Ada aroma alkohol tercium. Deru napas berat sarat akan hasrat. Aku bisa merasakannya dari cara Mas Ega melucuti pakaianku satu persatu.
Sepertinya, hari ini Mas Ega berhasil mendapatkan klien. Dan berhubungan intim adalah cara Mas Ega merayakan keberhasilan. Melerai ketegangan di antara kami sebelumnya.
Di dalam kamar gelap itu, aku menerima banyak kenikmatan dan hal-hal panas memabukkan jiwa. Ini tidak seperti Mas Ega. Bahkan ini lebih menggairahkan dibandingkan malam pertama.
Otot-otot kekarnya, lebar bahu yang membuatku candu untuk memeluknya, semua seperti tidak nyata. Sebab, aku baru tahu bila Mas Ega memiliki tubuh bagus nan berisi. Selain itu, banyak gerakan-gerakan baru yang membuat tubuhku bergetar syahdu.
‘’Mas…’’
Setiap aku memanggil namanya, Mas Ega melumat habis bibirku.
‘’Akh…’’
Setiap desahan terdengar, Mas Ega menggauliku seperti suami yang sudah lama tidak menyentuh istri.
Rasanya, aku bagai dibawa terbang ke langit tujuh bidadari.
Aku ingin melihat bagaimana suamiku itu memperlakukanku. Tapi diri begitu pemalu, sehingga dari sejak menikah, kami selalu bercinta dalam keadaan gelap gulita.
‘’Selin, kamu sangat menggairahkan,’’ bisik Mas Ega ketika aku berhasil membuatnya menggerung karena pelepasan yang entah sudah keberapa.
‘’Udahan yuk, Mas. Apa masih mau nambah lagi?’’ godaku karena berpikir pasti Mas Ega sudah tidak sanggup. Aku pun sudah sakit kepala karena efek minuman. Atau bisa jadi, karena aroma terapi yang masih saja dibiarkan menyala.
Namun ternyata aku salah. Mas Ega malah melanjutkan hingga aku dibuat kelelahan sampai tidak sadarkan diri.
Senyumku mengembang sempurna ketika terbangun keesokannya.
Pergumulan tadi malam, tidak bisa lepas dengan mudah sangking terlalu indah. Aku akan mengingatnya seumur hidup. Atau kalau perlu mengingatnya hingga mata ini menutup.
Tanganku bergerak, meraba-raba mencari tubuh Mas Ega di sebelahku. Aku ingin bermanja-manja walau selangkanganku masih terasa perih.
Tapi, hampir semenit aku mencari, tidak aku dapati Mas Ega di segala sisi tempat tidur. Sontak aku bangun dari tidur. Melihat ke arah jendela, ternyata matahari masih belum menampakkan sinarnya. Lalu kenapa Mas Ega tidak ada? Bukankan suamiku itu selalu bangun di jam tujuh pagi.
‘’Sekarang baru jam setengah enam,’’ kataku dengan suara khas orang bangun tidur.
‘’Apa Mas Ega pergi ke studio? Tapi masa iya sepagi ini?’’ pikirku seraya mengangkat bahu, bersikap masa bodoh.
Setelah melihat jam di tembok. Segera aku menyingkap selimut. Masuk ke dalam kamar mandi karena badan ini, sangat-sangat bau keringat.
‘’Mas Ega.’’ Aku jadi senyum-senyum sendiri.
Baru kali ini Mas Ega melakukannya sampai berkali-kali. Biasanya, Mas Ega hanya melakukan sekali. Setelah itu dia tertidur pulas seperti orang mati.
Mungkin karena pertengkaran tadi malam, Mas Ega merasa bersalah dan ingin membahagiakanku dengan cara seperti itu.
Aku pun berniat untuk membalasnya dengan memasak masakan yang beliau suka.
Selesai melakukan ritual setelah mandi, aku bersiap menunggu tukang sayur lewat di depan rumah. Dan ketika melewati garasi, aku lihat Mobil Mas Ega tidak ada. Berarti benar beliau pergi ke studio.
‘’Eh, Mbak Selin. Pagi-pagi rambutnya sudah basah sekali.’’ Tetangga sebelah rumah menyapa sambil membawa kantong belanja.
‘’Bu Retno,’’ sapaku meski tersipu malu. ‘’Mau belanja, Bu?’’
‘’Iya nih. Tukang sayur hari ini libur. Jadi terpaksa deh ke pasar.’’
