"Nolen!" teriak Valeria yang langsung terbangun.
Tatapan mata sayu itu menoleh ke sekeliling. Bau antiseptik menyengat hidungnya, kepalanya juga sangat pusing. Valeria sadar, dia tak seharusnya di sini. Dia harus menemui bayinya.
Dengan cepat Valeria mencabut infus yang menancap di tangannya, membuat bercak darah mengalir membasahi lantai. Valeria menyingkap selimut dan langsung turun dari ranjang rumah sakit.
Seperti orang yang hilang akal, Valeria pergi ke ruangan dimana dia meninggalkan Nolen di sana.
Saat Valeria masuk ke dalam ruangan itu, Julian, kedua mertuanya–Giovani, Isabella dan juga Sofia, iparnya sudah berada di ruangan itu. Mereka menatap sebuah tubuh mungil yang membiru di atas ranjang.
"No-nolen," gumam Valeria saat melihat tubuh bayinya kaku.
Mereka semua langsung menoleh kearah Valeria. Julian tampak menatapnya tajam. Dengan penuh kemarahan Isabella menghampiri Valeria lalu menampar keras pipi Valeria.
"Kurang ajar! Kamu sudah membunuh cucuku!" teriak Isabella di depan wajah Valeria.
"Mom, udah Mom. Jangan seperti ini, ini rumah sakit." Sofia mencoba menenangkan Isabella yang terlihat sangat emosi dan hendak menghabisi Valeria.
"Kamu benar-benar kurang ajar," geram Isabella.
Giovani menghampiri mereka, tatapan matanya juga tak kalah tajam menatap Valeria yang menatap tubuh bayinya dengan tatapan mata kosong. Tanpa berkata apa-apa, Giovani mengisyaratkan Isabella dan Sofia untuk keluar dari ruangan.
Valeria langsung berlari ke arah ranjang di mana Nolen berada. "Nolen, sayang. Bangun," bisik Valeria dengan tangis tak terbendung.
Tubuh Valeria tersentak saat Julian menariknya.
Dengan tatapan nyalang Julian memegang lengan Valeria dengan erat. "Ini caramu membalasku? Kamu gila? Kamu tahu, aku cuma butuh Nolen dan kamu malah membunuhnya?!"
Valeria hanya bisa menangis, dia hancur sehancur-hancurnya. Setelah pria di hadapannya tak lagi mencintainya dan justru membuangnya … Nolen adalah buah hatinya, mana mungkin dia tega menghabisi nyawa anaknya sendiri.
Julian menghempaskan tangan Valeria dengan keras. "Aku akan buat perhitungan denganmu. Mulai besok kita akan benar-benar bercerai. Kamu, bukan siapa-siapa lagi sekarang." Julian langsung meninggalkan ruangan itu.
Valeria terduduk di atas lantai. Dia tak sanggup membalas ucapan Julian dan juga keluarganya, Valeria bahkan tak sanggup menopang tubuhnya sendiri sekarang. Dia hanya menangis dan meratapi hidupnya dan juga Nolen.
Pemakaman dilakukan besok paginya dan tentunya hal itu dilakukan oleh keluarga Ricci. Semua orang yang datang ke pemakaman bahkan tak memandang sedikitpun ke arah Valeria. Mereka seolah tak menganggap Valeria ada di sana.
Dokter bilang jika Nolen kehilangan nyawanya karena sebuah alergi. Hal ini membuat Isabella dan yang lainnya menyalahkan Valeria karena tak becus menjaga anaknya.
"Nyonya Valeria?" Suara seorang pria membuat Valeria yang duduk di sisi makam anaknya jadi menoleh ke samping. "Saya Virgo, pengacara keluarga Ricci. Ini adalah berkas yang perlu anda tanda tangani," kata pria berjas hitam itu.
Valeria mengambil berkas itu dan membacanya. Dia tersenyum miris. Rupanya Julian benar-benar menceraikannya hari ini. Hati Valeria bahkan tersenyum getir saat melihat isi surat itu di mana mengatakan jika Valeria tak berhak sama sekali dengan harta keluarga Ricci ataupun Julian.
