“Morgan, kenapa membawaku ke sini?”
Valeria bertanya-tanya kenapa Morgan membawanya ke rumah lama keluarga Morreti. Beberapa tahun yang lalu rumah itu sudah disita bank saat keluarga Morreti bangkrut.
Mobil hitam mewah itu memasuki halaman rumah yang sangat luas. Rumah megah bak istana itu juga terlihat masih sama dengan polesan batu marmer di setiap sudutnya.
"Silahkan, Valeria," kata pria 8 tahun lebih tua itu. Morgan membukakan pintu mobil untuk Valeria yang masih terlihat bingung. Morgan mengarahkan lengannya, "Tuan besar akan menjelaskan semuanya."Valeria melingkarkan tangannya di lengan Morgan. Mereka berdua masuk kedalam rumah besar tersebut. Semuanya masih sama bagi Valeria, suasana rumah tersebut membawakan kenangan lama Valeria. Dulu di rumah itu Valeria menghabiskan masa kecil dan remajanya dengan menjadi anak nakal dan manja.
Morgan membawa Valeria ke sebuah ruangan yang dia tahu ruangan itu adalah tempat keluarga besarnya berkumpul. Saat pintu besar itu terbuka semua orang yang ada di sana langsung memandang ke arah Valeria.
"Vale," gumam wanita cantik paruh baya yang menatap Valeria dengan berkaca-kaca.
"Mommy ...." Valeria melepaskan tangan Morgan untuk menghampiri wanita itu.
Elena menghampiri Valeria dengan tergesa-gesa lalu keduanya saling berpelukan. "Vale, Mommy sangat merindukanmu," ucap Elena dengan berlinang air mata.
Valeria tak kuasa menahan isak tangisnya. Dia melimpahkan semua perasaan sakitnya yang sejak kemarin dia rasakan.
Terlebih lagi, sudah setahun lamanya Valeria tidak melihat wajah sang ibu. Sejak memutuskan untuk menikah dengan Julian, Valeria sudah tidak pernah diizinkan untuk bertemu kembali dengan Elena.
Tangan keriput yang masih terlihat terawat itu mengusap bulir air mata Valeria. "Kamu apa kabar, Honey?"
Valeria hanya menggelengkan kepalanya. Semuanya tidak baik-baik saja, dia kehilangan anaknya dan Julian juga berselingkuh di belakangnya selama ini. Belum lagi keterkejutan ini, Valeria masih bingung kenapa semua keluarganya bisa ada di sana.
"Selamat datang kembali di rumah, Valeria," ucap pria paruh baya, paman Valeria, Roberto Morreti.
Valeria menoleh, Paman, Bibi dan kedua orang tuanya seperti sedang menunggu kedatangannya.
Tak lama, Lorenzo Morreti, ayah Valeria menghampiri mereka berdua. Tatapan yang selalu tajam dan mematikan itu masih sama seperti dulu di saat Valeria terakhir kali melihatnya.
"Daddy ...," gumam Valeria dengan mata berkaca-kaca.
Meskipun Lorenzo sangat keras kepada Valeria, tapi sejak dulu Valeria sangat manja kepadanya. Hanya dengan melihat mata Lorenzo saja Valeria sudah mau mengadu kepadanya.
Lorenzo hanya merentangkan kedua tangannya mempersilahkan Valeria masuk ke dalam pelukannya.
Tanpa menunggu lama Valeria memeluk tubuh yang masih tegap itu. Valeria kembali menangis di pelukan Lorenzo, dia terisak-isak sampai kesulitan bernapas.
"Maafkan Vale, Dad. Vale sangat bodoh," gumamnya sambil tergugu.
"Kamu baru sadar jika kamu bodoh?" kata Lorenzo begitu saja tanpa perasaan membuat Elena menyenggol keras lengan Lorenzo.
Hal itu justru membuat Valeria tertawa. Dia sangat merindukan kedua orang tuanya.
Elena membawa Valeria duduk di sofa bersama yang lain. Tatapan bibinya sejak tadi tak pernah lepas dari Valeria. Dia bahkan menatap Valeria dari atas sampai ke bawah.
