Ketika mereka tengah melangkah di lobi hotel, ternyata mereka bertemu dengan Mutia dan Diaz, Mutia yang melihat dokter Fadil dan Tasya tengah bergandengan tangan, dia langsung takjub melihat pemandangan itu. "Sya, kamu dari mana aja?" Tasya yang terkejut mendengar teguran Mutia, spontan langsung melepaskan pegangan tangan Diaz, tetapi karena sudah terlanjur dilihat Mutia, maka hal itu juga percuma saja. "Fadil, tidak nyangka ternyata perempuan yang kamu bilang selama ini itu temannya Mutia? tahu gitu kenapa kamu pusing-pusing mencari ke mana-mana?" ujar Diaz dengan seringai. "Iya, nih. Tahu gitu kita bisa double date dari dulu," keluh Fadil. "Apaan sih?" tanggap Tasya dengan ketus. "Sya, jadi ... dokter Fadil ini, orang yang itu?" tanya Mutia dengan mengedipkan mata memberi kode "Iya!" jawab Tasya singkat, Tasya juga paham jika pertanyaan Mutia mengarah pada malam ONS itu. "Eh, jadi kamu seorang dokter?" tanya Tasya dengan terpana saat dia menyadari perkataan Mutia.
"Sayang, ini siapa? kok gak dikenalkan sama Mas sih?" tanya Fadil. Tasya hanya melotot mendengar Fadil berbicara begitu mesra, pakai panggil sayang pula. Ya, ampun ... kenapa dalam waktu sehari, dia sudah memiliki seorang calon suami?"Oh, Saya Ridwan. Pamannya Tasya, adik kandung papanya Tasya." Ridwan dengan rendah hati dan antusias mengulurkan tangan pada Fadil."Saya Fadil, Om. Calon suaminya Tasya.""Kamu masih jadi pacar atau memang sudah jadi calon suaminya?" tanya Ridwan."Insyaallah saya serius sam Tasya, Om. Dari tadi saya sudah meminta Tasya untuk membawa saya kepada orang tuanya untuk saya lamar.""Dari tadi?" Ridwan mengernyit heran mendengar kata itu."Iya, soalnya karena kesibukan saya dan Tasya, baru bisa ketemu tadi. Jadi saya mengatakan niat saya baru tadi, Om.""Memangnya kalian sudah berapa lama berhubungan?""Sudah dua Minggu, Om.""Baru dua Minggu?" "Bagi saya dua Minggu itu waktu yang cukup untuk mengajak ke pelaminan, om. kalau sudah sama-sama cocok, untuk a
"Biar aku bukakan pintunya," ujar Mutia dengan nada malas. Mutia berjalan dengan lesu menuju pintu, namun ketika pintu sudah terbuka, matanya yang masih terbuka separuh terbelalak melihat kedua lelaki itu sudah berdiri di pintu kamar. "Kalian? pagi-pagi sudah ke sini, mau ngapain?" "Pakai nanya lagi! cepat siap-siap. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintah Diaz. "Mana Tasya?!" tanya Fadil dengan tidak sabaran. "Masih tidur, ini masih pagi banget. Kami check out dari hotel jam 12 siang." Dengan tidak sabaran, Fadil langsung merangsek masuk ke dalam kamar. "Dokter Fadil, tidak sopan langsung masuk dalam kamar perempuan," seru Mutia. Tetapi Fadil tidak menggubrisnya, malah terus melangkah ke tempat tidur. "Ngapain musti nunggu jam 12 siang, cepat aku tinggi sepuluh menit harus bersiap, kalau nggak biar aku yang menyiapkan!" perintah Diaz dengan tatapan serius. "Sepuluh menit? yang benar aja! kamu belum ada yang mandi" "Baiklah, lima belas menit! kalau belum juga
Diaz hanya mendengus jengkel sepanjang jalan, pasalnya ketika mereka mulai masuk mobil, Tasya dan Mutia berbarengan duduk di bangku belakang, sementara dia terpaksa duduk di bangku depan bersama Fadil yang memegang kemudi. Tadi dalam bayangannya dia bersama Mutia duduk di belakang, sehingga dia bisa memegang tangan wanita itu dengan mesra atau minimal berdekatan. Entah kenapa aroma tubuh Mutia benar-benar sudah membuatnya gila. Ha ... ha ... ha ... Terdengar tawa dari dua wanita di belakang yang cukup menarik perhatian, Mutia dan Tasya rupanya tengah membahas reaksi Raid saat mengetahui Tasya memiliki suami. "Eh, aku lihat dia tadi di lobi." "Sepertinya dia mau jalan-jalan dengan keluarga kecilnya." "Em, ya sebenarnya bener sih maunya kita ambil kesempatan jalan-jalan, toh check out dari hotel juga jam dua siang," sungut Tasya. "Jadi kalian mau jalan-jalan? why not?! kita ke kebun raya Bogor dulu, gimana?" ujar Diaz yang langsung menyambar percakapan dua perempuan itu.