Tanpa berpikir panjang, Valeria menandatangani surat cerai itu. Harta, tak lagi penting untuk Valeria. Lagipula dia sejak awal tak membutuhkan harta keluarga Ricci.
"Bilang ke Julian, aku tidak membutuhkan apapun, jadi tidak perlu memberikan uang untukku," kata Valeria dengan dingin ke pengacara itu.
Valeria akan mengingat hari ini. Sakit dan air mata yang Valeria rasakan, akan dia ingat sampai kapanpun itu.
"Baik, saya akan menyampaikannya ke Tuan Julian." Pengacara itu pergi meninggalkan Valeria di tempatnya.
Hari mulai petang, tetapi Valeria masih setia di samping makam Nolen. Dia bahkan tak beranjak dari sana.
Tak lama, Isabella dan beberapa wanita lainnya mendekati Valeria.
"Bukankah Julian sudah menceraikan kamu? Kenapa kamu masih di sini? Pergi!" usir Isabella.Dengan tatapan kosong yang masih menatap makam Nolen, Valeria berkata lirih, "Aku masih mau menemani anakku di sini."
Isabella bersungut-sungut. "Sekarang dia sudah berkumpul dengan leluhur keluarga Ricci, kamu bukan siapa-siapa lagi jadi pergi dari sini. Security!" Beberapa keamanan pun datang. "Seret dia pergi dari sini!"
Dua orang berbadan kekar langsung memegangi kedua lengan Valeria. Wanita itu memberontak saat hendak dibawa.
Tatapan mata merah Valeria menatap tajam Isabella. "Kenapa kamu memperlakukan aku seperti ini?" ucap Valeria dengan suara menahan amarah. Dia benar-benar muak dengan keluarga ini.
Dengan sinis Isabella menatap balik Valeria. "Kenapa? Dari awal aku tidak pernah mengakuimu sebagai salah satu bagian dari kami. Masih tanya kenapa?" Isabella terkekeh di akhir kalimatnya.
Mata Valeria semakin menajam dengan guratan otot mata yang semakin memerah. "Aku akan selalu mengingat bagaimana kalian semua memperlakukanku selama ini. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah lupa!"
"Haha, memangnya kamu bisa apa?” Tidak takut, Isabella justru tertawa sinis. “Sana bawa dia pergi!"
Para Security itu menyeret paksa Valeria pergi dari makam keluarga Ricci tersebut.
Amarah yang ada di dalam hati Valeria meluap, dia mengutuk satu keluarga itu di dalam hatinya. Hari-hari buruk yang dia lalui di keluarga Ricci akan dia ingat selama sisa hidupnya.
Valeria dilempar keluar dari tempat itu. Bahkan semua orang hanya menatapnya sinis seolah Valeria adalah sebuah kotoran. Sakit yang dia derita, tak akan pernah Valeria lupakan.
"Kalian lihat saja nanti."
Langkah kaki Valeria hendak pergi dari sana tapi terhenti karena dia dihadapkan dengan Julian yang sedang berjalan sambil menggandeng Margareta di sampingnya. Mereka berdua terlihat saling tersenyum satu sama lain, membuat Valeria merasa sakit lebih dalam.
Bisa-bisanya Julian membawa wanita itu ke pemakaman anaknya sendiri.
Tangan Valeria mengepal melihat mereka masuk ke dalam pemakaman tersebut. Tak mau berlama-lama di sana, Valeria melangkahkan kakinya untuk pergi dari tempat itu.
Selang beberapa meter, Valeria melihat sebuah sepasang sepatu berhenti di hadapannya.
"Valeria."
Wanita itu langsung mendongak menatap seorang pria dengan kumis tipis berwajah tegas sedang berdiri di hadapannya. "Morgan?"
Ya, pria yang dulu selalu menjadi asistennya kini tepat di hadapan Valeria.
Semenjak keluarganya bangkrut, Morgan tak lagi menemani Valeria dan wanita itu dibiarkan hidup mandiri di luar sana.
