Rais segera membacakan jadwal pada bos yang sudah duduk di kursi kebesarannya, kursi itu bergoyang-goyang. Sepertinya hanya Rais yang maklum melihat kondisi bosnya saat ini, dia ingin menggoda lelaki itu tetapi masih belum berani. "Jadi, pihak klien dari kementrian itu ingin bertemu dengan kita untuk membahas proyek itu jam tiga sore ini, Pak. Bagaimana, Pak?" Rais mendelik, pasalnya dari tadi dia ngoceh sepertinya bosnya ini tidak memperhatikan perkataannya sedikitpun, lelaki itu hanya tersenyumlah-senyum sendiri sambil mengusap-usap bibirnya, benar-benar aneh. "Pak, bagaimana, Pak?!" Rais meninggikan suaranya membuat Diaz tersadar dengan reaksi yang cukup terkejut. "Apaan sih, Is?! suara kamu kurang kenceng, tahu! sekarang jam berapa?" tanya lelaki itu tidak nyambung sambil melihat jam di tangannya. "Alah, masih jam sembilan. Masih lama banget jam lima sore, ya?!" gumam Diaz dengan tatapan lemas. "Pak, tadi saya bertanya, Pihak kementrian ingin bertemu dengan kita jam t
Sore sudah menjelang, Diaz yang masih banyak kerjaan buru-buru menutup laptop setelah melihat jam menunjukan pukul enam belas. Dia segera meraih kunci mobil dan tas kecil di atas meja, berlari ke arah pintu. Jelas dia tidak akan melewatkan menjemput Mutia di tempat kerja. Demi bisa bertemu wanita itu, apa yang nggak bisa dia lakukan, dia saja baru saja men-cancel rapat penting dengan nilai transaksi miliyaran rupiah. Ketika sampai persimpangan, mobilnya dia jalankan dengan lambat, ternyata Mutia belum ada di sana, sementara wanita itu memintanya menunggu di sini, apa langsung disusul ke kantornya saja? tetapi Mutia sudah mewanti-wanti untuk menunggunya di sini, kalau ke slisipan gimana nanti? Mutia sendiri gelisah melihat jam di ponselnya sudah jam empat lewat dua puluh menit, sementara Sultan masih saja membahas masalah internal karena ini sudah akhir bulan. "Pak, bolehkan berkas ini saya kerjakan di rumah? hari ini saya ada acara, keponakan saya ulang tahun, saya akan mencari
"Mas Diaz, sabar ya? ini belum waktunya," ujar Mutia "Ah, sial. Kapan sih waktunya? lama banget," ujar lelaki itu masih dalam mode merajuk. Tetapi Mutia malah menertawakan aksi lelaki itu yang menurutnya sangat lucu seperti bocah lagi ngambek nggak dibelikan permen. "Kita mau beli apa?" tanya Mutia kembali, karena pertanyaan yang sama belum lelaki itu jawab. "Kita lihat-lihat saja dulu, aku juga belum tahu mau beli apa. Kita ke stand pernak-pernik remaja laki-laki saja dulu," jawab lelaki itu. "Keponakanmu namanya siapa?" "Namanya Farrel Dewangga Putra." "Dia sukanya apa? hobinya apa?" "Ah, mana aku tahu." "Kamu kan pamannya, masak nggak tahu?" "Banyak banget yang aku urus, bukan cuma ngurusin dia saja, toh masih ada emaknya walaupun bapaknya sudah pergi." "Kenapa bapaknya pergi?" "Cerai sama emaknya, karena berselingkuh." "Oh? kasihan ya, keponakan Mas, kalau gitu kita cari hadiah uang spesial. Apa ayahnya masih sering menjenguknya?" "Tidak lagi, setelah
