"Nyonya sudah pulang?"
Seorang pelayan yang tadi pagi Valeria titipkan anaknya–Nolen langsung menyambutnya kala dia memasuki kamar.
Gegas Valeria mengusap air matanya. "Ya, terimakasih sudah menjaga Nolen. Kamu bisa mengerjakan pekerjaan kamu yang lain.""Baik Nyonya." Pelayan itu menunduk lalu pergi dari sana.
Valeria kemudian menghampiri sang anak yang tengah tertidur di ranjangnya.
"Sayang, maafin Mommy, ya. Seharunya kamu mendapatkan kehidupan yang bahagia, karena itu cita-cita Mommy untuk kamu. Sayangnya, mulai sekarang Nolen harus bahagia bersama Mommy aja ya," bisik Valeria dengan air mata berlinang.
Setelah mengecup kening Nolen, Valeria langsung beranjak dari tempatnya. Dia mengambil koper dan memasukkan beberapa barang-barang Nolen kedalam koper tersebut. Valeria sudah memantapkan hati, dia akan pergi dari rumah ini dan tidak akan membiarkan Julian mengambil Nolen.
Valeria mengambil Nolen dan menggendongnya sambil menyeret sebuah koper. Dia beruntung, karena saat itu rumah tengah kosong. Jika tidak, pasti akan ada drama lain. Hati Valeria sudah lelah sekarang, dia tak ingin menambah pikiran lagi.
Sebuah taksi berhenti di hadapan Valeria, gegas dia langsung masuk ke dalam mobil.
“Mulai saat ini, kita akan mulai hidup baru hanya berdua, Nak.” Di perjalanan, Valeria terus menerus mengajak Nolen berbicara, meski bayi itu masih tertidur lelap.
Dia akan membawa Nolen ke apartemen lamanya yang tentunya Julian tidak tahu akan hal ini. Valeria sudah mandiri sejak umur 16 tahun karena keluarganya bangkrut.
Dia juga memiliki bisnis kecil seperti butik yang dia garap sendiri. Jadi, untuk hidup berdua dengan Nolen, dia tak akan kebingungan meskipun nantinya mereka akan hidup sederhana.
Dua jam perjalanan, Valeria sampai di sebuah apartemen yang dulu menjadi tempat istirahatnya saat masa-masa sekolah sebelum bertemu Julian. Senyum getir mulai terlihat di wajah Valeria saat memasuki apartemen itu.
Valeria membaringkan Nolen di atas ranjang. Bayi itu sejak dalam perjalanan bahkan tidak membuka matanya sama sekali. Sementara itu, Valeria membersihkan apartemen yang terlihat sedikit kotor dengan banyaknya debu karena sudah lama tak terpakai.
Saking sibuknya membersihkan apartemen, hari mulai gelap, ketika Valeria sadar ada yang aneh dengan Nolen. Biasanya bayi itu akan menangis dalam beberapa jam untuk minum asi, tapi sejak tadi Valeria bahkan tak mendengar rengekan putranya itu.
"Nolen, kamu gak bangun dari tadi. Kenapa hem?" Valeria menggendong bayi itu, kali ini Valeria merasakan tubuh Nolen seperti lemas.
Dengan penuh curiga, Valeria mengambil tangan Nolen. Tangan kecil itu terjatuh begitu saja, seperti tak memiliki tenaga. Bibir Nolen juga terlihat membiru, Valeria langsung mengusap pipi Nolen yang ternyata begitu sangat dingin.
Wajah khawatir Valeria tak bisa lagi di sembunyikan. "Nolen, kamu kenapa? Bangun sayang," ucap Valeria sambil mengusap pipi kecilnya.
Karena tak mendapat respons apa pun, Valeria yang baru saja menjadi seorang ibu lantas bergegas membawa Nolen ke rumah sakit.
Sayangnya, setelah satu jam mendapatkan penanganan dokter, Valeria harus menerima sebuah kabar buruk.
"Maaf Nyonya, kami sudah melakukan semaksimal mungkin, tapi bayi anda sudah tidak bisa ditolong lagi. Anda harus bisa mengikhlaskan dia."