"Tuan besar menyuruhmu pulang, Valeria."
“Morgan, kenapa membawaku ke sini?”Valeria bertanya-tanya kenapa Morgan membawanya ke rumah lama keluarga Morreti. Beberapa tahun yang lalu rumah itu sudah disita bank saat keluarga Morreti bangkrut.Mobil hitam mewah itu memasuki halaman rumah yang sangat luas. Rumah megah bak istana itu juga terlihat masih sama dengan polesan batu marmer di setiap sudutnya. "Silahkan, Valeria," kata pria 8 tahun lebih tua itu. Morgan membukakan pintu mobil untuk Valeria yang masih terlihat bingung. Morgan mengarahkan lengannya, "Tuan besar akan menjelaskan semuanya."Valeria melingkarkan tangannya di lengan Morgan. Mereka berdua masuk kedalam rumah besar tersebut. Semuanya masih sama bagi Valeria, suasana rumah tersebut membawakan kenangan lama Valeria. Dulu di rumah itu Valeria menghabiskan masa kecil dan remajanya dengan menjadi anak nakal dan manja.Morgan membawa Valeria ke sebuah ruangan yang dia tahu ruangan itu adalah tempat keluarga besarnya berkumpul. Saat pintu besar itu terbuka semua ora
"TIDAK! JANGAN!" Valeria berteriak dengan peluh membasahi dahinya. Tubuhnya seketika terduduk di atas kasur empuk yang sudah beberapa minggu ini menampung air matanya.Mata Valeria melihat ke sekeliling dan mendapati kamarnya masih sama. Helaan napas berat keluar dari mulutnya, dia hanya bermimpi. Mimpi yang sangat buruk. Rasa sesak di dada Valeria membuatnya menangis tersedu-sedu. Lagi-lagi rasa sakit hatinya masih menjalar sangat dalam di hati Valeria.Tok! Tok!Suara ketukan pintu diikuti perkataan seorang pelayan di depan kamarnya membuat Valeria menghapus air mata."Nona Valeria, Nyonya besar sudah menunggu di bawah."Dengan suara parau, dia mencoba menyahut, "Setengah jam lagi aku akan turun." "Baik Nona."Valeria turun dari ranjangnya, gegas dia langsung masuk ke dalam kamar mandi. Meskipun tubuhnya terasa lemah dan tak berdaya, Valeria memaksakan untuk turun dari ranjang. Setelah pulang ke rumah, sudah hampir tiga minggu Valeria hanya merenung, mengurung diri bahkan terlihat
Valeria berjalan-jalan di lorong rumah sakit. Ada perasaan lega setelah melakukan sesi konseling dengan Grace.Langkah kaki Valeria kini sampai di halaman rumah sakit. Rumput hijau dan juga udara yang segar membawa ketenangan tersendiri untuk Valeria.Sebuah bola tiba-tiba menggelinding sampai di kaki Valeria. Perempuan itu segera mengambilnya, lalu datang bocah berumur 3 tahun menghampirinya."Aunty, itu bolaku," ucapnya.Dengan senyuman kecilnya, Valeria memberikan bola itu kepadanya."William! Ah, maafkan anak saya Nyonya. Dia sangat aktif dan nakal sekali," kata seorang wanita muda yang baru saja menghampiri mereka. Dia mengenakan baju pasien dan menggendong bayi di pelukannya. "William, minta maaf ke Aunty," bisiknya.Valeria tak mempermasalahkan itu, lagipula dia tidak melukai Valeria. Justru kini tatapan mata Valeria menatap nanar bayi yang ada di gendongan sang wanita itu.Hati Valeria terasa teriris. Dia sangat merindukan Nolen-putranya. Andai jika Nolen masih ada, Valeria t
