‘’Gimana rasanya menikah dengan Ega?’’
Rosdiana, asisten suamiku sekaligus orang yang meriasku itu bertanya setelah aku menjalani sesi pemotretan untuk pertama kali. Alih-alih menanyakan bagaimana rasanya menjadi model, Mbak Ros malah menanyakan pernikahanku dengan Mas Ega yang baru berumur satu hari.
‘’Bahagia, Mbak. Senang.’’ Aku tertawa kecil, merasa malu, karena Mbak Ros melihat jejak merah di leherku.
‘’Kalau kamu butuh sesuatu, atau mau cerita apapun, kamu bisa cerita ke aku ya, Sel.’’
‘’Memangnya kenapa, Mbak?’’ tanyaku hati-hati.
‘’Enggak. Kata Ega, aku harus membantu kamu beradaptasi dengan lingkungan pekerjaan. Biar segera betah dan tidak minta pulang.’’
Aku tertawa karena Mas Ega ternyata begitu perhatian. Mataku langsung terpaku pada Mas Ega yang tengah disibukkan berbicara dengan seorang klien.
Namun aku bergegas menghampiri tatkala suamiku itu melambaikan tangan memintaku mendekatinya.
‘’Kenalkan, ini Pak Abi. Beliau adalah produser yang sedang mencari model untuk iklan sabun.’’
‘’Senang bertemu dengan anda. Saya Selin,’’ ucapku sambil mengulurkan tangan.
Laki-laki berparas tampan itu memandangku sekilas.
‘’Baiklah. Langsung saja kita tanda tangani kontrak kerja.’’ Pak Abi menepuk pundak Mas Ega tanpa membalas uluran tanganku yang masih menggantung ini.
Mungkin karena aku bukan mahramnya, beliau enggan menjabat. Aku mencoba berpikir posistif walau sedikit tersinggung.
Tapi semua terbayar ketika melihat suamiku tersenyum lebar dan menepuk-nepuk pipiku sebelum berlalu bersama Pak Abi. ‘’Kamu memang yang terbaik.’’
‘’Wah, kamu hebat, Sel.’’ Rosdiana memuji dengan dua jempol mengacung ke atas.
‘’Hebat apanya, Mbak?’’ tanyaku heran.
‘’Susah banget tau bisa menjalin hubungan kerja sama dengan Pak Abi. Model-model Ega sebelumnya, belum pernah ada yang bisa membuat Pak Abi tertarik. Tapi, kamu? Wah, aku sangat salut.’’
Gelengan takjub Rosdiana membuatku jadi besar kepala. Mungkin ada sesuatu yang Pak Abi lihat dari diriku yang sederhana dan kampungan ini namun sangat cocok dengan kriterianya.
‘’Beliau itu klien besar. Aku yakin deh, setelah ini, kita pasti akan diajak makan enak sama Ega.’’
Aku dibuat tertawa dengan celotehan Rosdiana. Hatiku merasa bahagia karena bisa membantu suamiku. Dan si satu sisi, karir modelku yang baru dibangun sehari ini, mungkin juga akan melambung tinggi.
Cukup lama aku berada di ruang ganti, Mas Ega datang dengan sebuah amplop coklat di tangan.
‘’Mas, ini untuk Selin semua?’’
Tanganku sampai gemetaran menerima uang senilai sepuluh juta rupiah yang baru saja diserahkan Mas Ega padaku.
‘’Iya. Itu tanda jadi dari Pak Abi. Itu bagian kamu. Uang untuk dikirim ke kampung, sudah mas sisihkan.’’
Aku terharu dengan kepedulian Mas Ega pada keluargaku. Di saat itu, aku merasa Tuhan sangat baik sekali.
Mas Ega benar. Pengorbananku menikah dengannya, pindah ke ibukota dengan berprofesi sebagai model, mengandalkan kecantikan serta tubuh indahku, tidak akan berakhir sia-sia. Aku bisa membantu ibu dan bapak yang tengah terlilit hutang serta membiayai adikku yang sebentar lagi akan masuk kuliah.
Bermula beberapa hari yang lalu…
Setelah cukup lama merantau, Mas Ega pulang ke kampung dan tidak sengaja aku bertemu dengan beliau. Saat itu, cinta kami bersemi kembali setelah terpisahkan selama bertahun-tahun. Mas Ega adalah cinta pertamaku. Begitu pula sebaliknya.
