"Iya, Om. Aku hanya bisa mengandalkan Om Hadi," jawab Tania dengan tatapan sedih. Selama ini Tania merasa tenang-tenang saja di saat Diaz tidak menanggapinya, bahkan cenderung bersikap dingin, hal itu karena selama ini Diaz tidak pernah dekat dengan gadis manapun, sehingga Tania percaya diri bahwa dia akan menjadi wanita satu-satunya dalam hidup lelaki itu. Seharusnya mendapat penolakan yang sedemikian besar dari Diaz, siapapun akan menyerah dan malu untuk melanjutkan, tetapi ternyata tidak demikian bagi Tania. Bagi Tania, tidak ada pemuda yang paling berkualitas selain Diaz, cinta dan obsesi Tania yang sudah belasan tahun itu tidak mungkin akan menyerah begitu saja, asalkan Hadi Kusuma ada di pihaknya, dia masih akan bertahan, baginya Mutiara itu bukanlah lawan yang sepadan dengannya, dari segi status maupun kedudukan jelas Mutia tidaklah sebanding dengan Diaz. Hanya saja wanita itu lupa, bahwa cinta dan perasaan tidaklah bisa dipaksakan. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Diaz samb
"Jadi, Mas Diaz sebenarnya sudah memiliki tunangan?" akhirnya Mutia menanyakan hal yang dari tadi mengganjal di benaknya. "Dia bukan tunanganku. hanya saja itu, Hadi Kusuma bernafsu banget mau menjodohkan aku dengan perempuan itu. Bagaimana aku bisa terima?" "Kenapa tidak terima? Tania gadis yang sangat cantik, dia seorang model papan atas, kecantikannya di atas rata-rata orang Indonesia." "Mumut, kau jangan mancing kemarahanku, kenapa kau bicara begitu? apa benar kau sebenarnya benar-benar tidak tertarik denganku? sehingga kau gampang sekali bicara begitu, apa kau tidak memiliki rasa cemburu di dalam hatimu untukku, Ha!" Mutia terdiam mendengar kemarahan yang jelas tercetak di wajah lelaki itu, dia menghela napas berat dan panjang. Aktivitas ringan itu justru diperhatikan oleh Diaz dengan pandangan tajam, sehingga membuat Mutia salah tingkah. "Em, bukan begitu. Aku hanya menyadari siapa lah aku ini, aku bukan siapa-siapa, aku bahkan masih berstatus sebagai istri orang dan s
Hubungan Mutia dan Diaz berkembang sangat pesat, binar bahagia selalu terlihat di kedua mata mereka. Tidak sedetikpun mereka ingin berpisah. Diaz selalu menjemput dan mengantarnya ke tempat kerja walaupun tempat kerja mereka tidak searah. "Bagaimana kalau kau berkerja lagi menjadi asisten pribadiku?" tanya Diaz ketika mereka tengah di jalan menuju tempat kerja Mutia. "Tidak, Ah. Itu tidak akan seru, masak setiap hari setiap saat aku akan bertemu dengan Mas terus. Setidaknya kalau aku bekerja di tempat lain, aku masih bisa kangen sama Mas." Mendengar itu Diaz sangat bahagia, rasanya dia ingin segera mencium Mutia, tetapi ini di jalan dan posisi Mutia jauh dari jangkauan, wanita ini memang tidak peka, dia berani mengatakan kata-kata rayuan seperti ini, tetapi malah bersikap seperti penumpang taksi, tidak ada manja-manjanya pada kekasihnya ini. "Iya, kalau dipikir, dengan aku menjauh sejenak darimu, aku menjadi sangat rindu dan ingin segera cepat-cepat menjemputmu." Selama ini
Hari ini jadwal operasi nenek, Mutia sudah bersiap akan pergi ke rumah sakit, dia sudah ijin dengan atasannya untuk cuti sehari. Setelah rapat dengan kliennya di hotel, ternyata Diaz langsung meninjau proyek di luar kota, sehingga sudah dua hari Diaz tidak pulang ke rumahnya. Tetapi lelaki itu masih sering menghubungi Mutia, sehingga Mutia juga bebas menceritakan tentang neneknya yang akan dioperasi hari ini. "Sampaikan salamku pada nenek, sepertinya aku tidak bisa menemaninya ketika akan operasi. Aku akan usahakan perkejaan di sini cepat selesai," ujar lelaki itu. "Tidak apa-apa, Mas. Mas tidak perlu terburu-buru, bekerjalah dengan tenang di sana, aku akan menemani nenek." Itu sebagian obrolan mereka pagi tadi ketika baru bangun tidur, pagi-pagi sekali Diaz sudah menelponnya. Kini Mutia langsung menuju rumah sakit, tidak disangka Tasya juga sudah berada di sana, gadis itu tersenyum manis menyambut kedatangan Mutia. "Tasya, kamu ada di sini?" tanya Mutia heran. "Kamu ini,
