"Baiklah kita mulai," ujar penghulu. Ayah Tasya melihat kertas yang ditulis calon menantunya dengan mata yang memicing, kaca mata plus yang bertengger di atas hidungnya sebentar-sebentar dia perbaiki, dia takut salah melihat tulisan yang ada di tangannya. "Ini benar-benar jumlah maharnya?" tanya pak Yunus sekali lagi "Benar, Pak," jawab Fadil dengan percaya diri. Ayah Tasya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, di merasa tidak yakin dengan yang dibaca di kertas tersebut. "Ini terlalu banyak, m-banking juga gak bisa mentransfer uang sebanyak ini, sebaiknya pakai uang cash yang dimiliki oleh Nak Fadil saja," ujar Ayah Tasya. "Ah, iya. Sebaiknya begitu, ini Ibu beri kalung, gelang dan cincin ibu buat mas kawin kamu, Fadil. Dan ini ada uang cash satu juta juga," ujar ibu Fadil yang sudah melepas perhiasan yang melekat ditubuhnya. "Iya, ayah tambahi uang dua juta, ambillah," ujar ayah Fadil yang sudah mengeluarkan uang dari dompetnya. "Iya, Fadil. Aku juga ada uang cash l
"Kalau kita menikah, mau mahar apa?" Diaz dengan sabar menanyakan hal itu kembali. "Em, apa ya? aku tidak bisa berkata-kata," jawab Mutia yang memang tidak tahu harus menjawab apa. "Apa jika kuberi hal yang sama dengan Tasya, kamu tidak keberatan?" tanya Diaz kembali, kini lelaki itu menatap Mutia dengan tatapan yang menelisik. "Oh, uang satu miliyar, ya? Sepertinya itu tidak perlu! Kemarin waktu aku menikah dengan Tommy juga maharnya satu miliyar," jawab Mutia dengan tatapan menerawang, mengingat kejadian setahun setengah yang lalu. "Apa? ternyata ....." Diaz terperangah mendengar jawaban dari Mutia, tidak menyangka saja kalau Tommy memberi mahar sebesar itu. "Kamu dinikahi dengan mahar satu miliyar, tetapi Tommy menganggukkan kamu begitu saja, apa tidak merasa rugi? bodoh banget Tommy itu," ujar Diaz sambil terkekeh menertawakan kebodohan Tommy. Setelah puas tertawa, Diaz kembali menatap Mutia dengan tatapan heran, lagi-lagi menelisik wajah wanita itu dengan lebih teliti
Hari berlalu, saat ini adalah sidang terakhir perceraian Mutia. Tentu saja Mutia harus datang, karena akan ada pembacaan talak dari Tommy. Ketika sampai di gedung pengadilan, di depan ruang sidang sudah ada Tommy, Siska dan juga Diana.. Ketika melihat Mutia, Diana langsung menyongsongnya, mata wanita itu berkaca-kaca melihat calon bekas menantunya ini. Biar bagaimanapun, mereka pernah tinggal bersama dan pernah berhubungan baik sebagai mertua dan menantu. "Apa kabar, Mutia?" tanya Diana. Mutia tersenyum menanggapi sapaan dari Diana, Mutia tidak pernah menyimpan dendam buat wanita paruh baya ini, walaupun demi mendapatkan cucu, wanita ini tidak lagi mendukung Mutia pada akhirnya. "Baik, Bu. Ibu Diana apa kabar juga?" Diana terperangah mendengar Mutia memanggilnya seperti itu. Dahulu Mutia akan memanggilnya dengan Mama, tetapi saat ini sepertinya wanita itu sudah siap untuk menganggapnya bukan siapa-siapa. "Walaupun nanti kamu bukan lagi menjadi istri Tommy, maukah kamu tet
