Mutia tidak bisa berkata-kata, sepertinya di depan Diaz dia tidak bisa mengutarakan setiap keinginannya karena pria itu lebih mendominasi. Apa yang akan dilakukan dan dikatakan oleh Diaz, walaupun selalu ditolak oleh Mutia, tetapi tanpa peduli lelaki itu tetap melaksanakan. Mutia sebenarnya tidak masalah dengan itu jika statusnya sudah jelas, tanpa terikat pernikahan dengan pria lain, tetapi di situasi seperti ini, sepertinya Diaz terlalu terburu-buru. Bukankah itu bisa merusak citra dirinya sendiri? "Turun di simpang itu saja, nanti juga jemput aku di sini. Tidak perlu sampai ke pintu gerbang,' ujar Mutia ketika sudah mendekati lokasi pabrik roti tempatnya bekerja. "Kamu kenapa sih? apa tampangku kau terlalu memalukan untuk mengantar dan menjemputmu," keluh Diaz "Bukan begitu, Mas Diaz. Aku justru sedang melindungi nama baikmu loh, bagaimana bisa bos hebat sepertimu malah mengantar jemput istri orang." "Kamu kan akan bercerai, apalagi memangnya?" "Nah itu, akan ... baru akan,
Rais segera membacakan jadwal pada bos yang sudah duduk di kursi kebesarannya, kursi itu bergoyang-goyang. Sepertinya hanya Rais yang maklum melihat kondisi bosnya saat ini, dia ingin menggoda lelaki itu tetapi masih belum berani. "Jadi, pihak klien dari kementrian itu ingin bertemu dengan kita untuk membahas proyek itu jam tiga sore ini, Pak. Bagaimana, Pak?" Rais mendelik, pasalnya dari tadi dia ngoceh sepertinya bosnya ini tidak memperhatikan perkataannya sedikitpun, lelaki itu hanya tersenyumlah-senyum sendiri sambil mengusap-usap bibirnya, benar-benar aneh. "Pak, bagaimana, Pak?!" Rais meninggikan suaranya membuat Diaz tersadar dengan reaksi yang cukup terkejut. "Apaan sih, Is?! suara kamu kurang kenceng, tahu! sekarang jam berapa?" tanya lelaki itu tidak nyambung sambil melihat jam di tangannya. "Alah, masih jam sembilan. Masih lama banget jam lima sore, ya?!" gumam Diaz dengan tatapan lemas. "Pak, tadi saya bertanya, Pihak kementrian ingin bertemu dengan kita jam t
Sore sudah menjelang, Diaz yang masih banyak kerjaan buru-buru menutup laptop setelah melihat jam menunjukan pukul enam belas. Dia segera meraih kunci mobil dan tas kecil di atas meja, berlari ke arah pintu. Jelas dia tidak akan melewatkan menjemput Mutia di tempat kerja. Demi bisa bertemu wanita itu, apa yang nggak bisa dia lakukan, dia saja baru saja men-cancel rapat penting dengan nilai transaksi miliyaran rupiah. Ketika sampai persimpangan, mobilnya dia jalankan dengan lambat, ternyata Mutia belum ada di sana, sementara wanita itu memintanya menunggu di sini, apa langsung disusul ke kantornya saja? tetapi Mutia sudah mewanti-wanti untuk menunggunya di sini, kalau ke slisipan gimana nanti? Mutia sendiri gelisah melihat jam di ponselnya sudah jam empat lewat dua puluh menit, sementara Sultan masih saja membahas masalah internal karena ini sudah akhir bulan. "Pak, bolehkan berkas ini saya kerjakan di rumah? hari ini saya ada acara, keponakan saya ulang tahun, saya akan mencari
"Mas Diaz, sabar ya? ini belum waktunya," ujar Mutia "Ah, sial. Kapan sih waktunya? lama banget," ujar lelaki itu masih dalam mode merajuk. Tetapi Mutia malah menertawakan aksi lelaki itu yang menurutnya sangat lucu seperti bocah lagi ngambek nggak dibelikan permen. "Kita mau beli apa?" tanya Mutia kembali, karena pertanyaan yang sama belum lelaki itu jawab. "Kita lihat-lihat saja dulu, aku juga belum tahu mau beli apa. Kita ke stand pernak-pernik remaja laki-laki saja dulu," jawab lelaki itu. "Keponakanmu namanya siapa?" "Namanya Farrel Dewangga Putra." "Dia sukanya apa? hobinya apa?" "Ah, mana aku tahu." "Kamu kan pamannya, masak nggak tahu?" "Banyak banget yang aku urus, bukan cuma ngurusin dia saja, toh masih ada emaknya walaupun bapaknya sudah pergi." "Kenapa bapaknya pergi?" "Cerai sama emaknya, karena berselingkuh." "Oh? kasihan ya, keponakan Mas, kalau gitu kita cari hadiah uang spesial. Apa ayahnya masih sering menjenguknya?" "Tidak lagi, setelah