Pernikahan kami dilakukan mendadak karena hanya butuh satu hari kami bertemu, sehari setelahnya pernikahan berlangsung.
‘’Penuhi kebutuhanmu. Gunakan uang itu untuk ke salon, beli baju bagus, pergi ke klinik kecantikan atau tempat apa itu, yang biasa pasang-pasang kuku?’’
Aku tertawa karena mengerti maksudnya tapi aku lupa penyebutan tempatnya.
‘’Sekarang kamu bukan gadis desa yang kerjanya hanya berkutat di dapur. Melainkan model dan wajah dari studio mas ini. Pokoknya kamu harus merawat diri ya, Cantik.’’
Bersama semburat merah muda di pipi aku mengangguk. Cantik. Kata sederhana itu selalu membuatku merasa dicintai.
Malam harinya…
Aku beserta tim tiba di hotel untuk melakukan pemotretan. Namun sedikit tidak nyaman ketika berpose hanya dengan mengenakan handuk dan berpose di dalam bathtub. Beruntung Mas Ega mengerti dan meminta semua anak buahnya yang belum aku kenal tersebut untuk pergi. Menyisakan aku, suami dan Rosdiana saja.
‘’Kamu pasti kedinginan. Coba minum ini agar tubuhmu hangat, Sel.’’ Rosdiana menawarkan segelas minuman di sela-sela sesi istirahat.
‘’Ini apa, Mbak?’’ tanyaku ingin tahu.
‘’Itu anggur. Enak kok. Aku juga minum.’’
Melihatnya meneguk minuman itu sampai habis, aku pun melakukannya. Mas Ega sering memberikannya padaku dan efeknya sangat luar biasa.
Mas Ega lalu membisikkan sesuatu di telingaku dengan seringai nakal yang sangat aku mengerti tersebut.
‘’Setelah ini, kita jangan pulang. Di sini saja. Sayang kamarnya sudah dibooking untuk satu hari. Mas masih pengen lanjutin bulan madu kita.’’
Lagi-lagi pipiku dibuat merona oleh Mas Ega.
Setelah menyelesaikan pekerjaan, Mas Ega mengajakku berbincang dan memintaku memakai lingerie seksi berbahan tipis. Yang aku rasa, percuma saja memakainya karena bagian sensitifku tetap terlihat semua.
Aku mencoba meneguk minuman tadi, sebelum berbaring menjalankan marwahku sebagai istri.
‘’Mas, kok aku jadi ngantuk banget, ya?’’ kataku ketika kepala ini telah menyentuh bantal. ‘’Tadi nggak begini.’’
‘’Yah,’’ Mas Ega terdengar kecewa. ‘’Ya sudah kamu tidur saja.’’
Sebagai istri, aku pun jadi tidak enak hati. ‘’Tapi bagaimana denganmu, Mas? Bukankah kita…’’
Sengaja tak ku tuntaskan kalimat tersebut. Karena, aku pun ingin merasakan lagi belai kasih seperti malam pertama yang baru dilakukan sekali itu. Bisa dibilang, aku masih ingin mencobanya. Tapi sayangnya, mata ini sulit sekali diajak kerja sama.
Rasanya, seisi dunia bagai menggantung di pelupuk mata.
‘’Kamu pasti lelah. Baru sehari menikah, langsung mas ajak pindah ke kota. Lalu langsung mas ajak kerja.’’
Mungkin ada benarnya. Mungkin aku kelelahan.
Terakhir yang ku lihat, Mas Ega masih dengan celana jeans dan kemeja putihnya naik ke atas kasur sambil membawaku ke pelukannya.
‘’Cantik. Mas sayang sekali sama kamu. Mimpi indah ya, Sayang.’’
Ucapan priaku mengantarkan diri ini ke alam mimpi.
Aku biarkan Mas Ega menjamahku meski serangan kantuk kian terasa. Mengabsen setiap inci di tubuh ini sebelum kesadaranku benar-benar hilang.
Tapi ketika terbangun keesokannya, aku melihat seseorang baru saja keluar dengan dengan kemeja hitam.
Sebentar.
Bukankah Mas Ega tadi malam itu pakai baju putih?
