Ryuse Adam sangat profesional dalam pekerjaannya, tapi seorang gadis muda dengan mata polos telah membuatnya melanggar peraturan yang dia buat. Selama 32 tahun dia hidup, pertama kalinya, Ryuse tidak bisa mengabaikan Sunny begitu saja—entah bagaimana wajah Sunny yang memohon merobek-robek hatinya dan Ryuse tahu dia telah melakukan kesalahan sudah menyeret Sunny dalam kehidupannya yang gelap. Bagi Sunny, mencintai Ryuse Adam adalah hal yang tidak dia duga sebelumnya. Sunny hanya ingin membayar utang budi karena Ryuse telah menolongnya, namun dia malah jatuh cinta pada sikap hangat Ryuse. Sunny cukup waras untuk menyadari bahwa pekerjaan Ryuse berbahaya, tapi hatinya yang berdentam-dentam selalu ingin berada di sisi Ryuse. Tanpa disadari, cinta dan gelora hasrat akhirnya membara di antara keduanya. Meskipun terpaut usia, adakah yang bisa memadamkannya?
view more“Hentikan gertakan itu, Sunny. Wajahmu terlihat jelek jika memandangiku dengan tatapan itu,” ujar Bibi Joyce sembari meraih cangkir teh dari meja tua di hadapannya. “Jika kau melakukan ini, aku berjanji akan merawat adik dan ibumu. Kau hanya perlu berpura-pura menjadi Anne. Marco tidak akan tahu itu, sebab aku memang belum mengenalkan Anne padanya.”
Sunny mendesah panjang. Kini napasnya terasa berat, seolah semua udara yang dihirup menekan paru-parunya. Permintaan bibi Joyce sulit diterima oleh pikiran Sunny. Lagipula, selama ini bibi Joyce tidak pernah peduli kepada mereka, dia hanya peduli dengan uang dan barang-barang mahal. Bibi Joyce adalah wanita paling licik yang pernah dia kenal. Apapun akan Bibi Joyce lakukan demi keuntungan dirinya sendiri. Setelah tiga tahun tanpa kabar, dia mendadak datang dengan utang yang menumpuk. Sunny mengamati raut wajah bibi Joyce yang tengah menyesap teh. Dadanya bergemuruh oleh amarah. “Aku tidak mau. Biarkan saja Anne yang menikahi pria itu. Bibi terlalu memanjakannya bahkan untuk hal semacam ini pun bibi memintaku untuk menjadi Anne,” tolak Sunny. Dia meremas jemarinya, berusaha menahan diri untuk tidak berkata kasar dan dia gagal. “Aku belum pernah bertemu orang yang lebih sinting dari Bibi. Menikahi seseorang demi utang bibi, heh? Pergilah, kau tidak akan mendapatkan apa yang kau inginkan.” Sunny memberikan senyuman sinis kepada bibi Joyce, tetapi bibi Joyce tidak tersinggung. Dia semakin tidak tahu malu. "Tanah di selatan, aku akan mengembalikan itu pada kalian. Bukankah selama ini kau terus menuntut untuk mengembalikan tanah itu? Sekarang kesempatanmu, asal kau mau menikahi Marco.” Bibi Joyce bersidekap, sesaat kemudian dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Dia menekuri lubang yang menganga di sisi kiri bangunan. “Rumah ini bahkan tidak layak untuk ditempati. Jika kau menikah dengan Marco, setidaknya kalian tinggal di rumah yang bagus.” Sunny melirik ibunya yang terbaring lemah di kasur lapuk, tidak jauh dari tempat mereka duduk. Perasaan bersalah, sedih, marah dan putus asa mengaduk-aduk perasaannya. Jika saja ayahnya masih ada, mungkin kehidupan mereka tidak sepahit ini, mungkin ibunya masih tersenyum bahagia, mungkin adiknya tidak harus menahan malu sering dipanggil karena tidak bayar uang sekolah. Mungkin—semua itu hanyalah harapan sia-sia Sunny. “Dasar ular. Bibi bahkan tidak tahu bagaimana caranya meminta tolong. Apa bibi belum puas melihat kami menderita? Sejak Papa tiada, bibi mengambil semua harta peninggalan Papa. Aku berjuang sendirian menghidupi keluarga ini, membiayai pengobatan Mama dan sekolah Rury. Sedikit pun Bibi tidak pernah menaruh