Setalah bocah itu hilang dari pandangannya, Mutia bergegas mencari keberadaan Diaz, ternyata lelaki itu masih serius dengan panggilan ponselnya, menelpon siapa, sih? kok dari tadi tidak selesai-selesai? Mutia segera mendekati lelaki itu, ketika Diaz melihat Mutia, dia segera mengakhiri panggilannya. "Ya, sudah. Begitu saja ya, Is! buat persis seperti yang aku katakan tadi, besok pagi hasilnya segera bawa ke ruanganku." Lelaki itu tersenyum ke arah Mutia dan melihat di tangan wanita itu sudah menenteng paperbag. "Kamu sudah dapat hadiahnya, Sayang?" "Ya, kamu dari tadi belum juga memilih bola basket?" "Ah, ya. Maaf, tadi ada telepon penting dari Rais, masalah pekerjaan yang tidak bisa ditunda, jadi aku menerima panggilannya dulu. Nah, aku bayar ini dulu, ya? kamu membayar kadomu sendiri?" "Iya, cuma hadiah murah kok, aku masih mampu beli sendiri." Diaz bergegas membayar belanjaannya dan menerima kantong belanja berlogo merk produk tersebut, ketika tengah berjalan Diaz men
"Kak Diaz, ini memang salahku. Aku tidak sengaja menabrak kak Mutia dan membuat barang-barang yang dipegangnya jatuh, aku sudah minta maaf, tapi dia tidak memaafkan aku. Jadi wajar saja dia marah dan menamparku," ujar Evita dengan wajah memelas. Suara-suara sumbang keluar dari mulut orang-orang yang melihat kejadian tersebut, kebanyakan mereka melihat saat kejadian sudah berada di puncak, yaitu saat Mutia menampar Evita bolak-balik, awal kejadian tidak ada satupun yang memperhatikan. Mutia jelas melotot marah ke arah Evita yang benar-benar telah membolak-balikkan fakta. Oh, Mutia baru menyadari kenapa Evita tidak membalas tamparannya, berarti anak itu memang sedang mencari perhatiannya Diaz. "Ada apa, Mut?" tanya Diaz sambil mendekati Mutia dan menatap wanita itu dengan sayang, tanpa memperdulikan ucapan Evita. "Dia sudah merusak kado yang akan kuberikan buat keponakan Mas. Dia bahkan sengaja menjatuhkan bola basket tersebut menggelinding sana. Aku tidak bisa mengendalikan amar
"Bagus, kalau ditindas orang lawan kayak tadi. Kamu gak perlu mentoleransi hal seperti itu, aku pasti akan melindungi mu. Bahkan sekalipun kamu membunuh orang, aku akan melindungimu dan tidak akan membiarkan kamu masuk penjara." Diaz mengusap kepala Mutia kala mereka berjalan ke area parkir. "Ya, ampun. Mas mau aku jadi pembunuh?membunuh orang itu dosa besar, Mas." "Aku tahu kamu nggak mungkin melakukannya karena kamu adalah orang baik, tetapi kamu tidak juga mau ditindas. Tidak ada yang boleh menindasmu di dunia ini selain aku." "What? berarti mas punya niat mau menindasku?" "Ya, jelas dong. Aku pengen banget menindasmu di atas ranjang seperti waktu itu." "Mas!" "Iya, sayang!" Mutia sangat keki mendengar perkataan mesum lelaki ini, dengan geram dia mencubit lengannya, tetapi lelaki itu bukannya kesakitan malah tertawa manja. Mereka mengemudikan mobil ke arah kediaman tuan Hadi Kusuma Adiguna di kawasan perumahan elit. Di sini jarak antar rumah berjauhan, di batasi oleh peka
"Tunggu dulu, Apa kalian sudah saling kenal?" tanya Diaz yang dari tadi merasa bingung dengan interaksi keduanya ini. Keduanya menatap Diaz kompak, Mutia kemudian tersenyum agar lelaki itu tidak terlalu lama menyorotnya dengan tajam. "Kami bertemu tadi, Mas. Waktu belanja di mall. Farel tidak sengaja menabrak ku hingga terjatuh. Tapi Farel, lain kali kamu jangan bepergian sendirian begitu, itu bahaya banget buat anak sekecil kamu, ya?" ujar Mutia sambil mengelus kepala Farel yang berambut lebat. "Kamu sendirian ke mall, Rel? kenapa kamu pergi sendiri?!" kali ini suara Diaz tampak keras dan mengintimidasi keponakannya membuat Mutia jadi merasa bersalah, dengan spontan Mutia mencekal lengan Diaz agar tidak membentak keponakannya yang masih kecil itu. "Ah, Om! aku ini sedang ulang tahun, tapi seharian tidak ada yang menemani aku, padahal aku ingin sekali hari spesial ku makan sosis dan es krim di mall," jawab anak itu dengan santai. Mutia menatap Farel dengan prihatin, padaha