Pantas saja suara khas tukang sayur komplek tidak terdengar sejak tadi. Jadi ku putuskan untuk ke pasar bersama Bu Retno.
‘’Mbak, Mas Ega banyak sekali mobilnya, ya? Tapi kenapa yang selalu dibawa ke rumah mobil sedan biasa?’’
Aktivitasku yang sedang memilih sayur jadi terjeda.
‘’Mas Ega hanya punya satu mobil kok, Bu. Nggak ada mobil lain. Sedan yang ibu maksud itu yang warna putih, kan?’’
‘’Iya yang putih. Tapi tadi malam, ada mobil sport warna hitam. Keren sekali. Suami saya sampai berdoa loh pengen punya yang seperti itu juga kaya Mas Ega.’’
Aku mencoba memahami penjelasan Bu Retno dengan mendengarkan secara penuh.
‘’Tadi malam saya pulang pagi buta karena habis ke luar kota. Terus nggak sengaja lihat Mas Ega sama temannya. Uh, temannya ganteng sekali, Mbak. Kalau tidak ingat suami sama anak-anak, mungkin saya sudah kepincut kali.’’
‘’Mana badannya bagus banget lagi. Berotot kekar kayak artis-artis india di film laga.’’
Menggelegarnya tawa Bu Retno seperti taburan jarum akupuntur yang menghambur ke seluruh tubuhku. Aku dibuat syok. Kaku tidak bisa bergerak, berkata maupun bicara.
‘’Tapi gak lama, mereka pergi lagi. Ada kali cuma beberapa jam di rumah. Eh, Mbak. Aku nggak mata-matain, ya. Jangan salah paham. Kebetulan, aku sama suami masih terjaga ketika mereka keluar.’’
‘’Mbak Sel… hussshh… mbak!’’ Tepukan kuat dari Bu Retno menyadarkanku dari lamunan.
‘’E-eh, iya, Bu. Gimana?’’
‘’Ya ampun, Mbak. Kamu mikirin apa, sih? Apa karena tadi malam abis ngelakuin yang hot-hot, ya?’’ Bu Retno tertawa geli.
‘’Maksudnya?’’
‘’Kita sudah sama-sama ibu-ibu rumah tangga. Saya sih maklum kalau Mbak Selin sama Mas Ega masih pengantin baru. Tapi suaranya jangan kenceng-kenceng banget dong. Kedengaran sampai ke sebelah tau!’’
Masih dengan tawa gelinya, lagi-lagi aku harus menyembunyikan rasa malu lewat senyuman. Jika Bu Retno saja bisa mendengar. Itu berarti, temannya Mas Ega pun turut mendengar suara-suara di dalam kamar.
Membayangkannya pipiku sudah kembali merona. Meski aku tidak tau siapa temannya Mas Ega itu.
‘’Ah, iya. Maaf ya, Bu,’’ lirihku. Wajahku sudah memerah, karena mengetahui hal ini dari tetanggaku sendiri. ‘’Oh, iya. Apa Mas Ega sering membawa teman-temannya yang lain selain yang tadi malam?’’
‘’Setau saya sih, enggak, Mbak. Baru kemarin malam saja. Mas Ega itu dikenal baik di lingkungan komplek. Makanya pas tau sudah menikah, banyak anak gadis di sini pada patah hati.’’
Aku tidak peduli sebaik apa Mas Ega di mata tetangga. Tapi bagiku, Mas Ega seperti pria-pria mencurigakan di setiap cerita yang pernah aku baca.
Sel, kamu di mana? Kok mas pulang kamu nggak ada?
Aku tidak berlama-lama di pasar ketika mendapat pesan dari Mas Ega.
Begitu sampai di depan gerbang, sedan putih sudah terparkir gagah di depan rumah.
‘’Selin, lain kali kalau pergi kabari mas. Jangan sampai mas nyari-nyariin kamu kayak tadi.’’ Tiba-tiba Mas Ega muncul dari balik pintu, membuatku langsung memperhatikan bentuk tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pria yang kini tengah memelukku seakan khawatir itu, membuat harga diriku seakan tidak ada artinya. Atau bisa jadi, hilang menyatu dengan debu jalanan.
Apakah karena aku berasal dari desa, karena itulah suamiku tega membagiku dengan pria asing?
Mas Ega, bukanlah orang yang membuatku bahagia ketika terbangun pagi ini. Dan itu adalah kenyataan pahitnya. Bentuk tubuh yang aku lihat dan rasakan sekarang, sangat jauh berbeda dengan lekuk tubuh pria yang ada di ranjangku tadi malam.
