"Sayang, ini siapa? kok gak dikenalkan sama Mas sih?" tanya Fadil. Tasya hanya melotot mendengar Fadil berbicara begitu mesra, pakai panggil sayang pula. Ya, ampun ... kenapa dalam waktu sehari, dia sudah memiliki seorang calon suami?"Oh, Saya Ridwan. Pamannya Tasya, adik kandung papanya Tasya." Ridwan dengan rendah hati dan antusias mengulurkan tangan pada Fadil."Saya Fadil, Om. Calon suaminya Tasya.""Kamu masih jadi pacar atau memang sudah jadi calon suaminya?" tanya Ridwan."Insyaallah saya serius sam Tasya, Om. Dari tadi saya sudah meminta Tasya untuk membawa saya kepada orang tuanya untuk saya lamar.""Dari tadi?" Ridwan mengernyit heran mendengar kata itu."Iya, soalnya karena kesibukan saya dan Tasya, baru bisa ketemu tadi. Jadi saya mengatakan niat saya baru tadi, Om.""Memangnya kalian sudah berapa lama berhubungan?""Sudah dua Minggu, Om.""Baru dua Minggu?" "Bagi saya dua Minggu itu waktu yang cukup untuk mengajak ke pelaminan, om. kalau sudah sama-sama cocok, untuk a
"Biar aku bukakan pintunya," ujar Mutia dengan nada malas. Mutia berjalan dengan lesu menuju pintu, namun ketika pintu sudah terbuka, matanya yang masih terbuka separuh terbelalak melihat kedua lelaki itu sudah berdiri di pintu kamar. "Kalian? pagi-pagi sudah ke sini, mau ngapain?" "Pakai nanya lagi! cepat siap-siap. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintah Diaz. "Mana Tasya?!" tanya Fadil dengan tidak sabaran. "Masih tidur, ini masih pagi banget. Kami check out dari hotel jam 12 siang." Dengan tidak sabaran, Fadil langsung merangsek masuk ke dalam kamar. "Dokter Fadil, tidak sopan langsung masuk dalam kamar perempuan," seru Mutia. Tetapi Fadil tidak menggubrisnya, malah terus melangkah ke tempat tidur. "Ngapain musti nunggu jam 12 siang, cepat aku tinggi sepuluh menit harus bersiap, kalau nggak biar aku yang menyiapkan!" perintah Diaz dengan tatapan serius. "Sepuluh menit? yang benar aja! kamu belum ada yang mandi" "Baiklah, lima belas menit! kalau belum juga
Diaz hanya mendengus jengkel sepanjang jalan, pasalnya ketika mereka mulai masuk mobil, Tasya dan Mutia berbarengan duduk di bangku belakang, sementara dia terpaksa duduk di bangku depan bersama Fadil yang memegang kemudi. Tadi dalam bayangannya dia bersama Mutia duduk di belakang, sehingga dia bisa memegang tangan wanita itu dengan mesra atau minimal berdekatan. Entah kenapa aroma tubuh Mutia benar-benar sudah membuatnya gila. Ha ... ha ... ha ... Terdengar tawa dari dua wanita di belakang yang cukup menarik perhatian, Mutia dan Tasya rupanya tengah membahas reaksi Raid saat mengetahui Tasya memiliki suami. "Eh, aku lihat dia tadi di lobi." "Sepertinya dia mau jalan-jalan dengan keluarga kecilnya." "Em, ya sebenarnya bener sih maunya kita ambil kesempatan jalan-jalan, toh check out dari hotel juga jam dua siang," sungut Tasya. "Jadi kalian mau jalan-jalan? why not?! kita ke kebun raya Bogor dulu, gimana?" ujar Diaz yang langsung menyambar percakapan dua perempuan itu.
