"Kak Diaz, ini memang salahku. Aku tidak sengaja menabrak kak Mutia dan membuat barang-barang yang dipegangnya jatuh, aku sudah minta maaf, tapi dia tidak memaafkan aku. Jadi wajar saja dia marah dan menamparku," ujar Evita dengan wajah memelas. Suara-suara sumbang keluar dari mulut orang-orang yang melihat kejadian tersebut, kebanyakan mereka melihat saat kejadian sudah berada di puncak, yaitu saat Mutia menampar Evita bolak-balik, awal kejadian tidak ada satupun yang memperhatikan. Mutia jelas melotot marah ke arah Evita yang benar-benar telah membolak-balikkan fakta. Oh, Mutia baru menyadari kenapa Evita tidak membalas tamparannya, berarti anak itu memang sedang mencari perhatiannya Diaz. "Ada apa, Mut?" tanya Diaz sambil mendekati Mutia dan menatap wanita itu dengan sayang, tanpa memperdulikan ucapan Evita. "Dia sudah merusak kado yang akan kuberikan buat keponakan Mas. Dia bahkan sengaja menjatuhkan bola basket tersebut menggelinding sana. Aku tidak bisa mengendalikan amar
"Bagus, kalau ditindas orang lawan kayak tadi. Kamu gak perlu mentoleransi hal seperti itu, aku pasti akan melindungi mu. Bahkan sekalipun kamu membunuh orang, aku akan melindungimu dan tidak akan membiarkan kamu masuk penjara." Diaz mengusap kepala Mutia kala mereka berjalan ke area parkir. "Ya, ampun. Mas mau aku jadi pembunuh?membunuh orang itu dosa besar, Mas." "Aku tahu kamu nggak mungkin melakukannya karena kamu adalah orang baik, tetapi kamu tidak juga mau ditindas. Tidak ada yang boleh menindasmu di dunia ini selain aku." "What? berarti mas punya niat mau menindasku?" "Ya, jelas dong. Aku pengen banget menindasmu di atas ranjang seperti waktu itu." "Mas!" "Iya, sayang!" Mutia sangat keki mendengar perkataan mesum lelaki ini, dengan geram dia mencubit lengannya, tetapi lelaki itu bukannya kesakitan malah tertawa manja. Mereka mengemudikan mobil ke arah kediaman tuan Hadi Kusuma Adiguna di kawasan perumahan elit. Di sini jarak antar rumah berjauhan, di batasi oleh peka
"Tunggu dulu, Apa kalian sudah saling kenal?" tanya Diaz yang dari tadi merasa bingung dengan interaksi keduanya ini. Keduanya menatap Diaz kompak, Mutia kemudian tersenyum agar lelaki itu tidak terlalu lama menyorotnya dengan tajam. "Kami bertemu tadi, Mas. Waktu belanja di mall. Farel tidak sengaja menabrak ku hingga terjatuh. Tapi Farel, lain kali kamu jangan bepergian sendirian begitu, itu bahaya banget buat anak sekecil kamu, ya?" ujar Mutia sambil mengelus kepala Farel yang berambut lebat. "Kamu sendirian ke mall, Rel? kenapa kamu pergi sendiri?!" kali ini suara Diaz tampak keras dan mengintimidasi keponakannya membuat Mutia jadi merasa bersalah, dengan spontan Mutia mencekal lengan Diaz agar tidak membentak keponakannya yang masih kecil itu. "Ah, Om! aku ini sedang ulang tahun, tapi seharian tidak ada yang menemani aku, padahal aku ingin sekali hari spesial ku makan sosis dan es krim di mall," jawab anak itu dengan santai. Mutia menatap Farel dengan prihatin, padaha
Ketika masuk ke dalam rumah, terdengar tawa yang memecahkan suasana. Suara Hadi Kusuma yang terlihat begitu senang menggema di seantero ruangan, membuat Mutia jadi tidak percaya diri untuk melangkahkan kaki. "Ayo, Kak. Itu Kakek dan semua orang sudah ke meja makan," ajak Farel yang masih bergelayut di tangannya. "Nanti, tunggu Om Diaz dulu," jawab Mutia sambil menoleh ke belakang, tetapi lelaki itu kok lama sekali jalannya. Hingga beberapa saat kemudian tampak lelaki itu yang sedang berjalan sambil mengobrol dengan kakaknya. Ketika Diaz melihat Mutia berhenti menunggunya, lelaki itu langsung bergegas menuju ke arahnya. "Ayo, Sayang. Sepertinya semua orang sudah berada di meja makan,"ujar Diaz sambil meraih tangannya. Diaz menggandeng Mutia menuju ke ruang makan, di sana percakapan mereka semakin terdengar dengan jelas. "Sudah malam, Diaz datang nggak, Om?" tanya suara merdu seseorang. "Datang, Diaz tidak pernah melewatkan makan malam saat Farel ulang tahun," jawab Hadi d