‘’Kamu dari mana, Cantik?’’Lepasnya pelukan Mas Ega, berikut kata-kata manisnya yang beracun itu, membuatku ingin sekali meninju wajahnya.Tapi aku tidak langsung lepas kendali. Aku memilih bersabar karena harus mencari tau dulu kebenaran tentang pria semalam.‘’Kamu pulang jam berapa tadi malam?’’ tanyaku tanpa mempedulikan pertanyaanya.‘’Mas tanya apa kamu malah jawab apa,’’ serunya kesal.‘’Tinggal jawab saja apa susahnya, sih, Mas?’’ geramku dibarengi tatapan tajam. Mas Ega memasang wajah penuh tanya. Karena, baru kali ini aku yang dikenal selalu bertutur kata lemah lembut, menggunakan intonasi berbeda.‘’Kemarin kamu sama siapa ke rumah?’’ tanyaku lagi. ‘’Maksud kamu?’’Aku sangat benci melihat Mas Ega memasang wajah lugu begini. Apa dia berpikir aku tidak tau apa-apa?‘’Semalam kamu tidur di mana?’’ ‘’Tidur di kamar. Bersamamu.’’Aku tidak percaya. Jelas-jelas, laki-laki di tempat tidurku itu bukan dia. ‘’Jangan bohongi aku, Mas. Aku tau tadi malam kamu tidak sendiri.’’‘’
Hari ini gerimis membungkus kota. Bulir hujan pun turun bagai tetesan air mata di teduhnya senja.Setelah melerai ketegangan dan kesalahpahaman di antara kami berdua, aku memutuskan untuk tidur sebentar sebelum menyiapkan makan malam.‘’Sel,’’ panggil Mas Ega, padahal aku sudah tidak kuat membuka mata.‘’Hm?’’‘’Tiga puluh menit lagi kita pergi. Kamu siap-siap.’’Kutemukan Mas Ega tengah berkutat dengan ponsel ketika mata ini ku paksa untuk terbuka. ‘’Kemana? Aku mager, Mas,’’ kataku, malas. Besar harapan agar Mas Ega memaklumi ketidak inginan ku untuk beranjak dari empuknya pulau kapuk. Namun tampaknya, Mas Ega tidak mau menerima alasan apapun bila melihat dari lirikannya yang setajam belati itu.Sebenarnya, aku lelah sekali setelah menghabiskan aktivitas suami istri kemarin malam. Remuk badan dan sakit pinggang, baru terasa sekarang.‘’Pak Abi mengundang kita ke acara ulang tahunnya. Kamu harus dandan yang cantik pokoknya. Aku sudah menyiapkan gaun di lemari. Jadi, kamu tinggal pa
Setengah jam seperti yang diperintahkan, aku sudah berdiri di samping mobil putih yang pernah menyambangi rumah sederhana milik orang tuaku. Sekaligus membuat heboh warga desa.Sedikit orang yang memiliki kendaraan roda empat di tempatku, sehingga menganggap, siapapun yang memiliki benda besi ini, dianggap kaya dan berkelimpahan harta.‘’Selin.’’Di tengah asik menunggu Mas Ega selesai memakai baju, tiba-tiba seseorang memanggil namaku.Keningku langsung berkerut rapat, setelah melihat sosok yang membuat seluruh tubuhku berputar seratus delapan puluh derajat.‘’Bu Retno?’’
‘’Astaga!’’Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku bisa di sini? Kemana perginya Pak Abi? Apa Mas Ega yang melakukan ini?Beruntun pertanyaan di kepala tapi tidak ada jawabannya.Berulang kali kepala ini melihat kesana kemari, tetap tidak ada siapapun ku jumpai.Byur!Terdengar suara dari kamar mandi. Seseorang menekan flush kloset. Tak lama kemudian, gemericik dari shower yang dihidupkan.‘’Mas?’’ teriakku sambil turun dari tempat tidur. Memungut gaun berikut dalaman dengan hati cemas.Se
Bukan melabrak atau melayangkan pukulan pada Mas Ega, aku memilih membalikkan badan menjauhi keduanya.Mencari tempat sepi karena Mas Ega dan Ana sudah masuk ke dalam sebuah kamar.Seketika terduduk lemah, meratapi kebodohan juga kenyataan pahit ini. Aku langsung teringat akan bapak.Seharusnya aku menurutinya dan tidak termakan bujuk rayu Mas Ega dan juga ibu. Andai saja aku mendengarkan bapak waktu itu. Semua ini pasti tidak akan terjadi.Aku tidak sanggup, bila harus bercerita bahwa suamiku menjajakanku pada pria hidung belang selama ini.Ternyata benar apa kata Mbak Ros dan juga Bu Retno.