Lekas aku menyibak selimut yang menutupi tubuh. Aku mendadak kaku ketika ternyata sudah tak ada lagi pakaian tipis itu. Dan telah berpindah tempat ke atas sofa dengan kondisi robek tak tertolong.
‘’Astaga!’’ Aku tidak percaya Mas Ega melakukannya di saat aku tengah tertidur pulas.
Dengan selimut putih yang melilit di tubuh, aku berlari mendekati pintu. Ingin mencari tau siapa orang yang tadi aku lihat itu.
Apakah itu Mas Ega? Atau bukan?
‘’Bagaimana pelayanannya, Pak?’’Aku mendengar Mas Ega sedang bicara dengan seseorang. Entah dengan siapa. Rasa penasaran menghidupkan naluri keingintahuanku hingga aku menempelkan telinga di pintu.‘’Baik. Sudah saya terima. Terimakasih.’’Sudah saya terima? Terima apa maksudnya?Di tengah-tengah kebingungan, tiba-tiba aku mendapati gagang pintu bergerak bersamaan daun pintu yang terdorong ke dalam, hingga aku jatuh terjerembab.‘’Astaga, Sel!’’Jangankan Mas Ega, aku pun kaget bukan kepalang. Tidak hanya itu, aku pun merasa malu karena selimut di tubuhku terlepas. ‘’Kamu nguping?’’ Bukannya membantu, Mas Ega malah menanyakan hal yang menurutku tidak perlu diutarakan. Bagaimanapun, untuk apa suami istri main rahasia-rahasiaan?‘’Sel, jawab! Kamu dengar apa tadi?’’Baru kali ini nada bicara Mas Ega terdengar tidak enak. Salahkah aku mendengar percakapan suamiku sendiri?‘’Nggak, Mas. Tadi aku mau lihat siapa yang keluar barusan. Tapi pas aku mau buka pintu, eh kamu yang muncul,’’ uc
Klien baru?Seksi?Disaat kepalaku masih tak bisa menebak mengapa aku harus berpenampilan terbuka, ibu kembali melanjutkan pembicaraan tanpa tau apa yang tengah aku pikirkan.‘’Ibu harap kamu bahagia di sana. Walau bapakmu masih belum merestui, tapi ibu yakin, lambat laun, beliau pasti akan mengerti.’’Bapak memang tidak setuju aku menikah dengan Mas Ega. Menurutnya, aku belum terlalu mengenal suamiku. Dan lagi, bapak berpikir pernikahanku itu karena dituntut ibu perkara usiaku yang mana gadis-gadis di daerahku sudah banyak yang menikah. Padahal aku telah meyakinkan bapak, jika aku memang menaruh rasa pada Mas Ega dari dulu. Tapi bapak tidak menerima alasan itu. Beliau terpaksa menyetujui pernikahan karena desakan dan bujukan ibu. ‘’Selin kangen rumah, Bu. Nanti tolong sampaikan salam buat bapak dan Handi, ya, Bu,’’ lirihku pelan.‘’Kamu baru dua hari ninggalin rumah. Jangan kangen dulu. Cari uang yang banyak, setelah itu, baru kamu boleh pulang. Ingat, Sel, adik kamu harus kuliah.