Ketika masuk ke dalam rumah, terdengar tawa yang memecahkan suasana. Suara Hadi Kusuma yang terlihat begitu senang menggema di seantero ruangan, membuat Mutia jadi tidak percaya diri untuk melangkahkan kaki. "Ayo, Kak. Itu Kakek dan semua orang sudah ke meja makan," ajak Farel yang masih bergelayut di tangannya. "Nanti, tunggu Om Diaz dulu," jawab Mutia sambil menoleh ke belakang, tetapi lelaki itu kok lama sekali jalannya. Hingga beberapa saat kemudian tampak lelaki itu yang sedang berjalan sambil mengobrol dengan kakaknya. Ketika Diaz melihat Mutia berhenti menunggunya, lelaki itu langsung bergegas menuju ke arahnya. "Ayo, Sayang. Sepertinya semua orang sudah berada di meja makan,"ujar Diaz sambil meraih tangannya. Diaz menggandeng Mutia menuju ke ruang makan, di sana percakapan mereka semakin terdengar dengan jelas. "Sudah malam, Diaz datang nggak, Om?" tanya suara merdu seseorang. "Datang, Diaz tidak pernah melewatkan makan malam saat Farel ulang tahun," jawab Hadi d
Diaz menghela napas berat, mana bisa dia memberi ijin seperti itu, sudah jelas-jelas terlihat di mata lelaki bernama Setiaji itu sangat tertarik dengan istrinya. Itu namanya bunuh diri Tetapi melihat tatapan memohon Mutia membuatnya luluh, memang tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang anak kecil, jika punya anak nanti, dia juga tidak ingin anaknya sedih. "Baiklah, nanti setelah dua Minggu aku akan menjemputmu. Aku juga akan menjenguk mu kapan saja aku mau, sekarang aku akan menginap di sini, ya? aku sudah sangat rindu denganmu." "Tentu saja." "Mulai sekarang, jika kamu punya masalah apapun cerita sama Mas. Jadi mas tidak salah paham, coba kalau kau cerita kalau nenek meninggal, tentu aku tidak akan salah paham begini. Di manapun aku berada, cerita! tidak ada yang lebih penting selain dirimu, soal kerjaan itu hanyalah Rizki saja, kalau memang masih rezeki tidak akan kemana." "Iya, Mas. aku juga minta maaf. Niat hati aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi malah just
"Untuk apa mas mencari ku? bukankah mas Diaz sudah menceraikan aku? Buat apa, Mas?" tanya Mutia dengan napas yang mulai tersengal, ternyata dia tidak sekuat itu, cairan bening tetap jebol dari mata indahnya. "Tidak semudah itu bercerai, pernikahan kita sudah didaftarkan di KUA, mana bisa kita bercerai hanya dengan kata talak. harus menyelesaikan prosedur perceraian lewat pengadilan." "Apa? jadi mas Diaz datang ke sini mau menyelesaikan prosedur perceraian di pengadilan agama? apa mas datang untuk membawa surat panggilan sidang?" Mutia yang memang pernah bercerai tentu tahu betul bagaimana prosedur perceraian resmi di pengadilan, dia tidak perlu menanyakan hal ini dan itu, jika memang sudah mendaftarkan perceraian, tinggal menunggu panggilan sidang. "Apa kau begitu ingin kita bercerai agar kau terus dipanggil bunda oleh anak kecil itu? kita belum bercerai secara resmi tapi kau sudah bersama lelaki dengan seorang anak?" "Apa? Mas menuduhku kembali?" Diaz tercekat dengan uc