"Mama pulang dulu ya, Mutia. Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan dalam hidupmu," ujar Diana sambil memegang tangan Mutia. "Terima kasih, Ma. Mama juga harus bahagia dan selalu jaga kesehatan mama," jawab Mutia. Setelah ketiga orang itu pergi menuju parkiran, Mutia menatap map di tangannya, dia membuka dan melihat akta cerai yang baru saja didapatnya. Senyumnya mengembang, dia menghembuskan napas berulang-ulang dengan kuat, menandakan kelengahan yang luar biasa yang dia rasakan. Wanita itu baru melangkah beberapa langkah, tetapi langkah kakinya berhenti mana kala melihat seseorang menyongsong ke arahnya. "Bagaimana sidangnya?" "Mas? kamu datang?" seru Mutia menyongsong lelaki itu dengan langkah cepat. "Iya, maaf aku terlambat, apa sidangnya sudah selesai?" "Sudah selesai. Ini, lihat ... aku sudah memiliki akta cerai sekarang," ujar Mutia sambil memamerkan berkas di dalam map. "Wah, syukurlah. Penantianku selama ini terbayar sudah," jawab lelaki itu dengan tatapan penu
Ketika Diana dan Siska terus berdebat, Mutia dan Diaz merayakan hari kebebasannya di sebuah restauran mewah di tengah kota. Diaz sengaja membawa Mutia ke tempat ini ketika makan siang, raut bahagia mewarnai kedua insan tersebut. "Kamu sudah bebas sekarang, kapan aku akan datang menemui keluargamu untuk melamar?" tanya Diaz. "Melamar pada keluargaku? Mas, keluargaku yang tersisa hanya nenekku, yang sekarang sedang sakit di rumah sakit, sementara paman dan anak istrinya selama ini tidak ada dia menganggap aku sebagai keluarganya," jawab Mutia dengan senyum yang masih bertengger di bibirnya. "Ya, sudah. Kalau begitu aku akan langsung melamar pada nenekmu. Dan sekarang ... aku akan melamarmu terlebih dahulu," jawab Diaz dengan senyum maskulin, membuat dada Mutia berdebar seketika "Maksud kamu, Mas?" tanya wanita itu mengernyit heran. Diaz tersenyum smirk, dia merogoh saku jas yang dikenakannya dan mengambil kotak kecil berwarna merah marun dari sana, dibuka kotak kecil terseb
Pagi itu, di kantor suasana terlihat heboh, setiap tempat para pegawai dan karyawan bergerombol tengah menggosipkan sesuatu, padahal hari sudah jam setengah delapan pagi, tetapi banyak karyawan yang belum duduk di kursi kerjanya masing-masing. Karlina yang hari itu datang lebih pagi, hanya mengernyit heran, bagaimana tidak? tidak biasanya karyawan akan berbincang dengan heboh antara satu dengan yang lainnya, wanita itu iseng-iseng mendekati salah satu gerombolan yang berada di dekat tempat resepsionis. "Apa kataku, kalau Mutiara itu sebenarnya adalah kekasih pak Diaz, dia hanya iseng-iseng saja kerja di sini dulu," ujar salah satu karyawan wanita "Iya, mana kerjanya jadi asisten pribadi bos pula, mereka sudah punya hubungan dari lama sepertinya." "Kalian pernah gak sih melihat tatapan pak Diaz pada Mutiara? kayak dalaaaam gitu, aku aja yang memperhatikan mereka sampai meleleh." "Iya, aku tuh sampai heboh sendiri melihat video viral tadi malam." "Beneran viral, loh. Baru tay
"Diaz!" "Astaga, Kak. Bisa nggak sih, masuk ruangan orang itu ketuk pintu dulu, salam dulu," tegur Diaz yang sempat terkejut dengan kedatangan kakaknya yang tiba-tiba. "Alah, kamu tuh kayak sama siapa saja! Eh, iya ... kamu kan sekarang sudah punya pacar, ya ... jadi aku harus sopan masuk ruangan kamu, enggak tahulah kamu di ruangan lagi ngapain, bisa jadi kan kami bawa pacar kamu ke sini, maaf deh kalau gitu ...." "Kakak ini, ngomong apaan sih? suka ngadi-ngadi kalau ngomong." "Jadi kamu itu cuma ngadi-ngadi pacaran sama Mutiara, heh?" "Apaan sih, kak? kelakuan kakak ini yang ngadi-ngadi. Kalau hubunganku dengan Mutia ya nggak lah." "Hm, sepertinya video kamu melamar mutiara itu viral sekarang, ya? dalam waktu tiga jam video itu diunggah, sudah ada jutaan like. Sepertinya yang punya akun ini bakalan panen raya sekarang." "Apa? benarkah?" Diaz langsung mengambil ponsel dan melihat akun media sosial miliknya, di sana ada sebuah akun yang men-tag namanya. ketika notifik