belas kasih kepada kami.” Suara yang keluar dari mulut Sunny lebih terdengar seperti tangisan yang ditahan. Bibi Joyce menyeringai, dia semakin mengangkat wajahnya dengan angkuh. “Kau tidak berubah sama sekali. Sifat keras kepalamu itu mengingatkan aku pada ayahmu. Aku merasa sedih atas kepergian saudaraku itu. Dia memang kakak yang baik hati, tapi aku lebih menyayangi uang.” Bibi Joyce mendesah, “tahun-tahun yang indah berlalu dengan cepat sementara kesedihan seolah bergerak lambat.” Dalam suasana tegang itu, Jane, ibunya Sunny terbatuk-batuk. Jemari Jane yang lemah menyusuri tepian kasur, berusaha untuk bangkit. Melihat Jane yang kesusahan, Sunny berlari membantu Jane untuk duduk. “Pelan-pelan, Ma. Berbaringlah, tubuh Mama masih lemah,” pinta Sunny lembut. “Aku bosan harus berbaring sepanjang hari,” sahut Jane. Dia membuat senyuman tulus seolah menunjukan dia baik-baik saja. “Jangan pikirkan Mama. Nak, kau tidak perlu menuruti permintaan bibimu. Mama tidak setuju jika kau menikah dengan pria asing yang bahkan kita tidak tahu sifatnya.” Sunny mengangguk. Namun, raut wajah bibi Joyce semakin keras. Sorot matanya berubah menakutkan dan di satu sisi juga terlihat licik. Ada keheningan di antara mereka sejenak. Bibi Joyce melemparkan senyuman dan pandangannya berakhir pada cangkir jelek di atas meja. “Bayangkan kesempatan itu seperti cangkir ini,” ujar Bibi Joyce. “Orang bilang kesempatan tidak datang dua kali, tapi bagiku, kesempatan itu seperti air yang dituang ke dalam cangkir. Ada banyak kesempatan yang datang, kau malah melewatkannya begitu saja yang berujung cangkirmu tetap kosong. Lantas, akankah kau tetap memilih hidup melarat seperti ini, Sunny?” “Jangan dengarkan bibimu. Dia hanya memancingmu saja,” tukas Jane, dia terlihat gelisah ketika menatap wajah Sunny. “Jika kesempatan itu adalah tentang penawaran bibi, aku akan melewatkannya berulang kali. Tidak peduli sebanyak apapun bibi memohon bahkan mengancam. Pulanglah, kehadiran bibi tidak diharapkan di sini.” Bibi Joyce bangkit dari tempatnya, “ah, sayang sekali. Padahal kau bisa hidup enak dan ibumu tidak akan merintih kesakitan lagi. Tapi sudah begini—apa boleh buat? Baiklah, aku akan pergi. Senang bertemu denganmu kakak ipar, kau membesarkan putri yang pembangkang dan keras kepala. Menarik sekali! Semoga kau cepat pulih.” Bibi Joyce melirik Jane dengan senyum palsu. Sunny mengatupkan bibirnya dengan segala emosi di ujung gigi, seolah dia tengah menggigit wajah bibi Joyce yang menjengkelkan. Bibi Joyce terkekeh ketika dia menyadari bahwa perkataannya telah membuat Sunny kesal. “Tenang saja, itu pujian. Tidak perlu bersikap berlebihan seperti itu.” Ketika bibi Joyce hampir tiba di ambang pintu, Jane berujar lembut namun penuh penekanan di setiap kata. “Kuharap, dikemudian hari kita tidak perlu bertemu lagi, Joyce. Bukan aku tidak senang atas kehadiranmu, tapi kau selalu menyakiti hati kami. Mengenai tawaran pernikahan yang kau katakan, aku tidak menyukainya. Aku bersungguh-sungguh, Joyce. Minta saja pada putrimu itu.” Mulut bibi Joyce mengatup rapat dan seluruh wajahnya berubah merah. Kali ini dia benar-benar kehilangan muka, namun dia tidak ingin menunjukkan itu pada mereka. Dia masih mengangkat wajahnya tinggi dengan lagak pongah yang memuakkan sesaat setelah keluar dari rumah itu. Sunny menarik napas lega karena bibi Joyce pergi tanpa membuat keributan lagi. Dia berharap bibi Joyce tidak kembali ke rumah mereka. Sudah cukup semua hinaan yang bibi Joyce ucapkan bertahun-tahun lalu, Sunny hanya ingin hidup damai