‘’Syukurlah kamu masih di luar. Aku kira kamu sudah masuk,’’ seru Mbak Ros seraya mengelus dada. Dia tampak begitu lega karena aku belum menanyakan tentang hal yang Mbak Ros adukan padaku tadi pada Mas Ega.‘’Kalian?’’ Mas Ega mengintip dari jendela. Lalu membuka pintu lebar-lebar penuh raut curiga. ‘’Selin? Ros? Ada apa ini?’’ tanyanya dengan nada tinggi. Pasti Mas Ega mengira kalau aku dan Mbak Ros menguping. Aku perhatikan, suamiku ini sangat sensitif terkait pembicaraan yang tidak melibatkanku namun tak sengaja aku tau.Mbak Ros menatapku gugup. ‘’Mas, aku mau tanya tentang baju yang harus aku pakai. Kenapa kamu kasih aku model begitu? Aku tidak suka desainnya.’’ Terpaksa mengelabui karena aku melihat Mbak Ros begitu pucat. Tapi aku memang tidak suka pakaian tersebut.‘’Oh, kirain apa.’’ ‘’Aku pakai baju pilihanku sendiri boleh, ya?’’‘’Terserah. Yang jelas kamu harus tampil cantik.’’ Mas Ega berkata sambil menahan kedua pundakku. Tidak lupa mencium pipi sebelah kiri menganggap
Ada aroma alkohol tercium. Deru napas berat sarat akan hasrat. Aku bisa merasakannya dari cara Mas Ega melucuti pakaianku satu persatu. Sepertinya, hari ini Mas Ega berhasil mendapatkan klien. Dan berhubungan intim adalah cara Mas Ega merayakan keberhasilan. Melerai ketegangan di antara kami sebelumnya.Di dalam kamar gelap itu, aku menerima banyak kenikmatan dan hal-hal panas memabukkan jiwa. Ini tidak seperti Mas Ega. Bahkan ini lebih menggairahkan dibandingkan malam pertama.Otot-otot kekarnya, lebar bahu yang membuatku candu untuk memeluknya, semua seperti tidak nyata. Sebab, aku baru tahu bila Mas Ega memiliki tubuh bagus nan berisi. Selain itu, banyak gerakan-gerakan baru yang membuat tubuhku bergetar syahdu. ‘’Mas…’’Setiap aku memanggil namanya, Mas Ega melumat habis bibirku. ‘’Akh…’’Setiap desahan terdengar, Mas Ega menggauliku seperti suami yang sudah lama tidak menyentuh istri.Rasanya, aku bagai dibawa terbang ke langit tujuh bidadari. Aku ingin melihat bagaimana sua
‘’Kamu dari mana, Cantik?’’Lepasnya pelukan Mas Ega, berikut kata-kata manisnya yang beracun itu, membuatku ingin sekali meninju wajahnya.Tapi aku tidak langsung lepas kendali. Aku memilih bersabar karena harus mencari tau dulu kebenaran tentang pria semalam.‘’Kamu pulang jam berapa tadi malam?’’ tanyaku tanpa mempedulikan pertanyaanya.‘’Mas tanya apa kamu malah jawab apa,’’ serunya kesal.‘’Tinggal jawab saja apa susahnya, sih, Mas?’’ geramku dibarengi tatapan tajam. Mas Ega memasang wajah penuh tanya. Karena, baru kali ini aku yang dikenal selalu bertutur kata lemah lembut, menggunakan intonasi berbeda.‘’Kemarin kamu sama siapa ke rumah?’’ tanyaku lagi. ‘’Maksud kamu?’’Aku sangat benci melihat Mas Ega memasang wajah lugu begini. Apa dia berpikir aku tidak tau apa-apa?‘’Semalam kamu tidur di mana?’’ ‘’Tidur di kamar. Bersamamu.’’Aku tidak percaya. Jelas-jelas, laki-laki di tempat tidurku itu bukan dia. ‘’Jangan bohongi aku, Mas. Aku tau tadi malam kamu tidak sendiri.’’‘’
Hari ini gerimis membungkus kota. Bulir hujan pun turun bagai tetesan air mata di teduhnya senja.Setelah melerai ketegangan dan kesalahpahaman di antara kami berdua, aku memutuskan untuk tidur sebentar sebelum menyiapkan makan malam.‘’Sel,’’ panggil Mas Ega, padahal aku sudah tidak kuat membuka mata.‘’Hm?’’‘’Tiga puluh menit lagi kita pergi. Kamu siap-siap.’’Kutemukan Mas Ega tengah berkutat dengan ponsel ketika mata ini ku paksa untuk terbuka. ‘’Kemana? Aku mager, Mas,’’ kataku, malas. Besar harapan agar Mas Ega memaklumi ketidak inginan ku untuk beranjak dari empuknya pulau kapuk. Namun tampaknya, Mas Ega tidak mau menerima alasan apapun bila melihat dari lirikannya yang setajam belati itu.Sebenarnya, aku lelah sekali setelah menghabiskan aktivitas suami istri kemarin malam. Remuk badan dan sakit pinggang, baru terasa sekarang.‘’Pak Abi mengundang kita ke acara ulang tahunnya. Kamu harus dandan yang cantik pokoknya. Aku sudah menyiapkan gaun di lemari. Jadi, kamu tinggal pa
Setengah jam seperti yang diperintahkan, aku sudah berdiri di samping mobil putih yang pernah menyambangi rumah sederhana milik orang tuaku. Sekaligus membuat heboh warga desa.Sedikit orang yang memiliki kendaraan roda empat di tempatku, sehingga menganggap, siapapun yang memiliki benda besi ini, dianggap kaya dan berkelimpahan harta.‘’Selin.’’Di tengah asik menunggu Mas Ega selesai memakai baju, tiba-tiba seseorang memanggil namaku.Keningku langsung berkerut rapat, setelah melihat sosok yang membuat seluruh tubuhku berputar seratus delapan puluh derajat.‘’Bu Retno?’’