Tak terasa ternyata mereka sudah sampai di kota Jakarta, ketika Diaz membuka mata, dia melihat jalanan sudah padat khas ibu kota. Diaz melirik ke pahanya, di sana Mutia masih terpejam dengan lelap dan merasa nyaman berbantalkan pada paha lelaki itu. "Sudah sampai mana?" tanya Diaz dengan suara serak. "Tenang, Bos. Sebentar lagi sampai apartemenmu," jawab Fadil yang masih fokus memegang stir. "Ngapain ke apartemen? aku sudah lama tidak tinggal di sana." "Oh, kalau begitu, aku harus mengatakan kamu ke rumah ayahmu?" "CK, itu lagi! Mana sudi aku tinggal di sana lebih lama?!" gerutu Diaz. "Lah, terus elu mau tinggal di mana, Bos?" tanya Fadil tidak sabaran, pasalnya lelaki ini juga belum tahu jika Diaz sudah memiliki tempat tinggal baru. "Aku sekarang tinggal di sini, cepat ikuti saja GPS itu!" ujar Diaz sambil memperlihatkan pesan wa di ponselnya. "Oh, oke!" Fadil juga tidak banyak protes langsung mengantar Diaz ke kediaman yang baru, setelah itu dia baru akan mengantar
"Apa kau dapat rezeki besar? sepertinya kamu senang sekali." "Mas Diaz?!" gumam Mutia menatap lelaki yang begitu menjulang di hadapannya. "Hmmm." Lelaki itu hanya memiringkan wajahnya untuk menelisik Mutia lebih dalam. "Permisi, aku mau lewat," ujar Mutia yang merasa jalannya dihalangi oleh lelaki itu. "Aku belum mendapat jawaban dari pertanyaan ku tadi, bagaimana aku bisa memberimu jalan? Aku lihat tadi kau sujud syukur, sepertinya ada rezeki yang besar, ya?" "Ya, bisa dibilang begitu. Aku dapat ini, hal yang aku nantikan dari lama," ujar Mutia sambil memamerkan amplop coklat ditangannya. "Apa itu?" "Ya, tentu rezeki yang besar seperti yang mas Diaz bilang." Mutia segera melangkah ke depan setelah Diaz menyingkir lebih ke tepi, namun setelah Mutia pas lewat di hadapan lelaki itu, apa yang ada digenggaman Mutia langsung disambar oleh Diaz. "Mas! apaa yang kamu lakukan," pekik Mutia sebagai reaksi aksi yang Diaz lakukan. "Surat dari pengadilan agama? hmm, jadi
"Apa besok kamu bisa menemani aku?" "Ke mana?" "Aku ingin membeli kado untuk ulang tahun keponakan aku." "Oh, kamu punya keponakan, Mas? umur berapa?" "Umur sembilan tahun. Dia keponakan satu-satunya, anaknya kakak perempuanku." "Anaknya laki-laki atau perempuan?" "Laki-laki. Bagaimana? kamu mau, kan?" "Iya, okelah." "Aku jemput kamu di tempat kerja." "Eh, nggak usah. Kita janjian ketemu di mall saja." "Ribet banget sih hidupmu. Aku jemput, titik!" Mutia tidak bisa lagi membantah perkataan lelaki itu, dia tahu betul seberapa keras kepalanya lelaki di depannya ini. Hanya saja, dia tentu merasa malu karena dia masih terikat dengan pernikahan tetapi sudah dijemput oleh lelaki lain. "Aku pulang dulu, besok pagi aku akan sarapan di sini, kamu lekas istirahat, oke?" "Iya." Diaz melangkah menuju pintu, tentu saja Mutia mengikuti karena harus mengunci pintunya. Tetapi setelah sampai di tengah pintu, lelaki itu berbalik sehingga membuat Mutia menabraknya dan membuat hi
Mutia tidak bisa berkata-kata, sepertinya di depan Diaz dia tidak bisa mengutarakan setiap keinginannya karena pria itu lebih mendominasi. Apa yang akan dilakukan dan dikatakan oleh Diaz, walaupun selalu ditolak oleh Mutia, tetapi tanpa peduli lelaki itu tetap melaksanakan. Mutia sebenarnya tidak masalah dengan itu jika statusnya sudah jelas, tanpa terikat pernikahan dengan pria lain, tetapi di situasi seperti ini, sepertinya Diaz terlalu terburu-buru. Bukankah itu bisa merusak citra dirinya sendiri? "Turun di simpang itu saja, nanti juga jemput aku di sini. Tidak perlu sampai ke pintu gerbang,' ujar Mutia ketika sudah mendekati lokasi pabrik roti tempatnya bekerja. "Kamu kenapa sih? apa tampangku kau terlalu memalukan untuk mengantar dan menjemputmu," keluh Diaz "Bukan begitu, Mas Diaz. Aku justru sedang melindungi nama baikmu loh, bagaimana bisa bos hebat sepertimu malah mengantar jemput istri orang." "Kamu kan akan bercerai, apalagi memangnya?" "Nah itu, akan ... baru akan,
