Valeria berjalan-jalan di lorong rumah sakit. Ada perasaan lega setelah melakukan sesi konseling dengan Grace.
Langkah kaki Valeria kini sampai di halaman rumah sakit. Rumput hijau dan juga udara yang segar membawa ketenangan tersendiri untuk Valeria.
Sebuah bola tiba-tiba menggelinding sampai di kaki Valeria. Perempuan itu segera mengambilnya, lalu datang bocah berumur 3 tahun menghampirinya.
"Aunty, itu bolaku," ucapnya.
Dengan senyuman kecilnya, Valeria memberikan bola itu kepadanya.
"William! Ah, maafkan anak saya Nyonya. Dia sangat aktif dan nakal sekali," kata seorang wanita muda yang baru saja menghampiri mereka. Dia mengenakan baju pasien dan menggendong bayi di pelukannya. "William, minta maaf ke Aunty," bisiknya.
Valeria tak mempermasalahkan itu, lagipula dia tidak melukai Valeria. Justru kini tatapan mata Valeria menatap nanar bayi yang ada di gendongan sang wanita itu.
Hati Valeria terasa teriris. Dia sangat merindukan Nolen-putranya. Andai jika Nolen masih ada, Valeria tidak akan seburuk ini.
"Nolen ...," gumam Valeria.
"Ya? Ah, saya minta maaf Nyonya. Ayo William, kita pergi." Wanita itu melangkah menjauh karena merasa Valeria sangat aneh.
Mata Valeria semakin nanar menatap punggung mereka. Tangannya menggapai udara seolah meraih sesuatu yang tak pernah terlihat.
Air mata Valeria meluruh membasahi pipinya. Isak tangisnya tak terdengar lagi.
Rasa rindu yang menyakitkan mulai menggerogoti Valeria. Membuat dunianya kembali gelap.
Dia merasakan napasnya menjadi sesak, matanya mulai berkunang-kunang. Tubuhnya juga gemetar tanpa bisa dicegah.
Rasa sakit menusuk dada Valeria, membuatnya tak sengaja menarik baju seseorang yang baru saja menyenggol bahu Valeria pelan. Valeria melorot ke bawah sambil memegangi dadanya.
"Sakit sekali," gumam Valeria dengan air mata membasahi pipinya sambil meremas lengan orang tersebut.
"Tuan Salvatore," ujar sang ajudan dengan cepat. Dia hendak menyingkirkan Valeria yang dirasa kurang ajar.
Pria berjas itu mengangkat tangannya memberikan isyarat. Membuat sang ajudan menghentikan langkahnya.
Valeria tenggelam dengan rasa sakit dan sesak napas yang menyiksanya. Membuat Valeria tak tahu lagi apa yang sedang dia lakukan.
"Ukh! Tolong aku," gumam Valeria.
Remasan kuat tangan Valeria di lengan pria itu seolah membuktikan jika Valeria benar-benar tersiksa.
Sang ajudan yang berada di belakang tubuh pria tersebut mulai khawatir. Bukan mengkhawatirkan Valeria, melainkan khawatir jika sang majikannya akan marah dengan kejadian ini.
Kepala Valeria berdenging membuatnya tuli. Pandangan matanya semakin buram.
Hanya rasa hangat dari genggaman tangan seseorang yang bisa Valeria rasakan. Tepukan pelan di punggung Valeria juga terasa sangat nyaman.
"Tenangkan dirimu, lalu tarik napas pelan."
Suara berat sekaligus menyejukkan di telinga Valeria itu mulai berbisik lirih di sampingnya.
Valeria seolah terhipnotis dan menjadi sedikit tenang meskipun kini dia terlihat berantakan.
"Bagus, tarik napas pelan-pelan. Semuanya akan baik-baik saja"
Perlahan oksigen mulai memenuhi paru-paru Valeria. Namun, justru kepalanya terasa amat berat.
Valeria mendongak, ingin menatap siapa sebenarnya pria yang berlutut di hadapannya.
Pandangan Valeria sangat kabur solah ada kabut asap yang menyelimutinya. Hanya ada bayangan pria dengan rahang tegas, bibir tipis, sedang menatapnya.
