"Ah! Julian, jangan sekarang. Kita masih di kantor."Tangannya terhenti saat membuka gagang pintu ruangan Julian–suaminya. Senyum Valeria yang sudah terpancar sejak tadi pun langsung kandas usai mendengar kalimat itu.Jantungnya berdetak kencang mendengar sebuah suara dari dalam ruangan Julian."Siapa suruh kamu pakai pakaian seksi hari ini.""Ahh! Julian, no!"Valeria membungkam mulutnya, tak percaya. Suara yang dia dengar sangatlah tidak asing. Itu benar suara Julian, dan perempuan itu, Valeria seperti mengenalinya. “Tapi, tidak mungkin….” Valeria mencoba tak mempercayai dugaanya, dia ingin memastikan jika semua itu tidaklah nyata.Dengan tangan bergetar dan air mata yang hampir menetes, Valeria membuka pintu dengan cepat. Hal yang tak pernah Valeria duga sebelumnya, dia melihat suaminya bercinta dengan sekretarisnya sendiri. Julian tampak belum menyadari kehadiran Valeria, dia masih sibuk menenggelamkan wajahnya di kedua kaki mulus Margareta. Perempuan seumuran Valeria itu tengah
"Nyonya sudah pulang?"Seorang pelayan yang tadi pagi Valeria titipkan anaknya–Nolen langsung menyambutnya kala dia memasuki kamar. Gegas Valeria mengusap air matanya. "Ya, terimakasih sudah menjaga Nolen. Kamu bisa mengerjakan pekerjaan kamu yang lain.""Baik Nyonya." Pelayan itu menunduk lalu pergi dari sana.Valeria kemudian menghampiri sang anak yang tengah tertidur di ranjangnya."Sayang, maafin Mommy, ya. Seharunya kamu mendapatkan kehidupan yang bahagia, karena itu cita-cita Mommy untuk kamu. Sayangnya, mulai sekarang Nolen harus bahagia bersama Mommy aja ya," bisik Valeria dengan air mata berlinang.Setelah mengecup kening Nolen, Valeria langsung beranjak dari tempatnya. Dia mengambil koper dan memasukkan beberapa barang-barang Nolen kedalam koper tersebut. Valeria sudah memantapkan hati, dia akan pergi dari rumah ini dan tidak akan membiarkan Julian mengambil Nolen.Valeria mengambil Nolen dan menggendongnya sambil menyeret sebuah koper. Dia beruntung, karena saat itu rumah
"Nolen!" teriak Valeria yang langsung terbangun.Tatapan mata sayu itu menoleh ke sekeliling. Bau antiseptik menyengat hidungnya, kepalanya juga sangat pusing. Valeria sadar, dia tak seharusnya di sini. Dia harus menemui bayinya.Dengan cepat Valeria mencabut infus yang menancap di tangannya, membuat bercak darah mengalir membasahi lantai. Valeria menyingkap selimut dan langsung turun dari ranjang rumah sakit.Seperti orang yang hilang akal, Valeria pergi ke ruangan dimana dia meninggalkan Nolen di sana. Saat Valeria masuk ke dalam ruangan itu, Julian, kedua mertuanya–Giovani, Isabella dan juga Sofia, iparnya sudah berada di ruangan itu. Mereka menatap sebuah tubuh mungil yang membiru di atas ranjang."No-nolen," gumam Valeria saat melihat tubuh bayinya kaku.Mereka semua langsung menoleh kearah Valeria. Julian tampak menatapnya tajam. Dengan penuh kemarahan Isabella menghampiri Valeria lalu menampar keras pipi Valeria."Kurang ajar! Kamu sudah membunuh cucuku!" teriak Isabella di dep
“Morgan, kenapa membawaku ke sini?”Valeria bertanya-tanya kenapa Morgan membawanya ke rumah lama keluarga Morreti. Beberapa tahun yang lalu rumah itu sudah disita bank saat keluarga Morreti bangkrut.Mobil hitam mewah itu memasuki halaman rumah yang sangat luas. Rumah megah bak istana itu juga terlihat masih sama dengan polesan batu marmer di setiap sudutnya. "Silahkan, Valeria," kata pria 8 tahun lebih tua itu. Morgan membukakan pintu mobil untuk Valeria yang masih terlihat bingung. Morgan mengarahkan lengannya, "Tuan besar akan menjelaskan semuanya."Valeria melingkarkan tangannya di lengan Morgan. Mereka berdua masuk kedalam rumah besar tersebut. Semuanya masih sama bagi Valeria, suasana rumah tersebut membawakan kenangan lama Valeria. Dulu di rumah itu Valeria menghabiskan masa kecil dan remajanya dengan menjadi anak nakal dan manja.Morgan membawa Valeria ke sebuah ruangan yang dia tahu ruangan itu adalah tempat keluarga besarnya berkumpul. Saat pintu besar itu terbuka semua ora