Rais segera membacakan jadwal pada bos yang sudah duduk di kursi kebesarannya, kursi itu bergoyang-goyang. Sepertinya hanya Rais yang maklum melihat kondisi bosnya saat ini, dia ingin menggoda lelaki itu tetapi masih belum berani. "Jadi, pihak klien dari kementrian itu ingin bertemu dengan kita untuk membahas proyek itu jam tiga sore ini, Pak. Bagaimana, Pak?" Rais mendelik, pasalnya dari tadi dia ngoceh sepertinya bosnya ini tidak memperhatikan perkataannya sedikitpun, lelaki itu hanya tersenyumlah-senyum sendiri sambil mengusap-usap bibirnya, benar-benar aneh. "Pak, bagaimana, Pak?!" Rais meninggikan suaranya membuat Diaz tersadar dengan reaksi yang cukup terkejut. "Apaan sih, Is?! suara kamu kurang kenceng, tahu! sekarang jam berapa?" tanya lelaki itu tidak nyambung sambil melihat jam di tangannya. "Alah, masih jam sembilan. Masih lama banget jam lima sore, ya?!" gumam Diaz dengan tatapan lemas. "Pak, tadi saya bertanya, Pihak kementrian ingin bertemu dengan kita jam t
Diaz menghela napas berat, mana bisa dia memberi ijin seperti itu, sudah jelas-jelas terlihat di mata lelaki bernama Setiaji itu sangat tertarik dengan istrinya. Itu namanya bunuh diri Tetapi melihat tatapan memohon Mutia membuatnya luluh, memang tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang anak kecil, jika punya anak nanti, dia juga tidak ingin anaknya sedih. "Baiklah, nanti setelah dua Minggu aku akan menjemputmu. Aku juga akan menjenguk mu kapan saja aku mau, sekarang aku akan menginap di sini, ya? aku sudah sangat rindu denganmu." "Tentu saja." "Mulai sekarang, jika kamu punya masalah apapun cerita sama Mas. Jadi mas tidak salah paham, coba kalau kau cerita kalau nenek meninggal, tentu aku tidak akan salah paham begini. Di manapun aku berada, cerita! tidak ada yang lebih penting selain dirimu, soal kerjaan itu hanyalah Rizki saja, kalau memang masih rezeki tidak akan kemana." "Iya, Mas. aku juga minta maaf. Niat hati aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi malah just
"Untuk apa mas mencari ku? bukankah mas Diaz sudah menceraikan aku? Buat apa, Mas?" tanya Mutia dengan napas yang mulai tersengal, ternyata dia tidak sekuat itu, cairan bening tetap jebol dari mata indahnya. "Tidak semudah itu bercerai, pernikahan kita sudah didaftarkan di KUA, mana bisa kita bercerai hanya dengan kata talak. harus menyelesaikan prosedur perceraian lewat pengadilan." "Apa? jadi mas Diaz datang ke sini mau menyelesaikan prosedur perceraian di pengadilan agama? apa mas datang untuk membawa surat panggilan sidang?" Mutia yang memang pernah bercerai tentu tahu betul bagaimana prosedur perceraian resmi di pengadilan, dia tidak perlu menanyakan hal ini dan itu, jika memang sudah mendaftarkan perceraian, tinggal menunggu panggilan sidang. "Apa kau begitu ingin kita bercerai agar kau terus dipanggil bunda oleh anak kecil itu? kita belum bercerai secara resmi tapi kau sudah bersama lelaki dengan seorang anak?" "Apa? Mas menuduhku kembali?" Diaz tercekat dengan uc