dengan Rury dan ibunya. Hari-hari berlalu dengan cepat. Sunny masih bekerja di pasar ikan, dia membantu paman Huben, tetangga Sunny yang berjarak dua puluh meter dari rumahnya. Walau gajinya kecil, Sunny selalu menerima upah itu dengan senyum bahagia. Selesai membantu paman Huben, Sunny biasanya pergi ke pantai untuk memanjat kelapa. Ada orang yang meminta Sunny untuk memanen semua kelapa itu. Sunny terobsesi dengan uang. Dia selalu beranggapan jika mereka punya banyak uang, maka dia tidak perlu bersusah payah mati-matian mencari uang untuk kelangsungan hidup mereka. Bukan Sunny tidak punya impian. Jauh dalam hatinya, dia ingin seperti teman-teman yang lain; kuliah di kota dan bermain-main di tempat menarik. Betapa dia cemburu, betapa dia ingin menyerah, betapa dia ingin menangis, betapa dia sangat sakit, namun Sunny tidak pernah menunjukkan itu pada orang lain. Sunny pandai menyembunyikan segala kesedihannya. Demi ibunya. Demi adiknya, Rury. “Jatuhkan dengan hati-hati,” perintah pria tua di bawah pohon kelapa. Dia mendongak sambil berkacak pinggang. “Kau melempar terlalu kuat, lihat—kulitnya jadi sompel. Semua kelapa ini akan dijual ke supermarket. Orang-orang kaya itu tidak suka dengan buah yang lecet.” Sunny mengangguk. Dia tidak menjawab satu kata pun. Tenggorokannya terlalu kering, ditambah panas menyengat yang membuat pusing. Sunny hampir kehilangan tumpuan ketika Rury mendadak datang dengan wajah yang telah memucat dan matanya penuh oleh air mata. Rury berteriak, “Kakak! Kakak! Cepat pulang. Mama ... Mama kita ... .” suaranya berubah menjadi tangisan yang mengkhawatirkan.Sunny menatap Ryuse dengan mata terbelalak ketika tangan lelaki itu mendekapnya erat. Raut wajah Sunny menggambarkan kebingungan dan ketidakpercayaan. Detak jantungnya berdegup kencang dan Sunny bersumpah bahwa napasnya seolah berhenti—memikirkan apakah yang terjadi benar-benar nyata. “Ryu, apa yang kau lakukan?” Sunny berusaha menyusun kata-kata, namun suaranya terdengar seperti bisikan lembut. “Tetaplah seperti ini sebentar,” sahut Ryuse berbisik. Tangan Ryuse mengusap lembut punggung Sunny. Ryuse tidak tahu mengapa dia harus melakukan hal konyol dan tidak tahu malu seperti ini. Tindakannya yang tiba-tiba ini bukan menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Perbuatan romansa dan hubungan intim antara lelaki dan wanita, Ryuse tidak peduli dengan semua itu sebelumnya. Namun kehadiran Sunny merubah segalanya. Ryuse pun tidak menyadari perasaan itu. Dia hanya tahu itu adalah perasaan empatinya terhadap kisah Sunny. “Jangan salah paham,” imbuh Ryuse. “Aku melakukan ini sebagai ucapan perp
“Namun, itu hanyalah sebuah benda,” ujar Ryuse. “Aku masih bisa membelinya. Melihatmu yang bertanggung jawab, aku akan membiarkanmu.” “Maafkan aku, Paman. Aku tidak akan mengulanginya lagi.” Ryuse memijat keningnya dan mendengus. “Jangan panggil aku paman. Aku tidak setua itu. Panggil saja aku sesukamu asal jangan sebutan yang tua.” Rury mengangguk dan tersenyum ceria. “Baik, Kakak keren.” “Kakak keren?” Ryuse menaikkan satu alis. “Tentu saja. Aku melihatmu bertarung waktu itu dan itu sangat keren,” ungkap Rury gembira. Ryuse tersenyum tipis dan menimpali dengan wajah tenang, “Itu tidak buruk. Aku suka.” Sementara Marvin tersenyum puas melihat sikap Ryuse terhadap Rury. Dia menang taruhan. Makan malam sepuasnya di Cozy resto akan menjadi hal yang paling menyenangkan untuk Marvin. Setidaknya dia terbebas dari makan roti lapis setiap harinya. Pekerjaannya yang sering menghabiskan waktu di malam hari, membuat Marvin sering mengabaikan makan malam. “Hei, aku menang. Jangan lupakan