‘’Seharusnya aku lihat apa, Mas?’’ kataku. Dengan tubuh gemetar menahan emosi.. ‘’Eh,’’ Mas Ega tampak salah tingkah. Menggaruk kepala yang tidak gatal di mana aku ingin sekali menghantam kepala yang menyimpan banyak ide jahat itu. ‘’Maksudku, kamu ngapain di sini? Terus tadi sama Pak Abi bahas apa saja?’’ kilahnya agar aku tidak curiga. ‘’Kamu dulu deh, Mas. Waktu mau pakai ruangan beliau, kamu gunakan bahasa apa sampai bisa diizinin?’’ Lagi. Mas Ega kembali menggaruk kepala. Namun kali ini disertai seringai bangga. Membuat tanganku mengepal tegang karena bisa-bisanya dia tak merasa bersalah sudah melakukan hal keji padahal kami berstatus suami istri. ‘’Kamu gak perlu tahu. Yang jelas, aku dan Pak Abi sudah seperti teman akrab. Ya, kamu tau kan maksudku? Kayak, milikku adalah milik beliau. Begitu pula sebaliknya. Kami saling menguntungkan intinya.’’ Kurang ajar! Aku benar-benar geram. Bedebah sekali menganggapku layaknya barang. ‘’Terkecuali kamu!’’ imbuhnya karena mendapati
‘’Sel, kamu jangan bilang Ega, ya. Jangan bilang kalau kamu tahu dari aku.’’Lagi-lagi kata-kata itu terlontar.Binar takut di mata Mbak Ros, menyiratkan betapa menakutkannya sosok Mas Ega bagi penata rias di depanku ini.‘’Memangnya kenapa kalau Mas Ega tahu, Mbak?’’‘’Aku nggak mau terdepak dari studionya Ega. Aku butuh uang.’’Jika membahas faktor ekonomi, siapapun tidak berdaya dibuatnya. Uang membuat semua orang lupa diri. Berkorban bahkan tega mendagangkan istri.‘’Kamu jangan khawatir, Mbak. Tapi aku butuh informasi tentang Mas Ega lebih banyak. Kamu bisa bantu aku kan, Mbak?’’ pintaku penuh harap.Sejenak lengang, akhirnya hatiku lega ketika Mbak Ros mengangguk setuju.‘’Ega itu sangat mencintai istri pertamanya, Sel. Yang mbak tau, istrinya itu sakit keras.’’‘’Apa mbak pernah bertemu dengannya?’’‘’Pernah. Namanya Dian.’’Uhuk!Tiba-tiba saja Mbak Ros terbatuk sampai memegangi dada. ‘’Mbak… mbak sakit?’’ Cukup sering bertatap muka, baru kali ini ku lihat Mbak Ros terlihat k
Terang-terangan memberontak. Sengaja ingin melihat, seperti apa Mas Ega sebenarnya. Semenakutkan apa sehingga Mbak Ros berulang kali memastikan, agar aku tidak buka suara bahwa dialah pengungkap belang Mas Ega.‘’Sel!’’ serunya seraya mencekal tanganku. Namun Selin yang sekarang bukan Selin satu, dua atau beberapa hari lalu. Sehingga dengan tegas ku sentak cekalan tersebut hingga terlepas.Mata Mas Ega melotot. Besar seperti burung hantu. Kaget akan perlawananku.‘’Jangan maksa, Mas. Aku capek!’’Kini tak kalah kaget hingga terperangah. Karena aku menyentaknya balik. Ku lirik Mbak Ros di ambang pintu. Beliau memilih pergi. Mungkin karena tak ingin disalahkan atau jadi bahan pelampiasan.‘’Sel, kamu harus bersikap profesional. Gimana mau jadi model berkelas kalau baru lelah sedikit saja kamu mengeluh capek.’’ Terang saja nafas ini menggebu-gebu. Dadaku naik turun akibat tersulut emosi. Begitu pula dengan Mas Ega.Bisa-bisanya dia membahas profesionalisme di saat yang sebenarnya beke