Sampai kegelapan menelan Valeria. Dia benar-benar tak bisa melihat dengan jelas wajah pria itu.
Valeria jatuh pingsan, tapi pria tersebut dengan segera memegangi kepala Valeria agar tidak terjatuh ke atas rumput.
"Criss!"
Sang ajudan segera datang di sampingnya.
"Ya, Tuan?"
"Panggil perawat," perintahnya.
"Baik."
Langkah kakinya segera pergi, tak mau menunggu lebih lama lagi.
Pria itu memandangi wajah Valeria yang terlihat tembam di matanya.
"Aku seperti pernah melihatmu, tapi ..., dimana?"
Sudah beberapa hari berlalu sejak Valeria pingsan di taman rumah sakit. Waktu berlalu begitu lambat, seolah menyiksa setiap detik yang dilalui tanpa kehadiran Nolen. Tapi, hari ini berbeda. Ada perasaan aneh yang menggelayut di benaknya sejak pagi, seolah-olah angin membawa kabar buruk yang tak dapat dia tolak.Di ruang tamu rumahnya yang sepi, Valeria duduk termenung, matanya kosong menatap keluar jendela. Tiba-tiba, teleponnya berdering, memecah keheningan. Sebuah nomor yang asing bagi Valeria telah mengirimkan sebuah file kepadanya.Wajah bingung Valeria kini menghiasai pantulan bayangannya di layar ponsel itu. Dengan sedikit ragu, Valeria membuka file tersebut yang ternyata adalah sebuah vedeo.Vedeo berputar menujukkan dimana sebuah tempat yang tampak tidak asing bagi Valeria. Ya, itu adalah rekaman CCTV di rumah Ricci, Valeria paham betul karena dia sering ke dapur saat masih tinggal di sana.Valeria masih tidak menyadari sesuatu, hanya ada seorang
Salvatore keluar dari mobil, diikuti oleh dua pria berjas hitam yang selalu setia di sisinya. Matanya menyapu sekeliling, menilai dengan dingin kerumunan yang mengantri untuk masuk. Mereka tidak perlu mengantri. Satu anggukan dari Salvatore, dan penjaga pintu segera membuka jalan, membiarkan mereka melangkah melewati kerumunan yang mendadak terdiam.Begitu mereka memasuki klub, Salvatore merasakan perubahan atmosfer yang langsung menghantam indra. Musik yang menggetarkan lantai, lampu-lampu berwarna yang berputar, dan keramaian yang bergerak seolah-olah tanpa aturan. Di bawah cahaya yang redup, wajah-wajah tampak kabur, dipenuhi oleh kebebasan dan kegilaan malam.Namun, tujuan Salvatore sudah jelas. Mereka tidak berhenti di lantai dansa. Tanpa sepatah kata, pria-pria di belakangnya mengiringi langkahnya menuju tangga menuju lantai atas, di mana ruangan VIP menanti. Di puncak tangga, seorang pelayan yang berpakaian rapi membungkuk dalam-dalam. "Selamat malam, Tuan Salvatore. Ruangan A
"Kau dengar? CEO Morreti Club yang baru akan datang hari ini.""Ya, aku dengar itu. Aku juga dengar, anak dari keluarga Morreti yang akan menjadi CEO.""Bagaimana bisa? Bukankah keluarga Morreti sudah bangkrut selama beberapa tahun terakhir? Mereka sudah menjual saham mereka ke orang lain.""Aku dengar kabar, kalau mereka cuma pura-pura bangkrut. Jika tidak, perusahaan Morreti ini bukankah sudah lama berganti nama? Nyatanya tidak."Tak lama sebuah suara langkah kaki masuk ke dalam ruang rapat tersebut yang membuat mereka semua terdiam. Seorang wanita cantik, tinggi langsing dan tentunya sangat menawan membuat mereka terpana."Selamat siang semuanya," kata Valeria yang kini berdiri di depan mereka semua.Sebelas bulan lamanya sejak kematian sang buah hati, Valeria kini terlihat benar-benar sangat berbeda dari sebelumnya. Mereka mempertanyakan siapa wanita cantik itu sebenarnya.Karena selama ini berita tentang keluarga Morreti benar-benar bagai tenggelam didasar bumi. Tidak ada satupun