"Ck, ck, ck, lihatlah, Baby. Pria itu bahkan tak bisa mengurusmu dengan benar. Aku rasa aku mau membunuhnya," ucap Giulia.Valeria tidak bisa membalas ucapan bibinya itu. Dia tahu benar memang banyak yang berubah sejak dia menikah dengan Julian, dan perubahan itu bukan ke arah yang bagus.
Dia menjadi lebih jelek daripada saat dia masih lajang, kulitnya kusam dan kasar. Rambutnya juga tak terurus, apalagi sejak melahirkan, tubuhnya menjadi gendut. Hal itu lah yang membuat Julian berpaling, karena dia pikir Valeria sudah tak secantik dulu lagi saat pertama kali dia dapatkan.
Bukan apa, Valeria sendiri juga hidup tak layak di keluarga Ricci membuatnya menjadi seperti ini. Ibu mertuanya melarang Valeria menggunakan uang Julian dengan seenaknya atau bahkan tak memperbolehkan Valeria membeli barang keperluannya sendiri.
Setelah berbincang beberapa saat, Valeria yang tadinya banyak diamnya kini mulai angkat bicara. "Mom, Dad, bukankah kita sudah lama bangkrut dan rumah ini disita? Kenapa ..., kita ada di sini sekarang?"
Mereka semua saling pandang dan berakhir menatap Lorenzo. Pria paruh baya yang duduk di sofa single itu berdehem sejenak. "Ehem, sebenarnya kita tidak pernah bangkrut Vale," kata Lorenzo.
"Apa?" gumam Valeria terkejut, "bagaimana bisa?"
Kemudian, bergantian, orang tua beserta paman dan bibinya menjelaskan apa yang terjadi selama ini.
Selama ini, mereka hanya ingin menguji Valeria. Sebagai satu-satunya pewaris Moretti, mereka menginginkan dia mendapatkan hal yang layak. Dan menurut orang tuanya, Julian bukanlah pria yang tepat untuk mendampingi Pewaris Moretti.
"Jadi semuanya hanya karangan kalian?" gerutu Valeria sambil menatap meja besar yang ada di hadapannya.
Elena mengusap tangan Valeria lalu menggenggamnya. "Honey, bukannya kami membuangmu tapi saat itu kamu terlihat sangat gigih dan Daddy-mu ...." Elena melirik suaminya sekilas. "Daddy sangat marah dan membiarkan kamu pergi. Namun, kamu tau Daddy tidak pernah mengabaikanmu bukan? Selama ini dia mengawasimu dari jauh," jelas Elena.
Valeria tertawa lirih. "Lalu, apa untungnya bagiku sekarang?"
Dia merasa semuanya sudah tak berguna lagi. Dia hancur sekarang; tubuhnya, mentalnya, bahkan dia kehilangan anaknya.
Andai jika dulu Lorenzo dan yang lainnya memberitahu sejak awal, apa dia tidak akan menjadi seperti ini? Di dalam hati Valeria mulai menyalahkan semua orang dan keadaan yang dia lalui.
"Kalian membawaku ke sini karena tau hidupku sudah hancur? Miris sekali."
"Daddy membawamu pulang karena sudah saatnya kamu mengambil apa yang menjadi milikmu, Vale." Lorenzo menatapnya tajam. "Lagipula, mana mungkin aku biarkan seorang Morreti hidup di jalanan karena dibuang oleh orang-orang yang telah membuatmu sengsara?” Rahang Lorenzo mengetat kala mengatakan kalimat itu. “Kepergianmu dari keluarga Ricci sudah menjadi alasan yang cukup untuk Daddy membawamu kembali."
Dari sana, Valeria berpikir keras. Bukankah jika ingin membalas apa yang keluarga Ricci lakukan padanya, dia membutuhkan amunisi sebanyak-banyaknya?
Saat Valeria tengah menimbang, Lorenzo kembali bertanya dengan penuh wibawa, “Jadi, apa kamu siap menjadi Pewaris Moretti, Valeria?”