Sudah beberapa hari berlalu sejak Valeria pingsan di taman rumah sakit. Waktu berlalu begitu lambat, seolah menyiksa setiap detik yang dilalui tanpa kehadiran Nolen. Tapi, hari ini berbeda. Ada perasaan aneh yang menggelayut di benaknya sejak pagi, seolah-olah angin membawa kabar buruk yang tak dapat dia tolak.Di ruang tamu rumahnya yang sepi, Valeria duduk termenung, matanya kosong menatap keluar jendela. Tiba-tiba, teleponnya berdering, memecah keheningan. Sebuah nomor yang asing bagi Valeria telah mengirimkan sebuah file kepadanya.Wajah bingung Valeria kini menghiasai pantulan bayangannya di layar ponsel itu. Dengan sedikit ragu, Valeria membuka file tersebut yang ternyata adalah sebuah vedeo.Vedeo berputar menujukkan dimana sebuah tempat yang tampak tidak asing bagi Valeria. Ya, itu adalah rekaman CCTV di rumah Ricci, Valeria paham betul karena dia sering ke dapur saat masih tinggal di sana.Valeria masih tidak menyadari sesuatu, hanya ada seorang
Salvatore keluar dari mobil, diikuti oleh dua pria berjas hitam yang selalu setia di sisinya. Matanya menyapu sekeliling, menilai dengan dingin kerumunan yang mengantri untuk masuk. Mereka tidak perlu mengantri. Satu anggukan dari Salvatore, dan penjaga pintu segera membuka jalan, membiarkan mereka melangkah melewati kerumunan yang mendadak terdiam.Begitu mereka memasuki klub, Salvatore merasakan perubahan atmosfer yang langsung menghantam indra. Musik yang menggetarkan lantai, lampu-lampu berwarna yang berputar, dan keramaian yang bergerak seolah-olah tanpa aturan. Di bawah cahaya yang redup, wajah-wajah tampak kabur, dipenuhi oleh kebebasan dan kegilaan malam.Namun, tujuan Salvatore sudah jelas. Mereka tidak berhenti di lantai dansa. Tanpa sepatah kata, pria-pria di belakangnya mengiringi langkahnya menuju tangga menuju lantai atas, di mana ruangan VIP menanti. Di puncak tangga, seorang pelayan yang berpakaian rapi membungkuk dalam-dalam. "Selamat malam, Tuan Salvatore. Ruangan A
"Kau dengar? CEO Morreti Club yang baru akan datang hari ini.""Ya, aku dengar itu. Aku juga dengar, anak dari keluarga Morreti yang akan menjadi CEO.""Bagaimana bisa? Bukankah keluarga Morreti sudah bangkrut selama beberapa tahun terakhir? Mereka sudah menjual saham mereka ke orang lain.""Aku dengar kabar, kalau mereka cuma pura-pura bangkrut. Jika tidak, perusahaan Morreti ini bukankah sudah lama berganti nama? Nyatanya tidak."Tak lama sebuah suara langkah kaki masuk ke dalam ruang rapat tersebut yang membuat mereka semua terdiam. Seorang wanita cantik, tinggi langsing dan tentunya sangat menawan membuat mereka terpana."Selamat siang semuanya," kata Valeria yang kini berdiri di depan mereka semua.Sebelas bulan lamanya sejak kematian sang buah hati, Valeria kini terlihat benar-benar sangat berbeda dari sebelumnya. Mereka mempertanyakan siapa wanita cantik itu sebenarnya.Karena selama ini berita tentang keluarga Morreti benar-benar bagai tenggelam didasar bumi. Tidak ada satupun
"Sayang, nanti jadi kan makan malam?"Margareta mengusap dada Julian yang sedang duduk di kursi kerjanya dengan menggoda."Boleh, kamu mau makan di restoran mana? Aku akan pesankan satu restoran untukmu malam ini," kata Julian mengambil tangan Margareta lalu mengecupnya.Tanpa perlu menunggu lama, Julian sudah membawa Margareta ke dalam pangkuannya. Tangannya menelusup ke balik rok pendek milik Margareta."Tapi, sebelum makan malam, bukankah kamu harus memberikan sesuatu kepadaku terlebih dahulu?" bisik Julian di telinga Margareta sambil menyeringai."Mau di sini?" tantangnya."Boleh saja, aku sudah tidak tahan melihatmu beberapa hari terakhir ini."Julian langsung menarik tengkuk Margareta dan mencium bibirnya. Lidah Julian langsung menerobos masuk ke dalam mulut Margareta dan disambut oleh perempuan itu.Keduanya saling bertukar saliva di atas kursi kerja Julian. Cumbuan mereka semakin panas, sampai Julian dengan sengaja mena