"Sayang, nanti jadi kan makan malam?"Margareta mengusap dada Julian yang sedang duduk di kursi kerjanya dengan menggoda."Boleh, kamu mau makan di restoran mana? Aku akan pesankan satu restoran untukmu malam ini," kata Julian mengambil tangan Margareta lalu mengecupnya.Tanpa perlu menunggu lama, Julian sudah membawa Margareta ke dalam pangkuannya. Tangannya menelusup ke balik rok pendek milik Margareta."Tapi, sebelum makan malam, bukankah kamu harus memberikan sesuatu kepadaku terlebih dahulu?" bisik Julian di telinga Margareta sambil menyeringai."Mau di sini?" tantangnya."Boleh saja, aku sudah tidak tahan melihatmu beberapa hari terakhir ini."Julian langsung menarik tengkuk Margareta dan mencium bibirnya. Lidah Julian langsung menerobos masuk ke dalam mulut Margareta dan disambut oleh perempuan itu.Keduanya saling bertukar saliva di atas kursi kerja Julian. Cumbuan mereka semakin panas, sampai Julian dengan sengaja mena
Gemerlap cahaya lampu malam ini terlihat sangat indah. Pesta penyambutan Valeria sebagai CEO digelar megah di hotel bintang lima milik Morreti Club.Tidak hanya itu, hampir semua pengusaha di seluruh Italia juga hadir malam ini. Berbagai orang-orang penting di kota juga datang untuk memberikan Valeria selamat."Sepertinya dia tidak datang?" bisik Anna di samping Valeria."Kita lihat saja, lagipula dia harus lihat diriku yang sekarang," balas Valeria.Wanita cantik itu kini tengah menikmati Wine di tangannya. Gaun panjang berwarna ungu tua dengan belahan dada rendah dan punggung terbuka membuatnya sangat menawan. Belum lagi rambut yang disanggul ke atas memperlihatkan leher jenjangnya yang mulus.Valeria ingin membuktikan kepada Julian jika dia telah membuat keputusan yang salah karena membuangnya. Mulai hari ini, Valeria pastikan akan membuat semua keluarga Ricci hancur di tangannya.Karena RC Group juga sangat berpengaruh, Valeria bersiasat untuk mengambil hati pebisnis lain agar bisa
Valeria menggerutu kesal sambil berjalan ke sisi lain dari pesta. Dia kesal melihat Julian yang memperlakukannya dengan seenaknya sendiri.Dia sendiri tak menyangka jika Julian akan lebih agresif dari biasanya."Siapa pria tadi? Jika aku membuat masalah dengannya, itu juga tidak akan baik," gumam Valeria.Dia mengingat pria yang baru saja diguyur minuman olehnya. Pria itu langsung pergi begitu saja sebelum Valeria meminta maaf. Hal itu membuat Valeria sendiri tak enak jadinya."Kak Val!"Teriakan itu membuat Valeria menoleh ke arah sumber suara. Hatinya menjadi bergemuruh dan darahnya mendidih saat melihat perempuan cantik yang ada di sana.Sofia, dia tengah tersenyum ke arah Valeria dan berjalan menghampirinya. Tangan Valeria menggenggam kuat. Rasa sakit di hatinya menjalar ke seluruh tubuh.Valeria masih ingat jelas senyuman manis itu selalu menyambutnya dimanapun dia berada. Hanya Sofia yang selalu tersenyum untuk Valeria di keluarga Ricci. Hanya Sofia-lah juga yang bisa Valeria per
Pintu rumah keluarga Morreti terbuka lebar. Valeria dan kedua orang tuanya masuk ke dalam rumah tersebut. Jam menunjukan hari sudah sangat larut, mereka baru saja pulang dari pesta."Ahaha, aku puas sekali melihat wajah malu mereka," kelakar Elena menggema di seluruh ruangan."Mom, jangan tertawa keras-keras." Lorenzo memegangi bahu istrinya."Kenapa? Lagipula ini rumah kita sendiri. Terserah aku mau teriak atau menangis sepuasnya. Ya kan, Honey?"Valeria menggelengkan kepala melihat tingkah ibunya. Namun, tak dipungkiri, jika mereka memang senang melihat rasa malu yang didapatkan keluarga Ricci."Apa rencanamu selanjutnya? Mereka tidak akan diam saja dengan apa yang terjadi hari ini," kata Lorenzo kepada sang putri semata wayangnya.Valeria menyeringai. "Aku tau, setelah ini aku akan gagalkan proyek mereka. Biar mereka secara terang-terangan merasakan seranganku. Aku juga tidak peduli jika mereka bergerak menyerang balik."Lorenzo mengangguk-angguk mengerti. "Apapun yang kau lakukan,