"TIDAK! JANGAN!" Valeria berteriak dengan peluh membasahi dahinya. Tubuhnya seketika terduduk di atas kasur empuk yang sudah beberapa minggu ini menampung air matanya.Mata Valeria melihat ke sekeliling dan mendapati kamarnya masih sama. Helaan napas berat keluar dari mulutnya, dia hanya bermimpi. Mimpi yang sangat buruk. Rasa sesak di dada Valeria membuatnya menangis tersedu-sedu. Lagi-lagi rasa sakit hatinya masih menjalar sangat dalam di hati Valeria.Tok! Tok!Suara ketukan pintu diikuti perkataan seorang pelayan di depan kamarnya membuat Valeria menghapus air mata."Nona Valeria, Nyonya besar sudah menunggu di bawah."Dengan suara parau, dia mencoba menyahut, "Setengah jam lagi aku akan turun." "Baik Nona."Valeria turun dari ranjangnya, gegas dia langsung masuk ke dalam kamar mandi. Meskipun tubuhnya terasa lemah dan tak berdaya, Valeria memaksakan untuk turun dari ranjang. Setelah pulang ke rumah, sudah hampir tiga minggu Valeria hanya merenung, mengurung diri bahkan terlihat
Valeria berjalan-jalan di lorong rumah sakit. Ada perasaan lega setelah melakukan sesi konseling dengan Grace.Langkah kaki Valeria kini sampai di halaman rumah sakit. Rumput hijau dan juga udara yang segar membawa ketenangan tersendiri untuk Valeria.Sebuah bola tiba-tiba menggelinding sampai di kaki Valeria. Perempuan itu segera mengambilnya, lalu datang bocah berumur 3 tahun menghampirinya."Aunty, itu bolaku," ucapnya.Dengan senyuman kecilnya, Valeria memberikan bola itu kepadanya."William! Ah, maafkan anak saya Nyonya. Dia sangat aktif dan nakal sekali," kata seorang wanita muda yang baru saja menghampiri mereka. Dia mengenakan baju pasien dan menggendong bayi di pelukannya. "William, minta maaf ke Aunty," bisiknya.Valeria tak mempermasalahkan itu, lagipula dia tidak melukai Valeria. Justru kini tatapan mata Valeria menatap nanar bayi yang ada di gendongan sang wanita itu.Hati Valeria terasa teriris. Dia sangat merindukan Nolen-putranya. Andai jika Nolen masih ada, Valeria t
Sudah beberapa hari berlalu sejak Valeria pingsan di taman rumah sakit. Waktu berlalu begitu lambat, seolah menyiksa setiap detik yang dilalui tanpa kehadiran Nolen. Tapi, hari ini berbeda. Ada perasaan aneh yang menggelayut di benaknya sejak pagi, seolah-olah angin membawa kabar buruk yang tak dapat dia tolak.Di ruang tamu rumahnya yang sepi, Valeria duduk termenung, matanya kosong menatap keluar jendela. Tiba-tiba, teleponnya berdering, memecah keheningan. Sebuah nomor yang asing bagi Valeria telah mengirimkan sebuah file kepadanya.Wajah bingung Valeria kini menghiasai pantulan bayangannya di layar ponsel itu. Dengan sedikit ragu, Valeria membuka file tersebut yang ternyata adalah sebuah vedeo.Vedeo berputar menujukkan dimana sebuah tempat yang tampak tidak asing bagi Valeria. Ya, itu adalah rekaman CCTV di rumah Ricci, Valeria paham betul karena dia sering ke dapur saat masih tinggal di sana.Valeria masih tidak menyadari sesuatu, hanya ada seorang