Gemerlap cahaya lampu malam ini terlihat sangat indah. Pesta penyambutan Valeria sebagai CEO digelar megah di hotel bintang lima milik Morreti Club.Tidak hanya itu, hampir semua pengusaha di seluruh Italia juga hadir malam ini. Berbagai orang-orang penting di kota juga datang untuk memberikan Valeria selamat."Sepertinya dia tidak datang?" bisik Anna di samping Valeria."Kita lihat saja, lagipula dia harus lihat diriku yang sekarang," balas Valeria.Wanita cantik itu kini tengah menikmati Wine di tangannya. Gaun panjang berwarna ungu tua dengan belahan dada rendah dan punggung terbuka membuatnya sangat menawan. Belum lagi rambut yang disanggul ke atas memperlihatkan leher jenjangnya yang mulus.Valeria ingin membuktikan kepada Julian jika dia telah membuat keputusan yang salah karena membuangnya. Mulai hari ini, Valeria pastikan akan membuat semua keluarga Ricci hancur di tangannya.Karena RC Group juga sangat berpengaruh, Valeria bersiasat untuk mengambil hati pebisnis lain agar bisa
Sore itu, Salvatore tiba di kantor Valeria dengan niat untuk menjemputnya setelah hari yang panjang. Namun, Amara memaksa ikut bersamanya. Meskipun Salvatore tidak menolaknya, dia merasa sedikit terganggu dengan kehadiran sepupunya, terutama karena Valeria belum sepenuhnya nyaman dengan Amara. Saat Salvatore dan Amara menunggu di depan gedung kantor, Alessio tiba-tiba muncul. Dia turun dari mobil, tampak santai namun penuh percaya diri, berjalan ke arah Valeria dengan senyum lebar di wajahnya. Alessio tidak pernah menyembunyikan rasa tertariknya pada Valeria, dan dia tidak ragu untuk menunjukkan perhatiannya di depan orang lain. Valeria yang baru saja keluar dari gedung kini memicingkan matanya melihat Alessio. Dia benar-benar muak dengan keadaan hari ini. Belum lagi dia harus siap mendengarkan omelan Elena saat sampai di rumah karena dia telah melanggar janji untuk pulang setelah makan siang. Melihat Alessio yang mendekati Valeria, Salvatore pun turun dari mobilnya. Dia juga mengha
Valeria kembali ke kantor walaupun tangannya masih terluka dan melepuh akibat insiden penyiraman kopi panas. Meskipun dokter, Salvatore dan orang tuanya, terutama Mommy-nya, telah memintanya untuk beristirahat, Valeria keras kepala. Dia merasa sudah terlalu lama meninggalkan pekerjaannya dan tidak mau membiarkan tanggung jawabnya terabaikan lebih lama."Apa yang kau pikirkan, Valeria? Kau seharusnya di rumah, beristirahat." Elena memarahi dengan nada khawatir melalui telepon. "Luka di tanganmu belum sembuh. Kau tidak perlu terburu-buru kembali ke kantor.""Aku baik-baik saja, Mom. Aku sudah terlalu lama absen. Ada banyak hal yang harus diselesaikan," jawab Valeria, mencoba menenangkan."Mommy gak mau tau, kamu pulang sekarang.""Gak bisa, Mom.""Mommy akan menyuruh seseorang untuk menyeret kamu pulang."Valeria mendesah pelan. Bagaimanapun juga, Elena akan benar-benar melakukan itu, jadi Valeria harus melakukan negosiasi dengannya."Sampai jam makan siang, oke? Setelah itu aku akan pu