Meja rias itu tampak berantakan, sebagian benda-benda yang biasanya tersusun rapi di atasnya kini sudah berhamburan di setiap sudut ruangan. Teriakan yang kuat itu membuat seisi rumah kuatir dengan apa yang terjadi, sehingga mereka berbondong-bondong mendatangi si pemilik kamar, namun alangkah terkejutnya mereka mana kala mendapati kamar tersebut sudah berantakan tidak karuan."Tania! apa yang terjadi?!""Papa! aku tidak terima, Pa! aku yang bertemu dengannya lebih dulu, aku sudah mencintai dia sejak semasa anak-anak, tetapi dia melamar orang lain. Aku tidak terima ini!" ujar gadis itu dengan mata nyalang."Kamu membicarakan Diaz? apa yang dia lakukan?" tanya seorang wanita paruh baya "Mama lihat ini!" teriak gadis itu sambil menyerahkan ponsel ditangannya. Bagaimana Tania tidak berang, ketika pagi-pagi sebelum berangkat kerja dia mendapat telepon dari temannya, teman itu mengabarkan bahwa dia melihat sebuah video di Instagram jika Diaz Alfarez yang Tania akui sebagai kekasihnya me
Diaz menghela napas berat, mana bisa dia memberi ijin seperti itu, sudah jelas-jelas terlihat di mata lelaki bernama Setiaji itu sangat tertarik dengan istrinya. Itu namanya bunuh diri Tetapi melihat tatapan memohon Mutia membuatnya luluh, memang tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang anak kecil, jika punya anak nanti, dia juga tidak ingin anaknya sedih. "Baiklah, nanti setelah dua Minggu aku akan menjemputmu. Aku juga akan menjenguk mu kapan saja aku mau, sekarang aku akan menginap di sini, ya? aku sudah sangat rindu denganmu." "Tentu saja." "Mulai sekarang, jika kamu punya masalah apapun cerita sama Mas. Jadi mas tidak salah paham, coba kalau kau cerita kalau nenek meninggal, tentu aku tidak akan salah paham begini. Di manapun aku berada, cerita! tidak ada yang lebih penting selain dirimu, soal kerjaan itu hanyalah Rizki saja, kalau memang masih rezeki tidak akan kemana." "Iya, Mas. aku juga minta maaf. Niat hati aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi malah just
"Untuk apa mas mencari ku? bukankah mas Diaz sudah menceraikan aku? Buat apa, Mas?" tanya Mutia dengan napas yang mulai tersengal, ternyata dia tidak sekuat itu, cairan bening tetap jebol dari mata indahnya. "Tidak semudah itu bercerai, pernikahan kita sudah didaftarkan di KUA, mana bisa kita bercerai hanya dengan kata talak. harus menyelesaikan prosedur perceraian lewat pengadilan." "Apa? jadi mas Diaz datang ke sini mau menyelesaikan prosedur perceraian di pengadilan agama? apa mas datang untuk membawa surat panggilan sidang?" Mutia yang memang pernah bercerai tentu tahu betul bagaimana prosedur perceraian resmi di pengadilan, dia tidak perlu menanyakan hal ini dan itu, jika memang sudah mendaftarkan perceraian, tinggal menunggu panggilan sidang. "Apa kau begitu ingin kita bercerai agar kau terus dipanggil bunda oleh anak kecil itu? kita belum bercerai secara resmi tapi kau sudah bersama lelaki dengan seorang anak?" "Apa? Mas menuduhku kembali?" Diaz tercekat dengan uc