Salvatore keluar dari mobil, diikuti oleh dua pria berjas hitam yang selalu setia di sisinya. Matanya menyapu sekeliling, menilai dengan dingin kerumunan yang mengantri untuk masuk. Mereka tidak perlu mengantri. Satu anggukan dari Salvatore, dan penjaga pintu segera membuka jalan, membiarkan mereka melangkah melewati kerumunan yang mendadak terdiam.Begitu mereka memasuki klub, Salvatore merasakan perubahan atmosfer yang langsung menghantam indra. Musik yang menggetarkan lantai, lampu-lampu berwarna yang berputar, dan keramaian yang bergerak seolah-olah tanpa aturan. Di bawah cahaya yang redup, wajah-wajah tampak kabur, dipenuhi oleh kebebasan dan kegilaan malam.Namun, tujuan Salvatore sudah jelas. Mereka tidak berhenti di lantai dansa. Tanpa sepatah kata, pria-pria di belakangnya mengiringi langkahnya menuju tangga menuju lantai atas, di mana ruangan VIP menanti. Di puncak tangga, seorang pelayan yang berpakaian rapi membungkuk dalam-dalam. "Selamat malam, Tuan Salvatore. Ruangan A
"Kau dengar? CEO Morreti Club yang baru akan datang hari ini.""Ya, aku dengar itu. Aku juga dengar, anak dari keluarga Morreti yang akan menjadi CEO.""Bagaimana bisa? Bukankah keluarga Morreti sudah bangkrut selama beberapa tahun terakhir? Mereka sudah menjual saham mereka ke orang lain.""Aku dengar kabar, kalau mereka cuma pura-pura bangkrut. Jika tidak, perusahaan Morreti ini bukankah sudah lama berganti nama? Nyatanya tidak."Tak lama sebuah suara langkah kaki masuk ke dalam ruang rapat tersebut yang membuat mereka semua terdiam. Seorang wanita cantik, tinggi langsing dan tentunya sangat menawan membuat mereka terpana."Selamat siang semuanya," kata Valeria yang kini berdiri di depan mereka semua.Sebelas bulan lamanya sejak kematian sang buah hati, Valeria kini terlihat benar-benar sangat berbeda dari sebelumnya. Mereka mempertanyakan siapa wanita cantik itu sebenarnya.Karena selama ini berita tentang keluarga Morreti benar-benar bagai tenggelam didasar bumi. Tidak ada satupun
"Sayang, nanti jadi kan makan malam?"Margareta mengusap dada Julian yang sedang duduk di kursi kerjanya dengan menggoda."Boleh, kamu mau makan di restoran mana? Aku akan pesankan satu restoran untukmu malam ini," kata Julian mengambil tangan Margareta lalu mengecupnya.Tanpa perlu menunggu lama, Julian sudah membawa Margareta ke dalam pangkuannya. Tangannya menelusup ke balik rok pendek milik Margareta."Tapi, sebelum makan malam, bukankah kamu harus memberikan sesuatu kepadaku terlebih dahulu?" bisik Julian di telinga Margareta sambil menyeringai."Mau di sini?" tantangnya."Boleh saja, aku sudah tidak tahan melihatmu beberapa hari terakhir ini."Julian langsung menarik tengkuk Margareta dan mencium bibirnya. Lidah Julian langsung menerobos masuk ke dalam mulut Margareta dan disambut oleh perempuan itu.Keduanya saling bertukar saliva di atas kursi kerja Julian. Cumbuan mereka semakin panas, sampai Julian dengan sengaja mena
Gemerlap cahaya lampu malam ini terlihat sangat indah. Pesta penyambutan Valeria sebagai CEO digelar megah di hotel bintang lima milik Morreti Club.Tidak hanya itu, hampir semua pengusaha di seluruh Italia juga hadir malam ini. Berbagai orang-orang penting di kota juga datang untuk memberikan Valeria selamat."Sepertinya dia tidak datang?" bisik Anna di samping Valeria."Kita lihat saja, lagipula dia harus lihat diriku yang sekarang," balas Valeria.Wanita cantik itu kini tengah menikmati Wine di tangannya. Gaun panjang berwarna ungu tua dengan belahan dada rendah dan punggung terbuka membuatnya sangat menawan. Belum lagi rambut yang disanggul ke atas memperlihatkan leher jenjangnya yang mulus.Valeria ingin membuktikan kepada Julian jika dia telah membuat keputusan yang salah karena membuangnya. Mulai hari ini, Valeria pastikan akan membuat semua keluarga Ricci hancur di tangannya.Karena RC Group juga sangat berpengaruh, Valeria bersiasat untuk mengambil hati pebisnis lain agar bisa