‘’Astaga!’’Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku bisa di sini? Kemana perginya Pak Abi? Apa Mas Ega yang melakukan ini?Beruntun pertanyaan di kepala tapi tidak ada jawabannya.Berulang kali kepala ini melihat kesana kemari, tetap tidak ada siapapun ku jumpai.Byur!Terdengar suara dari kamar mandi. Seseorang menekan flush kloset. Tak lama kemudian, gemericik dari shower yang dihidupkan.‘’Mas?’’ teriakku sambil turun dari tempat tidur. Memungut gaun berikut dalaman dengan hati cemas.Se
Suasana di ruang vip agak tenang setelah bapak juga beristirahat. Handi pun juga tidur namun menyisakan aku yang masih terjaga.Waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Sejak tadi teringat Abi. Apa yang sedang dilakukannya sekarang? Aku bertanya-tanya dan menatap ponsel dengan hati kian mengecil.Apakah Abi masih marah?Mas, mungkin tiga hari lagi aku baru pulang. Mas apa kabarnya?Semoga saja kali ini pesanku dibalas. Perut yang dari pagi belum terisi apapun sudah berisik sekali. Aku pun pergi mencari makan di kantin, namun sebelum itu kebetulan melihat loket administrasi.Pas sekali.Aku masih penasaran mengapa tiba-tiba ibu dan bapak dipindahkan. ‘’Permisi, Mbak. Saya mau tanya, pasien atas nama bapak Sandri dan ibu Hana yang dipindahkan pagi ini ke vip.’’‘’Oh, ya. Kenapa memangnya, Bu?’’‘’Kalau boleh tahu, kenapa tiba-tiba dipindahkan?’’ Aku bergeming demi menunggu wanita berparas ayu di balik komputer mengecek sistemnya.‘’Pagi ini ada pembayaran untuk pemindahan pasien atas
Suara berisik tiada hentinya menandakan telah dimulai aktivitas kehidupan. Mulai dari percakapan, rutinitas mengantar makanan dan obat-obatan yang dilakukan perawat, sampai pemeriksaan oleh dokter langsung.Sakit sekali badan ini karena tidur di ubin, namun segera aku berdiri karena bapak pun ternyata sudah bangun.‘’Nak, bapak mau dipindahin ruangannya.’’ Dua orang perawat berbaju biru telah mengatur sedemikian rupa agar brankar dapat digerakkan dengan mudah. Setahuku, dipindah artinya menjalani pemeriksaan lebih lanjut.Aku pun yang masih mengantuk langsung segar begitu saja. ‘’Tapi bukannya bapak sudah membaik?’’ Bukan tanpa alasan karena semalam Handi bercerita bapak sudah bisa pulang hari ini.‘’Katanya mau dipindah ke ruang vip.’’ Bapak pun sama bingungnya namun hanya pasrah saja sangking tidak mengertinya. ‘’Vip?’’ Seketika menoleh pada dua perawat meminta penjelasan.‘’Maaf, Mbak. Saya hanya menjalankan tugas, kalau bapak tidak seharusnya di sini. Untuk kamar sudah di upgr
‘’Anak bapak, kamu datang, Nak?’’ Peluk hangat cium kasih sayang menyerbuku saat bertemu dengan bapak. Keadaannya sangat jauh lebih baik, seperti harapan juga doa-doa yang ku langitkan setiap hari.‘’Iya,Pak. Selin langsung ke sini begitu Handi ngabarin tentang ibu.’’‘’Abi mana?’’Bapak melihat jauh ke belakang, mencari seseorang yang dipikirannya mungkin akan bersamaku. Namun gelengan kepala ini membuat bapak langsung mengerti.‘’Ya sudah tidak apa-apa.’’‘’Mbak, apa kabar? Terimakasih sudah datang, Mbak. Handi benar-benar keteteran soalnya.’’ Begitu melihatku, Handi mencium tangan lalu berdiri di samping tempat tidur bapak.Dia terlihat sangat kurus untuk anak usia tujuh belas tahun. Beruntung dia tinggi jadi tidak terlalu terlihat seperti anak kurang gizi.Dan aku paham penyebabnya. Karena menjaga orang tua kami sendirian. Pasti sangat melelahkan. ‘’Kamu pasti capek. Biar mbak jaga bapak, kamu jaga ibu. Tadi mbak ke ruangannya, ibu masih belum sadar.’’‘’Iya, mbak. Ibu terlalu sy