"Apa?" Wajah Valeria menjadi begitu pucat. "Apa maksudnya?"
"Bayi anda sudah meninggal Nyonya."
"Tidak ..., mungkin."
Dunia bagaikan kiamat untuk Valeria hari ini. Dia kehilangan semuanya, hal yang menyokongnya untuk tetap hidup. Hati Valeria seperti hancur berkeping-keping, tak ada lagi yang tersisa sampai cahaya gelap menelan Valeria lalu jatuh di atas lantai.
"Nolen!" teriak Valeria yang langsung terbangun.Tatapan mata sayu itu menoleh ke sekeliling. Bau antiseptik menyengat hidungnya, kepalanya juga sangat pusing. Valeria sadar, dia tak seharusnya di sini. Dia harus menemui bayinya.Dengan cepat Valeria mencabut infus yang menancap di tangannya, membuat bercak darah mengalir membasahi lantai. Valeria menyingkap selimut dan langsung turun dari ranjang rumah sakit.Seperti orang yang hilang akal, Valeria pergi ke ruangan dimana dia meninggalkan Nolen di sana. Saat Valeria masuk ke dalam ruangan itu, Julian, kedua mertuanya–Giovani, Isabella dan juga Sofia, iparnya sudah berada di ruangan itu. Mereka menatap sebuah tubuh mungil yang membiru di atas ranjang."No-nolen," gumam Valeria saat melihat tubuh bayinya kaku.Mereka semua langsung menoleh kearah Valeria. Julian tampak menatapnya tajam. Dengan penuh kemarahan Isabella menghampiri Valeria lalu menampar keras pipi Valeria."Kurang ajar! Kamu sudah membunuh cucuku!" teriak Isabella di dep
“Morgan, kenapa membawaku ke sini?”Valeria bertanya-tanya kenapa Morgan membawanya ke rumah lama keluarga Morreti. Beberapa tahun yang lalu rumah itu sudah disita bank saat keluarga Morreti bangkrut.Mobil hitam mewah itu memasuki halaman rumah yang sangat luas. Rumah megah bak istana itu juga terlihat masih sama dengan polesan batu marmer di setiap sudutnya. "Silahkan, Valeria," kata pria 8 tahun lebih tua itu. Morgan membukakan pintu mobil untuk Valeria yang masih terlihat bingung. Morgan mengarahkan lengannya, "Tuan besar akan menjelaskan semuanya."Valeria melingkarkan tangannya di lengan Morgan. Mereka berdua masuk kedalam rumah besar tersebut. Semuanya masih sama bagi Valeria, suasana rumah tersebut membawakan kenangan lama Valeria. Dulu di rumah itu Valeria menghabiskan masa kecil dan remajanya dengan menjadi anak nakal dan manja.Morgan membawa Valeria ke sebuah ruangan yang dia tahu ruangan itu adalah tempat keluarga besarnya berkumpul. Saat pintu besar itu terbuka semua ora
"TIDAK! JANGAN!" Valeria berteriak dengan peluh membasahi dahinya. Tubuhnya seketika terduduk di atas kasur empuk yang sudah beberapa minggu ini menampung air matanya.Mata Valeria melihat ke sekeliling dan mendapati kamarnya masih sama. Helaan napas berat keluar dari mulutnya, dia hanya bermimpi. Mimpi yang sangat buruk. Rasa sesak di dada Valeria membuatnya menangis tersedu-sedu. Lagi-lagi rasa sakit hatinya masih menjalar sangat dalam di hati Valeria.Tok! Tok!Suara ketukan pintu diikuti perkataan seorang pelayan di depan kamarnya membuat Valeria menghapus air mata."Nona Valeria, Nyonya besar sudah menunggu di bawah."Dengan suara parau, dia mencoba menyahut, "Setengah jam lagi aku akan turun." "Baik Nona."Valeria turun dari ranjangnya, gegas dia langsung masuk ke dalam kamar mandi. Meskipun tubuhnya terasa lemah dan tak berdaya, Valeria memaksakan untuk turun dari ranjang. Setelah pulang ke rumah, sudah hampir tiga minggu Valeria hanya merenung, mengurung diri bahkan terlihat