"Jangan cerewet, Morgan. Pergi ke supermarket tidak akan membuatku terbunuh," kata Valeria.Mobil hitam miliknya kini terparkir sempurna di halaman supermarket."Harusnya kamu bilang kepadaku jika memerlukan sesuatu." Morgan terlihat mengomel dibalik telepon."Aku perlu pembalut, kamu mau beli?" Valeria tertawa membayangkan hal itu. Mana mungkin Morgan mau."Tentu saja, apapun itu aku bisa belikan untukmu."Valeria tersedak ludahnya sendiri saat mendengar jawaban Morgan. "Ah, sudahlah. Aku tidak mau bicara lagi sama kamu."Terdengar nada telepon terputus, tentunya Valeria yang melakukakan itu. Dia langsung turun dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam supermarket.Celana training hitam dengan kaos oversize warna putih membuat Valeria tak terlihat seperti orang kaya. Justru dia terlihat seperti remaja sekolah menengah yang baru saja selesai melakukan peregangan.Beberapa anak kecil memandangi Valeria dari kejauhan. Wanita itu tak peduli dengan sekitarnya dan fokus memilih barang-bara
Marvelion terlihat masuk ke sebuah apartemen sederhana. Dia seperti tahu benar dengan kata sandi apartemen itu. Saat pintu itu terbuka, Marvelion langsung masuk ke dalam sana. Mona terkejut akan hal itu. Perempuan yang kini mengenakan celana pendek dan kaos oblong putih serta rambut di cepol asal ke atas itu sedang makan eskrim di atas sofa sambil menonton televisi."Kau- apa yang kau lakukan di sini malam-malam?"Marvelion tak menanggapi itu dan langkah kakinya semakin mendekat dengan cepat. Kini dia sudah menunduk dan mengungkungi Mona sangan kedua tangannya berada di sisi kepala Mona."Apa kau ..., butuh sesuatu?""Ya, aku membutuhkanmu."Marvelion mengambil eskrim di tangan Mona dan menaruhnya di atas meja. Dia langsung menarik tengkuk Mona dan langsung menciumnya. Mona terkejut beberapa saat tapi justru membalas ciuman itu.Dengan cepat dan buru-buru, Marvelion langsung menyingkap kaos Mona ke atas. Lekukkan tubuh indah itu langsung terpampang di depan Marvelion dengan dada yang
Pagi itu, di ruang rapat keluarga Morreti yang megah namun tetap hangat, suasana terasa serius. Lorenzo Morreti, pendiri sekaligus kepala keluarga, duduk di ujung meja besar, didampingi oleh adiknya, Roberto Morreti, serta Giulia Morreti, istri Roberto. Valeria, yang duduk di samping ayahnya, terlihat tenang. Di ujung lain meja, Salvatore duduk dengan aura percaya diri yang begitu dominan, sementara Morgan berdiri tak jauh dari meja, siap memberikan dukungan kapan saja diperlukan.“Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk bertemu.”Salvatore membuka pembicaraan dengan suara tenang namun tegas. Pandangannya menyapu seluruh ruangan, memastikan bahwa setiap orang memperhatikan.“Saya meminta pertemuan ini bukan untuk mencampuri urusan internal keluarga Morreti, tapi karena saya memiliki rencana yang ingin saya sampaikan secara terbuka, terutama menyangkut situasi saham di Morreti Club.”Lorenzo mengangguk pelan, memberi isyarat agar Salvatore melanjutkan. “Kami semua sudah mendengar ten