‘’Menantu!’’ seru mama saat melihatku yang ternyata dicarinya.Mama duduk di atas brankar dan Abi mengikutiku dari belakang.‘’Kamu dari mana? Mama cari-cari dari tadi, tau, Menantu!’’Aku terkejut mendengar panggilan mama barusan, memang tidak salah aku memang menantunya. Tetapi, mama biasa memanggilku Selin.Aku pun bertanya-tanya ada apa dengan mama?‘’Sayang, ditanya mama kamu dari mana?’’Terlihat jelas bahwa kini aku sudah diterima menggantikan Ratih, mama ingin aku di dekatnya, padahal ada anaknya. Kalau bisa, harus ada di sekitarnya terus-menerus.‘’Sayang?’’Ya ampun, aku sampai lupa menjawab. ‘’Itu ma, tadi Selin…’’‘’Nggak mungkin buang sampah, kan, Sayang,’’ potong Abi karena memang keranjang sampah lengkap dengan isinya itu masih di tempat semula.‘’Anu… mas, tadi Selin menghubungi bapak,’’ jawabku jujur.‘’Bapak?’’ Mama menatapku dan Abi bergantian. ‘’Mama ngira kamu yatim piatu.’’ Abi tersenyum sembari mengajakku duduk di tepi brankar.Sekarang baru mengerti arti tatap
‘’Mas, bicaranya jangan yang aneh-aneh nanti mama dengar.’’ Aku tidak kuasa untuk tidak menunduk, merasakan wajah yang merona merah.Aku pun lagi-lagi berusaha menghindari, berpura-pura sibuk ingin membuang sampah segala.Sialnya Abi tidak menahan padahal, kan, aku sedang cari perhatian. Huh, menyebalkan sekali. Dasar suami tidak pengertian!Dia kembali duduk di samping mama, mengusap rambut yang setengahnya telah memutih. Bapak bilang, jika ingin mendapat suami penyayang carilah suami yang sayang sama ibunya. Jika dengan ibunya saja demikian apalagi dengan istrinya/Dan yang dikatakan bapak ada di diri Abi. Semuanya terpancar jelas.Haruskah aku bersyukur karena sebelumnya dijual Ega? Apa harusnya menyesal karena dari sana bisa berjumpa dengan Abi? Sesungguhnya pernikahan ini masih begitu canggung dalam menjalaninya. Mungkin karena terjadi lewat jalur yang salah.Ting.Nduk, bagaimana kabarmu, Nak?Akhirnya ada alasan jelas meninggalkan ruangan. Aku pun membalas pesan singkat itu de
‘’Mama mau dengar ceritanya tidak?’’‘’Cerita saja.’’ Pertanyaanku berhasil mengundang rasa penasaran mama.Aku pun tersenyum namun mencari kata yang pas untuk merangkai kalimat. ‘’Begini, Ma. Kalau makan nasi tapi lauknya habis, pasti jadi tidak enak lagi makannya, kan? Itu semua karena Mas Abi mencuri telur Selin.’’ Aku belum menuntaskan ingin melihat tanggapan mama.‘’Lalu?’’ Ternyata mama menunggu. Syukurlah.‘’Nggak tanggung-tanggung. Dua telur besar dimakannya semua. Lalu Selin hanya gigit jari. Padahal…’’ Lagi-lagi aku berhenti, ingin melihat sejauh mana mama mendengarkan.Dan benar, mama langsung bertanya ingin tahu kelanjutannya. ‘’Padahal apa?’’‘’Padahal Mas Abi juga sudah punya dua. Dia sangat serakah ternyata.’’‘’Kenapa kamu gak ngambil punya Abi juga?’’ balasannya sangat antusias. Aku pun kembali tersenyum jadinya.‘’Bagaimana mau ambil, Ma. Soalnya, Mas Abi tidak mengeluarkan telurnya. Dia sembunyikan sangat rapi.’’ Aku berpura-pura mengeluh untuk menjaga komunikasi ya