"Apa Rani sudah memilih pakaian yang akan dibeli?" tanya Setiaji ketika dua wanita beda usia menuju ke arahnya dengan membawa tentengan masing-masing. "Sudah, Ayah. Bunda Mutia memilih baju cantik-cantik sekali buat Rani, Rani suka. Ini juga ada sepatu dan juga sandal buat Rani," seru gadis itu dengan suara gembira. "Apakah Bu Mutia ingin memilih barang? biar saya yang membayar," tawar Setiaji. "Tidak usah, Pak. Saya belum membutuhkan barang apapun." Setiaji sudah menduga jawaban Mutia akan seperti itu, melihat dari gestur wanita itu jelas bukan wanita yang matre dan mau-mau saja dibelikan ini dan itu. "kalau begitu kita bayar, sudah itu kita pulang dan mengantar ibu guru Mutia ke rumahnya, ya?" ujar Setiaji pada putrinya. "Namanya bunda Mutia, kenapa ayah memanggilnya ibu guru? panggil bunda, Ayah." Setiaji hanya tersenyum canggung dan mengelus putrinya sambil mengangguk, sudit matanya melirik ke arah Mutiara dengan perasaan yang tidak enak. Setelah membayar semua barang
"Gaji dan bonus ibu sudah saya kirim ke rekening," ujar Setiaji ketika salam perjalanan menuju mall. "Loh, Pak? ini kan baru dua Minggu, kenapa sudah gajian?" "Saya baru saja menerima bonus dari proyek yang saya kerjakan." Mutia memang memberikan nomor rekeningnya seminggu yang lalu mana kala Setiaji menelponnya untuk mengirim biaya hidup Rani. Tidak disangka sekarang dia sudah menerima gaji, dengan cekatan Mutia memeriksa mobile banking nya dan melihat mutasi rekening terbarunya. "Ha? kok sepuluh juta? ini tidak kebanyakan, Pak?" protes Mutia tidak percaya dengan transaksi di M-banking nya "Itu gaji ibu lima juta, buat biaya Rani sehari-hari dua juta dan sisanya bonus menemani Rani hari ini." "Hanya menemani ke mall dapat bonus tiga juta? yang benar saja, Pak?" "Itu hanya uang bonus, siapa tahu nanti di mall ibu ingin membeli sesuatu." Mutia tidak lagi protes, karena sepanjang jalan Rani selalu mengajaknya berbicara dengan menanyakan setiap apa saja yang dia lihat, sement
"Ya, saya terserah ibu mana baiknya." "Kok, terserah saya? anda orang tuanya." "Anda kan gurunya?" Mutia tidak bisa berkata-kata lagi, dia menatap lelaki itu dengan canggung, sementara lelaki itu juga menatapnya bergeming. selama beberapa detik tidak ada yang bersuara diantara mereka, hingga lelaki itu bersuara, "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang perhatian terhadap putri saya. Saya selalu berangkat pagi dan pulang malam, ini sudah menjadi resiko pekerjaan." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya seorang teknik sipil yang sekarang tengah mengerjakan pengerjaan jalan di luar kota, memang tidak terlalu jauh dari kota Surabaya, tetapi memang jarak tempuhnya lumayan tiga jam. Bisakah saya menitipkan Rani pada ibu ketika saya pergi?" Mutia kembali terperangah mendengar perkataan lelaki itu, bagaimana dia bisa? "Saya akan membayar untuk jasa-jasa itu, saya tidak percaya pada pengasuh. Dulu saya memiliki pengasuh, tetapi setiap hari Rani dicekoki obat tidur
Mutia juga mencari data-data Rina siapa tahu ada nomor telepon orang tuanya, tetapi tidak ada. Bagaimana ini guru yang menerima pendaftaran murid, kenapa tidak dimintai data-data lengkap? Mutia hanya menghela napas berat. Setelah jam lima sore, terpaksa Mutia membawa Rina pulang, dia juga sempatkan mampir di toko baju untuk membelikan baju harian anak yang murah saja karena uangnya juga sedikit. Rina hanya mengikuti Mutia tanpa protes, tentu saja Mutia sangat mengkuatirkan keadaan anak ini, dia tentu saja jengkel. Dia juga mengadu pada rekan kerja dan kepala sekolah di telpon, mengirim pesan di wa grup kelas, meminta orang tua dari Rina untuk menjemput anaknya di rumahnya dan berpesan pada satpam yayasan untuk memberitahu orang tua Rina kalau mencarinya. Mutia sesekali mengintip grup kelas ada orang tua Rina yang merespon dan menanggapi keberadaan Rina, tetapi di grup hanya ada tanggapan orang tua murid lain yang juga terheran-heran kenapa ada anak yang belum dijemput se sore ini