Valeria berjalan-jalan di lorong rumah sakit. Ada perasaan lega setelah melakukan sesi konseling dengan Grace.Langkah kaki Valeria kini sampai di halaman rumah sakit. Rumput hijau dan juga udara yang segar membawa ketenangan tersendiri untuk Valeria.Sebuah bola tiba-tiba menggelinding sampai di kaki Valeria. Perempuan itu segera mengambilnya, lalu datang bocah berumur 3 tahun menghampirinya."Aunty, itu bolaku," ucapnya.Dengan senyuman kecilnya, Valeria memberikan bola itu kepadanya."William! Ah, maafkan anak saya Nyonya. Dia sangat aktif dan nakal sekali," kata seorang wanita muda yang baru saja menghampiri mereka. Dia mengenakan baju pasien dan menggendong bayi di pelukannya. "William, minta maaf ke Aunty," bisiknya.Valeria tak mempermasalahkan itu, lagipula dia tidak melukai Valeria. Justru kini tatapan mata Valeria menatap nanar bayi yang ada di gendongan sang wanita itu.Hati Valeria terasa teriris. Dia sangat merindukan Nolen-putranya. Andai jika Nolen masih ada, Valeria t
Sudah beberapa hari berlalu sejak Valeria pingsan di taman rumah sakit. Waktu berlalu begitu lambat, seolah menyiksa setiap detik yang dilalui tanpa kehadiran Nolen. Tapi, hari ini berbeda. Ada perasaan aneh yang menggelayut di benaknya sejak pagi, seolah-olah angin membawa kabar buruk yang tak dapat dia tolak.Di ruang tamu rumahnya yang sepi, Valeria duduk termenung, matanya kosong menatap keluar jendela. Tiba-tiba, teleponnya berdering, memecah keheningan. Sebuah nomor yang asing bagi Valeria telah mengirimkan sebuah file kepadanya.Wajah bingung Valeria kini menghiasai pantulan bayangannya di layar ponsel itu. Dengan sedikit ragu, Valeria membuka file tersebut yang ternyata adalah sebuah vedeo.Vedeo berputar menujukkan dimana sebuah tempat yang tampak tidak asing bagi Valeria. Ya, itu adalah rekaman CCTV di rumah Ricci, Valeria paham betul karena dia sering ke dapur saat masih tinggal di sana.Valeria masih tidak menyadari sesuatu, hanya ada seorang
Salvatore keluar dari mobil, diikuti oleh dua pria berjas hitam yang selalu setia di sisinya. Matanya menyapu sekeliling, menilai dengan dingin kerumunan yang mengantri untuk masuk. Mereka tidak perlu mengantri. Satu anggukan dari Salvatore, dan penjaga pintu segera membuka jalan, membiarkan mereka melangkah melewati kerumunan yang mendadak terdiam.Begitu mereka memasuki klub, Salvatore merasakan perubahan atmosfer yang langsung menghantam indra. Musik yang menggetarkan lantai, lampu-lampu berwarna yang berputar, dan keramaian yang bergerak seolah-olah tanpa aturan. Di bawah cahaya yang redup, wajah-wajah tampak kabur, dipenuhi oleh kebebasan dan kegilaan malam.Namun, tujuan Salvatore sudah jelas. Mereka tidak berhenti di lantai dansa. Tanpa sepatah kata, pria-pria di belakangnya mengiringi langkahnya menuju tangga menuju lantai atas, di mana ruangan VIP menanti. Di puncak tangga, seorang pelayan yang berpakaian rapi membungkuk dalam-dalam. "Selamat malam, Tuan Salvatore. Ruangan A
"Kau dengar? CEO Morreti Club yang baru akan datang hari ini.""Ya, aku dengar itu. Aku juga dengar, anak dari keluarga Morreti yang akan menjadi CEO.""Bagaimana bisa? Bukankah keluarga Morreti sudah bangkrut selama beberapa tahun terakhir? Mereka sudah menjual saham mereka ke orang lain.""Aku dengar kabar, kalau mereka cuma pura-pura bangkrut. Jika tidak, perusahaan Morreti ini bukankah sudah lama berganti nama? Nyatanya tidak."Tak lama sebuah suara langkah kaki masuk ke dalam ruang rapat tersebut yang membuat mereka semua terdiam. Seorang wanita cantik, tinggi langsing dan tentunya sangat menawan membuat mereka terpana."Selamat siang semuanya," kata Valeria yang kini berdiri di depan mereka semua.Sebelas bulan lamanya sejak kematian sang buah hati, Valeria kini terlihat benar-benar sangat berbeda dari sebelumnya. Mereka mempertanyakan siapa wanita cantik itu sebenarnya.Karena selama ini berita tentang keluarga Morreti benar-benar bagai tenggelam didasar bumi. Tidak ada satupun