Sofia akhirnya kembali menduduki posisi CEO di RC Group, sementara Julian, yang selama ini berada di belakang layar, diangkat menjadi direktur utama. Perubahan besar ini tidak terlepas dari campur tangan Alessio, yang diam-diam memberikan dukungan penuh kepada kedua bersaudara itu. Dengan pengaruh dan sumber daya yang Alessio miliki, Sofia dan Julian berhasil merebut kembali kendali atas perusahaan yang hampir jatuh.Giovani Ricci, ayah mereka sekaligus pendiri RC Group, menyaksikan semua ini tanpa memberikan banyak penolakan. Meski dia tahu ada yang tidak beres dalam hubungan antara anak-anaknya dan Alessio, Giovani lebih memilih untuk menutup mata. Baginya, selama Ricci Group tetap bertahan dan tidak hancur, apa pun yang dilakukan Sofia dan Julian bisa dianggap sebagai pengorbanan demi keluarga.Namun, di balik layar, ada banyak yang dipertaruhkan. Alessio tidak membantu mereka secara cuma-cuma. Sebagai gantinya, Sofia dan Julian harus memberikan janji-janji yang besar, termasuk ber
Setelah dari kantor, Salvatore membawa Valeria ke rumahnya. Meskipun Valeria sempat ragu untuk pergi karena kondisi di Morreti Club masih kacau, Salvatore bersikeras agar dia ikut. Jika tidak maka dia akan benar-benar dimakan Salvatore di sana. "Kau sudah terlalu lelah hari ini. Aku akan memastikan kau istirahat dengan benar," ucap Salvatore dengan nada tegas namun lembut. Setibanya di rumah Salvatore, suasana berubah menjadi lebih tenang. Valeria sedikit terkejut ketika menyadari Salvatore langsung menuju dapur dan mulai menyiapkan makan malam sendiri. Dia menolak bantuan dari pelayan rumahnya, ingin menunjukkan bahwa kali ini dia sendiri yang akan melayani Valeria. Di meja makan, Salvatore menyajikan makanan yang sederhana namun penuh perhatian. Pasta buatan tangan, salad segar, dan segelas anggur terbaik dari koleksinya. Valeria duduk di kursi dengan tubuh yang lemas, tapi hatinya hangat melihat usaha Salvatore untuknya. "Makanlah," kata Salvatore dengan nada lembut, menatap
Valeria terkejut saat Salvatore tiba-tiba saja menarik tubuh rampingnya itu ke atas meja. "Hei! Apa yang- Umh!"Salvatore langsung membungkam mulut Valeria dengan bibirnya. Dia melumat bibir mungil itu. Tangannya meremas pinggang Valeria dengan kuat sedangkan yang lain menekan tengkuk Valeria."Ungh!"Valeria reflek berpegangan di dada bidang Salvatore saat pria itu dengan keras menjejalkan lidahnya ke rongga mulut Valeria. Dia bisa merasakan emosi Salvatore dari lumatannya yang terasa mendominasi dan tidak mengijinkan Valeria bernapas."Sal-"Salvatore tetap tidak membiarkan Valeria berbicara. Lumatannya semakin dalam dan dalam lagi mengobrak-abrik mulut Valeria. Tangan yang bertengger di pinggang Valeria kini turun ke paha mulus Valeria. Dengan pelan tangan Salvatore sudah masuk ke dalam rok hitam ketat itu."Ugh! Salvatore apa yang kau lakukan?" Valeria menghirup napas banyak-banyak saat Salvatore melepaskan ciumannya dan kini beralih ke leher jenjang Valeria. "Salvatore!"Pria itu
Tak lama setelah pertemuan yang penuh ketegangan itu, Morgan kembali ke kantor dengan wajah serius. Dia segera menemui Valeria di ruang kerjanya, membawa kabar yang cukup mengejutkan."Valeria," kata Morgan dengan nada hati-hati, "aku baru saja menemukan sesuatu yang mencurigakan. Ternyata ada kebocoran informasi dari dalam perusahaan. Seseorang dengan sengaja mengutak-atik data yang ada di sistem kita, membuat beberapa informasi jadi tidak relevan, bahkan mengalihkan beberapa saham. Ini jelas sebuah sabotase."Valeria terdiam mendengarnya. Matanya yang tajam langsung memandang layar komputer yang menampilkan laporan yang sudah diperiksa ulang oleh Morgan. Segera, dia menghubungkan kejadian ini dengan sesuatu yang sudah terlewatkan dari pikirannya selama ini."Marvelion ...," gumam Valeria pelan.Nama itu kembali muncul di benaknya, seperti kilatan cahaya yang menyadarkan dia akan sesuatu yang selama ini terlewatkan. Marvelion adalah pria yang beberapa bulan lalu diam-diam masuk ke Mo