"Apa Rani sudah memilih pakaian yang akan dibeli?" tanya Setiaji ketika dua wanita beda usia menuju ke arahnya dengan membawa tentengan masing-masing. "Sudah, Ayah. Bunda Mutia memilih baju cantik-cantik sekali buat Rani, Rani suka. Ini juga ada sepatu dan juga sandal buat Rani," seru gadis itu dengan suara gembira. "Apakah Bu Mutia ingin memilih barang? biar saya yang membayar," tawar Setiaji. "Tidak usah, Pak. Saya belum membutuhkan barang apapun." Setiaji sudah menduga jawaban Mutia akan seperti itu, melihat dari gestur wanita itu jelas bukan wanita yang matre dan mau-mau saja dibelikan ini dan itu. "kalau begitu kita bayar, sudah itu kita pulang dan mengantar ibu guru Mutia ke rumahnya, ya?" ujar Setiaji pada putrinya. "Namanya bunda Mutia, kenapa ayah memanggilnya ibu guru? panggil bunda, Ayah." Setiaji hanya tersenyum canggung dan mengelus putrinya sambil mengangguk, sudit matanya melirik ke arah Mutiara dengan perasaan yang tidak enak. Setelah membayar semua barang
"Gaji dan bonus ibu sudah saya kirim ke rekening," ujar Setiaji ketika salam perjalanan menuju mall. "Loh, Pak? ini kan baru dua Minggu, kenapa sudah gajian?" "Saya baru saja menerima bonus dari proyek yang saya kerjakan." Mutia memang memberikan nomor rekeningnya seminggu yang lalu mana kala Setiaji menelponnya untuk mengirim biaya hidup Rani. Tidak disangka sekarang dia sudah menerima gaji, dengan cekatan Mutia memeriksa mobile banking nya dan melihat mutasi rekening terbarunya. "Ha? kok sepuluh juta? ini tidak kebanyakan, Pak?" protes Mutia tidak percaya dengan transaksi di M-banking nya "Itu gaji ibu lima juta, buat biaya Rani sehari-hari dua juta dan sisanya bonus menemani Rani hari ini." "Hanya menemani ke mall dapat bonus tiga juta? yang benar saja, Pak?" "Itu hanya uang bonus, siapa tahu nanti di mall ibu ingin membeli sesuatu." Mutia tidak lagi protes, karena sepanjang jalan Rani selalu mengajaknya berbicara dengan menanyakan setiap apa saja yang dia lihat, sement
"Ya, saya terserah ibu mana baiknya." "Kok, terserah saya? anda orang tuanya." "Anda kan gurunya?" Mutia tidak bisa berkata-kata lagi, dia menatap lelaki itu dengan canggung, sementara lelaki itu juga menatapnya bergeming. selama beberapa detik tidak ada yang bersuara diantara mereka, hingga lelaki itu bersuara, "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang perhatian terhadap putri saya. Saya selalu berangkat pagi dan pulang malam, ini sudah menjadi resiko pekerjaan." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya seorang teknik sipil yang sekarang tengah mengerjakan pengerjaan jalan di luar kota, memang tidak terlalu jauh dari kota Surabaya, tetapi memang jarak tempuhnya lumayan tiga jam. Bisakah saya menitipkan Rani pada ibu ketika saya pergi?" Mutia kembali terperangah mendengar perkataan lelaki itu, bagaimana dia bisa? "Saya akan membayar untuk jasa-jasa itu, saya tidak percaya pada pengasuh. Dulu saya memiliki pengasuh, tetapi setiap hari Rani dicekoki obat tidur
Mutia juga mencari data-data Rina siapa tahu ada nomor telepon orang tuanya, tetapi tidak ada. Bagaimana ini guru yang menerima pendaftaran murid, kenapa tidak dimintai data-data lengkap? Mutia hanya menghela napas berat. Setelah jam lima sore, terpaksa Mutia membawa Rina pulang, dia juga sempatkan mampir di toko baju untuk membelikan baju harian anak yang murah saja karena uangnya juga sedikit. Rina hanya mengikuti Mutia tanpa protes, tentu saja Mutia sangat mengkuatirkan keadaan anak ini, dia tentu saja jengkel. Dia juga mengadu pada rekan kerja dan kepala sekolah di telpon, mengirim pesan di wa grup kelas, meminta orang tua dari Rina untuk menjemput anaknya di rumahnya dan berpesan pada satpam yayasan untuk memberitahu orang tua Rina kalau mencarinya. Mutia sesekali mengintip grup kelas ada orang tua Rina yang merespon dan menanggapi keberadaan Rina, tetapi di grup hanya ada tanggapan orang tua murid lain yang juga terheran-heran kenapa ada anak yang belum dijemput se sore ini