"TIDAK! JANGAN!" Valeria berteriak dengan peluh membasahi dahinya. Tubuhnya seketika terduduk di atas kasur empuk yang sudah beberapa minggu ini menampung air matanya.Mata Valeria melihat ke sekeliling dan mendapati kamarnya masih sama. Helaan napas berat keluar dari mulutnya, dia hanya bermimpi. Mimpi yang sangat buruk. Rasa sesak di dada Valeria membuatnya menangis tersedu-sedu. Lagi-lagi rasa sakit hatinya masih menjalar sangat dalam di hati Valeria.Tok! Tok!Suara ketukan pintu diikuti perkataan seorang pelayan di depan kamarnya membuat Valeria menghapus air mata."Nona Valeria, Nyonya besar sudah menunggu di bawah."Dengan suara parau, dia mencoba menyahut, "Setengah jam lagi aku akan turun." "Baik Nona."Valeria turun dari ranjangnya, gegas dia langsung masuk ke dalam kamar mandi. Meskipun tubuhnya terasa lemah dan tak berdaya, Valeria memaksakan untuk turun dari ranjang. Setelah pulang ke rumah, sudah hampir tiga minggu Valeria hanya merenung, mengurung diri bahkan terlihat
Valeria berjalan-jalan di lorong rumah sakit. Ada perasaan lega setelah melakukan sesi konseling dengan Grace.Langkah kaki Valeria kini sampai di halaman rumah sakit. Rumput hijau dan juga udara yang segar membawa ketenangan tersendiri untuk Valeria.Sebuah bola tiba-tiba menggelinding sampai di kaki Valeria. Perempuan itu segera mengambilnya, lalu datang bocah berumur 3 tahun menghampirinya."Aunty, itu bolaku," ucapnya.Dengan senyuman kecilnya, Valeria memberikan bola itu kepadanya."William! Ah, maafkan anak saya Nyonya. Dia sangat aktif dan nakal sekali," kata seorang wanita muda yang baru saja menghampiri mereka. Dia mengenakan baju pasien dan menggendong bayi di pelukannya. "William, minta maaf ke Aunty," bisiknya.Valeria tak mempermasalahkan itu, lagipula dia tidak melukai Valeria. Justru kini tatapan mata Valeria menatap nanar bayi yang ada di gendongan sang wanita itu.Hati Valeria terasa teriris. Dia sangat merindukan Nolen-putranya. Andai jika Nolen masih ada, Valeria t
Sudah beberapa hari berlalu sejak Valeria pingsan di taman rumah sakit. Waktu berlalu begitu lambat, seolah menyiksa setiap detik yang dilalui tanpa kehadiran Nolen. Tapi, hari ini berbeda. Ada perasaan aneh yang menggelayut di benaknya sejak pagi, seolah-olah angin membawa kabar buruk yang tak dapat dia tolak.Di ruang tamu rumahnya yang sepi, Valeria duduk termenung, matanya kosong menatap keluar jendela. Tiba-tiba, teleponnya berdering, memecah keheningan. Sebuah nomor yang asing bagi Valeria telah mengirimkan sebuah file kepadanya.Wajah bingung Valeria kini menghiasai pantulan bayangannya di layar ponsel itu. Dengan sedikit ragu, Valeria membuka file tersebut yang ternyata adalah sebuah vedeo.Vedeo berputar menujukkan dimana sebuah tempat yang tampak tidak asing bagi Valeria. Ya, itu adalah rekaman CCTV di rumah Ricci, Valeria paham betul karena dia sering ke dapur saat masih tinggal di sana.Valeria masih tidak menyadari sesuatu, hanya ada seorang