Keesokan paginya, suasana di kantor Morreti Club berubah menjadi kacau balau. Para karyawan saling berbisik di depan layar komputer mereka yang menampilkan grafik saham perusahaan yang anjlok tajam. Sebagian besar dari mereka terlihat panik karena nilai saham Morreti Club turun hingga 25% dalam waktu semalam, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.Valeria melangkah masuk ke kantor dengan anggun, mengenakan setelan krem formal yang memancarkan aura otoritas. Morgan, yang selalu berada di sisinya, membawa tablet berisi data terbaru mengenai situasi saham. Meskipun suasana di luar begitu tegang, Valeria tetap terlihat tenang.Di ruang rapat, para petinggi perusahaan sudah menunggu dengan wajah cemas. Mereka segera berdiri menyambut Valeria, tetapi rasa panik jelas terlihat dari bahasa tubuh mereka."Morgan, jelaskan," ucap Valeria dengan nada tegas begitu ia duduk di kursinya.Morgan segera menghubungkan tabletnya ke layar proyektor, menampilkan data yang dia kumpulkan sejak pagi.
Sore itu, langit di atas Milan tampak memerah, menandakan malam akan segera tiba. Salvatore memegang tangan Valeria dengan lembut, membantunya turun dari mobil sport hitamnya yang mengilap. Valeria tersenyum tipis, merasa hatinya masih hangat setelah semua kejutan romantis yang diberikan Salvatore di Danau Como.Namun, begitu ia melangkah masuk ke halaman rumahnya, langkah Valeria terhenti tiba-tiba. Di depan pintu berdiri seorang pria yang tidak asing baginya. Pria dengan setelan jas rapi, rambut cokelat gelap yang tersisir sempurna, dan ekspresi serius namun menenangkan."Morgan?" Valeria mengucapkan nama itu dengan nada penuh keheranan sekaligus keterkejutan. Dia merasa seperti melihat hantu. Sekretaris sekaligus asistennya yang sudah lama absen, akhirnya kembali.Morgan menoleh, dan wajahnya yang biasanya kaku berubah menjadi senyum hangat. "Valeria," sapanya formal namun penuh keakraban. "Aku sudah kembali."Mata Valeria membelalak, dan tanpa ragu, dia melangkah cepat mendekat, m
Keesokan paginya, sinar matahari lembut yang masuk melalui jendela kapal membangunkan Salvatore. Dia membuka matanya dan mendapati Valeria masih terlelap di pelukannya, wajahnya terlihat damai, dengan rambut yang sedikit berantakan namun tetap mempesona. Salvatore menatapnya penuh kasih, mengusap pipinya perlahan, takut membangunkan wanita yang kini menjadi bagian penting dalam hidupnya.Namun, saat Salvatore mencoba bergerak, Valeria mengerang pelan, membuka matanya perlahan, dan menatapnya dengan mata yang masih mengantuk. Valeria mengeratkan pelukannya di bawah selimut. tubuh telanjang mereka berdua terasa hangat saat saling bersentuhan."Sudah bangun, hm?" Salvatore mengusap-usap kepala Valeria dengan lembut.Valeria mengangguk. "Aku ingin cuti hari ini, aku tidak mau pulang dulu," bisik Valeria hampir tak terdengar.Salvatore menyeringai. "Kenapa? Kau merasa tidak bisa berjalan, huh?" Suaranya terdengar sangat puas."Salvatore …, kau terlalu berlebihan semalam," gumamnya dengan s