"Sayang, nanti jadi kan makan malam?"Margareta mengusap dada Julian yang sedang duduk di kursi kerjanya dengan menggoda."Boleh, kamu mau makan di restoran mana? Aku akan pesankan satu restoran untukmu malam ini," kata Julian mengambil tangan Margareta lalu mengecupnya.Tanpa perlu menunggu lama, Julian sudah membawa Margareta ke dalam pangkuannya. Tangannya menelusup ke balik rok pendek milik Margareta."Tapi, sebelum makan malam, bukankah kamu harus memberikan sesuatu kepadaku terlebih dahulu?" bisik Julian di telinga Margareta sambil menyeringai."Mau di sini?" tantangnya."Boleh saja, aku sudah tidak tahan melihatmu beberapa hari terakhir ini."Julian langsung menarik tengkuk Margareta dan mencium bibirnya. Lidah Julian langsung menerobos masuk ke dalam mulut Margareta dan disambut oleh perempuan itu.Keduanya saling bertukar saliva di atas kursi kerja Julian. Cumbuan mereka semakin panas, sampai Julian dengan sengaja mena
Senja mulai turun ketika Valeria keluar dari mobilnya. Udara sore di Milan terasa sejuk, langit berwarna jingga keemasan, dan angin bertiup lembut menerpa wajahnya. Dia berjalan menuju butik tempatnya akan melakukan fitting gaun pengantin, tetapi langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang berdiri di kejauhan.Julian.Pria itu berdiri di seberang jalan, mengenakan kemeja biru tua yang sedikit kusut dan celana bahan hitam. Ekspresinya sendu, matanya menatap Valeria dengan perasaan yang sulit ditebak. Saat mata mereka bertemu, Julian melangkah mendekat."Valeria," suaranya terdengar lirih namun tetap jelas.Valeria menatapnya tanpa ekspresi, tidak ada kebencian, tetapi juga tidak ada kehangatan. "Ada apa?" tanyanya dengan nada netral.Julian menelan ludah, lalu melirik ke kafe kecil yang ada di sudut jalan. "Bisakah kita bicara sebentar? Hanya beberapa menit."Valeria menimbang sejenak. Salvatore masih dalam perjalanan, dan entah kenapa, ada sesuatu di mata Julian yang membu
Di sebuah lorong parkiran bawah tanah yang sepi, langkah sepatu hak tinggi Amara menggema di antara dinding beton. Dia berjalan dengan tergesa-gesa, matanya tajam mengawasi sosok pria yang baru saja keluar dari mobil hitamnya."Salvatore!" suaranya melengking, menggema di ruangan yang lengang.Salvatore berhenti di tengah langkahnya. Rahangnya mengeras, dan kedua tangannya mengepal. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi, dan dia tidak berniat meladeni ini lebih lama.Amara berdiri di hadapannya, wajahnya dipenuhi amarah bercampur dengan keputusasaan. "Kenapa?" Dia menatap pria itu dengan mata yang berkilat penuh emosi. "Kenapa kau terburu-buru menikahi Valeria? Apa kau benar-benar mencintainya?!"Baru juga beberapa waktu yang lalu Amara melihat Salvatore melamar Valeria di depan banyak orang, kini dia mendengar berita pernkahan mereka berdua. Menurutnya, ini sangat tergesa-gesa.Salvatore mendesah panjang, menahan gejolak di dadanya. Dia menatap Amara dengan dingin, tatapan yang cukup