Salvatore keluar dari mobil, diikuti oleh dua pria berjas hitam yang selalu setia di sisinya. Matanya menyapu sekeliling, menilai dengan dingin kerumunan yang mengantri untuk masuk. Mereka tidak perlu mengantri. Satu anggukan dari Salvatore, dan penjaga pintu segera membuka jalan, membiarkan mereka melangkah melewati kerumunan yang mendadak terdiam.Begitu mereka memasuki klub, Salvatore merasakan perubahan atmosfer yang langsung menghantam indra. Musik yang menggetarkan lantai, lampu-lampu berwarna yang berputar, dan keramaian yang bergerak seolah-olah tanpa aturan. Di bawah cahaya yang redup, wajah-wajah tampak kabur, dipenuhi oleh kebebasan dan kegilaan malam.Namun, tujuan Salvatore sudah jelas. Mereka tidak berhenti di lantai dansa. Tanpa sepatah kata, pria-pria di belakangnya mengiringi langkahnya menuju tangga menuju lantai atas, di mana ruangan VIP menanti. Di puncak tangga, seorang pelayan yang berpakaian rapi membungkuk dalam-dalam. "Selamat malam, Tuan Salvatore. Ruangan A
Kamar tidur itu terasa hangat dengan cahaya lembut yang memancar dari lampu meja. Udara malam yang sejuk menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka, menggoyangkan tirai tipis yang mengalir seperti ombak tenang. Di depan cermin besar yang terpasang di dinding, Valeria berdiri dengan ekspresi frustrasi.Tangannya sibuk menarik-narik gaun berwarna pastel yang kini tampak terlalu ketat di bagian perutnya yang membuncit. Pakaian lain berserakan di sekitar kakinya, menandakan betapa keras usahanya untuk menemukan sesuatu yang nyaman dikenakan."Kenapa sih nggak ada satu pun yang muat? Apa aku harus pakai bajunya Aunty Giulia aja mulai sekarang?" Valeria mengomel sendiri, wajahnya berkerut lucu.Pintu kamar berderit pelan, dan Salvatore muncul di ambang pintu. Langkahnya tenang, namun sorot matanya dipenuhi rasa cinta yang mendalam.Setelah percakapannya dengan Lorenzo di tepi kolam, perasaannya seolah memuncak—seakan ada benang merah yang mengikat hatinya lebih erat kepada Valeria. Rasa
Malam merambat pelan, membawa kesunyian yang menenangkan di sekitar rumah keluarga Morreti. Angin sepoi-sepoi membelai permukaan kolam renang, menciptakan riak-riak kecil yang memantulkan cahaya bulan. Di tepi kolam itu, Salvatore duduk di bangku kayu, membiarkan pikirannya melayang.Bersama semua kegugupan dan ketakutannya, akhirnya dia merasa lega. Keluarga Valeria menerima dirinya apa adanya, tanpa perlu embel-embel masa lalu yang tidak bisa diingatnya. Namun, di tengah kelegaan itu, terselip perasaan kosong—seperti ada bagian dirinya yang masih hilang di dalam kabut ingatan yang gelap."Kau sendirian di sini?"Suara berat namun lembut itu membuat Salvatore menoleh. Lorenzo berdiri di belakangnya, membawa dua gelas wine di tangannya. Wajahnya tampak tenang, namun di balik mata yang bijak itu, ada rasa lelah yang terpendam."Ya, aku hanya ..., mencoba menenangkan diri dan mencari udara segar." Salvatore tersenyum tipis.Lorenzo menyerahkan salah satu gelas wine kepada Salvatore dan
Sebuah mobil hitam mengawal perjalanan Salvatore menuju ke kediaman Morreti dan rombongan lainnya kembali ke markas. Morgan yang duduk di belakang kemudi sesekali melirik Salvatore lewat kaca spion, melihat pria itu menggigit bibir bawahnya, tanda jelas kegugupan."Hei, tenang saja." Morgan membuka percakapan, mencoba mencairkan suasana. "Keluarga Valeria tidak menggigit, kok."Salvatore menghela napas panjang. "Itu bukan masalahnya. Aku tidak ingat apa-apa. Bagaimana kalau aku salah bicara? Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?"Valeria, yang duduk di samping Salvatore, menggenggam tangannya erat. "Kau tidak perlu khawatir. Mereka akan mencintaimu, Salvatore. Lagipula, aku di sini bersamamu."Salvatore menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh keyakinan Valeria. Perlahan, kegugupannya sedikit mereda."Kalau begitu, jangan tinggalkan aku, ya?" bisik Salvatore, suaranya penuh harap."Tidak akan." Valeria tersenyum lembut.Morgan sedikit merinding dan tertawa geli diam-diam. Salv