"Lihat ini, cewek yang dekat dengan Om Diaz ini, dia ini pacarnya Om Diaz, Loh!" ujar Farel sambil menyongsong Mutiara dengan nada ceria "Apa?!" Semua orang terkejut dengan ucapan Farel, pandangan mereka langsung menuju ke arah Mutiara, melihat semua itu Diaz langsung menggenggam telapak tangan wanita di sampingnya. "Apa benar yang dikatakan Farel? kalau perempuan itu pacar kamu, Diaz?" tanya Hadi Kusuma dengan nada bicara mengintimidasi. "Ya, itu benar. Kenalkan, namanya Mutiara Permatasari. Dia wanita yang aku pilih menjadi calon istriku." Jawaban Diaz jelas mematahkan hati banyak orang di sana, terutama Hadi dan Tania, mata Tania bahkan berkaca-kaca mendnegar semua itu, kekecewaan jelas tidak bisa disembunyikan. Tania mengenal Diaz sejak mereka masih kecil, sejak pertama bertemu dia sudah sangat menyukai seorang Diaz Alfarez. Apalagi kedekatan hubungan ayahnya dan tuan Hadi membuatnya bebas berkunjung ke rumah ini dan bisa meluluhkan hati Hadi menjadikannya calon memban
"Iya, Om. Aku hanya bisa mengandalkan Om Hadi," jawab Tania dengan tatapan sedih. Selama ini Tania merasa tenang-tenang saja di saat Diaz tidak menanggapinya, bahkan cenderung bersikap dingin, hal itu karena selama ini Diaz tidak pernah dekat dengan gadis manapun, sehingga Tania percaya diri bahwa dia akan menjadi wanita satu-satunya dalam hidup lelaki itu. Seharusnya mendapat penolakan yang sedemikian besar dari Diaz, siapapun akan menyerah dan malu untuk melanjutkan, tetapi ternyata tidak demikian bagi Tania. Bagi Tania, tidak ada pemuda yang paling berkualitas selain Diaz, cinta dan obsesi Tania yang sudah belasan tahun itu tidak mungkin akan menyerah begitu saja, asalkan Hadi Kusuma ada di pihaknya, dia masih akan bertahan, baginya Mutiara itu bukanlah lawan yang sepadan dengannya, dari segi status maupun kedudukan jelas Mutia tidaklah sebanding dengan Diaz. Hanya saja wanita itu lupa, bahwa cinta dan perasaan tidaklah bisa dipaksakan. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Diaz samb
"Jadi, Mas Diaz sebenarnya sudah memiliki tunangan?" akhirnya Mutia menanyakan hal yang dari tadi mengganjal di benaknya. "Dia bukan tunanganku. hanya saja itu, Hadi Kusuma bernafsu banget mau menjodohkan aku dengan perempuan itu. Bagaimana aku bisa terima?" "Kenapa tidak terima? Tania gadis yang sangat cantik, dia seorang model papan atas, kecantikannya di atas rata-rata orang Indonesia." "Mumut, kau jangan mancing kemarahanku, kenapa kau bicara begitu? apa benar kau sebenarnya benar-benar tidak tertarik denganku? sehingga kau gampang sekali bicara begitu, apa kau tidak memiliki rasa cemburu di dalam hatimu untukku, Ha!" Mutia terdiam mendengar kemarahan yang jelas tercetak di wajah lelaki itu, dia menghela napas berat dan panjang. Aktivitas ringan itu justru diperhatikan oleh Diaz dengan pandangan tajam, sehingga membuat Mutia salah tingkah. "Em, bukan begitu. Aku hanya menyadari siapa lah aku ini, aku bukan siapa-siapa, aku bahkan masih berstatus sebagai istri orang dan s
Hubungan Mutia dan Diaz berkembang sangat pesat, binar bahagia selalu terlihat di kedua mata mereka. Tidak sedetikpun mereka ingin berpisah. Diaz selalu menjemput dan mengantarnya ke tempat kerja walaupun tempat kerja mereka tidak searah. "Bagaimana kalau kau berkerja lagi menjadi asisten pribadiku?" tanya Diaz ketika mereka tengah di jalan menuju tempat kerja Mutia. "Tidak, Ah. Itu tidak akan seru, masak setiap hari setiap saat aku akan bertemu dengan Mas terus. Setidaknya kalau aku bekerja di tempat lain, aku masih bisa kangen sama Mas." Mendengar itu Diaz sangat bahagia, rasanya dia ingin segera mencium Mutia, tetapi ini di jalan dan posisi Mutia jauh dari jangkauan, wanita ini memang tidak peka, dia berani mengatakan kata-kata rayuan seperti ini, tetapi malah bersikap seperti penumpang taksi, tidak ada manja-manjanya pada kekasihnya ini. "Iya, kalau dipikir, dengan aku menjauh sejenak darimu, aku menjadi sangat rindu dan ingin segera cepat-cepat menjemputmu." Selama ini