Salvatore tidak ingin menunda lebih lama lagi. Setelah semua yang mereka lalui, dia ingin segera menikahi Valeria dalam kurun waktu satu bulan. Persiapan pernikahan pun dimulai dengan cepat. Valeria sibuk mengurus banyak hal bersama Anna, keponakannya sekaligus sahabat terdekatnya.Valeria melangkah dengan ringan di trotoar bersama Anna, senyum kecil terukir di wajahnya saat mereka berbincang tentang dekorasi pernikahan yang hampir rampung. Sore itu terasa begitu tenang, udara Milan sejuk, dan sinar matahari keemasan menyelimuti jalanan kota.Saat mereka tiba di depan kafe, Valeria baru saja mengulurkan tangan untuk membuka pintu ketika-BRAK!Tubuhnya terdorong ke belakang dengan kasar, kepalanya tersentak ke belakang, dan rasa nyeri tiba-tiba menjalar di kulitkepalanya. Valeria mengerang pelan, tangannya refleks mencengkeramrambutnya yang ditarik dengan brutal."Kau wanita jalang!" Sebuah suara melengking terdengar, penuh kemarahan dan kebencian.Anna yang berada di sampingnya mem
Malam itu, sebuah jamuan mewah diadakan di salah satu hotel bintang lima milik Morreti Club. Ruang makan pribadi di lantai tertinggi hotel itu didekorasi dengan elegan—lampu kristal yang menggantung di langit-langit, lilin-lilin kecil di atas meja panjang, serta alunan musik klasik yang mengalir lembut di latar belakang.Lorenzo Morreti, Elena, Roberto, Giulia, dan seluruh anggota keluarga Morreti hadir. Di antara mereka, Salvatore duduk di samping Valeria, tangannya memegang gelas anggur dengan ekspresi santai, tetapi tetap berwibawa.Pelayan datang membawa hidangan utama—steak wagyu dengan saus truffle, disajikan bersama kentang panggang dan asparagus. Saat makanan mulai disantap, percakapan ringan pun mengalir di antara mereka."Akhirnya, kita bisa duduk bersama seperti ini lagi," ujar Giulia, bibi Valeria, sambil tersenyum hangat. "Sudah lama sejak terakhir kali keluarga kita berkumpul tanpa ada tekanan bisnis atau masalah di luar.""Dan kali ini, dengan tambahan anggota baru," ta
Di hari yang sama ketika Sofia Ricci ditangkap, sebuah kabar mengejutkan kembali mengguncang Milan. Morreti Club, yang selama ini dianggap di ambang kehancuran, tiba-tiba berbalik arah. Dalam kurun waktu yang sangat singkat, saham yang sebelumnya dikuasai Alessio telah berpindah tangan. Yang lebih mengejutkan, pemilik barunya bukan hanya Valeria Morreti—tapi juga Salvatore Marino.Tidak ada yang tahu bagaimana Salvatore bisa melakukannya. Milan mengenalnya sebagai pebisnis kecil, seorang pria yang tampaknya hanya pria biasa yang sedang berkembang. Namun, dalam hitungan hari, dia berhasil menumbangkan salah satu tokoh bisnis terbesar di kota itu.Di lobi utama Morreti Club, para karyawan dan pengunjung yang datang terdiam melihat pemandangan yang luar biasa. Valeria Morreti dan Salvatore Marino berjalan berdampingan, memasuki gedung utama dengan penuh percaya diri.Valeria mengenakan gaun hitam elegan, rambutnya tergerai dengan anggun, dan wajahnya menampilkan ekspresi dingin namun ber
Di ruangan kantornya yang luas dan mewah, Julian Ricci duduk terpaku di kursinya. Ponsel di tangannya masih menampilkan berita yang baru saja ia baca: "Sofia Ricci Ditangkap atas Tuduhan Pembunuhan Nolen Ricci"Judul itu seakan menghantamnya lebih keras daripada pukulan mana pun yang pernah ia terima. Tangannya yang memegang ponsel mulai bergetar, dan dadanya terasa sesak.Sofia? Membunuh Nolen?Pikiran Julian berputar cepat, mencoba mencari celah yang mungkin membuktikan bahwa ini semua hanyalah kesalahpahaman. Namun, berita itu disertai bukti—rekaman CCTV, rekaman suara, dan keterangan saksi. Semua mengarah pada satu kenyataan yang tak bisa dibantah. Adiknya sendiri telah membunuh anaknya.Tangan Julian mengepal kuat, giginya mengertak. Dia merasa marah, tetapi lebih dari itu, dia diliputi rasa bersalah yang begitu dalam.Dia masih ingat dengan jelas hari di mana Nolen meninggal. Betapa hancurnya Valeria saat itu. Betapa sakitnya dia kehilangan putranya sendiri. Tapi yang lebih meny