Keesokan harinya, Valeria berjalan menuju gedung kantor dengan langkah biasa. Dia terlihat sangat profesional dan elegan. Apapun yang terjadi, Valeria tetap mengutamakan pekerjaannya.Saat dia mendekati pintu masuk, tiba-tiba saja seorang pria tak dikenal dengan cepat mendekat dan tanpa peringatan menyiramkan kopi panas ke arahnya. Valeria terkejut, menjerit kesakitan, merasa panas di lengan dan bahunya."Akh!""Hai kau!" teriak seseorang saat melihat pria itu menyiram Valeria.Semua orang yang ada di sana langsung menoleh ke arah Valeria dan pria itu langsung berlari kabur dari sana. Para staf di sekitar gedung segera membantu dan membawa Valeria ke rumah sakit terdekat.Berita mengenai insiden tersebut dengan cepat sampai ke telinga Salvatore. Wajahnya memucat saat mendengar laporan itu, perasaannya campur aduk antara marah dan khawatir. Dia segera meninggalkan semua pekerjaannya dan bergegas menuju rumah sakit.Saat tiba, Salvatore menemui Valeria yang tengah dirawat. Luka bakar di
Setelah makan malam, Valeria memutuskan untuk pulang. Meskipun Salvatore sudah beberapa kali membujuknya, wanita itu tetap saja kekeh. Padahal Salvatore masih ingin berlama-lama dengan Valeria.Mau tidak mau Salvatore pun mengantarkan Valeria pulang. Sayangnya, Amara terus saja mengikuti mereka. Valeria mulai jengah dengan sikap manja Amara yang seolah di buat-buat.Di dalam mobil, suasana terasa tegang dan canggung. Salvatore yang duduk di depan, sesekali melirik ke arah Valeria yang terlihat resah di sampingnya. Setiap kali Salvatore mencoba berbicara lebih dekat dengan Valeria, Amara yang duduk di jok belakang selalu saja menyela percakapan mereka dengan hal-hal yang sepele."Sepertinya aku akan mampir sebentar untuk menyapa Tuan Lorenzo. Aku merasa sudah lama tidak berbicara dengannya."Valeria tersenyum. "Aku rasa, Daddy sedang minum teh di jam seperti ini. Kau bisa-""Valeria, rumahmu jauh dari sini?" Amara bertanya dengan nada ceria, memotong ucapan Valeria, seakan tidak menyad
Valeria memasak dengan cermat di dapur, namun pikirannya tidak bisa fokus sepenuhnya. Setiap kali mengaduk panci atau menyiapkan bahan, bayangan Amara terus mengganggu benaknya.Satu jam yang lalu, Salvatore tiba-tiba saja keluar dari ruang kerjanya dan pergi begitu saja. Dia kembali bersama gadis cantik yang anggun dan lemah lembut.Amara, dengan sikap manja dan terlalu dekat dengan Salvatore, seolah menancapkan duri di hati Valeria. Meskipun Salvatore sudah jelas mengatakan bahwa Amara hanyalah adik sepupu. Namun, cara Amara memperlakukan Salvatore terasa terlalu intim untuk sekadar hubungan keluarga.Valeria mencoba menenangkan dirinya, meyakinkan bahwa Salvatore tidak mungkin berkhianat. Mengingat mereka berdua sudah memutuskan untuk pacaran.Namun sikap hangat Salvatore kepada Amara di depan matanya membuat kecemburuan muncul tanpa bisa dia cegah. Setiap tawa Amara yang menggema di mansion, setiap sentuhan kecil pada lengan Salvatore, membuat Valeria semakin tidak nyaman."Apakah
Salvatore duduk tenang sambil menggenggam tangan Valeria yang kini tertidur di bahunya. Sudah beberapa jam sejak mereka melakukan penerbangan dari Singapura. Valeria terlalu lelah sampai-sampai tak bisa membuka matanya sepanjang perjalanan.Senyum tipis terulas di bibir Salvatore sambil memandang keluar jendela mobil yang melaju ke kota Milan. Dia mengingat betapa manjanya Valeria semalam saat meminta dirinya melakukan hal itu.Namun, Salvatore justru tidak memberikan apa yang Valeria mau. Entah apa yang merasuki Salvatore, dia ingin melakukannya ketika mereka sudah menikah. Salvatore hanya menyalurkan hasrat mereka dengan cara lain."Tuan, apa kita langsung pergi ke kediaman Morreti?" tanya sang supir.Salvatore menatap ke depan, ke arah spion. "Ke mansion saja dulu.""Baik."Mata Salvatore langsung beralih ke Valeria yang terlihat bergumam dalam tidurnya. Tangan kekar itu dengan lembut mengusap kepala Valeria agar tidurnya semakin nyaman.Setelah sampai di mansion, Valeria terbangun