Valeria menggerutu kesal sambil berjalan ke sisi lain dari pesta. Dia kesal melihat Julian yang memperlakukannya dengan seenaknya sendiri.Dia sendiri tak menyangka jika Julian akan lebih agresif dari biasanya."Siapa pria tadi? Jika aku membuat masalah dengannya, itu juga tidak akan baik," gumam Valeria.Dia mengingat pria yang baru saja diguyur minuman olehnya. Pria itu langsung pergi begitu saja sebelum Valeria meminta maaf. Hal itu membuat Valeria sendiri tak enak jadinya."Kak Val!"Teriakan itu membuat Valeria menoleh ke arah sumber suara. Hatinya menjadi bergemuruh dan darahnya mendidih saat melihat perempuan cantik yang ada di sana.Sofia, dia tengah tersenyum ke arah Valeria dan berjalan menghampirinya. Tangan Valeria menggenggam kuat. Rasa sakit di hatinya menjalar ke seluruh tubuh.Valeria masih ingat jelas senyuman manis itu selalu menyambutnya dimanapun dia berada. Hanya Sofia yang selalu tersenyum untuk Valeria di keluarga Ricci. Hanya Sofia-lah juga yang bisa Valeria per
Senja mulai turun ketika Valeria keluar dari mobilnya. Udara sore di Milan terasa sejuk, langit berwarna jingga keemasan, dan angin bertiup lembut menerpa wajahnya. Dia berjalan menuju butik tempatnya akan melakukan fitting gaun pengantin, tetapi langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang berdiri di kejauhan.Julian.Pria itu berdiri di seberang jalan, mengenakan kemeja biru tua yang sedikit kusut dan celana bahan hitam. Ekspresinya sendu, matanya menatap Valeria dengan perasaan yang sulit ditebak. Saat mata mereka bertemu, Julian melangkah mendekat."Valeria," suaranya terdengar lirih namun tetap jelas.Valeria menatapnya tanpa ekspresi, tidak ada kebencian, tetapi juga tidak ada kehangatan. "Ada apa?" tanyanya dengan nada netral.Julian menelan ludah, lalu melirik ke kafe kecil yang ada di sudut jalan. "Bisakah kita bicara sebentar? Hanya beberapa menit."Valeria menimbang sejenak. Salvatore masih dalam perjalanan, dan entah kenapa, ada sesuatu di mata Julian yang membu
Di sebuah lorong parkiran bawah tanah yang sepi, langkah sepatu hak tinggi Amara menggema di antara dinding beton. Dia berjalan dengan tergesa-gesa, matanya tajam mengawasi sosok pria yang baru saja keluar dari mobil hitamnya."Salvatore!" suaranya melengking, menggema di ruangan yang lengang.Salvatore berhenti di tengah langkahnya. Rahangnya mengeras, dan kedua tangannya mengepal. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi, dan dia tidak berniat meladeni ini lebih lama.Amara berdiri di hadapannya, wajahnya dipenuhi amarah bercampur dengan keputusasaan. "Kenapa?" Dia menatap pria itu dengan mata yang berkilat penuh emosi. "Kenapa kau terburu-buru menikahi Valeria? Apa kau benar-benar mencintainya?!"Baru juga beberapa waktu yang lalu Amara melihat Salvatore melamar Valeria di depan banyak orang, kini dia mendengar berita pernkahan mereka berdua. Menurutnya, ini sangat tergesa-gesa.Salvatore mendesah panjang, menahan gejolak di dadanya. Dia menatap Amara dengan dingin, tatapan yang cukup