Sudah seminggu lamanya Diaz menyewa jasa detektif swasta tetapi sama sekali belum membuahkan hasil. Kata Rais mereka adalah detektif swasta terbaik, tetapi mana hasilnya? Diaz benar-benar tidak sabaran. Akhirnya Diaz memutuskan untuk pergi ke Austria dan mencari keberadaan Fahri. Diaz tidak tahu di mana alamat tempat tinggal lelaki itu, tetapi tahu tempat kerjanya di kedutaan. Siang itu Diaz menemui Fahri di kantor konsulat tersebut dan membuat Fahri terkejut menerima kedatangannya. ."Pak Diaz? apa yang membuat pak Diaz jauh-jauh menemui saya?" Diaz hanya menghela napas berat, dia sesap kopi panas yang terhidang di hadapannya. "Pak Fahri, saya mencari istri saya Mutiara. Sejak tiga bulan yang lalu, dia pergi dan saya tidak menemukan dia dimanapun. Saya yakin pak Fahri tahu keberadaannya." Fahri memicing heran, sebenarnya Fahri ingin memaki Diaz yang benar-benar sudah menelantarkan Mutia yang kini sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, tetapi Fahri hanya bisa menahan dir
Diaz tercengang mendengar kata-kata Fadil, benarkah situasinya seperti itu? tetapi mereka terlihat begitu akrab, tatapan Mutia ke arah Fahri bahkan seperti wanita yang sangat merindukan lelaki itu. "Harusnya kamu berterima kasih pada Fahri, lelaki itu datang tepat waktu. dia membantu Mutia mengurus jenazah nenek, dia bahkan rela disibukkan oleh Mutia yang seharusnya kamu yang melakukannya. Mereka berinteraksi di depan banyak orang, aku yang mengantar nenek sampai kuburan bahkan melihat lelaki itu sampai turun ke liang kubur membantu perkuburan. Kenapa kau tidak tanya dulu dibalik cerita foto itu?" "Melihatnya aku langsung terbakar cemburu." "Aish, cemburu memang bisa mengumpulkan otak orang secerdas apapun. Kamu tahu, bahkan Mutia cerita sama Tasya kalau Fahri sudah dianggap kakak oleh Mutia. bahkan lelaki itu sekarang sudah pergi ke Austria, pindah berkerja di sana. Emang dasar bego kamu ini, ya!" kesal Fadil sambil melempar sendok ke arah Diaz. Diaz yang terkena lemparan di
"Sejak kapan kamu pulang dari Dubai?" "Sudah semingguan lah." "Jadi, waktu nenek Mutia meninggal dunia kamu sempat hadir, dong ya?" "APA? KAMU BILANG APA?!" Fadil yang mengangkat cangkir kopi dan akan menyeruputnya sampai terkejut mendengar teriakan Diaz, bahkan air kopi itu sebagian tumpah ke meja dan sedikit ke celananya. "Apa sih? teriak-teriak, kaget tahu!" gerutu lelaki itu sambil meraih tissue dan menyeka celananya. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Diaz dengan nada suara yang sudah diturunkan. "Bilang apa? aku cuma nanya kapan kamu balik ke Indonesia, itu aja." "Bukan yang itu, kamu bilang nenek Mutia meninggal dunia?" Fadil yang kembali akan menyeruput kopi, tangannya jadi bertahan di udara, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. "Kamu sudah seminggu balik ke Indonesia jangan bilang kamu nggak datang ke makam nenek," ujar lelaki itu dengan tatapan menelisik. "Apalagi sampai kamu nggak tahu kalau nenek Rosida meninggal dunia," tambah Fadil sambil me