Tak terasa ternyata mereka sudah sampai di kota Jakarta, ketika Diaz membuka mata, dia melihat jalanan sudah padat khas ibu kota. Diaz melirik ke pahanya, di sana Mutia masih terpejam dengan lelap dan merasa nyaman berbantalkan pada paha lelaki itu. "Sudah sampai mana?" tanya Diaz dengan suara serak. "Tenang, Bos. Sebentar lagi sampai apartemenmu," jawab Fadil yang masih fokus memegang stir. "Ngapain ke apartemen? aku sudah lama tidak tinggal di sana." "Oh, kalau begitu, aku harus mengatakan kamu ke rumah ayahmu?" "CK, itu lagi! Mana sudi aku tinggal di sana lebih lama?!" gerutu Diaz. "Lah, terus elu mau tinggal di mana, Bos?" tanya Fadil tidak sabaran, pasalnya lelaki ini juga belum tahu jika Diaz sudah memiliki tempat tinggal baru. "Aku sekarang tinggal di sini, cepat ikuti saja GPS itu!" ujar Diaz sambil memperlihatkan pesan wa di ponselnya. "Oh, oke!" Fadil juga tidak banyak protes langsung mengantar Diaz ke kediaman yang baru, setelah itu dia baru akan mengantar
"Apa kau dapat rezeki besar? sepertinya kamu senang sekali." "Mas Diaz?!" gumam Mutia menatap lelaki yang begitu menjulang di hadapannya. "Hmmm." Lelaki itu hanya memiringkan wajahnya untuk menelisik Mutia lebih dalam. "Permisi, aku mau lewat," ujar Mutia yang merasa jalannya dihalangi oleh lelaki itu. "Aku belum mendapat jawaban dari pertanyaan ku tadi, bagaimana aku bisa memberimu jalan? Aku lihat tadi kau sujud syukur, sepertinya ada rezeki yang besar, ya?" "Ya, bisa dibilang begitu. Aku dapat ini, hal yang aku nantikan dari lama," ujar Mutia sambil memamerkan amplop coklat ditangannya. "Apa itu?" "Ya, tentu rezeki yang besar seperti yang mas Diaz bilang." Mutia segera melangkah ke depan setelah Diaz menyingkir lebih ke tepi, namun setelah Mutia pas lewat di hadapan lelaki itu, apa yang ada digenggaman Mutia langsung disambar oleh Diaz. "Mas! apaa yang kamu lakukan," pekik Mutia sebagai reaksi aksi yang Diaz lakukan. "Surat dari pengadilan agama? hmm, jadi
"Apa besok kamu bisa menemani aku?" "Ke mana?" "Aku ingin membeli kado untuk ulang tahun keponakan aku." "Oh, kamu punya keponakan, Mas? umur berapa?" "Umur sembilan tahun. Dia keponakan satu-satunya, anaknya kakak perempuanku." "Anaknya laki-laki atau perempuan?" "Laki-laki. Bagaimana? kamu mau, kan?" "Iya, okelah." "Aku jemput kamu di tempat kerja." "Eh, nggak usah. Kita janjian ketemu di mall saja." "Ribet banget sih hidupmu. Aku jemput, titik!" Mutia tidak bisa lagi membantah perkataan lelaki itu, dia tahu betul seberapa keras kepalanya lelaki di depannya ini. Hanya saja, dia tentu merasa malu karena dia masih terikat dengan pernikahan tetapi sudah dijemput oleh lelaki lain. "Aku pulang dulu, besok pagi aku akan sarapan di sini, kamu lekas istirahat, oke?" "Iya." Diaz melangkah menuju pintu, tentu saja Mutia mengikuti karena harus mengunci pintunya. Tetapi setelah sampai di tengah pintu, lelaki itu berbalik sehingga membuat Mutia menabraknya dan membuat hi
Mutia tidak bisa berkata-kata, sepertinya di depan Diaz dia tidak bisa mengutarakan setiap keinginannya karena pria itu lebih mendominasi. Apa yang akan dilakukan dan dikatakan oleh Diaz, walaupun selalu ditolak oleh Mutia, tetapi tanpa peduli lelaki itu tetap melaksanakan. Mutia sebenarnya tidak masalah dengan itu jika statusnya sudah jelas, tanpa terikat pernikahan dengan pria lain, tetapi di situasi seperti ini, sepertinya Diaz terlalu terburu-buru. Bukankah itu bisa merusak citra dirinya sendiri? "Turun di simpang itu saja, nanti juga jemput aku di sini. Tidak perlu sampai ke pintu gerbang,' ujar Mutia ketika sudah mendekati lokasi pabrik roti tempatnya bekerja. "Kamu kenapa sih? apa tampangku kau terlalu memalukan untuk mengantar dan menjemputmu," keluh Diaz "Bukan begitu, Mas Diaz. Aku justru sedang melindungi nama baikmu loh, bagaimana bisa bos hebat sepertimu malah mengantar jemput istri orang." "Kamu kan akan bercerai, apalagi memangnya?" "Nah itu, akan ... baru akan,