Setalah bocah itu hilang dari pandangannya, Mutia bergegas mencari keberadaan Diaz, ternyata lelaki itu masih serius dengan panggilan ponselnya, menelpon siapa, sih? kok dari tadi tidak selesai-selesai? Mutia segera mendekati lelaki itu, ketika Diaz melihat Mutia, dia segera mengakhiri panggilannya. "Ya, sudah. Begitu saja ya, Is! buat persis seperti yang aku katakan tadi, besok pagi hasilnya segera bawa ke ruanganku." Lelaki itu tersenyum ke arah Mutia dan melihat di tangan wanita itu sudah menenteng paperbag. "Kamu sudah dapat hadiahnya, Sayang?" "Ya, kamu dari tadi belum juga memilih bola basket?" "Ah, ya. Maaf, tadi ada telepon penting dari Rais, masalah pekerjaan yang tidak bisa ditunda, jadi aku menerima panggilannya dulu. Nah, aku bayar ini dulu, ya? kamu membayar kadomu sendiri?" "Iya, cuma hadiah murah kok, aku masih mampu beli sendiri." Diaz bergegas membayar belanjaannya dan menerima kantong belanja berlogo merk produk tersebut, ketika tengah berjalan Diaz men
"Kak Diaz, ini memang salahku. Aku tidak sengaja menabrak kak Mutia dan membuat barang-barang yang dipegangnya jatuh, aku sudah minta maaf, tapi dia tidak memaafkan aku. Jadi wajar saja dia marah dan menamparku," ujar Evita dengan wajah memelas. Suara-suara sumbang keluar dari mulut orang-orang yang melihat kejadian tersebut, kebanyakan mereka melihat saat kejadian sudah berada di puncak, yaitu saat Mutia menampar Evita bolak-balik, awal kejadian tidak ada satupun yang memperhatikan. Mutia jelas melotot marah ke arah Evita yang benar-benar telah membolak-balikkan fakta. Oh, Mutia baru menyadari kenapa Evita tidak membalas tamparannya, berarti anak itu memang sedang mencari perhatiannya Diaz. "Ada apa, Mut?" tanya Diaz sambil mendekati Mutia dan menatap wanita itu dengan sayang, tanpa memperdulikan ucapan Evita. "Dia sudah merusak kado yang akan kuberikan buat keponakan Mas. Dia bahkan sengaja menjatuhkan bola basket tersebut menggelinding sana. Aku tidak bisa mengendalikan amar
"Bagus, kalau ditindas orang lawan kayak tadi. Kamu gak perlu mentoleransi hal seperti itu, aku pasti akan melindungi mu. Bahkan sekalipun kamu membunuh orang, aku akan melindungimu dan tidak akan membiarkan kamu masuk penjara." Diaz mengusap kepala Mutia kala mereka berjalan ke area parkir. "Ya, ampun. Mas mau aku jadi pembunuh?membunuh orang itu dosa besar, Mas." "Aku tahu kamu nggak mungkin melakukannya karena kamu adalah orang baik, tetapi kamu tidak juga mau ditindas. Tidak ada yang boleh menindasmu di dunia ini selain aku." "What? berarti mas punya niat mau menindasku?" "Ya, jelas dong. Aku pengen banget menindasmu di atas ranjang seperti waktu itu." "Mas!" "Iya, sayang!" Mutia sangat keki mendengar perkataan mesum lelaki ini, dengan geram dia mencubit lengannya, tetapi lelaki itu bukannya kesakitan malah tertawa manja. Mereka mengemudikan mobil ke arah kediaman tuan Hadi Kusuma Adiguna di kawasan perumahan elit. Di sini jarak antar rumah berjauhan, di batasi oleh peka
"Tunggu dulu, Apa kalian sudah saling kenal?" tanya Diaz yang dari tadi merasa bingung dengan interaksi keduanya ini. Keduanya menatap Diaz kompak, Mutia kemudian tersenyum agar lelaki itu tidak terlalu lama menyorotnya dengan tajam. "Kami bertemu tadi, Mas. Waktu belanja di mall. Farel tidak sengaja menabrak ku hingga terjatuh. Tapi Farel, lain kali kamu jangan bepergian sendirian begitu, itu bahaya banget buat anak sekecil kamu, ya?" ujar Mutia sambil mengelus kepala Farel yang berambut lebat. "Kamu sendirian ke mall, Rel? kenapa kamu pergi sendiri?!" kali ini suara Diaz tampak keras dan mengintimidasi keponakannya membuat Mutia jadi merasa bersalah, dengan spontan Mutia mencekal lengan Diaz agar tidak membentak keponakannya yang masih kecil itu. "Ah, Om! aku ini sedang ulang tahun, tapi seharian tidak ada yang menemani aku, padahal aku ingin sekali hari spesial ku makan sosis dan es krim di mall," jawab anak itu dengan santai. Mutia menatap Farel dengan prihatin, padaha