Pagi itu, sinar matahari lembut menembus tirai kamar vila Jepang. Salvatore terbangun dengan kepala yang jauh lebih ringan, dan pemandangan pertama yang dilihatnya adalah Valeria yang masih terlelap di sampingnya, kepalanya bersandar di tepi ranjang."Dia tidur di sini semalaman?" gumam Salvatore pelan, takut membangunkannya.Dengan hati-hati, dia bangkit dari tempat tidur. Namun, gerakannya malah membuat Valeria terjaga. Dia mengucek matanya, menatap Salvatore yang sudah berdiri dengan rambut berantakan."Salvatore ..., kau sudah bangun? Bagaimana keadaanmu? Merasa tidak nyaman?"Salvatore mengangguk sambil tersenyum. "Aku merasa lebih baik. Kau ..., kau tidak tidur di kasur?"Valeria tersipu. "Aku takut kau terbangun tengah malam dan membutuhkan sesuatu."Salvatore duduk di tepi ranjang, menatapnya dalam-dalam. "Terima kasih, Valeria. Untuk semuanya."Valeria hanya mengangguk kecil, lalu tiba-tiba perutnya berbunyi pelan. Salvatore terkekeh mendengar itu."Sepertinya ada yang lebih
"Semua ini, aku..., menyukainya. Mungkin..., karena aku menyukaimu."Keheningan menyelimuti mereka. Valeria terdiam, bibirnya sedikit terbuka namun tak ada kata-kata yang keluar. Cahaya lampu temaram menerpa wajahnya, memperlihatkan matanya yang berkaca-kaca."Kau ..., benar-benar menyukaiku?" Suaranya terdengar bergetar, antara haru dan kebahagiaan.Salvatore mengangguk pelan, matanya tertunduk sejenak sebelum kembali menatap Valeria. "Aku tidak tahu apa ini cinta atau bukan. Tapi jantungku selalu berdegup kencang saat kau di dekatku. Aku merasa ingin selalu melindungimu, membuatmu tersenyum. Dan ..., aku takut kehilanganmu."Valeria menutup mulutnya dengan tangan, menahan isakan kecil. Dia merasakan hatinya menghangat, seolah perasaan lama yang terkubur dalam-dalam kembali menyala."Salvatore, kau ..., kau membuatku terharu. Bahkan saat kau kehilangan ingatanmu, kau tetap jatuh cinta padaku."Salvatore tersenyum tipis, tetapi senyumnya perlahan memudar. Tangannya tiba-tiba mencengke
Langit malam di Jepang memancarkan kilauan lampu-lampu jalan dan lentera berwarna-warni. Pasar tradisional ramai dengan suara tawa, obrolan hangat, dan aroma makanan yang menggoda. Valeria berjalan di samping Salvatore, matanya bersinar penuh antusias."Lihat! Ada takoyaki!" serunya, menarik tangan Salvatore menuju kios kecil yang mengepul aroma gurih.Salvatore yang awalnya tampak kaku, mengikuti dengan langkah pelan. Matanya terus mengawasi sekitar, naluri protektifnya tak pernah padam. Namun, saat Valeria menggenggam tangannya lebih erat, sebagian dari kecemasannya perlahan mencair."Dua porsi, ya," kata Valeria pada penjual, kemudian beralih pada Salvatore. "Kau pernah coba ini sebelumnya?"Salvatore menggeleng, tatapannya waspada pada bulatan kecil gurih di tusuk sate itu. "Apa ini aman?"Valeria tertawa kecil, menepuk lengannya. "Tentu saja, ini hanya gurita dan adonan tepung. Kau akan suka."Saat Valeria menyuapkan takoyaki padanya, Salvatore ragu sejenak sebelum membuka mulut.