"Apa Rani sudah memilih pakaian yang akan dibeli?" tanya Setiaji ketika dua wanita beda usia menuju ke arahnya dengan membawa tentengan masing-masing. "Sudah, Ayah. Bunda Mutia memilih baju cantik-cantik sekali buat Rani, Rani suka. Ini juga ada sepatu dan juga sandal buat Rani," seru gadis itu dengan suara gembira. "Apakah Bu Mutia ingin memilih barang? biar saya yang membayar," tawar Setiaji. "Tidak usah, Pak. Saya belum membutuhkan barang apapun." Setiaji sudah menduga jawaban Mutia akan seperti itu, melihat dari gestur wanita itu jelas bukan wanita yang matre dan mau-mau saja dibelikan ini dan itu. "kalau begitu kita bayar, sudah itu kita pulang dan mengantar ibu guru Mutia ke rumahnya, ya?" ujar Setiaji pada putrinya. "Namanya bunda Mutia, kenapa ayah memanggilnya ibu guru? panggil bunda, Ayah." Setiaji hanya tersenyum canggung dan mengelus putrinya sambil mengangguk, sudit matanya melirik ke arah Mutiara dengan perasaan yang tidak enak. Setelah membayar semua barang
"Gaji dan bonus ibu sudah saya kirim ke rekening," ujar Setiaji ketika salam perjalanan menuju mall. "Loh, Pak? ini kan baru dua Minggu, kenapa sudah gajian?" "Saya baru saja menerima bonus dari proyek yang saya kerjakan." Mutia memang memberikan nomor rekeningnya seminggu yang lalu mana kala Setiaji menelponnya untuk mengirim biaya hidup Rani. Tidak disangka sekarang dia sudah menerima gaji, dengan cekatan Mutia memeriksa mobile banking nya dan melihat mutasi rekening terbarunya. "Ha? kok sepuluh juta? ini tidak kebanyakan, Pak?" protes Mutia tidak percaya dengan transaksi di M-banking nya "Itu gaji ibu lima juta, buat biaya Rani sehari-hari dua juta dan sisanya bonus menemani Rani hari ini." "Hanya menemani ke mall dapat bonus tiga juta? yang benar saja, Pak?" "Itu hanya uang bonus, siapa tahu nanti di mall ibu ingin membeli sesuatu." Mutia tidak lagi protes, karena sepanjang jalan Rani selalu mengajaknya berbicara dengan menanyakan setiap apa saja yang dia lihat, sement
"Ya, saya terserah ibu mana baiknya." "Kok, terserah saya? anda orang tuanya." "Anda kan gurunya?" Mutia tidak bisa berkata-kata lagi, dia menatap lelaki itu dengan canggung, sementara lelaki itu juga menatapnya bergeming. selama beberapa detik tidak ada yang bersuara diantara mereka, hingga lelaki itu bersuara, "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang perhatian terhadap putri saya. Saya selalu berangkat pagi dan pulang malam, ini sudah menjadi resiko pekerjaan." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya seorang teknik sipil yang sekarang tengah mengerjakan pengerjaan jalan di luar kota, memang tidak terlalu jauh dari kota Surabaya, tetapi memang jarak tempuhnya lumayan tiga jam. Bisakah saya menitipkan Rani pada ibu ketika saya pergi?" Mutia kembali terperangah mendengar perkataan lelaki itu, bagaimana dia bisa? "Saya akan membayar untuk jasa-jasa itu, saya tidak percaya pada pengasuh. Dulu saya memiliki pengasuh, tetapi setiap hari Rani dicekoki obat tidur
Mutia juga mencari data-data Rina siapa tahu ada nomor telepon orang tuanya, tetapi tidak ada. Bagaimana ini guru yang menerima pendaftaran murid, kenapa tidak dimintai data-data lengkap? Mutia hanya menghela napas berat. Setelah jam lima sore, terpaksa Mutia membawa Rina pulang, dia juga sempatkan mampir di toko baju untuk membelikan baju harian anak yang murah saja karena uangnya juga sedikit. Rina hanya mengikuti Mutia tanpa protes, tentu saja Mutia sangat mengkuatirkan keadaan anak ini, dia tentu saja jengkel. Dia juga mengadu pada rekan kerja dan kepala sekolah di telpon, mengirim pesan di wa grup kelas, meminta orang tua dari Rina untuk menjemput anaknya di rumahnya dan berpesan pada satpam yayasan untuk memberitahu orang tua Rina kalau mencarinya. Mutia sesekali mengintip grup kelas ada orang tua Rina yang merespon dan menanggapi keberadaan Rina, tetapi di grup hanya ada tanggapan orang tua murid lain yang juga terheran-heran kenapa ada anak yang belum dijemput se sore ini