Desahan Valeria terdengar menggema di ruangan itu. Tangan kiri Salvatore sengaja menahan kedua tangan Valeria di atas kepalanya.Tubuh Salvatore menghimpit Valeria ke tembok sampai perempuan itu tidak bisa lepas dari cengkeramannya. Ciuman Salvatore juga semakin liar saat mengisap dan menyecap lidah Valeria."Um! Salvatore!"Mata Valeria menatapnya dengan sayu. Tubuhnya mulai dikuasai kabut hasrat karena sentuhan Salvatore."Apa?"Suara Salvatore terdengar sangat seksi di telinga Valeria. Wajah tampan itu benar-benar memabukkan Valeria."Jangan menyiksaku seperti ini lagi," gumam Valeria.Tawa kecil terdengar dari bibir Salvatore. "Kau sudah tersiksa hanya karena seperti ini saja? Huh?!""Ah!"Salvatore dengan sengaja meremas kedua pantat Valeria yang masih terbungkus gaun indahnya. Untung saja Salvatore sudah membawa Valeria ke hotel. Jika tidak, maka mereka akan melakukan ini di restoran tadi."Salvatore!"Valeria terlihat protes tapi nyatanya hal itu justru terdengar sebagai rengek
Malam ini, Salvatore mengajak Valeria ke sebuah restoran mewah di Singapura, yang terletak di puncak gedung pencakar langit dengan pemandangan indah kota yang dipenuhi lampu-lampu. Suasananya intim, dengan cahaya lilin di meja mereka yang menyala lembut, dan suasana romantis mengelilingi mereka. Valeria mengenakan gaun yang elegan, sementara Salvatore tampak tampan dengan jas hitamnya.Salvatore sambil tersenyum kepada Valeria, matanya penuh kasih sayang. Meski besok mereka harus kembali ke Milan, malam ini ia bertekad membuat Valeria merasa istimewa."Kenapa juga kau mengajak ku makan malam seperti ini? Katanya nanti malam ada rapat online," gumam Valeria saat melihat Salvatore sudah duduk di seberang meja."Sengaja, Dolcezza. Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu."Sambil menyantap hidangan lezat, mereka berbincang ringan. Sesekali, Salvatore menggenggam tangan Valeria yang terletak di meja, memberinya ciuman lembut di punggung tangan. Dia benar-benar memberikan perhatian penu
"Hai, Baby. Kamu baik-baik saja?"Marvelion berjalan mendekatinya Sofia yang berjalan pincang di koridor kantor. Perempuan itu tampak mengernyit karena sakit."Kamu kenapa? Kesleo?"Sofia menatap tajam Marvelion. "Ini semua gara-gara Valeria. Minggir!"Marvelion yang baru saja hendak memegang tangan Sofia untuk membantunya, kini mematung di tempat sambil menatap kepergian Sofia. Baru kali ini Marvelion melihat sikap kasar Sofia. Padahal biasanya, perempuan itu selalu terlihat lemah lembut dan penuh kasih sayang.Sofia baru bisa kembali ke kantor sejak satu Minggu yang lalu karena Valeria mendorongnya. Selama itu dia benar-benar tidak bisa jalan. Dia benar-benar murka kepada Valeria sampai-sampai lupa menyembunyikan topengnya dari orang lain."Valeria sialan!" gumam Sofia saat membuka sepatu sneakers-nya di meja kerja."Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?""Bawakan semua berkas yang tertunda kemarin," kata Sofia sambil mengibaskan tangannya."Baik nyonya." Perempuan itu segera pergi dari