"Apa kau dapat rezeki besar? sepertinya kamu senang sekali." "Mas Diaz?!" gumam Mutia menatap lelaki yang begitu menjulang di hadapannya. "Hmmm." Lelaki itu hanya memiringkan wajahnya untuk menelisik Mutia lebih dalam. "Permisi, aku mau lewat," ujar Mutia yang merasa jalannya dihalangi oleh lelaki itu. "Aku belum mendapat jawaban dari pertanyaan ku tadi, bagaimana aku bisa memberimu jalan? Aku lihat tadi kau sujud syukur, sepertinya ada rezeki yang besar, ya?" "Ya, bisa dibilang begitu. Aku dapat ini, hal yang aku nantikan dari lama," ujar Mutia sambil memamerkan amplop coklat ditangannya. "Apa itu?" "Ya, tentu rezeki yang besar seperti yang mas Diaz bilang." Mutia segera melangkah ke depan setelah Diaz menyingkir lebih ke tepi, namun setelah Mutia pas lewat di hadapan lelaki itu, apa yang ada digenggaman Mutia langsung disambar oleh Diaz. "Mas! apaa yang kamu lakukan," pekik Mutia sebagai reaksi aksi yang Diaz lakukan. "Surat dari pengadilan agama? hmm, jadi
"Apa besok kamu bisa menemani aku?" "Ke mana?" "Aku ingin membeli kado untuk ulang tahun keponakan aku." "Oh, kamu punya keponakan, Mas? umur berapa?" "Umur sembilan tahun. Dia keponakan satu-satunya, anaknya kakak perempuanku." "Anaknya laki-laki atau perempuan?" "Laki-laki. Bagaimana? kamu mau, kan?" "Iya, okelah." "Aku jemput kamu di tempat kerja." "Eh, nggak usah. Kita janjian ketemu di mall saja." "Ribet banget sih hidupmu. Aku jemput, titik!" Mutia tidak bisa lagi membantah perkataan lelaki itu, dia tahu betul seberapa keras kepalanya lelaki di depannya ini. Hanya saja, dia tentu merasa malu karena dia masih terikat dengan pernikahan tetapi sudah dijemput oleh lelaki lain. "Aku pulang dulu, besok pagi aku akan sarapan di sini, kamu lekas istirahat, oke?" "Iya." Diaz melangkah menuju pintu, tentu saja Mutia mengikuti karena harus mengunci pintunya. Tetapi setelah sampai di tengah pintu, lelaki itu berbalik sehingga membuat Mutia menabraknya dan membuat hi
Mutia tidak bisa berkata-kata, sepertinya di depan Diaz dia tidak bisa mengutarakan setiap keinginannya karena pria itu lebih mendominasi. Apa yang akan dilakukan dan dikatakan oleh Diaz, walaupun selalu ditolak oleh Mutia, tetapi tanpa peduli lelaki itu tetap melaksanakan. Mutia sebenarnya tidak masalah dengan itu jika statusnya sudah jelas, tanpa terikat pernikahan dengan pria lain, tetapi di situasi seperti ini, sepertinya Diaz terlalu terburu-buru. Bukankah itu bisa merusak citra dirinya sendiri? "Turun di simpang itu saja, nanti juga jemput aku di sini. Tidak perlu sampai ke pintu gerbang,' ujar Mutia ketika sudah mendekati lokasi pabrik roti tempatnya bekerja. "Kamu kenapa sih? apa tampangku kau terlalu memalukan untuk mengantar dan menjemputmu," keluh Diaz "Bukan begitu, Mas Diaz. Aku justru sedang melindungi nama baikmu loh, bagaimana bisa bos hebat sepertimu malah mengantar jemput istri orang." "Kamu kan akan bercerai, apalagi memangnya?" "Nah itu, akan ... baru akan,
Rais segera membacakan jadwal pada bos yang sudah duduk di kursi kebesarannya, kursi itu bergoyang-goyang. Sepertinya hanya Rais yang maklum melihat kondisi bosnya saat ini, dia ingin menggoda lelaki itu tetapi masih belum berani. "Jadi, pihak klien dari kementrian itu ingin bertemu dengan kita untuk membahas proyek itu jam tiga sore ini, Pak. Bagaimana, Pak?" Rais mendelik, pasalnya dari tadi dia ngoceh sepertinya bosnya ini tidak memperhatikan perkataannya sedikitpun, lelaki itu hanya tersenyumlah-senyum sendiri sambil mengusap-usap bibirnya, benar-benar aneh. "Pak, bagaimana, Pak?!" Rais meninggikan suaranya membuat Diaz tersadar dengan reaksi yang cukup terkejut. "Apaan sih, Is?! suara kamu kurang kenceng, tahu! sekarang jam berapa?" tanya lelaki itu tidak nyambung sambil melihat jam di tangannya. "Alah, masih jam sembilan. Masih lama banget jam lima sore, ya?!" gumam Diaz dengan tatapan lemas. "Pak, tadi saya bertanya, Pihak kementrian ingin bertemu dengan kita jam t