Hari berjalan dengan tenang tanpa ada keributan. Sofia sangat menikmati itu. Dia duduk santai di kursi eksekutifnya, jari-jarinya dengan anggun memegang secangkir teh hangat. Dari balik jendela luas kantornya, dia bisa melihat pemandangan kota yang ramai, namun pikirannya hanya terfokus pada satu hal—kehancuran Morreti Club.Setiap laporan yang masuk dari bawahannya semakin memperjelas betapa lambat namun pasti, Valeria kehilangan cengkeramannya atas perusahaan keluarga itu. Hal ini memberinya kepuasan yang luar biasa. Sejak dulu, dia tidak pernah menyukai Valeria, dan kini, melihat wanita itu jatuh perlahan membuatnya merasa menang. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.BRAK!Pintu kantor Sofia terbuka dengan kasar, membuatnya terlonjak. Seketika, beberapa pria berseragam polisi memasuki ruangan dengan wajah serius."Ny. Sofia Ricci," salah satu petugas berbicara dengan nada tegas, "Anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap Nolen Ricci, putra Valeria Morreti, dua tahun la
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar ruang makan keluarga Morreti. Aroma kopi yang baru diseduh menyebar ke seluruh ruangan, bercampur dengan wangi roti panggang dan hidangan sarapan lainnya. Valeria dan Salvatore baru saja tiba setelah jogging dan belanja di supermarket. Mereka duduk di meja makan bersama Lorenzo dan Elena."Bagaimana jogging kalian?" tanya Elena sambil menuangkan kopi untuk dirinya sendiri.Valeria tersenyum, mengambil potongan croissant dari piring tengah. "Menyenangkan. Cuacanya sangat bagus pagi ini."Salvatore yang duduk di samping Valeria ikut menambahkan, "Ya, dan kami bertemu seseorang yang cukup menarik."Lorenzo mengangkat alisnya. "Siapa?"Valeria terkekeh, menggigit roti di tangannya sebelum menjawab, "Isabella Ricci."Elena langsung menatapnya penuh perhatian. "Dan apa yang dia lakukan?""Memprovokasiku, tentu saja," jawab Valeria santai. "Tapi aku tidak peduli."Salvatore tersenyum kecil sambil mengaduk kopinya. "Dan aku membuatnya semakin ke
Minggu Pagi yang Tenang. Matahari bersinar hangat di langit biru yang cerah, angin sepoi-sepoi menerpa dedaunan di taman kota yang cukup ramai dengan para pelari pagi dan keluarga yang berjalan santai. Valeria dan Salvatore berlari berdampingan di jalur jogging, langkah mereka ringan, seirama, seakan sudah terbiasa berlari bersama.Salvatore yang mengenakan kaos hitam ketat dan celana olahraga terlihat begitu gagah. Sementara Valeria, dengan legging hitam dan kaos tanpa lengan berwarna biru tua, tampak begitu anggun meski wajahnya sedikit berkeringat. Sesekali Salvatore menoleh ke arahnya, tersenyum penuh makna."Jangan bilang kau sudah lelah?" goda Salvatore sambil mengangkat sebelah alisnya.Valeria mendengus kecil, lalu mempercepat langkahnya. "Jangan meremehkanku. Aku bisa berlari lebih lama darimu."Salvatore tertawa pelan, lalu dengan mudah menyamakan langkahnya dengan Valeria. “Baiklah, kalau begitu kita lihat siapa yang lebih kuat.”Setelah sekitar tiga puluh menit berlari, me