Salvatore tidak ingin menunda lebih lama lagi. Setelah semua yang mereka lalui, dia ingin segera menikahi Valeria dalam kurun waktu satu bulan. Persiapan pernikahan pun dimulai dengan cepat. Valeria sibuk mengurus banyak hal bersama Anna, keponakannya sekaligus sahabat terdekatnya.Valeria melangkah dengan ringan di trotoar bersama Anna, senyum kecil terukir di wajahnya saat mereka berbincang tentang dekorasi pernikahan yang hampir rampung. Sore itu terasa begitu tenang, udara Milan sejuk, dan sinar matahari keemasan menyelimuti jalanan kota.Saat mereka tiba di depan kafe, Valeria baru saja mengulurkan tangan untuk membuka pintu ketika-BRAK!Tubuhnya terdorong ke belakang dengan kasar, kepalanya tersentak ke belakang, dan rasa nyeri tiba-tiba menjalar di kulitkepalanya. Valeria mengerang pelan, tangannya refleks mencengkeramrambutnya yang ditarik dengan brutal."Kau wanita jalang!" Sebuah suara melengking terdengar, penuh kemarahan dan kebencian.Anna yang berada di sampingnya mem
Malam itu, sebuah jamuan mewah diadakan di salah satu hotel bintang lima milik Morreti Club. Ruang makan pribadi di lantai tertinggi hotel itu didekorasi dengan elegan—lampu kristal yang menggantung di langit-langit, lilin-lilin kecil di atas meja panjang, serta alunan musik klasik yang mengalir lembut di latar belakang.Lorenzo Morreti, Elena, Roberto, Giulia, dan seluruh anggota keluarga Morreti hadir. Di antara mereka, Salvatore duduk di samping Valeria, tangannya memegang gelas anggur dengan ekspresi santai, tetapi tetap berwibawa.Pelayan datang membawa hidangan utama—steak wagyu dengan saus truffle, disajikan bersama kentang panggang dan asparagus. Saat makanan mulai disantap, percakapan ringan pun mengalir di antara mereka."Akhirnya, kita bisa duduk bersama seperti ini lagi," ujar Giulia, bibi Valeria, sambil tersenyum hangat. "Sudah lama sejak terakhir kali keluarga kita berkumpul tanpa ada tekanan bisnis atau masalah di luar.""Dan kali ini, dengan tambahan anggota baru," ta
Di hari yang sama ketika Sofia Ricci ditangkap, sebuah kabar mengejutkan kembali mengguncang Milan. Morreti Club, yang selama ini dianggap di ambang kehancuran, tiba-tiba berbalik arah. Dalam kurun waktu yang sangat singkat, saham yang sebelumnya dikuasai Alessio telah berpindah tangan. Yang lebih mengejutkan, pemilik barunya bukan hanya Valeria Morreti—tapi juga Salvatore Marino.Tidak ada yang tahu bagaimana Salvatore bisa melakukannya. Milan mengenalnya sebagai pebisnis kecil, seorang pria yang tampaknya hanya pria biasa yang sedang berkembang. Namun, dalam hitungan hari, dia berhasil menumbangkan salah satu tokoh bisnis terbesar di kota itu.Di lobi utama Morreti Club, para karyawan dan pengunjung yang datang terdiam melihat pemandangan yang luar biasa. Valeria Morreti dan Salvatore Marino berjalan berdampingan, memasuki gedung utama dengan penuh percaya diri.Valeria mengenakan gaun hitam elegan, rambutnya tergerai dengan anggun, dan wajahnya menampilkan ekspresi dingin namun ber
Di ruangan kantornya yang luas dan mewah, Julian Ricci duduk terpaku di kursinya. Ponsel di tangannya masih menampilkan berita yang baru saja ia baca: "Sofia Ricci Ditangkap atas Tuduhan Pembunuhan Nolen Ricci"Judul itu seakan menghantamnya lebih keras daripada pukulan mana pun yang pernah ia terima. Tangannya yang memegang ponsel mulai bergetar, dan dadanya terasa sesak.Sofia? Membunuh Nolen?Pikiran Julian berputar cepat, mencoba mencari celah yang mungkin membuktikan bahwa ini semua hanyalah kesalahpahaman. Namun, berita itu disertai bukti—rekaman CCTV, rekaman suara, dan keterangan saksi. Semua mengarah pada satu kenyataan yang tak bisa dibantah. Adiknya sendiri telah membunuh anaknya.Tangan Julian mengepal kuat, giginya mengertak. Dia merasa marah, tetapi lebih dari itu, dia diliputi rasa bersalah yang begitu dalam.Dia masih ingat dengan jelas hari di mana Nolen meninggal. Betapa hancurnya Valeria saat itu. Betapa sakitnya dia kehilangan putranya sendiri. Tapi yang lebih meny