Sudah seminggu lamanya Diaz menyewa jasa detektif swasta tetapi sama sekali belum membuahkan hasil. Kata Rais mereka adalah detektif swasta terbaik, tetapi mana hasilnya? Diaz benar-benar tidak sabaran. Akhirnya Diaz memutuskan untuk pergi ke Austria dan mencari keberadaan Fahri. Diaz tidak tahu di mana alamat tempat tinggal lelaki itu, tetapi tahu tempat kerjanya di kedutaan. Siang itu Diaz menemui Fahri di kantor konsulat tersebut dan membuat Fahri terkejut menerima kedatangannya. ."Pak Diaz? apa yang membuat pak Diaz jauh-jauh menemui saya?" Diaz hanya menghela napas berat, dia sesap kopi panas yang terhidang di hadapannya. "Pak Fahri, saya mencari istri saya Mutiara. Sejak tiga bulan yang lalu, dia pergi dan saya tidak menemukan dia dimanapun. Saya yakin pak Fahri tahu keberadaannya." Fahri memicing heran, sebenarnya Fahri ingin memaki Diaz yang benar-benar sudah menelantarkan Mutia yang kini sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, tetapi Fahri hanya bisa menahan dir
Diaz tercengang mendengar kata-kata Fadil, benarkah situasinya seperti itu? tetapi mereka terlihat begitu akrab, tatapan Mutia ke arah Fahri bahkan seperti wanita yang sangat merindukan lelaki itu. "Harusnya kamu berterima kasih pada Fahri, lelaki itu datang tepat waktu. dia membantu Mutia mengurus jenazah nenek, dia bahkan rela disibukkan oleh Mutia yang seharusnya kamu yang melakukannya. Mereka berinteraksi di depan banyak orang, aku yang mengantar nenek sampai kuburan bahkan melihat lelaki itu sampai turun ke liang kubur membantu perkuburan. Kenapa kau tidak tanya dulu dibalik cerita foto itu?" "Melihatnya aku langsung terbakar cemburu." "Aish, cemburu memang bisa mengumpulkan otak orang secerdas apapun. Kamu tahu, bahkan Mutia cerita sama Tasya kalau Fahri sudah dianggap kakak oleh Mutia. bahkan lelaki itu sekarang sudah pergi ke Austria, pindah berkerja di sana. Emang dasar bego kamu ini, ya!" kesal Fadil sambil melempar sendok ke arah Diaz. Diaz yang terkena lemparan di
"Sejak kapan kamu pulang dari Dubai?" "Sudah semingguan lah." "Jadi, waktu nenek Mutia meninggal dunia kamu sempat hadir, dong ya?" "APA? KAMU BILANG APA?!" Fadil yang mengangkat cangkir kopi dan akan menyeruputnya sampai terkejut mendengar teriakan Diaz, bahkan air kopi itu sebagian tumpah ke meja dan sedikit ke celananya. "Apa sih? teriak-teriak, kaget tahu!" gerutu lelaki itu sambil meraih tissue dan menyeka celananya. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Diaz dengan nada suara yang sudah diturunkan. "Bilang apa? aku cuma nanya kapan kamu balik ke Indonesia, itu aja." "Bukan yang itu, kamu bilang nenek Mutia meninggal dunia?" Fadil yang kembali akan menyeruput kopi, tangannya jadi bertahan di udara, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. "Kamu sudah seminggu balik ke Indonesia jangan bilang kamu nggak datang ke makam nenek," ujar lelaki itu dengan tatapan menelisik. "Apalagi sampai kamu nggak tahu kalau nenek Rosida meninggal dunia," tambah Fadil sambil me