Padahal aku hanya tidak sanggup menerima sentuhan-sentuhan itu. Diikuti gigitan-gigitan kecil pada leher dan pundak. Wajar, kan, jika aku refleks menjauhkan diri? Tetapi sepertinya yang ku lakukan itu lagi-lagi dianggap berbeda olehnya. Saat tubuh menjauh, dadaku membusung tinggi. Abi pun tersenyum nakal tetapi aku yang merasa ngeri. Bukan karena senyumannya, tetapi karena Abi terlihat seperti kerasukan setan hingga wajahnya berubah mengerikan.Kebetulan aku tidak suka tidur menggunakan bra, sehingga ketika Abi menciumi belahanku, titik pusat gunung kembar mengintip jelas. Jangan tanyakan perasaanku saat ini, karena benar-benar campur aduk. Entah aku harus bersyukur atau tidak di rumah hanya kami berdua, karena baru saja kami menyantap nasi goreng, semua langsung berubah malah aku yang disantap Abi.Seandainya ada seorang saja selain kami, mungkin akan sangat malu karena suamiku begitu bernafsu sampai tak mengenal tempat untuk menjamah istrinya.‘’Mas… nghhh…’’ Ini bukan yang pert
Perlahan namun pasti, Abi berbaring di sebelahku, namun… memunggungiku. Apakah aku sudah kelewatan?Rasanya sangat gelisah berpikir berlebihan, menduga benar tidaknya. Inikah yang namanya tersiksa? Tadi aku membuatnya begitu sekarang malah aku yang kena batunya.‘’Abi.’’ Memanggilnya dengan suara lirih. Sangat berharap Abi akan berbalik.Namun jangankan memutar badan, malahan tidak ada jawaban sama sekali. ‘’Bi.’’ Kali ini ku gerakkan lengan kekarnya. Juga beringsut mendekat. Hingga bisa melihat wajahnya dari samping. Dan ternyata…‘’Sudah tidur?’’ Aku benar-benar tak habis pikir.Matanya memejam dan napasnya juga sudah teratur. Aku menepuk jidat sangat tidak menduganya. Astaga, kalau begini, malah diriku yang tidak bisa tidur karena menahan penyesalan.Akhirnya aku pun mencoba beristirahat walau butuh agak lama. Iseng memandangi kamar baru yang menjadi tempat tinggalku kini. Terasa asing memang, namun semua butuh waktu beradaptasi. Tidak ada yang instan.Terkecuali kebencian pada Eg
Di saat aku mengangguk, Abi tersenyum lebar lalu tanganya menelusup ke dalam tengkuk. Memulai keintiman dengan ciuman. Mematik nafsu lewat belaian halus pada bahu.Bulu kudukku meremang. Aku tak pandai melakukan ini.Ku tundukkan kepala, menghindari pagutan yang sejak tadi tidak ku balas. Namun untuk yang kesekian kali, Abi mengangkat dagu membelai wajah ini mengikuti bentuk rahang khas seorang wanita. Lalu memberikan ciuman lembut yang baru ku rasakan nikmatnya.‘’Tatap aku, Sel. Aku berjanji tidak akan pernah memperlakukanmu dengan buruk. Akan aku buat kamu bahagia.’’Sejenak aku menatap mata Abi begitu dalam. Dia terlihat sungguh-sungguh. Aku ingin percaya namun tangannya yang ingin menurunkan utas tali baju tidurku, menyadarkan jika semua ucapan hanyalah bualan. Menggunakan berbagai cara demi mendapat yang diinginkan.‘’Abi… aku…’’Mata Abi membulat liar, saat bongkahan besarku berhasil dibuka. Namun aku menutupinya dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang satunya,‘’Abi!’’ Kud