Sudah seminggu lamanya Diaz menyewa jasa detektif swasta tetapi sama sekali belum membuahkan hasil. Kata Rais mereka adalah detektif swasta terbaik, tetapi mana hasilnya? Diaz benar-benar tidak sabaran. Akhirnya Diaz memutuskan untuk pergi ke Austria dan mencari keberadaan Fahri. Diaz tidak tahu di mana alamat tempat tinggal lelaki itu, tetapi tahu tempat kerjanya di kedutaan. Siang itu Diaz menemui Fahri di kantor konsulat tersebut dan membuat Fahri terkejut menerima kedatangannya. ."Pak Diaz? apa yang membuat pak Diaz jauh-jauh menemui saya?" Diaz hanya menghela napas berat, dia sesap kopi panas yang terhidang di hadapannya. "Pak Fahri, saya mencari istri saya Mutiara. Sejak tiga bulan yang lalu, dia pergi dan saya tidak menemukan dia dimanapun. Saya yakin pak Fahri tahu keberadaannya." Fahri memicing heran, sebenarnya Fahri ingin memaki Diaz yang benar-benar sudah menelantarkan Mutia yang kini sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, tetapi Fahri hanya bisa menahan dir
Diaz tercengang mendengar kata-kata Fadil, benarkah situasinya seperti itu? tetapi mereka terlihat begitu akrab, tatapan Mutia ke arah Fahri bahkan seperti wanita yang sangat merindukan lelaki itu. "Harusnya kamu berterima kasih pada Fahri, lelaki itu datang tepat waktu. dia membantu Mutia mengurus jenazah nenek, dia bahkan rela disibukkan oleh Mutia yang seharusnya kamu yang melakukannya. Mereka berinteraksi di depan banyak orang, aku yang mengantar nenek sampai kuburan bahkan melihat lelaki itu sampai turun ke liang kubur membantu perkuburan. Kenapa kau tidak tanya dulu dibalik cerita foto itu?" "Melihatnya aku langsung terbakar cemburu." "Aish, cemburu memang bisa mengumpulkan otak orang secerdas apapun. Kamu tahu, bahkan Mutia cerita sama Tasya kalau Fahri sudah dianggap kakak oleh Mutia. bahkan lelaki itu sekarang sudah pergi ke Austria, pindah berkerja di sana. Emang dasar bego kamu ini, ya!" kesal Fadil sambil melempar sendok ke arah Diaz. Diaz yang terkena lemparan di
"Sejak kapan kamu pulang dari Dubai?" "Sudah semingguan lah." "Jadi, waktu nenek Mutia meninggal dunia kamu sempat hadir, dong ya?" "APA? KAMU BILANG APA?!" Fadil yang mengangkat cangkir kopi dan akan menyeruputnya sampai terkejut mendengar teriakan Diaz, bahkan air kopi itu sebagian tumpah ke meja dan sedikit ke celananya. "Apa sih? teriak-teriak, kaget tahu!" gerutu lelaki itu sambil meraih tissue dan menyeka celananya. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Diaz dengan nada suara yang sudah diturunkan. "Bilang apa? aku cuma nanya kapan kamu balik ke Indonesia, itu aja." "Bukan yang itu, kamu bilang nenek Mutia meninggal dunia?" Fadil yang kembali akan menyeruput kopi, tangannya jadi bertahan di udara, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. "Kamu sudah seminggu balik ke Indonesia jangan bilang kamu nggak datang ke makam nenek," ujar lelaki itu dengan tatapan menelisik. "Apalagi sampai kamu nggak tahu kalau nenek Rosida meninggal dunia," tambah Fadil sambil me