Ketika Rury pertama kali memasuki rumah mewah milik Ryuse, matanya terbuka lebar. Dia terdiam sejenak di pintu masuk, menelan ludah dengan pemandangan yang begitu mewah di hadapannya. Langit-langit tinggi, lukisan-lukisan mahal, perabotan klasik, dan hiasan-hiasan yang tersebar di seluruh ruangan. Rury bisa merasakan jawaban di ujung lidahnya, bibirnya bergerak tanpa suara saat dia mencoba untuk menggambarkan betapa takjubnya dia pada kekayaan dan keindahan rumah Ryuse. "Wow, ini... ini luar biasa," gumamnya gemetar. Rumah ini jauh lebih baik dari rumah mereka, jauh lebih nyaman. Tidak ada nyamuk yang akan mengganggu tidur mereka, atau angin laut yang merebak masuk melalui lubang dari jendela mereka. Tatapan Rury berkeliling dengan takjub, membenamkan diri dalam keelokan dan berharap dalam hatinya bahwa dia ingin mempunyai rumah sebesar ini. Itu adalah Rury di hari pertama. Namun yang terjadi sekarang di hadapannya bukanlah hal baik. Setelah tiga hari terlewati dengan bersenang-b
Ryuse terkekeh dan memberikan tatapan pengertian. “Sansan, setiap hal yang kuberikan padamu adalah tulus. Kau jangan berpikir yang aneh-aneh,” ujar Ryuse dengan santai tanpa menyadari bahwa Sunny mungkin saja menyukainya. Sunny bergumam dalam hati saat menatap Ryuse, “Aku hanya takut berharap terlalu banyak dan aku takut melakukan kesalahan dalam membaca perasaan ini.” Dalam momen itu, dokter tiba-tiba datang dan membuat Sunny melompat dari kasur dengan tergesa-gesa. Dokter tersebut, dengan sorot penuh perhatian menilik wadah infus yang hampir habis dan berbicara dengan senyum lebar. “Selamat pagi, pak Ryuse. Bagaimana perasaanmu hari ini?” “Halo dokter. Rasanya lebih baik dari kemarin.” Dokter melakukan beberapa pemeriksaan dan melihat catatan medis, kemudian dia mengangguk puas. “Hasil pemeriksaan menunjukkan peningkatan yang baik. Saya pikir anda sudah cukup pulih untuk pulang ke rumah. Tapi tetaplah menjaga kesehatan dan lakukan kontrol rutin di rum
Sunny merasa malu dengan kecerobohannya sendiri yang dengan tidak sengaja mengungkapkan bahwa dia menyukai seseorang. Matanya yang bercahaya dan senyumnya yang manis kini terasa begitu berat, dihiasi oleh rasa gugup dan keraguan. Dia berlari ke kamar mandi, berdiri lama menatap wajahnya di depan cermin. Tangan Sunny menyentuh pipinya yang telah memerah, seketika dia menjadi malu dan Sunny membasuh wajahnya untuk menghilangkan rona itu dari wajahnya. Ryuse merasakan ada sesuatu tidak biasa yang terjadi pada Sunny dan pertanyaan-pertanyaan pun mulai mendominasi pikirannya. “Mengapa dia terlihat begitu tergesa? Apa aku salah bicara?” pikirnya sambil mencoba mencari jawaban. Hatinya berdebar, tak bisa menolak rasa ingin tahu yang muncul begitu saja. Tanpa dia sadari, Ryuse pun mulai penasaran dengan pria yang dikagumi oleh Sunny. Pikirannya mencoba membayangkan siapa sosok pria yang dapat membuat Sunny begitu terpana dan membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang siapa pria itu, apa y