Sore sudah menjelang, Diaz yang masih banyak kerjaan buru-buru menutup laptop setelah melihat jam menunjukan pukul enam belas. Dia segera meraih kunci mobil dan tas kecil di atas meja, berlari ke arah pintu. Jelas dia tidak akan melewatkan menjemput Mutia di tempat kerja. Demi bisa bertemu wanita itu, apa yang nggak bisa dia lakukan, dia saja baru saja men-cancel rapat penting dengan nilai transaksi miliyaran rupiah. Ketika sampai persimpangan, mobilnya dia jalankan dengan lambat, ternyata Mutia belum ada di sana, sementara wanita itu memintanya menunggu di sini, apa langsung disusul ke kantornya saja? tetapi Mutia sudah mewanti-wanti untuk menunggunya di sini, kalau ke slisipan gimana nanti? Mutia sendiri gelisah melihat jam di ponselnya sudah jam empat lewat dua puluh menit, sementara Sultan masih saja membahas masalah internal karena ini sudah akhir bulan. "Pak, bolehkan berkas ini saya kerjakan di rumah? hari ini saya ada acara, keponakan saya ulang tahun, saya akan mencari
"Mas Diaz, sabar ya? ini belum waktunya," ujar Mutia "Ah, sial. Kapan sih waktunya? lama banget," ujar lelaki itu masih dalam mode merajuk. Tetapi Mutia malah menertawakan aksi lelaki itu yang menurutnya sangat lucu seperti bocah lagi ngambek nggak dibelikan permen. "Kita mau beli apa?" tanya Mutia kembali, karena pertanyaan yang sama belum lelaki itu jawab. "Kita lihat-lihat saja dulu, aku juga belum tahu mau beli apa. Kita ke stand pernak-pernik remaja laki-laki saja dulu," jawab lelaki itu. "Keponakanmu namanya siapa?" "Namanya Farrel Dewangga Putra." "Dia sukanya apa? hobinya apa?" "Ah, mana aku tahu." "Kamu kan pamannya, masak nggak tahu?" "Banyak banget yang aku urus, bukan cuma ngurusin dia saja, toh masih ada emaknya walaupun bapaknya sudah pergi." "Kenapa bapaknya pergi?" "Cerai sama emaknya, karena berselingkuh." "Oh? kasihan ya, keponakan Mas, kalau gitu kita cari hadiah uang spesial. Apa ayahnya masih sering menjenguknya?" "Tidak lagi, setelah
Setalah bocah itu hilang dari pandangannya, Mutia bergegas mencari keberadaan Diaz, ternyata lelaki itu masih serius dengan panggilan ponselnya, menelpon siapa, sih? kok dari tadi tidak selesai-selesai? Mutia segera mendekati lelaki itu, ketika Diaz melihat Mutia, dia segera mengakhiri panggilannya. "Ya, sudah. Begitu saja ya, Is! buat persis seperti yang aku katakan tadi, besok pagi hasilnya segera bawa ke ruanganku." Lelaki itu tersenyum ke arah Mutia dan melihat di tangan wanita itu sudah menenteng paperbag. "Kamu sudah dapat hadiahnya, Sayang?" "Ya, kamu dari tadi belum juga memilih bola basket?" "Ah, ya. Maaf, tadi ada telepon penting dari Rais, masalah pekerjaan yang tidak bisa ditunda, jadi aku menerima panggilannya dulu. Nah, aku bayar ini dulu, ya? kamu membayar kadomu sendiri?" "Iya, cuma hadiah murah kok, aku masih mampu beli sendiri." Diaz bergegas membayar belanjaannya dan menerima kantong belanja berlogo merk produk tersebut, ketika tengah berjalan Diaz men
"Kak Diaz, ini memang salahku. Aku tidak sengaja menabrak kak Mutia dan membuat barang-barang yang dipegangnya jatuh, aku sudah minta maaf, tapi dia tidak memaafkan aku. Jadi wajar saja dia marah dan menamparku," ujar Evita dengan wajah memelas. Suara-suara sumbang keluar dari mulut orang-orang yang melihat kejadian tersebut, kebanyakan mereka melihat saat kejadian sudah berada di puncak, yaitu saat Mutia menampar Evita bolak-balik, awal kejadian tidak ada satupun yang memperhatikan. Mutia jelas melotot marah ke arah Evita yang benar-benar telah membolak-balikkan fakta. Oh, Mutia baru menyadari kenapa Evita tidak membalas tamparannya, berarti anak itu memang sedang mencari perhatiannya Diaz. "Ada apa, Mut?" tanya Diaz sambil mendekati Mutia dan menatap wanita itu dengan sayang, tanpa memperdulikan ucapan Evita. "Dia sudah merusak kado yang akan kuberikan buat keponakan Mas. Dia bahkan sengaja menjatuhkan bola basket tersebut menggelinding sana. Aku tidak bisa mengendalikan amar