nenek?" tanya Mutia yang langsung menggenggam tangan neneknya "Nenek hanya tersenyum, wajahnya yang ditutupi oleh masker oksigen membuat ekspresi wajahnya tidak terlihat. "Apa nenek masih sakit?" tanya Diaz yang tatapannya juga kuatir. "Nenek su
"Nenek ingin tinggal di desa setelah sembuh, sepertimu suasana desa yang tenang membuat nenek bisa lekas sembuh," permintaan nenek ketika sudah dipindah ke ruang perawatan. "Iya, nanti kalau nenek sudah boleh pulang oleh pihak rumah sakit, ya?" jawab Mutia dengan sabar. Nenek Rosida berasal dari daerah puncak Bogor sebelum menikah dengan kakek dan dibawa ke jakarta. Nenek adalah anak tunggal, sehingga semua harta peninggalan orang tuanya pasti diwariskan pada nenek. Di desa itu, masih ada rumah peninggalan orang tuanya, mungkin sudah tua dan usang, tetapi pada zaman nenek muda dulu, rumah orang tuanya adalah rumah terbesar dan terbagus di desa itu. Sekarang rumah itu sering dibersihkan oleh keponakannya yang rumahnya dekat dengan rumah nenek. Seminggu setelah nenek dioperasi, Mutia mendapat panggilan sidang perceraiannya, sidang akan diadakan dua hari lagi, tepatnya di hari Senin. Sebenarnya akhir pekan ini Tasya mengajaknya untuk ikut mendampinginya saat lamaran Fadil ke Surab
Dengan berbekal map yang diberikan oleh Fadil, akhirnya mereka sampai di rumah yang cukup besar, memang benar ternyata Tasya ini anak orang berada di kota ini. Keluarga besar Tasya juga sudah berkumpul di sini, acara lamaran malah ternyata begitu ramai, sementara dari pihak Fadil hanya didampingi oleh kedua orang tua mereka. Ketika mereka datang, Fadil sudah berada di ruang tamu yang cukup besar, mereka duduk di bawah beralaskan permadani tebal, dia didampingi oleh kedua orang tuanya. Sementara Tasya duduk diapit juga dengan kedua orang tuanya, di sekeliling mereka berkumpul lebih dari dua puluh orang yang merupakan keluarga besar Tasya. "Diaz, sini!" panggil Fadil yang melihat Diaz dan Mutia berjalan masuk ke rumah. Diaz datang dengan tersenyum sambil menggandeng Mutia, ketika melihat Mutia Tasya juga melambaikan tangan ke arahnya. "Aku mendampingi Tasya ya, Mas." Diaz mengangguk dan melepaskan tangan kekasihnya, dia menuju ke arah Fadil. Disalami tangan kedua orang tua Fadil
"Baiklah kita mulai," ujar penghulu. Ayah Tasya melihat kertas yang ditulis calon menantunya dengan mata yang memicing, kaca mata plus yang bertengger di atas hidungnya sebentar-sebentar dia perbaiki, dia takut salah melihat tulisan yang ada di tangannya. "Ini benar-benar jumlah maharnya?" tanya pak Yunus sekali lagi "Benar, Pak," jawab Fadil dengan percaya diri. Ayah Tasya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, di merasa tidak yakin dengan yang dibaca di kertas tersebut. "Ini terlalu banyak, m-banking juga gak bisa mentransfer uang sebanyak ini, sebaiknya pakai uang cash yang dimiliki oleh Nak Fadil saja," ujar Ayah Tasya. "Ah, iya. Sebaiknya begitu, ini Ibu beri kalung, gelang dan cincin ibu buat mas kawin kamu, Fadil. Dan ini ada uang cash satu juta juga," ujar ibu Fadil yang sudah melepas perhiasan yang melekat ditubuhnya. "Iya, ayah tambahi uang dua juta, ambillah," ujar ayah Fadil yang sudah mengeluarkan uang dari dompetnya. "Iya, Fadil. Aku juga ada uang cash l
"Kalau kita menikah, mau mahar apa?" Diaz dengan sabar menanyakan hal itu kembali. "Em, apa ya? aku tidak bisa berkata-kata," jawab Mutia yang memang tidak tahu harus menjawab apa. "Apa jika kuberi hal yang sama dengan Tasya, kamu tidak keberatan?" tanya Diaz kembali, kini lelaki itu menatap Mutia dengan tatapan yang menelisik. "Oh, uang satu miliyar, ya? Sepertinya itu tidak perlu! Kemarin waktu aku menikah dengan Tommy juga maharnya satu miliyar," jawab Mutia dengan tatapan menerawang, mengingat kejadian setahun setengah yang lalu. "Apa? ternyata ....." Diaz terperangah mendengar jawaban dari Mutia, tidak menyangka saja kalau Tommy memberi mahar sebesar itu. "Kamu dinikahi dengan mahar satu miliyar, tetapi Tommy menganggukkan kamu begitu saja, apa tidak merasa rugi? bodoh banget Tommy itu," ujar Diaz sambil terkekeh menertawakan kebodohan Tommy. Setelah puas tertawa, Diaz kembali menatap Mutia dengan tatapan heran, lagi-lagi menelisik wajah wanita itu dengan lebih teliti
Hari berlalu, saat ini adalah sidang terakhir perceraian Mutia. Tentu saja Mutia harus datang, karena akan ada pembacaan talak dari Tommy. Ketika sampai di gedung pengadilan, di depan ruang sidang sudah ada Tommy, Siska dan juga Diana.. Ketika melihat Mutia, Diana langsung menyongsongnya, mata wanita itu berkaca-kaca melihat calon bekas menantunya ini. Biar bagaimanapun, mereka pernah tinggal bersama dan pernah berhubungan baik sebagai mertua dan menantu. "Apa kabar, Mutia?" tanya Diana. Mutia tersenyum menanggapi sapaan dari Diana, Mutia tidak pernah menyimpan dendam buat wanita paruh baya ini, walaupun demi mendapatkan cucu, wanita ini tidak lagi mendukung Mutia pada akhirnya. "Baik, Bu. Ibu Diana apa kabar juga?" Diana terperangah mendengar Mutia memanggilnya seperti itu. Dahulu Mutia akan memanggilnya dengan Mama, tetapi saat ini sepertinya wanita itu sudah siap untuk menganggapnya bukan siapa-siapa. "Walaupun nanti kamu bukan lagi menjadi istri Tommy, maukah kamu tet
"Mama pulang dulu ya, Mutia. Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan dalam hidupmu," ujar Diana sambil memegang tangan Mutia. "Terima kasih, Ma. Mama juga harus bahagia dan selalu jaga kesehatan mama," jawab Mutia. Setelah ketiga orang itu pergi menuju parkiran, Mutia menatap map di tangannya, dia membuka dan melihat akta cerai yang baru saja didapatnya. Senyumnya mengembang, dia menghembuskan napas berulang-ulang dengan kuat, menandakan kelengahan yang luar biasa yang dia rasakan. Wanita itu baru melangkah beberapa langkah, tetapi langkah kakinya berhenti mana kala melihat seseorang menyongsong ke arahnya. "Bagaimana sidangnya?" "Mas? kamu datang?" seru Mutia menyongsong lelaki itu dengan langkah cepat. "Iya, maaf aku terlambat, apa sidangnya sudah selesai?" "Sudah selesai. Ini, lihat ... aku sudah memiliki akta cerai sekarang," ujar Mutia sambil memamerkan berkas di dalam map. "Wah, syukurlah. Penantianku selama ini terbayar sudah," jawab lelaki itu dengan tatapan penu