Matahari sore di vila Jepang memberikan cahaya keemasan yang lembut. Valeria duduk di bangku kayu di halaman, ponsel menempel di telinga. Telinganya mendengar suara Morgan yang terus mengomel dari seberang sana, membuatnya hanya bisa tersenyum dan sesekali menghela napas."Aku baik-baik saja, Morgan. Benar, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ucap Valeria dengan nada tenang.Namun, suara Morgan tetap saja melengking. "Kau selalu bilang begitu! Tapi kau di mana sekarang? Kenapa aku harus mendapat kabar dari orang lain dan bukan dari mulutmu sendiri?!"Valeria memutar matanya, meski tahu Morgan tak bisa melihatnya. "Aku bersama Salvatore. Kami akan kembali ke Milan segera setelah Antonio menyelesaikan urusannya."Dari jauh, Salvatore melangkah mendekat dengan segelas susu hangat di tangannya. Matanya menatap Valeria yang berbicara dengan lembut di telepon, tetapi alisnya mulai bertaut saat mendengar suara pria dari ponsel Valeria."Morgan, tolong, aku benar-benar baik-baik saja. Jangan
Vila Jepang tempat mereka menginap begitu tenang. Angin berhembus lembut melalui jendela geser, membawa aroma segar dari taman bambu di luar. Suara gemericik air dari kolam kecil menambah suasana damai.Di ruang makan yang menghadap taman, Valeria duduk di depan meja kayu rendah dengan tatami di bawahnya. Hidangan Jepang yang disajikan di atas nampan kayu terlihat menggugah selera—miso soup, nasi, ikan panggang, dan beberapa lauk sehat lainnya.Salvatore duduk di sampingnya, matanya tak pernah jauh dari Valeria. Sejak kejadian di kamar mandi pagi ini, dia seperti menjadi pribadi baru. Setiap gerakannya penuh perhatian, bahkan terlihat jelas dari cara dia meletakkan sumpitnya perlahan agar tidak menimbulkan suara keras."Coba ini." Salvatore menyuapkan sepotong ikan panggang ke arah Valeria. "Ikan ini lembut dan tidak terlalu berbumbu. Baik untukmu dan bayi kita."Valeria tertawa kecil. "Aku masih bisa makan sendiri, Salvatore."Salvatore menghela napas pendek, tapi tetap menyodorkan p
Pagi itu, sinar matahari masuk lembut melalui celah-celah jendela kamar. Valeria terbangun perlahan, matanya masih sayu. Saat memalingkan kepala, dia melihat Salvatore sudah berdiri di sudut kamar, sibuk mengaduk air hangat di ember kecil. Wajahnya serius, namun ada kerutan kecil di dahinya yang menunjukkan kecanggungan."Kau sudah bangun?" Salvatore bertanya, suaranya pelan seolah takut mengganggu.Valeria menguap kecil, tersenyum manis. "Iya. Kau sudah bangun sejak kapan?""Tidak lama," jawab Salvatore sambil meletakkan handuk bersih di meja kecil dekat kamar mandi. "Aku hanya ..., ingin memastikan air mandimu cukup hangat. Dokter bilang kau tidak boleh terlalu lama kedinginan.""Terima kasih." Valeria bangkit perlahan, menahan rasa sakit ringan di perutnya.Salvatore langsung bergerak maju, tangannya terulur seolah ingin membantu tapi tertahan di udara. "Perlu bantuan?" tanyanya ragu-ragu."Aku bisa sendiri," jawab Valeria sambil tersenyum, tapi kemudian menambahkan, "tapi nanti ba