Hari berjalan dengan tenang tanpa ada keributan. Sofia sangat menikmati itu. Dia duduk santai di kursi eksekutifnya, jari-jarinya dengan anggun memegang secangkir teh hangat. Dari balik jendela luas kantornya, dia bisa melihat pemandangan kota yang ramai, namun pikirannya hanya terfokus pada satu hal—kehancuran Morreti Club.Setiap laporan yang masuk dari bawahannya semakin memperjelas betapa lambat namun pasti, Valeria kehilangan cengkeramannya atas perusahaan keluarga itu. Hal ini memberinya kepuasan yang luar biasa. Sejak dulu, dia tidak pernah menyukai Valeria, dan kini, melihat wanita itu jatuh perlahan membuatnya merasa menang. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.BRAK!Pintu kantor Sofia terbuka dengan kasar, membuatnya terlonjak. Seketika, beberapa pria berseragam polisi memasuki ruangan dengan wajah serius."Ny. Sofia Ricci," salah satu petugas berbicara dengan nada tegas, "Anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap Nolen Ricci, putra Valeria Morreti, dua tahun la
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar ruang makan keluarga Morreti. Aroma kopi yang baru diseduh menyebar ke seluruh ruangan, bercampur dengan wangi roti panggang dan hidangan sarapan lainnya. Valeria dan Salvatore baru saja tiba setelah jogging dan belanja di supermarket. Mereka duduk di meja makan bersama Lorenzo dan Elena."Bagaimana jogging kalian?" tanya Elena sambil menuangkan kopi untuk dirinya sendiri.Valeria tersenyum, mengambil potongan croissant dari piring tengah. "Menyenangkan. Cuacanya sangat bagus pagi ini."Salvatore yang duduk di samping Valeria ikut menambahkan, "Ya, dan kami bertemu seseorang yang cukup menarik."Lorenzo mengangkat alisnya. "Siapa?"Valeria terkekeh, menggigit roti di tangannya sebelum menjawab, "Isabella Ricci."Elena langsung menatapnya penuh perhatian. "Dan apa yang dia lakukan?""Memprovokasiku, tentu saja," jawab Valeria santai. "Tapi aku tidak peduli."Salvatore tersenyum kecil sambil mengaduk kopinya. "Dan aku membuatnya semakin ke
Minggu Pagi yang Tenang. Matahari bersinar hangat di langit biru yang cerah, angin sepoi-sepoi menerpa dedaunan di taman kota yang cukup ramai dengan para pelari pagi dan keluarga yang berjalan santai. Valeria dan Salvatore berlari berdampingan di jalur jogging, langkah mereka ringan, seirama, seakan sudah terbiasa berlari bersama.Salvatore yang mengenakan kaos hitam ketat dan celana olahraga terlihat begitu gagah. Sementara Valeria, dengan legging hitam dan kaos tanpa lengan berwarna biru tua, tampak begitu anggun meski wajahnya sedikit berkeringat. Sesekali Salvatore menoleh ke arahnya, tersenyum penuh makna."Jangan bilang kau sudah lelah?" goda Salvatore sambil mengangkat sebelah alisnya.Valeria mendengus kecil, lalu mempercepat langkahnya. "Jangan meremehkanku. Aku bisa berlari lebih lama darimu."Salvatore tertawa pelan, lalu dengan mudah menyamakan langkahnya dengan Valeria. “Baiklah, kalau begitu kita lihat siapa yang lebih kuat.”Setelah sekitar tiga puluh menit berlari, me