Diaz dengan cepat membereskan pekerjaannya, dia segera memesan kereta api paling pagi ke jakarta, dari bandung dia lebih memilih naik kereta api karena lebih efesien daripada naik pesawat. Sudah tidak sabar rasanya ingin bertemu dengan Mutia dan menemani wanita itu menunggu neneknya yang tengah operasi. Harusnya dia belum bisa kembali, tetapi pertemuannya dengan klien dipersingkat karena Diaz memang selalu langsung membahas pada intinya tidak suka dengan acara basa-basi.Namun ditengah perjalanan, Diaz mendapat telpon dari ayahnya kalau hari ini adalah acara pengukuhan calon anggota legislatif dari partai yang dia dirikan, sehingga Diaz sebagai penerusnya wajib datang. "Aku tidak akan datang, partai itu kan punya ayah, aku juga tidak mau diwarisi sebuah partai. Aku cukup mengurusi perusahaan saja," ujar Diaz dengan malas."Diaz, ayah sudah menyuruhmu meluangkan waktu hari ini dari jauh-jauh hari, cepat datang! dengan adanya partai ini, maka perusahaan juga akan didukung oleh lembaga
Setelah Tania turun dari panggung, tepuk tangan menggema menyambutnya, Hadi yang menyadari Diaz tidak merespon apa-apa menyenggol anaknya agar bertepuk tangan juga, akhirnya Diaz ikut bertepuk tangan dengan ala kadarnya. "Tania, bakat talenta kamu memang luar biasa. Sebaiknya tahun ini kamu mendaftar menjadi Putri Indonesia, Om yakin kamu akan lolos dan menjadi melaju ke ajang Miss universe," puji Hadi dengan antusias. "Terima kasih, Om. Sepertinya saran Om Hadi akan aku pertimbangkan," jawab Tania sambil tersenyum dan melirik Diaz yang berwajah datar tidak merespon apapun. "Benar, putri pak wali kota ini memang sangat berbakat, seandainya saya memiliki anak perempuan, saya akan mensuport dengan bakat dan talenta seni seperti putri pak wali kota, sayang saya hanya memiliki dua anak laki-laki, yang sulung juga baru masuk kuliah, kalau dia sudah dewasa seperti anak pak Hadi, pasti akan saya kenalkan dengan putri cantik anak pak wali kota ini," ujar pak gubernur pujian pak guber
Tania yang jengkel dengan kelakuan Diaz yang sama sekali tidak memperdulikan dirinya melangkah dengan cepat-cepat untuk menyusul lelaki itu, tetapi sepatu hak tinggi yang dia kenakan jelas membuatnya kesulitan melangkah, mana bisa menyusul Diaz yang pergi dengan langkah terburu-buru. Di lobby gedung, dia bertemu dengan Evita yang memang sengaja memata-matai dan memantau gerakan Diaz dan Tania. Sebenarnya Evita sangat senang Diaz tidak menghiraukan Tania, tetapi mau bagaimana lagi, dia harus mendekati Tania untuk senjata memisahkan Diaz dan Mutia, menurutnya untuk menyingkirkan Tania itu mudah, karena Diaz tidak memiliki perasaan pada gadis itu, tetapi untuk menyingkirkan Mutia yang sudah seperti kanker itu sangatlah sulit. "Mbak Tania, apa kabar Mbak?" Tania mengenal Evita karena mereka sering bertemu di circle pergaulan mereka. Sikap Evita yang sering merendah dan meninggikan Tania membuat gadis itu tidak mempermasalahkan keberadaan Evita disekitarnya. "Evita? aku baik.
"Mas suapi, ya?" ujar lelaki itu yang sudah memegang sendok. Mutia ingin menolak karena dia masih punya tangan yang sehat, tetapi entah kenapa dia benar-benar ingin dimanja kali ini. Ingin merasakan perhatian yang begitu melimpah dari seorang lelaki yang sudah memenuhi relung hatinya. Melihat Mutia mengangguk, Diaz tersenyum lebar dan menyendok nasi dan mengarahkan ke mulut wanita itu. "Kita makan bersama, Mas juga belum makan," ujar Diaz yang juga menyendok nasi ke mulutnya. "Mas belum makan?" "Iya, tidak sempat makan." Mutia membelai wajah lelaki itu, memang wajahnya tampak kelelahan jika diperhatikan dengan seksama. Melihat Diaz makan dari sendok yang sama, begitu juga minum dari sedotan yang sama dengannya, membuat Mutia semakin menghangat hatinya. Seharusnya pasangan memang begitu, tidak merasa jijik dengan bekas pakai pasangannya. Justru semakin suka, bukankah mereka juga sudah sering berbagi Saliva bila ada kesempatan. Diaz sesekali mengelap bibir Mutia yang bele