Luigi Kasto, seorang pimpinan dari Red Dragon, sebuah organisasi kriminal yang menyelundupkan senjata dan mengoperasikan rumah perjudian. Dia lelaki yang paling ditakuti di seluruh Rosentown. Tindakannya selalu lebih sulit dipahami, liar, dan keji. Tak seorang pun berani menentangnya. Namun, pria yang di hadapannya itu tidak pernah menunjukkan rasa takut padanya. Pria yang dulu pernah dia 'pelihara' dan dia besarkan untuk menjadi sama dengannya. Ya, pria itu selalu membangkang terhadap perkataan Luigi. Satu-satunya orang yang berani melawan Luigi, Ryuse Adam. Ryuse bukan tidak ingin membalas kebaikan Luigi terhadapnya, apa pun akan dia lakukan—tapi tidak untuk Camila. Hanya Camila. Ryuse tidak pernah memiliki perasaan romantis terhadap Camila. Dia selalu memandang Camila seperti saudara perempuan. Ryuse pernah mencoba memaksa dirinya untuk mencintai Camila, namun dia tidak berhasil melakukan itu. Demi membalas jasa Luigi, Ryuse berkali-kali mencoba membuat dirinya jatuh cinta pa
Ryuse menatap Sunny dengan senyum simpul. Tatapannya begitu dalam, seolah dia baru menyadari betapa gadis yang di hadapannya itu terlihat begitu cantik. Tudingan Sunny barusan membuat Ryuse merasa terhibur untuk terus menggodanya. Dia ingin melihat lagi wajah kesal Sunny, suaranya yang memberengut, dan tatapan tajam Sunny padanya. Lantas Ryuse menyahut dengan satu kata yang membuat Sunny bingung. “Mungkin,” sahut Ryuse, tersenyum manis. Sunny merona lagi. “Ah, aku—” Sunny menjadi gugup dengan jawaban Ryuse. Sunny merasa Ryuse sedikit berubah. Selama ini dia selalu bersikap seolah tidak menginginkan hal yang manis selain kehidupan perkelahian. 'Bagaimana ini? Mengapa aku harus gugup olehnya. Padahal jawabannya bisa mengandung makna lain,' gerutu Sunny dalam hati. Sunny kesal, sebab jawaban yang dia katakan selalu berakhir dengan godaan Ryuse. “Kau bercanda lagi. Berhentilah bermain-main denganku. Aku tidak suka,” ujar Sunny pada akhirnya dengan wajah menantang. Dia berharap it
Sunny membelalakkan matanya, tidak percaya dengan yang dia dengar barusan. “Kau bercanda dan juga sinting!” “Aku masih waras,” sambar Ryuse dengan ekspresi usil. Dia merasa terhibur dengan kegugupan yang diperlihatkan oleh Sunny dan dia ingin menggodanya lagi. Ryuse tahu bahwa dia telah mengatakan hal yang tidak masuk akal. Pikiran itu hanya terlintas sekilas di benaknya. Ketika dia melihat bibir Sunny yang merungut kesal, Ryuse penasaran dengan bagaimana rasanya jika dia mencumbu bibir tipis itu lagi. Sesungguhnya kenangan dari ciuman pertama mereka di penginapan waktu itu masih meninggalkan perasaan yang tak menentu di dalam hati Ryuse. Apakah rasanya akan sama? Apakah jantungnya akan berdebar asing lagi seperti waktu itu? Atau bahkan mungkin dia terlalu mendambakan ciuman itu sampai-sampai rasanya sangat menyiksa. 'Apa yang kulakukan?' Ryuse bergumam dalam pikirannya. “Kau mengambil kesempatan. Hah! Seharusnya aku tahu itu. Kau hanya berusaha untuk membuat
“Kau sudah bangun?” tanya Sunny dengan ekspresi bahagia. “Syukurlah, akan kupanggilkan dokter. Tunggu sebentar ... ” Sunny memutar langkah, hendak berlari menuju pintu. Namun Ryuse bertanya lagi. “Sansan, apa yang kau lakukan di sini?” Sunny berbalik, menatap Ryuse yang berusaha bangkit dari ranjang. “Ah, pelan-pelan. Awas lukamu terbuka lagi. Kau tidak boleh banyak bergerak.” Sunny membantu Ryuse untuk duduk. Dia memutar kenop ranjang untuk menaikkan posisi ranjang agar Ryuse dapat duduk dengan nyaman. Ryuse menengadahkan kepalanya dan mencengkram tangan Sunny dengan erat.“Kau belum menjawab aku.” Sunny mendesah kesal. “Pertanyaanmu tidak memiliki jawaban. Kau sudah lihat sendiri kondisi tubuhmu yang sekarat, tapi kau malah bertanya mengapa aku di sini. Tentu saja aku mencemaskanmu. Aku senang kau terlihat lebih baik sekarang. Akan kupanggilkan dokternya. Jadi tetaplah di ranjang ini. Jangan banyak bergerak, oke?” Sunny menaikkan selimut sampai ke perut Ryuse, memastikannya t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments