Share

Bab 7

Sudah beberapa hari berlalu sejak Valeria pingsan di taman rumah sakit. Waktu berlalu begitu lambat, seolah menyiksa setiap detik yang dilalui tanpa kehadiran Nolen. Tapi, hari ini berbeda. Ada perasaan aneh yang menggelayut di benaknya sejak pagi, seolah-olah angin membawa kabar buruk yang tak dapat dia tolak.

Di ruang tamu rumahnya yang sepi, Valeria duduk termenung, matanya kosong menatap keluar jendela. Tiba-tiba, teleponnya berdering, memecah keheningan. Sebuah nomor yang asing bagi Valeria telah mengirimkan sebuah file kepadanya.

Wajah bingung Valeria kini menghiasai pantulan bayangannya di layar ponsel itu. Dengan sedikit ragu, Valeria membuka file tersebut yang ternyata adalah sebuah vedeo.

Vedeo berputar menujukkan dimana sebuah tempat yang tampak tidak asing bagi Valeria. Ya, itu adalah rekaman CCTV di rumah Ricci, Valeria paham betul karena dia sering ke dapur saat masih tinggal di sana.

Valeria masih tidak menyadari sesuatu, hanya ada seorang pelayan sedang membuat susu formula. Pelayan bernama Lily yang terakhir kali menjaga Nolen.

Namun, Valeria baru curiga beberapa detik saat Lily membuang bungkus sesuatu setelah memasukkannya kedalam botol susu Nolen.

Botol susu itu langsung diberikan kepada Nolen setelahnya. Bayi kecil Valeria itu langsung melahapnya tanpa sisa. Valeria berfokus ke arah Nolen yang sangat dia rindukan.

Tak lama, ponselnya kembali berdering membuat Valeria kembali tersadar. Nama pamannya, Roberto, muncul di layar. Buru-buru Valeria mengangkat panggilan telepon tersebut. Ada sesuatu dalam nada suara Roberto yang membuat Valeria merasa tidak nyaman.

"Valeria, aku perlu bicara denganmu," suara Roberto terdengar tegang di ujung sana.

"Ya, Paman? Ada apa?" tanya Valeria dengan alis terangkat, berusaha menjaga suaranya tetap tenang.

"Kamu sudah melihat vedeo yang dikirimkan oleh sekretarisku?"

"Ya, baru saja."

Terdengar helaan napas Roberto di ujung sana. "Aku sudah menemukan sesuatu tentang Nolen ..., kematiannya."

Jantung Valeria berdetak lebih cepat. Tangannya menggenggam erat telepon, jemarinya gemetar. "Apa maksud Paman?"

"Aku menemukan bukti bahwa Nolen ..., dia tidak meninggal karena alergi biasa. Dia diracuni, Valeria."

Kata-kata itu menghantam Valeria seperti palu. Dunia di sekitarnya terasa berputar, dan napasnya tertahan. "Apa ... Paman bilang apa?" suaranya bergetar, penuh dengan ketidakpercayaan.

"Penyelidikanku menemukan bahwa mantan adik iparmu, Sofia, yang melakukannya. Dia yang memberikan sesuatu ke dalam susu Nolen agar alerginya kambuh, dia menggunakan pelayan kepercayaanmu untuk melakukan itu dan...," suara Roberto terputus, menyimpan kemarahan yang tersirat.

Valeria tidak bisa menahan dirinya lagi. Tiba-tiba, dia berdiri dengan kemarahan yang menggelegak di dadanya. "Paman, ini tidak mungkin, kan?" dia berteriak, tak peduli lagi pada siapa pun yang mungkin mendengarnya. Tubuhnya gemetar, dan matanya memerah penuh amarah.

Pikirannya dipenuhi bayangan Sofia—wanita yang selalu tersenyum manis, satu-satunya orang yang paling baik kepada Valeria di rumah Ricci, tapi ternyata dia hanya berpura-pura peduli padanya. Valeria ingin menghancurkan sesuatu, apapun, untuk melepaskan amarah yang tak terkendali ini. Dia meraih vas bunga di meja dan melemparkannya ke dinding, pecah berantakan.

Namun, setelah kemarahan itu mereda, hanya ada kehancuran yang tersisa. Lutut Valeria lemas, dan dia jatuh ke lantai. Isak tangisnya pecah, meresapi kesunyian di sekelilingnya. "Nolen... maafkan Mommy," dia berbisik, suaranya penuh penyesalan.

Valeria sendiri tak menyangka. Orang yang benar-benar Valeria percaya justru yang telah menghancurkan hidupnya menjadi berkeping-keping.

Air mata tak henti-hentinya mengalir di pipinya. Dalam kesedihan yang mendalam ini, Valeria teringat semua kenangan manis bersama Nolen. Rasa sakit di dadanya semakin dalam, menciptakan lubang yang tak akan pernah bisa tertutup.

Apa yang bayi mungil itu lakukan sampai-sampai mereka tega membunuhnya? Nolen bahkan hanya bisa menangis dan merengek, kenapa mereka begitu kejam?

Namun, saat air matanya mulai mengering, sesuatu yang lain muncul—kebencian yang dingin, yang membakar jiwa Valeria perlahan-lahan. Valeria mengusap air mata terakhir dari pipinya dan berdiri. Tatapannya kini berubah, dingin dan penuh dendam.

Dengan tangan gemetar, dia mengambil telepon dan menekan nomor yang sangat dikenalinya. Saat suara di ujung sana menjawab, Valeria berbicara dengan nada suara yang dingin dan penuh tekad.

"Bisa kita bertemu? Aku mau membicarakan sesuatu, tentang rahasia keluarga Ricci."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status